Jumat, 28 Desember 2012

Catatan-catatan Kenangan

Kau lelaki yang senantiasa membaca kenangan
Di bola matamu, selaput demi selaput mengelupas
Menguak catatan-catatan tentang cinta yang pernah menetap di sana
Di antara selaput demi selaput bola matamu

Kau lelaki yang tak sadar menjadi penulis kenangan
Di sudut bibirku, ciuman demi ciuman kaukecupkan
Meninggalkan jejak-jejak kata tentang cinta yang bertahan kusuarakan di sana
Di antara ciuman demi ciuman di sudut bibirku

Aku perempuan yang tubuhnya kaupeluk
Mengemis hangat yang kauharap dapat membakar seluruh kenanganmu kelak

Aku perempuan yang menjaga tubuhnya tetap kaupeluk
Menyimpan dingin yang kuharap dapat membekukan seluruh kenangan yang terlanjur kautulis sampai kelak

Senin, 17 Desember 2012

Skenario Kematian

Nanti aku akan mati di tengah nyanyianmu.

Di sebuah ladang ilalang.
Yang pucuk-pucuknya menyuarakan kosong rongga dadamu.
Di sudut taman pohon kamboja.
Yang dahan-dahannya patah menjatuhkan puing-puing hatimu.
Di sepetak tanah basah.
Yang di langitnya beterbangan gagak-gagak hitam serupa masa lalumu.

Tarikan napasmu yang akan menusukku.
Berlumur darah di detik napas itu berhembus.

Nanti kau akan dengan jijik menatapku.
Mencium amis mayatku.
Lalu akan kau lantunkan sebuah lagu kematian.
Dengan nada dan hati yang riang.
Ketika itu aku akan mati semakin dalam.

Malam ini masih riuh mesin di jalanan yang membekapku.
Di antara sesak aku menyusun skenario kematianku.
Paru-paruku semakin mengerut tertindih bayangmu.
Yang memetik nada-nada minor dan mengantarkanku sekarat.
Bintang harapan diselimuti kabut kenangan.
Aku menggigil oleh merdu ucapanmu yang meniupkan beku.

Lorong gelap masih panjang untuk kulalui.
Di ujungnya yang menyilaukan, sosokmu berdiri gagah.
Dalam perjalanan itu doa-doa menggema di pelupuk mataku.
Aku memohonkan satu untaian sapamu.
Sebagai suara terakhir yang akan mengirimkanku kedamaian.

Karena aku tahu, nanti aku akan mati di tengah nyanyianmu.

Sabtu, 15 Desember 2012

Merah Yang Memudar Jingga



Aula besar tempat acara dilaksanakan di dalam sana ramai sekali. Manusia-manusia berbalut gaun dan jas rapi begitu cantik dan tampan berkeliaran di sana-sini. Wajah-wajah mereka bahagia. Ada juga beberapa yang  yang mengenakan wajah gelisah, menunggu giliran untuk menyampaikan perasaan terpendamnya kepada sesosok manusia istimewa yang sudah bertahun-tahun dipuja.

Malam ini, di sebuah gedung yang aulanya kami sewa di pusat kota, aku dan sekelompok temanku membuat sebuah acara angkatan. Acara semacam prom night kesiangan karena kami bukan lagi rombongan anak SMA yang baru lulus ujian akhir, melainkan sekumpulan mahasiswa tingkat akhir yang sedang terluntang-lantung dikerjai tugas akhir. Acara ini kami buat mengingat satu-persatu teman seperjuangan yang telah memenangkan perangnya dengan sesosok musuh bernama skripsi sudah mulai lulus satu-persatu dan akan segera memulai kehidupannya yang baru. Sekedar menciptakan momen yang dapat diingat, acara ini menjadi penggenap satu acara dengan konsep sama yang pernah kami buat di awal kuliah untuk lebih menyatukan teman-teman seangkatan dari gab kelompok pergaulan masing-masing.

Ruangan semakin pengap. Riuh suara-suara yang meledek setiap orang yang sedang maju ke atas panggung dan menyatakan perasaan terpendamnya selama bertahun-tahun semakin menggema. Ya, ini salah satu konsep yang secara tidak sengaja dilaksanakan dalam acara. Dimulai dari salah satu temanku yang memberanikan diri menyampaikan perasaannya kepada perempuan yang sudah bertahun-tahun dia puja diam-diam, pengakuan-pengakuan lainnya segera mengantri untuk mengaliri ruangan. Ternyata banyak cinta yang tersimpan di antara kami selama ini.

Aku melangkah keluar ruangan sambil tersenyum-senyum melihat perilaku teman-temanku. Aku sempat begitu menyukai salah satu teman baikku, tapi rasanya aku tidak mememuhi persyaratan untuk ikut menghebohkan bagian acara tersebut. Rata-rata orang yang sedang berdiri mengaku di atas panggung sudah menyimpan perasaannya lebih dari dua tahun.

"Mau ke mana, Dil?"
"Ke depan bentar, sumpek."
"Eh, lagi seru gini juga."
"Hahahaha... Iya, ya udah biarin aja mereka."
"Kan siapa tahu tiba-tiba ada yang ngaku ke kamu, Dila."
"Yah, kalo ada suruh teriak yang kenceng biar kedengeran dari luar ya."
"Sial. Hahahaha..."

Aku melangkah meninggalkan Sela yang tadi menyapaku. Gedung ini berada di pinggir salah satu jalan raya utama kota. Aku duduk sendirian di pojok teras depan gedung, menghadap jalan raya. Rok yang kukenakan tak kupedulikan lagi jika harus kotor terkena sesuatu. Aku mengeluarkan rokok dan korek api dari dalam tas pestaku dan membakar sebatang.

Dibandingkan mengingat salah satu teman dekatku yang pernah aku hujani rasa suka, aku justru terjebak dalam rasa sakitku yang bekasnya masih berwujud ruam di seluruh permukaan hatiku. Melepaskan apa yang sudah begitu dimiliki memang bukan hal mudah, toh melepaskan perasaan dari sesuatu yang tak pernah dimiliki saja seringkali sulit untuk dilakukan.

Aku pernah begitu memiliki seseorang, paling tidak begitulah menurutku. Aku rasa, ketika itu kami bahkan terlalu memiliki dan melewati batas. Aku merasa aku punya hak apapun atasnya, dan begitupun sebaliknya. Tak perlu momen-momen bahagia untuk membuat kami terus terikat, keburukan-keburukan yang telah kami ciptakan berdua justru menjadi alasan untuk tak pernah mampu melepaskan diri dari satu sama lain. Bertahun-tahun hal itu terjadi di antara skala-skala waktu yang tak pernah kami pahami dan tak mampu kami taklukkan.

Sekarang dia telah sadar. Dia lebih dulu mengambil keputusan untuk menebalkan pertahanannya dan meninggalkanku. Setelah dari dulu kami tahu bahwa tak akan ada yang membaik, tanpa mampu bergerak meninggalkan, sekarang dia menguatkan kakinya lebih dulu untuk melangkah pergi dan menyelamatkan kami. Aku tak bisa melakukan apa-apa. Seharusnya aku sedang menjadi gila dan memohon-mohon kepadanya, seperti bagaimana dia dulu pernah lakukan kepadaku, tapi aku juga sadar bahwa aku harus membantu memutuskan lingkaran karma tempat kami bermain selama ini.

Aku tahu aku akan baik-baik saja. Aku hanya sedikit suka untuk duduk lebih bungkuk dari biasanya. Sepertinya ada beban yang setengah mati aku keluarkan dari dalam hatiku dan kutumpu di atas bahuku. Beban itu berwujud sosoknya. Sosok yang sudah terbang dan berbahagia dia langitnya sendiri. Seharusnya karena dia telah terbang, bahuku semakin lega. Mungkin seperti inilah definisi dari baik-baik saja; hati yang masih berbekas ruam dan kepala yang keberatan mengingat.

"Ngapain lo?"
"Eh, Dim. Ga ngapa-ngapain. Sumpek aja di dalam. Mau ngerokok."
"Bagi rokok dong."

Sejurus kemudian aku menyodorkannya sebungkus rokok yang kupunya dan meminjamkannya korek api. Kami lalu duduk berdua di pojok teras depan gedung yang menghadap jalan raya. Dalam diam, kami sibuk dengan pikiran masing-masing yang melayang di antara bintang yang kebetulan begitu terang malam ini. Kami hanya terdiam mengamati asap rokok yang mengaburkan cahaya dari deretan lampu jalan yang jingganya tampak selalu sendu.

Namanya Dimas. Temanku semenjak aku baru masuk perguruan tinggi. Anggap saja dia teman dengan multiperan. Biasanya dia adalah teman tidur siang, lebih tepatnya teman yang kasur di kamar kosnya aku rebut secara membabi buta setiap aku butuh tempat untuk merebahkan kelelahan fisik maupun batinku. Dia teman bercerita tentang segala hal yang pernah eksis di muka bumi atau di dalam pikiran manusia. Dia abangku. Dia pacarku ketika beberapa momen menuntut dan memaksa manusia untuk harus berpasangan, momen malam minggu misalnya. Dia lawan debatku. Sampai-sampai peran teman curhat sudah tidak begitu signifikan lagi. Aku bahkan tak perlu mencurahkan apa-apa dan dia sudah tahu dengan sendirinya. Dia teman yang sempat aku curahi perasaan suka namun aku genangi di dalam hatiku sendiri. Kebersamaan kami sudah membuat perasaan itu tidak menjadi suatu hal luar biasa lagi. Lagipula, aku tak yakin banyaknya peran yang dia lakoni denganku selama ini bersedia ia rangkum hanya menjadi satu peran -- pacarku.

"Udah sih, sedih mulu. Malesin."
"Dih! Tau apa lo?"
"Semuanya."
"Iya deh, iya..."
"Punya beberapa menit buat dengerin gue ga?"
"Kalo sampe 10 menit, ga punya."
"Anggap aja lo itu merah. Kalo lo ngerasa lo udah pudar, gue mau kasi tau lo kalo jingga juga cantik kok. Walopun menurut gue, lo masih tetep merah."
"....."
"Ga sampe dua menit kan?"
"....."

Aku hanya menatap wajahnya dalam-dalam. Dia merangkulku dan aku memeluknya. Setelah itu dia langsung mematikan rokoknya dan bergegas masuk ke dalam ruangan. Suara-suara dari dalam masih sangat riuh. Aku kembali menerka-nerka langit sendirian. Aku mcasih tak ingin bergumul dengan kerumunan manusia yang sedang uforia.

Tiba-tiba saja Sela berlari ke arahku dari dalam ruangan sambil meneriakkan namaku dengan heboh. Dia langsung menarikku sekuat tenaga tanpa mau tahu dengan keadaanku dan membawaku ke depan panggung. Ramai sekali. Semua orang menyorakiku sambil tertawa-tawa menggodaku. Aku kebingungan. Berisik sekali. Satu-satunya hal yang masih sempat kucerna di dalam otakku adalah aku melihat Dimas ada di atas panggung.....

.....

Aku memang adalah merah yang sempat memudar dan berubah menjadi jingga. Dengan sorot mata dan jari-jarimu yang menggenggam tanganku, kamu tawarkan kepadaku dua pilihan untuk aku yakini; aku masih merah, atau jingga tetap cantik. Entah apa yang waktu itu kupilih. Yang aku tahu sekarang, aku adalah merah.

Minggu, 09 Desember 2012

Sudah Tanggal Sepuluh

Sudut matamu telah mengering.
Hujan yang senantiasa dijatuhkan oleh lukamu,
kau biarkan menggenang di dalam hati.
Memar di tubuhmu tak lagi biru.
Kau telah mengubahnya menjadi kelabu,
dan membenamkannya di dasar kepalamu.

Aku menemukanmu duduk di sudut beranda,
menanti yang entah apa.
Jari-jari yang dulu sering kaupakai untuk melukai dirimu sendiri telah tiada.
Bibir yang dulu senang menyuarakan kekecewaan telah menghilang.
Kau kini lebih memilih untuk memetik gitar dan melagukan ingatan.

Desember yang selalu mendung tak pernah tahu,
tentang awan pekat yang setia memayungimu.
Desember yang selalu basah tak pernah tahu,
tentang sembab kenanganmu.
Desember yang selalu dingin tak pernah tahu,
tentang beku kesepianmu.

Sudah tanggal sepuluh.
Di bulan yang langit malamnya begitu segan menabur cahaya.
Aku menemukanmu duduk di sudut beranda,
masih terus menanti.
Menanti sepetak tanah yang kaugali sebagai kubur segera terisi,
oleh kekasihmu yang tinggal berupa bayangan.
Menanti sayap yang kautanamkan di punggung kekasihmu,
segera berkembang dan membawa yang tersisa darinya terbang.

Sudah tanggal sepuluh.
Di bulan yang tanahnya tak pernah lebih berair,
dibandingkan matamu pada waktu-waktu yang lalu.
Di bulan ke-sekian-belas dari saat terakhir,
semenjak kau mengetahui keadaanmu baik-baik saja.
Kuburan itu belum tergali cukup dalam.
Sayap itu masih tak tampak akan segera tumbuh.
Katamu, kau hanya akan terus memetik gitar dan melagukan ingatan.

Rabu, 05 Desember 2012

Jangan Ketuk Pintu Itu

Masih ada yang tersisa tentang kita.
Sisa kisah berbentuk sebercak dua bercak noda,
yang telah menua dan berubah cokelat di tembok kamarku.
Noda yang mudanya begitu merah dan segar,
kontras dengan cat putih dinding tempatnya bersarang.
Noda yang terlukis melalui kuas kepalan tanganmu yang menghantam kanvas beton,
ketika kita sedang tak lagi punya cara lain untuk berbicara.

Lalu, luka apa lagi yang masih sanggup kau elak?
Kesakitan mana lagi yang masih berusaha tak kausetujui?
Aku membaringkan kepalaku setiap malam,
tepat di sebelah lembaran ingatan itu.
Ingatan yang dituliskan dengan darah,
di tembok yang tepat bersisian dengan kasurku.

Kau tahu seperti apa rasanya?
Rasanya asin seperti air mata yang jatuh mencuri muara ke tepian bibir.
Rasanya cemas seperti mimpi buruk yang rutin bertamu.
Rasanya kosong seperti mulut yang menganga,
ketika lelap menggerogoti badan yang kelelahan.

Dan kamu,
apapun tarikan yang bumi jelmakan alasan kepadamu untuk melangkah kembali menujuku,
urungkanlah niatmu untuk mengetuk pintu kamarku.
Ingatlah tentang sebercak darah yang masih tertinggal,
di dalam ruangan yang pintunya ingin kau ketuk itu.
Ingatlah tentang ingatan buruk yang terlukis di sana.

Lalu berbaliklah.
Pulanglah ke dunia yang kau pakai untuk melarikan diri dari monster yang keluar dari tubuhku.
Tak ada tempat lagi untuk lukisan luka yang lain di dalam sini.

Minggu, 02 Desember 2012

Pengkhianat Takdir


Kita memang adalah pendosa.
Ketika takdir menuliskan cerita perpisahan untuk kita berdua,
kita memaksa diri untuk terus berjalan bersisian.
Ketika Tuhan membisikkan wahyu di telinga kita untuk berhenti mencintai,
kita berkhianat dan terus berpelukan.
Ketika luka mengetuk hati dan membawa kabar kesakitan,
kita mengebalkan ego dan tak mau menyerah.

Dulu aku mencintaimu dan seharusnya aku masih mencintaimu.
Meski demi mempertahankan kewarasanku, aku membencimu.

Aku selalu suka bercerita.
Tentang bagaimana aku begitu mencintaimu.
Aku selalu suka menuliskan ribuan deretan kata.
Tentang bagaimana aku hanya mencintaimu.

Tapi aku memang adalah pendosa.
Di depanmu, hanya pelupuk mata berairku yang bercerita,
atau suara-suara tinggi yang menulis.
Tentang cerita yang masih sama,
bagaimana aku begitu mencintaimu dan bagaimana aku hanya mencintaimu.

Sekarang kau telah tuli karena cerita-ceritaku,
telah buta karena tulisan-tulisanku.
Maka aku setuju untuk diam.
Aku setuju untuk menaati tulisan takdir, bisikan Tuhan dan kabar sang luka.
Aku akan duduk diam di bawah kolong tangga sebuah rumah,
tempatmu menumpuk kenangan yang terpaksa kausimpan.

Senin, 26 November 2012

Sketsa Di Atas Surat Cinta




Lain kali, beritahu aku jika kamu ingin menyisipkan sebilah pisau di dalam genggaman tanganku. Jangan lakukan diam-diam, agar aku tahu aku tak merobek jiwamu ketika aku membelai wajahmu atau menusuk hatimu ketika aku memeluk tubuhmu.

.....

Dulu, aku suka terlalu sibuk menggoreskan penaku di atas kertas. Menuliskan beratus-ratus surat cinta untukmu. Surat-surat itu tak pernah kusampaikan kepadamu, tetapi selalu kamu rampas dari tanganku sebelum aku menyelesaikannya. Kamu lalu menyimpannya di bawah tumpukan komik-komikmu tanpa pernah kamu baca.

Dulu, kamu suka terlalu sibuk menggariskan pensilmu di atas kertas. Menggambarkan beratus-ratus sketsa abstrak tentang cinta yang kamu punya untukku. Sketsa-sketsa itu tak pernah kamu artikan di hadapanku, tetapi selalu aku kumpulkan dan tempelkan di seluruh sisi dan bidang tembok kamarku sampai penuh. Aku tak pernah ingin tahu tentang apa semua sketsa itu.

Paling tidak, dulu kita selalu memainkan alat tulis kita secara berdampingan. Paling tidak, kita selalu mengoyak kertas-kertas yang kita miliki bersama-sama. Surat-surat cintaku selalu hampir jadi di sebelahmu. Sketsa-sketsamu selalu menjadi tak berarti di sisiku.

Biasanya aku yang lebih dulu mengambil kertas, berbaring di atas kasur dan mulai menulis. Tidak lama kemudian kamu akan datang dengan kertasmu, berbaring di sampingku, merenggut kertas suratku, lalu mulai menggambar. Ketika itu aku akan menyandarkan kepalaku di bahumu sambil terus memperhatikanmu menggambar. Kita terus bersama menikmati emas yang bertebaran di atas langit senja atau kristal yang jatuh dari awan pekat lewat jendela kamarmu, tanpa pernah tahu apa yang sebenarnya kita tuangkan ke dalam kertas kita masing-masing.

Pada suatu saat yang aku tidak tahu pasti kapan, kamu menyisipkan sebilah pisau di dalam genggaman tanganku tanpa aku ketahui. Pisau itu memberikanku otoritas untuk dapat melukaimu kapanpun aku sempat, meskipun aku tak mau. Pada suatu saat yang aku tidak tahu pasti kapan, aku yang biasanya hanya berbaring di sampingmu dan menyandarkan kepalaku di bahumu, memutuskan untuk memelukmu, melingkarkan tangan yang terselip pisau itu ke tubuhmu.

Sekarang, dibandingkan menggariskan pensilmu di atas kertas dan menggambar ratusan sketsa abstrak, kamu lebih sibuk menutup pintu kamarmu. Sekarang, dibandingkan menggoreskan penaku di atas kertas dan menulis ratusan surat cinta, aku lebih sibuk mengetuk pintu kamarmu berharap kamu mau membuka sedikit celah.

Sekarang, ketika kita telah saling memahami isi coretan kertas kita satu sama lain, tak ada lagi ruangan yang terbuka untuk kita menyaksikan emas dan kristal yang bertaburan di angkasa bersama-sama.

Minggu, 25 November 2012

It's funny how I ever got helped by one sentence of one person in some kind of bad situation, and when she's in the same situation I had, I can't help her by telling the same sentence she gave to me. It's just..........funny!

Rabu, 21 November 2012

Tulisan Selamat Tinggal


Surat ini akan kusampaikan kepadamu ketika aku sudah dapat memastikan bahwa waktu yang ada untuk kita berdua semakin menyempit. Surat ini akan sampai  di tanganmu ketika waktu yang aku perkirakan tersebut telah benar-benar habis dan ruang yang ada di antara kita telah melebar jauh dari sebelumnya serta mengubah seluruh isi dunia yang selama ini kita tempati bersama.

.....

Aku mencintaimu. Sungguh.

Aku mencintaimu bukan atas nama peran sahabat yang sudah sekian tahun kita lakoni. Aku mencintaimu bukan atas nama perasaan yang aku miliki kepadamu lebih dari batas perasaan yang dua sahabat biasanya berbagi. Aku mencintaimu sekedar atas nama kebersamaan yang sudah bersama-sama kita lewati selama ini.

Sampai pada menit-menit terakhir waktu yang kita habiskan bersama sebelum semuanya berubah, aku masih begitu mencintaimu. Ketika menatap wajahmu, aku masih menahan nafas seperti layaknya orang yang sedang jatuh cinta menahan histeris ketika melihat pujaan hatinya. Ketika aku menatap tubuhmu, aku masih berhalusinasi dan melihat tubuhku bersanding di sampingmu, menggenggam tanganmu mesra atau dirangkul olehmu penuh kasih sayang.

Aku minta maaf. Sungguh.

Aku minta maaf atas kelancanganku menciptakan perasaan yang melebihi kadar yang seharusnya aku miliki terhadapmu. Aku minta maaf jika usahaku untuk menahan ego impulsifku dalam hal mencintaimu tidak begitu maksimal. Aku minta maaf jika aku telah membuatmu merasa tidak nyaman dan kebingungan untuk mencari cara mempertahankan kebersamaan kita seperti sebelum ada perasaan berlebihan ini.

Sampai pada menit-menit terakhir waktu yang kita habiskan bersama sebelum semuanya berubah, aku masih begitu merasa bersalah dan ingin memohonkan maaf langsung kepadamu. Aku masih terus berandai-andai jika saja kamulah yang menyelamatkanku dari setan-setan yang ada di dalam diriku. Aku masih terus berandai-andai jika saja kamulah teman hidup yang aku butuhkan selama ini. Aku masih terus berandai-andai jika saja kamulah keputusan benar bagiku setelah sekian keputusan-keputusan salah yang telah aku ambil.

.....

Surat ini akan kamu pahami ketika aku telah sungguh-sungguh menyerah untuk mendapatkan hatimu. Setelah aku tak sanggup menghancurkan tembok egomu, setelah aku tak sanggup mengalahkan persahabatan dan bahkan kekeluargaan kita yang adalah segalanya untuk dipertahankan, dan setelah aku tak sanggup lagi melawan ruang dan waktu yang berubah berdasarkan arahan takdir.

.....

Ditulis: 28 September 2012

Senin, 19 November 2012

Sedikit Tentang Saya Dan Ngayogjazz 2012

Sebagai seorang penduduk Jogja yang gagal, di postingan kali ini saya akan menceritakan pengalaman pertama saya pergi ke event Ngayogjazz 2012 pada tanggal 18 November yang lalu. Kenapa gagal? Karena sudah empat tahun saya bertahan hidup dengan menghirup atmosfir udara Jogja tapi baru tahun ini ke Ngayogjazz, sementara tahun ini sudah kali kedelapan acara ini digelar.

Ngyogjazz adalah sebuah event tahunan dengan konsep konser musik jazz yang dipadukan dengan ekplorasi budaya Jogja. Daripada saya menjelaskan dengan bahasa formal selayaknya menulis untuk artikel surat kabar, sebaiknya saya mengetik yang santai-santai saja. Lagipula saya tidak punya informasi yang memang valid dunia akhirat tentang konsepnya kalau harus menulis formal. Intinya, Ngayogjazz 2012 ini diadakan di Desa Brayut, Sleman, Yogyakarta. Jadi acaranya di perkampungan gitu. Ada enam panggung yang jadi spot utama tampilnya pengisi-pengisi acara. Setiap panggung itu ada di halaman rumah penduduk kampung setempat. Panggung-panggung itu pisah-pisah tempatnya, alias tidak berdekatan atau bersampingan.

Selain dimanfaatkan untuk spot panggung, halaman-halaman rumah warga juga dijadikan spot macam-macam stand, mulai dari stand para sponsor sampai warung-warung makan dadakan yang disediakan oleh warga setempat. Setting tempat Ngayogjazz ini luar biasa. Pengunjung dipaksa untuk jalan-jalan keliling kampung dan tidak diam di satu tempat saja. Bintang tamu utama yang merupakan musisi-musisi jazz Indonesia dengan nama yang sudah besar juga disebar di berbagai panggung. Jadi tidak ada pilihan lain, silakan wisata keliling kampung kalau mau nonton puas.

Kedatangan saya ke Ngayogjazz 2012 awalnya hanya karena mau menonton Jay & The Gatrawardaya, jadi ketika tiba saya langsung menuju panggung Pacul. Awal mengenal kelompok musik jazz asal Jogja ini setelah mengikuti kelas Akademi Berbagi Yogyakarta dengan tema Musik Puisi yang pembicara alias gurunya adalah Mas Jay yang notabene adalah pemain saxophone serta komponis, dan Mbak Tey sang alumni Sastra Inggris UNY yang bisa dibilang adalah sastrawati. Sebagai informasi tambahan, mereka ini pasangan kekasih. Biasanya ketika kita membaca sebuah sajak singkat atau melihat seseorang yang piawai bermain alat musik saja sudah bikin tergila-gila, mereka berdua bahkan berkolaborasi dalam berkarya, yang satu menulis puisi dan yang satu meng-compose musik untuk puisi yang sudah ada itu. Bagaimana saya tidak jatuh cinta dengan mereka sepulangnya dari kelas itu?

Setelah melihat Jay & The Gatrawardaya, konsep Ngayogjazz yang memaksa pengunjungnya untuk wisata keliling kampung tetap berhasil mempengaruhi saya. Meskipun hujan turun deras sepanjang sore sampai malam sebelum Barry Likumahua Project tampil, saya tetap jalan-jalan keliling venue acara. Dengan persiapan yang antara matang dan tidak matang, saya berkeliling dengan menggunakan jas hujan hijau yang sudah saya persiapkan dari rumah dan sepatu yang basah kuyup terendam lumpur di sana-sini karena seharusnya saya memakai atau paling tidak membawa sendal jepit. Tidak sia-sia, penampilan semua pengisi acara di semua panggung keren-keren. Namanya juga musisi jazz, skill-nya suka over-qualified semua. Sebagai orang yang suka mengaku pecinta musik, saya puas.

Salah satu hal yang membuat saya super-excited, Brayut malam itu dipenuhi oleh manusia-manusia yang mengenakan jas hujan warna-warni berhamburan di sana-sini. Saya ingat salah seorang teman saya yang begitu ingin membuat festival jas hujan. Katanya, menarik sekali melihat banyak orang mengenakan jas hujan warna-warni sedang bermain di bawah hujan, dan Brayut malam itu hampir mendekati keinginannya hanya karena masih ada sekelompok orang yang memakai payung. Malam itu pesta jas hujan!

Hal lainnya yang membuat saya super-excited, saya sebagai orang yang sering mengaku suka hujan, alih-alih merasa repot dengan hujan yang mengguyur selama acara berlangsung justru merasa termanjakan. Saya suka sekali melihat tetes-tetes hujan yang jatuh di bawah lampu, entah lampu apapun, meskipun saya seringnya melihat tetes hujan yang jatuh di bawah lampu jalan. Malam itu Ngayogjazz sudah membuat saya senang semalaman karena melihat hujan di bawah lampu itu semalaman sampai puas. Venue acara di Brayut juga dilengkapi dengan lampu-lampu kecil, (semacam) obor-obor dan lentera-lentera yang menghiasi jalan-jalan setapak dari satu spot ke spot lain. Sebagai pecinta cahaya-cahaya minimalis di tengah kegelapan, saya bangga ada di sana.

Akhirnya, keadaan saya yang kehujanan sejak sore, belum makan sejak pagi dan kaki yang sudah tidak berwujud di dalam sepatu yang basah kuyup terbayar oleh penampilan Barry Likumahua Project yang luar biasa menyenangkan sekitar pukul 10 malam. Setelah dibuat bergoyang mulai dari sekedar kepala, kaki sampai seluruh badan, saya juga dibuat semakin yakin pada pernyataan yang berbunyi "Orang Ambon itu yang namanya musik dan gombal udah ngalir di dalam darah dari sononya." Pernyataan itu awalnya sering saya baca dari tweet Kak Theo @perempuansore, yang kemudian didukung oleh statement senada yang diucapkan Glenn, Elo dan Edo Kondologit ketika mereka menjadi bintang tamu Just Alvin episode Beta Datang Dari Timur.

Selama BLP tampil, hanya dengan melihat Barry bermain bass, saya paham orang Ambon itu mungkin memang dilahirkan untuk bermusik atau minimal memiliki kepekaan di atas rata-rata terhadap rangkaian nada-nada. Malam itu, Om Benny Likumahua yang tidak lain tidak bukan adalah ayah dari Barry sendiri juga turut tampil dan memamerkan komposisi darah yang mengalir di dalam dirinya dan telah ia tumpahkan pada anaknya itu. Hanya dengan kalimat-kalimat pengantar basa-basi dari Barry ketika tampil jugalah saya paham orang Ambon itu memang sudah flamboyan sejak dalam tatapan! Kebetulan saya juga orang Ambon, semoga saja saya tidak digeneralisakan ke dalam ciri-ciri tersebut, karena saya akan bingung harus bangga atau tidak enak hati dilabeli tukang gombal.

At all, bagi diri saya sendiri, apalagi kurangnya Ngayogjazz 2012 di Brayut malam itu kalau semua yang saya suka bisa saya nikmati sampai puas di sana? Belum lagi CD Membuatku Cinta dari Jay & The Gatrawardaya bisa saya dapatkan gratis sehingga saya tidak jadi mengopi-ngopi secara ilegal. Itu sudah bonus luar biasa mengingat saya bahkan ikut nongkrong untuk berteduh di rumah tempat equipment dan transit artis termasuk Barry dan kawan-kawan serta ikut mencomot cemilan untuk artis.

Karena kebetulan ini bukan artikel untuk koran atau majalah, sampai di sini saja curhatan saya. Saya mau mengecek sepatu yang sudah saya jemur seharian dulu.


Di Depan Peta Lokasi dan Jadwal Tampil Pengisi Acara Ngayogjazz 2012

Di Antara Banner-banner Ngayogjazz 2012

Salah Satu Sudut Jalan Desa Brayut

Pesta Mantel dan Payung

Hampir Menyerupai Festival Jas Hujan

Flamboyan Sejak Dalam Tatapan


Kamis, 15 November 2012

Tertanggal; 13 November 2012


Setelah selama hampir empat tahun berkutat dengan sebuah konsep pengetahuan yang berisi bahwa semua variabel perilaku memiliki serangkaian indikator tertentu, saya akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa sesungguhnya tidak semua hal di dunia ini memiliki indikator yang pasti.

Beberapa hari yang lalu saya baru saja melupakan ulang tahun salah seorang teman dekat saya. Bukannya saya lupa kapan tanggal ulang tahunnya, melainkan tepat pada tanggal ulang tahunnya, saya tidak ingat itu tanggal berapa. Ketika menyadarinya, waktu sudah menunjukkan pukul 00.06 pada keesokan hari setelah ulang tahunnya. Saya pikir, saya bahkan sudah telat tujuh menit untuk memberi ucapan selamat ulang tahun sebagai orang terakhir.

Sayangnya, teman saya ini bukan sekedar teman yang secara kuantitatif paling banyak menghabiskan waktu bersama saya. Bukan sekedar pendengar yang baik. Bukan sekedar tembok yang kokoh untuk disandari. Bukan sekedar keluarga atau kakak beda darah seperti yang sering orang-orang istilahkan. Dia adalah idola saya. Idola yang saya tetapkan bagi diri saya sendiri karena merupakan satu-satunya orang paling sederhana yang pernah saya temukan di antara sekian banyak orang yang pernah saya temui. Dia adalah orang dengan kepribadian paling mewah yang pernah saya kenal. Dan pada banyak waktu, saya berharap bisa mewarisi sedikit kepribadiannya itu untuk mengisi sebagian tempat dari keseluruhan kepribadian saya.

Anehnya, tepat pada hari dimana dia merayakan ulang tahunnya yang ke 21, saya masih berkomunikasi dengannya. Komunikasi berisi tawaran pekerjaan dari saya untuknya. Sederhana, saya hanya mendapat tawaran magang, sementara saya sudah magang di tempat lain, dan tanpa berlama-lama mengambil keputusan, saya alihkan tawaran itu kepadanya. Lebih sederhana lagi, otak saya bekerja secara spontan menampilkan sosoknya paling pertama untuk ditawari, sementara ada banyak nama lainnya yang sebenarnya muncul namun entah kenapa saya kesampingkan. Saya merasa dia yang lebih pantas mendapatkan keberuntungan itu. Saya merasa saya memang mengutamakan dia. Mungkin karena saya memang menyayanginya.

Saya melupakan hari ulang tahunnya dan tidak menyampaikan doa apapun kepadanya tepat waktu. Tapi saya memperhatikan keadaan dan kebutuhannya. Lalu bagaimana sesungguhnya orang mengukur variabel rasa sayang jika indikator yang saya tunjukkan sekabur itu?

Saya rasa banyak hal yang memang diciptakan untuk hanya berada di dalam hati. Hal-hal itu diciptakan tidak sepaket dengan tanda-tanda yang menyertainya. Dan ini bukan pengalaman pertama saya dalam hal ketidakmampuan untuk mengukur suatu hal dari apa-apa yang ditunjukkan. Banyak hal yang sesunggunya YA tetapi diikuti oleh sekumpulan tanda-tanda TIDAK. Banyak hal yang sebenarnya A dengan indikator yang menunjukkan B. Banyak hal yang 1 namun tampak seperti 2.

Saya merasa gagal. Anggap saja ini hadiah ulang tahun dari saya untuknya.

Jumat, 02 November 2012

Cerita-cerita Yang Dikisahkan Di Dalam Kepala




Pukul 18.30. Aku sudah duduk manis di depan monitor komputer operator internet cafe tempat aku bekerja sekitar setahun belakangan. Shift kerjaku hari ini baru akan dimulai setengah jam lagi. Tapi tak apa, toh aku juga tidak sedang memiliki kegiatan lain yang harus membuatku datang terlambat atau terlalu kelelahan dan datang tepat waktu. Seharian ini aku hanya berkeliaran di atas kasurku, kecuali pada jam makan siang tadi ketika aku diminta Imam untuk mengantarnya ke rumah sepupunya. Seperti itulah aku menghabiskan waktuku hampir setahun ini sebagai mahasiswa tingkat akhir yang tidak memiliki kapasitas motivasi di atas rata-rata untuk bisa menyelesaikan tugas akhirnya tepat waktu, meskipun aku memiliki kapasitas kognitif di atas rata-rata. Untuk itu juga aku mengisi waktu bekerja disini demi sedikit menyelamatkan hidupku yang monoton. Sudahlah. Lupakan saja hidupku yang monoton dan tak punya esensi untuk diceritakan. Ini sudah pukul tujuh lebih 15 menit dan ada seorang wanita cantik yang membuka pintu warnet. Aku sering melihat dia datang ke sini. Dia wanita yang selalu menyanyikan semua lagu yang aku putar ketika sedang merajai playlist sebagai operator. Tapi ada yang berbeda dari wanita ini. Kali ini ia sudah mengkonsumsi waktuku lebih dari 5 menit untuk tenggelam ke dalam ketidaksadaran karena terlalu serius mengamatinya.

"Selamat malam. Silakan nomornya."


*****


Pukul 19.00. Aku kelelahan setelah pulang dari kantor tempat aku magang. Meskipun demikian, dibandingkan istirahat, aku memilih keluar lagi dan menyegarkan pikiranku. Aku mau ke warnet dekat kosku. Kebetulan wifi di kos sedang terganggu. Mungkin aku akan mengambil beberapa film dari koleksi lengkap warnet itu untuk kutonton malam ini, toh besok hari sabtu dan aku tidak berangkat ke kantor. Atau mungkin aku akan menulis sesuatu untuk blogku. Atau aku bisa mencari lowongan pekerjaan selain memeriksa hasil lowongan lain yang telah kulamar. Atau aku hanya akan melihat-lihat video di youtube. Apapun itu, aku mau keluar dan menghirup udara malam kota paling nyaman yang pernah kutempati, udara malam yang beberapa waktu lalu ketika hidupku masih hanya tentang bersenang-senang, selalu aku nikmati setiap hari sampai pagi menjelang. Setelah itu aku akan mencari makan malam. Mungkin sendiri atau mengajak siapa, entahlah. Aku sampai di warnet tepat pukul tujuh lewat 15 menit. Aku langsung menuju meja operator untuk mengambil nomor bilik. Penjaga warnet yang meyambutku tampan. Aku sering melihatnya, dia operator yang selalu memainkan lagu-lagu kesukaanku. Memang kebetulan, tapi baru kali ini dia mencuri kesadaranku dan membuatku memperhatikannya lebih dari biasanya.

"Oh iya. Makasih, Mas."

_________________________________________________________________


Pukul 20.05. Hari ini aku menjalani hariku dengan sedikit berbeda. Sedikit saja. Sepanjang siang setelah bimbingan skripsi yang tidak memberiakanku pencerahan dan jalan keluar kecuali membuatku semakin bingung, aku menemani Riska mencari buku. Riska itu pacarku. Sudah hampir empat tahun aku mengahbiskan hidupku menyandang status sebagai kekasihnya. Sudah empat tahun juga aku mengisahkan berbagai rasa dari satu kisah yang sama, mulai dari manisnya tahun pertama, pahitnya tahun kedua, pahit yang dipaksakan menjadi manis tahun ketiga, sampai pada tahun keempat dimana aku rasa aku tidak merasakan apa-apa lagi. Dan tentang 'kencan' kita tadi, aku merasa tidak lebih dari melaksanakan tugas dan peran yang seharusnya aku lakukan atas status yang aku sandang. Riska itu sesosok wanita manis yang biasa saja, tergolong kalem, dan membosankan. Tapi entah mengapa aku bisa bertahan selama ini bersamanya dengan berbagai krisis yang sudah membuatku muak sampai mati rasa. Mungkin aku terlalu pemalas untuk memanfaatkan wajah tampan, pembawaan menarik dan kecerdasan yang aku punya. Lima menit lagi setengah sembilan malam dan pintu warnet terbuka oleh dua orang pelanggan. Wanita cantik yang waktu itu bersama seorang lelaki yang aku rasa pacarnya. Sepertinya ada sedikit kecewa mengetuk-ngetuk hatiku dari dalam.

"Silakan. Maaf, tinggal yang smoking."


*****


Pukul 19.25. Aku makan malam bersama Tedi setelah hari yang panjang dan melelahkan di kantor. Seharian aku bekerja, yang lebih tepatnya belajar, dan seharian  juga aku tak tahu apa yang Tedi lakukan selain kuliah jam setengah 10 pagi sampai jam setengah empat sore dengan waktu istirahat siang jam 12 sampai jam satu. Aku memang jarang mencari tahu tentang kegiatannya jika memang bukan dia sendiri yang menceritakan. Aku lebih memilih tidak peduli daripada menuruti atau bahkan memaksakan keingintahuanku yang mungkin saja akan membuat ia lama kelamaan lelah mengahadapinya. Aku memilih diam daripada meributkan ketakutanku jika ia mengkhianatiku lalu membuatnya muak dan pada akhirnya sama saja meninggalkanku. Tedi itu pacarku. Kekasih yang sudah sekitar dua tahun menemaniku, meski entahlah, aku rasa ada yang salah dengan hubungan kita. Hubungan yang pada awalnya sama dengan sepasang-sepasang orang lainnya, sama-sama berada dalam tahap kebahagiaan diolok cinta, namun kemudian berubah mengikuti sebuah pepatah yang berkata bahwa satu-satunya hal yang pasti dan tetap adalah perubahan. Pukul setengah sembilan kurang lima menit kita sampai di warnet setelah makan malam karena Tedi ingin mengunduh sesuatu dari email-nya. Mataku lalu menemukan penjaga warnet tampan itu lagi. Kali ini matanya menatapku lama dan tajam. Ada rasa penasaran bercampur kesal tersorot dari sana.

"Iya, Mas. Ga apa-apa."

_________________________________________________________________


Pukul 23.10. Aku masih di depan layar monitor PC di warnet yang hampir setiap malam aku datangi, dan lebih tepatnya tunggui. Sudah beberapa bulan terakhir aku bertahan dengan shift malam. Sesungguhnya aku memang menikmatinya dan belum ingin bertukar shift demi membantu diriku sendiri menangani insomniaku. Malam ini udara agak lain dari biasanya. Sepertinya suhu turun beberapa derajat pertanda hujan deras akan segera turun. Tak apalah, kota ini sudah terlalu panas akhir-akhir ini dan masih lama waktu sebelum shift-ku habis jam 3 pagi, jadi tak masalah. Satu-satunya masalah adalah aku baru saja putus dengan Riska kemarin malam. Sesungguhnya aku bahkan tak benar-benar yakin itu adalah masalah untukku karena rasanya tak ada yang berubah, mulai dari keadaan fisik, mental atau bahkan hatiku. Tepat jam setengah 12 hujan turun dengan deras. Bersamaan dengan itu wanita cantik pelangganku tiba membuka pintu warnet. Tubuhnya sedikit basah. Tapi matanya sembab luar biasa. Ia langsung mengambil nomor dan pergi ke biliknya tanpa aku sempat mengatakan apapun.

"....."


*****


Pukul 22.30. Sudah hampir setengah jam aku berkutat dengan perkelahianku dengan Tedi. Dia terbukti selingkuh. Entah apa yang aku ributkan dengannya sampai seluruh air mataku harus terbuang. Sejak lama aku hanya punya dua pilihan, dia mengkhianatiku karena aku tak begitu memperhatikannya atau dia meninggalkanku karena aku teralu mengganggunya dengan perhatianku yang meresahkan. Langit di luar mendung. Tak ada bintang satupun di atas sana. Dan bersama dengan pertengkaran hebat ini, aku semakin merindukan hujan. Aku sadar aku tak perlu menyianyiakan tenagaku sebanyak ini. Ada sesuatu yang harus aku pelajari untuk dilepaskan. Sesuatu yang aku sudah tidak punya kontrol lagi atasnya. Jam setengah 12 setelah beberapa ratus menit yang begitu melelahkan untukku, aku akhirnya pergi meninggalkannya. Aku tak tahu harus ke mana. Di jalan, hujan turun dan aku akhirnya berlabuh di warnet langganan dekat kosku. Ada lelaki tampan penjaga warnet itu lagi. AKu bahkan tak menatapnya, tidak dengan tampilan wajahku yang sedang seperti ini.

"....."

_________________________________________________________________


Pukul 3.00. Aku bersiap untuk pulang. Sejak tadi aku memikirkan apa yang terjadi pada wanita itu. Aku memikirkannya lebih dari aku memikirkan statusku yang baru saja jomblo. Bersamaan dengan aku mengenakan jaketku, wanita itu keluar untuk membayar bill-nya. Dia menatapku sekilas dan tersenyum padaku. Kita lalu keluar pintu warnet itu bersama-sama menuju tempat parkir. Hujan baru saja reda.


*****


Pukul 3.00. Aku sudah cukup tenang. Aku lelah. Mungkin selain pelarian sementara di warnet ini, aku butuh tidur. Tidak, aku tidak apa-apa, aku sudah tenang dan tidak peduli lagi. Aku keluar membayar bill ketika lelaki penjaga warnet itu juga sedang bersiap pulang. Aku tersenyum padanya. Kita lalu keluar pintu warnet itu bersama-sama menuju tempat parkir. Hujan baru saja reda.


*****

"Kamu ga apa-apa pulang jam segini?"
"Hahahahaha... Udah biasa. Lagian kosku deket."
"Di mana?"
"Ini ke utara dikit, terus masuk belok kanan di gapura merah samping warung nasi uduk itu."
"Oooh..."
"Kamu abis shift jam segini?"
"Iya, abisnya jam tiga."
"Kamu udah lama di sini?"
"Lumayan, setahunan. Maklum, mahasiswa mandeg TA."
"Cepetan lulus, masih banyak kemandegan yang menanti di depan."
"Hahahaha... Iya sih, bertahan sama kegalauan level ini lama-lama cuma nunda banyak kegalauan lainnya di masa depan yang bakal tetep terjadi."
"Nah, itu ngerti. Emang kuliah di mana? Angkatan berapa?"
"UGM. Arsitek 2008. Kamu?"
"Psikologi 2008, UGM juga. Tapi udah lulus, udah dibikin bingung sama kesulitan-kesulitan hidup lanjutan."
"Hahahahaha..."
"Hahahahaha..."
"Eh abis ujan nih, kamu ga bawa jaket apa?"
"Ga. Udah, ga apa-apa. Deket ini kok. Tadi buru-buru."
"Yakin ga kenapa-kenapa?"
"Iya, ga."
"Bukan dinginnya, kamunya."
"Hahahahaha... Dipaksain aja biar ga kenapa-kenapa."
"Yaudah, hati-hati ya. Eh, aku Nino."
"Aku Tisa."
"Sampai ketemu lagi."
"Iya, makasih ya."


*****

Ada sesuatu yang baru saja aku mulai di dini hari ini.

_________________________________________________________________

Jumat, 26 Oktober 2012

Nafas dan Aroma Tengkukmu

Nafasku bergantung pada keberadaanmu.

Aku hanya mampu menghela udara berisi senyawa aroma yang keluar dari hidungmu, bibirmu dan tengkukmu.

Maka demi bertahan hidup, aku akan sekedar mendatangimu untuk menciumi bantal yang kautiduri setiap malam.

Atau aku akan mati selagi merindukanmu.

Kamis, 18 Oktober 2012


I know I was happy once or twice
I know the feeling when life was a joke
I know I've got a few best man

Tabungan Waktu Semesta




"Lo di mana?"
"Bentar. Lagi di luar."
"Buruan balik! Gue mau ke tempat lo."
"Ke kontrakan Tito aja sekarang. Bentar lagi gue kelar langsung ke sana."
"Buruan!"

Aku segera mengganti celana pendekku dengan jeans biru tua, mengenakan jaket abu-abu super besar milik salah satu teman dekatku yang aku pindahtangankan secara sepihak, menggulung-gulung rambutku dan mengikatnya seadanya, mengambil sepatu, helm dan kunci motor dan segera melaju ke kontrakan Tito yang tidak begitu jauh dari kosanku. Aku segera melaju tanpa polesan lipstik tipis atau bahkan sekedar lipbalm, tanpa sapuan halus eye shadow dan segaris eye liner yang biasanya melengkung tajam di kelopak mata dan dengan kaos putih over-sized oleh-oleh temanku dari Jepang yang biasa kupakai tidur. Mataku merah dan sembab luar biasa. Sisa sapuan eye shadow dan eye liner sebelumnya masih tiga perempat terhapus dari kelopak mataku dan meninggalkan bekas-bekas hitam halus di sekitar mata. Tubuhku lelah. Aku hanya berharap aku masih mampu mempertahankan keseimbangan sepeda motor yang kukendarai sampai di kontarakan Tito.

Rumah sederhana yang berantakan selayaknya karakteristik hunian para lelaki itu kosong. Entah kemana kelima penghuni rumah dalam satu waktu yang sama seperti ini. Aku mengambil kunci yang biasa disisipkan Tito di tumpukan perabot tak terpakai di sekitar pintu depan. Aku langsung menuju ke kamar Tito, mematikan lampu kamarnya, menyalakan laptop dan speaker-nya, memutar sejumlah lagu dalam sebuah playlist dan merebahkan diriku dengan keras di atas kasur. Mungkin lebih sesuai disebut membanting diriku di atas kasur. Aku terlentang menatap langit-langit kamar dan mulai menangis lagi. Aku haus. Tapi kemudian aku lebih memilih untuk menelan air mata yang mengucur mencapai bibirku dibandingkan harus bangkit ke dapur dan mengambil segelas air.

Jarum pendek jam sebentar lagi sejajar angka satu. Hampir setengah jam di sana dan aku hanya dikelilingi oleh gelap, lusinan lagu patah hati dan air mata. Aku lalu mendengar suara pintu depan dibuka. Aku memang tidak menguncinya lagi setelah masuk. Itu Doni.

"Kenapa lo, hah? Ganggu gue kencan aja."
"Ya ya ya..."
"Dih. Ga percaya lo?"
"Iyalah. Lo kan alergi cewe. Udah mulai gatel-gatel belom nih?"
"Hahahahahaha..."

Tawa itu benar-benar tidak kugubris. Aku langsung menuju pada pokok pebicaraan utama yang membuatku begitu membutuhkan sedikit saja bagian punggung Doni untuk menjagaku dari kejatuhan, seperti biasa.

"Bener Reza selingkuh."

Pernyataanku itu tak juga menghentikan tawanya. Ia malah tertawa semakin keras.

"HAHAHAHAHAHAHA..."
"Don!"
"...iya, iya maafin gue. Lagian, dari lo baru memulai hubungan sama dia udah kita bilang apa. Harus gue ulang-ulang lagi? Lo jawab iya juga males gue. Bosen ngomong ke lo."
"Terus gue harus gimana?"
"You tell me."
"Lepas dari dia?"
"Nah, gitu aja repot lo. Gausah kayak orang susah gitu deh."

Demikianlah aku tiba-tiba sudah untuk kesekian kalinya telah berada di dalam rangkulan paling kokoh yang pernah aku miliki untuk melindungiku. Demikianlah aku untuk pertama kalinya melepas sesosok laki-laki yang telah menjabat sebagai kekasihku selama hampir dua tahun, setelah lebih dari setahun hanya bergelut dengan emosi yang meletup dan hati yang patah lalu diperbaiki kemudian patah lagi dan terus-menerus seperti itu. Demikianlah aku membicarakan sakit hatiku yang mungkin sudah mencapai keseratus kali lebih. Demikianlah aku mulai menarik segaris awal sketsa trauma dan dendam yang dapat terkuak kapanpun tanpa aku mampu mengatasi atau lebih baik lagi mencegahnya.

.....


"PING!!!"
"PING!!!"
"PING!!!"
"Kita mau ke pantai. Siap-siap sekarang. Ini kita udah mau keluar, ke kosan lo nih, jemput lo."
"PING!!!"
"PING!!!"
"PING!!!"

Aku terbangun dengan mata yang teramat sangat berat karena serangan PING!!! BBM barusan. Sebelum tidur tadi aku menangis sejadi-jadinya dan sekarang bagian sekitar mataku tarasa menggemuk tiga kali lipat dari ukuran biasanya. Sebelum tidur yang tidak sampai dua jam itu aku bertemu Reza dan memulai peperangan besar. Aku sebut memulai karena memang tidak ada yang selesai dibereskan bahkan setelah dia beranjak pulang dan aku beranjak kembali ke persembunyianku di balik selimut. Beberapa bercak warna kebiruan tampak di tangan dan kakiku. Itu adalah memar yang mungkin merupakan hasil dari bagaimana aku dengan tanpa sadar mencelakai diriku sendiri selama peperangan itu berlangsung. Terkadang itulah yang terjadi ketika luka-luka yang masih basah di dalam hati mulai bersuara dan menguasai kewarasan yang kumiliki.

Waktu sudah menunjukkan pukul 12 malam lewat. Aku segera mengganti baju seadanya dan memasukkan beberapa potong pakaian ke dalam tas. Bom PING!!! kembali muncul di layar smartphone-ku, tandanya mereka sudah di depan kosku. Aku berlari menuruni tangga, keluar pintu depan, masuk mobil dan langsung mengambil tempat di samping Doni serta menyandarkan kepalaku lunglai di bahunya. Sepanjang perjalanan ke luar kota untuk mengejar matahari terbit yang lebih terang dan diiringi bisikan ombak itu aku tak banyak berbicara meski teman-temanku tak hentinya bercanda dan membuat kegaduhan. Aku masih sangat lelah. Mataku masih sangat perih. Kepala beratku tak lagi kupindahkan dari bahu Doni. Aku hanya sesekali menyunggingkan senyum menanggapi candaan-candaan mereka tentang hal apa saja. Tak banyak yang kuperhatikan selama di perjalanan kecuali pohon-pohon rindang yang mendominasi pinggiran jalan yang kita lewati dan mata Doni yang sesekali tertangkap sedang memandangi wajahku dalam dan heran serta mungkin sedikit kecewa.

Angin kencang khas tepian pantai langsung menerpa wajah kita sesampainya di sana. Seluruh penumpang mobil langsung berhamburan ke luar mobil kegirangan dan segera berjalan menuju tepi pantai. Doni masih berjalan di sisiku sambil membawa alas duduk yang akan digerai di dekat garis pantai.

"Lo abis ketemu Reza kan?"

Aku tidak menjawab. Aku hanya menunduk semakin rendah menghindari tatapan mata Doni yang entah sedang tajam atau teduh, aku sedang tak mau tahu. Sayangnya, Doni langsung merangkulku.

"...iya."
"Ya udahlah. Gue cuma harap lo bisa berhenti nyiksa diri lo sendiri"
"Gue ga tau. Gue ngerasa marah dan benci banget sama dia. Gue ngerasa harus negeledakin semua itu."
"Lo tau gue juga pernah begitu marah sama orang."
"Gue ngerasa pengen nyiksa dia sampe gue puas."

Air mataku menggantung lagi. Setengah mati ia berusaha mempertahankan diri agar tidak jatuh mengalir. Mataku sudah terlalu lelah malam ini.

"Gue ga suruh lo ilang dari dia. Gue cuma minta lo ga perlu nyiksa diri lo dengan emosi-emosi itu lagi."
"..."
"Semuanya ada di dalam diri lo. Di dalam. Handle that! Lo ga ketemu dia pun kalo diri lo belom ngeberesin isinya sendiri, lo akan selamanya gagal."
"Lo tau gue nyoba."

Hamparan semesta maha agung sudah terpapar di hadapanku. Di pantai, aku rasa langit malam selalu lebih pekat. Bintang-bintang semakin kontras bersinar. Jumlahnya seakan menjadi ribuan kali lipat lebih banyak bertaburan di atas sana. Aku rasa jumlah bintang selalu berbanding lurus dengan tingkat jatuh cinta yang dirasakan orang yang melihatnya. Gulungan ombak yang menyapu bibir garis batas pantai pun tidak mau kalah mempertunjukkan keindahannya. Nyanyian ombak terbang mengisi setiap partikel di udara.

Aku terus menatap ke atas, memandang langit yang aku sendiri tak pernah temukan seindah ini. Bintang yang berserakan seperti pasir di tepian pantai yang direfleksikan ke atas kepala seakan turun menjadi hujan kristal jika lama dipandang. Mungkin itu hanya karena aku tak pernah sejatuhcinta ini. Ya, kepada Doni. Satu-satunya orang yang aku harap bisa selamanya menyelamatkanku dari apapun yang menjahatiku, bahkan jika itu adalah diriku sendiri.

Aku menatapnya yang sedang ikut bernyanyi dengan teman-teman lainnya di sampingku. Cukup lama, sampai akhirnya dia menatapku balik. Tak ada kata yang terucap karena memang seharusnya tidak ada. Namun dalam tatapan itu kita selalu mampu bebicara. Aku percaya dia membaca tulisan di mataku bahwa aku mencintainya. Dia lalu meneggenggam tanganku.

"Mungkin aku memang sebaiknya menunggu sampai lukamu kering terlebih dahulu."

Itulah yang kubaca ada di matanya.

.....


Sudah hampir tiga kali aku dan Doni berputar-putar keliling kota sekedar untuk memutuskan di mana kita akan makan malam. Tak banyak yang terjadi di atas motor itu selain tawa, tawa dan lagi-lagi tawa. Sebuah angkringan di dekat stasiun kereta akhirnya membuat kita berlabuh untuk mengisi perut. Tak banyak pengunjung di sana ketika kita masuk.

"Gue seneng."
"Gue juga."
"Maksud gue, udah berapa lama lo ga bermasalah sama Reza lagi? Ga pernah ngomongin dia lagi."
"Hahahaha... Lo seneng ga gue rusuhin lagi dengan muka sembab busuk gue tengah malem?"
"Ya, semacam itu. Tapi selain daripada itu.....ya pokoknya gue seneng."

Aku hanya tersenyum. Ada yang aneh dari sorot mata yang kita tukar sepersekian detik tadi di ujung percakapan. Ada pesan yang tidak menyenangkan bagiku dan baginya.

"Eh, emang lo udah berapa lama ga ketemu Reza?"
"Eh...hmmm..."

Aku terdiam sekali lagi. Aku baru saja menguras emosiku lagi habis-habisan tadi malam. Doni juga terdiam lama. Tak ada yang mampu kita ucapkan lagi bagi satu sama lain. Dan kembali, sorot mata kita selalu mampu berkomunikasi dengan lebih baik.

"Beberapa luka tidak pernah sembuh, hanya saja berhenti dibicarakan," batinku.
"Kalau begitu aku mungkin harus memperpanjang kontrakku untuk menunggu," balasnya.

.....

So don't go away, say what you say, say that you'll stay forever and a day in the time of my life, 'cause I need more time, 'cause I need more time just to make things right...
(Don't Go Away - Oasis)

Semoga tabungan waktu semesta cukup untuk itu dan kita tidak direnggut keadaan sebelum luka-luka yang ada sempat kering.

.....

Rabu, 17 Oktober 2012

Surat No. 17

Selamat malam.
Bersama sapa ini aku sampaikan pucuk kesekian dari surat-surat yang tak pernah aku kirimkan kepadamu.
Bersama malam ini aku berharap dapat mengingatkanmu tentang bintang-bintang paling terang yang pernah kita tonton bersama di teater tepian pantai.
Bagaimana keadaanmu?
Sudah seharusnya lebih baik dari keadaanku karena kamu biasanya selalu mampu menyelamatkanku dari monster-monster persoalan yang menggerogoti keadaan baikku hanya dengan satu kalimat singkat.
Semalam aku memimpikanmu. Lagi.
Di dalam mimpi itu, kamu akhirnya menyisipkan sepenggal pesan untukku setelah diam yang kita lakoni sekian lama.
Pesan itu singkat. Sesingkat waktu yang kita miliki untuk menyanyikan lagu harapan tentang rasa yang kita endap.
Pesan itu singkat. Sesingkat usaha kita mempersiapkan hati masing-masing untuk menyambut hati satu sama lain sebelum akhirnya perkara lain datang lebih cepat dan mengambil kebersamaan kita bahkan sebelum kita sempat menyicipinya.
Pesan itu singkat. Sesingkat suratku kali ini.
Pesan itu adalah jawaban yang aku dan kamu sama-sama tak menginginkannya; "Berhentilah mencintaiku."
Maka demikianlah aku berusaha berhenti mencintaimu dan berjuang agar tidak akhirnya malah memulai untuk sangat mencintaimu.

Selasa, 09 Oktober 2012

ketika aku dan kamu tak lagi kita

Suatu saat nanti, ketika hidup tak lagi adalah tentang apa dan bagaimana kau melontarkan lelucon, waktu tak lagi sepenuhnya berada di dalam remasan tanganmu, tidur tak lagi serumit mimpi yang kaususun dan siapkan untuk ditemui, idealisme tak lagi utuh termakan realita, malam tak lagi lapang untuk kaunikmati sampai fajar menjelang, tawa tak lagi bisa kaupilih untuk disuarakan sesuka hati, bintang tak lagi tumpah ruah dan jatuh sebagai hujan, serta kebersamaan sekedar menjadi bahan untuk bertahan hidup...

...Kau akan terus merindukanku sebagai tubuh yang pernah mendampingimu melewati suatu masa indah dengan hidup yang penuh lelucon, waktu yang sepenuhnya kita taklukan dengan ujung-ujung jari, tidur yang selalu panjang dan nyenyak setelah lelah memilah mimpi yang ingin kita temui, idealisme yang kita bentuk setinggi langit, malam yang setiap hari secara terjaga kita nikmati, tawa yang mampu terlepas terbang ke atmosfir setiap saat, bintang yang kita kejar sampai ke tepian suara ombak, serta kebersamaan yang kita telan demi kebutuhan batin.

.....


Karena aku juga melakukan hal yang sama. Merindukanmu beserta meja kayu biasa pada suatu malam biasa dengan cangkir-cangkir bekas kopi yang biasa, asbak yang hampir muntah seperti biasa, dan rokok-rokok yang tak sengaja menjadi tidak biasa.

Merindukan.....kita.



Sabtu, 06 Oktober 2012

Adalah Waktu

Adalah waktu yang akan mengganti arah. Berputar ke arah sebaliknya setelah bosan berdetak ke arah yang terus-menerus sama. Berputar ke belakang dan melaju secara terbalik; kanan ke kiri.

Adalah waktu yang akan mengganti arah. Menyuguhkan keadaan dan perkara lainnya yang tetap sama. Menyuguhkan refleksi sekumpulan keadaan yang sama persis dalam dua dimensi masa yang berbeda; masa lalu dan masa kini.

Adalah waktu yang akan mengganti arah. Dengan poros yang masih sama dan tak bergeser sedikitpun. Dengan melewati urutan angka yang masih sama persis beserta pelaku utama yang tak berubah; kamu dan aku.

.....

Jika aku adalah 9, kamu adalah 3 dan cerita tentang kita adalah sebingkai jam dinding, berjanjilah padaku untuk tak bertukar tempat. Kemudian berjanjilah padaku untuk mematahkan jarum jam jika ia mulai berganti arah untuk melewati kita secara terbalik atas nama pembalasan; karma.



Kamis, 27 September 2012

yang kamu lewatkan


kamu suka menunggu pagi bukan?

kamu suka menyaksikan sendiri dengan mata kepalamu matahari dari timur merangkak naik ke singgasana langit.
kamu suka merasakan sendiri dengan pori-pori tubuhmu udara menghangat sehingga kau bisa melepaskan selimutmu.
kamu suka mendengar sendiri dengan daun telingamu jam alarm mulai bersahutan dan toa masjid mengajak bersujud.

mengapa malam ini kamu tertidur?

kamu melewatkan bagaimana cahaya menyilaukan di mataku yang menyorotkan cinta terbit.
kamu melewatkan bagaimana hembusan nafasku yang rindu membelai sekujur permukaan kulitmu.
kamu melewatkan suara lirih yang kubisikkan padamu tentang rasa yang meronta keluar.

.....

kamu akan membiarkanku terjaga seraya terpaku memandangimu yang sedang tenggelam dalam gelombang theta otakmu.
lalu ketika kamu terbangun, aku telah beranjak menjauh dan membiarkanmu sendirian menunggu pagi berikutnya yang mendung dan senyap.
pagi berikutnya tanpa ada matahari yang merangkak naik, udara yang menghangat dan suara-suara riuh pengingat waktu.

Selasa, 25 September 2012

Maukah Kamu?

Adakah tempat lain yang bisa kita huni selain di dalam hatiku, pikiranmu dan tulisan ini?

Maukah kamu berusaha menemukan tempat itu demi mimpiku, perasaanmu atau kita?

Rabu, 19 September 2012

Dua Bingkai Kaca

Kau bersusah-payah menumpu energi besar di tempurung lututmu,
menjaga telapak kakimu agar tak melangkah ke arahku.

Kau bersusah-payah menampung panas suhu tubuh di sudut sikumu,
menghalangi jari-jarimu agar tak menggapai genggaman tanganku dengan hangat.

Kau bersusah-payah menebalkan dinding jantungmu,
melindungi detakmu yang menguat tanpa terkendali agar tak terasa oleh dadaku.

Kau bersusah-payah menciptakan asap tebal dengan rokokmu,
menghadang aroma tubuhku agar tak terhirup hidungmu dan terekam sempurna di kepalamu.

Kau bersusah-payah membasahi segenap lekuk bibirmu,
menyibukkannya agar tak sempat menyunggingkan senyum yang akan membius sadarku.

"Kau selalu menggantung di sudut mataku, tapi kau takkan mampu masuk dan menyelam ke dalamnya." Katamu.

"Kau mengatasnamai sebentuk tatap di dalam mataku, tapi kau takkan mampu mendapatinya." Sambungmu.

Kau bersusah-payah mempertahankan selaksa binar di balik kacamatamu,
membentengi sorotnya agar tak tertangkap olehku sebagai cinta.


Selasa, 11 September 2012

Menyeduh Dua Cangkir Kopi




Dulu, aku hanya butuh dua cangkir kopi diseduh untuk menemani kita menjemput pagi.

.....


Pada malam yang semakin larut, kita menyerahkan diri untuk bersandar di sebuah sofa panjang di ruang tengah rumahku. Ruang tengah mungil di dalam sebuah rumah yang juga mungil, namun dengan sofa besar dan panjang yang selalu mampu membuat kita tenggelam ke dalam kenyamanan. Di depan sofa abu-abu itu, ada sebuah karpet yang sering kamu duduki agar lebih dekat dengan asbak rokok. Di depannya lagi ada sebuah televisi yang lebih sering menonton kita berbagi cerita sampai matahari pagi menjelang mengusir makhluk-makhluk halus penghuni rumah yang mungkin saja ikut mengintip.

Kamu keluar dari dapur, membawa secangkir kopi hitam yang tampaknya malam ini lebih kental dari biasanya. Kesepuluh jarimu membentuk formasi lingkaran sempurna mengelilingi cangkir, menyalurkan kehangatan dari seduhan kopi menuju tubuhmu yang mungkin sedang membeku. Kamu terus meniup-niup permukaan cangkir, memudahkan proses penguapan aroma yang sengaja ingin kamu hirup dalam-dalam wanginya. Kamu lalu bersandar lega di atas sofa, di sampingku yang sudah lebih dulu menyeduh kopi dan duduk memberikan pandangan kosong pada televisi di depanku, lalu meletakkan cangkir kopimu di dekat asbak di atas karpet.

"Tadi Rara sms aku."
"Bilang apa?"
"Minta maaf panjang lebar terus ngajak ketemu."
"Terus gimana ketemuannya?"
"Aku ga ketemu dia. Aku bilang ada bimbingan di rumah pak Doni."
"Oooh."
"..."
"Gimana perasaan kamu?"
"Hahahahahaha..."
"Kenapa ketawa?"
"Kamu selalu tahu pertanyaan-pertanyaan tepat yang membuat orang bisa bercerita dengan lepas. Paling ga ya... Aku."
"Hahahahaha... Ya, lalu bagaimana perasaanmu?"
"Marah. Rasa keselnya muncul lagi. Tapi ya mau bagaimana? Aku bahkan udah ga punya hak buat marah-marah dan menuntut pertanggung jawaban dia atas sakit hatiku kan?"
"Ya sudah. Lupain aja lagi. Seperti biasa."
"Memang begitu."

Aroma kopi panas dari dua buah cangkir hitam polos yang baru saja diseduh dan bahkan belum sempat diminum lebih dari dua teguk sudah mampu membuat kita yang menghirupnya merajut sehelai cerita pertama. Malam akan menjadi panjang, lagi dan lagi. Waktu akan menyerah dari pelariannya, beristirahat mengambil napas sambil berjalan pelan dan membiarkan dua orang sahabat berbagi cerita lebih lama dari yang seharusnya. Akan ada banyak cerita yang meluap malam ini, lagi dan lagi. Gudang kata dalam diri masing-masing kita akan membukakan pintunya dan melepas isinya menuju telinga sampai ruangan gudang itu kosong.

Kamu selalu datang ke rumahku, setiap saat kamu butuh atau aku butuh. Entah apa wujud kebutuhan itu. Kebutuhan akan teman untuk menyediakan kebersamaankah, kebutuhan akan bahu yang bersedia disandarkankah, kebutuhan akan telinga yang mampu menampung kisah-kisah membosankan dan menyakitkan dengan tetap membekap egois mulutkah, atau sekedar kebutuhan akan dua cangkir kopi panas yang kita seduh sendiri-sendiri untuk menemani masing-masing jiwa yang kedinginan sampai matahari lahir esok hari? Kita hanya tahu bahwa seperti inilah kita menggapai cita akan kenyamanan dan kedamaian.

Seperti inilah kita selalu mampu membunuh waktu. Menikamnya dalam-dalam agar tak lagi menghalangi kebersamaan yang begitu kita nikmati. Seperti inilah kita selalu mampu menerbangkan kisah. Menyelipkan sayap di punggung setiap cerita agar mereka berputar di langit-langit ruang tengah ini, mengisi setiap jeda udara yang kita hirup. Kita adalah perenung-perenung yang banyak bicara. Kita selalu diam dan merenungi setiap jengkal kejadian yang kita alami dan bahkan mendramatisirnya. Lalu kita akan berbicara begitu banyak ketika dunia hanya diisi dua manusia yang sibuk menghirup aroma kopi di sebuah sofa abu-abu.

Kamu suka berbicara tentang ibumu yang kesepian setelah ayah yang sedari kecil kamu jadikan panutan pergi seenaknya meninggalkanmu demi sesosok wanita yang lebih semok dari ibumu. Kamu suka berbicara tentang dendam yang tak pernah mampu kamu bakar habis dan hanya berakhir terselip di sela ruang hati karena kejatuhanmu yang pernah disebabkan oleh seorang kekasih yang begitu kamu cintai. Kamu suka berbicara tentang cita-citamu yang selalu menghadirkan kerusuhan antara apa yang senang kamu lakukan dan apa yang kata orang harus kamu lakukan. Aku suka berbicara tentang keluargaku yang tak habis-habisnya berpindah tempat tinggal dan bagaimana aku mendambakan sebuah kampung untukku pulang. Aku suka berbicara tentang lelaki yang tak habis kutumpahi dayaku sampai hampir kosong dan lalu menyerah, namun selalu kembali untuk meminta luka padanya. Aku suka berbicara tentang mimpi-mimpiku yang selalu menjadi kenyataan dalam bentuk yang tidak sempurna.

"Sudah subuh."
"Aku mau ngeluarin sampah ke depan rumah biar diangkut tukang sampah."
"Iya..."

Aku lalu kembali ke ruang tengah setelah membuang sampah dan menemukanmu tertidur di atas karpet dengan gitar yang masih berada di dalam pelukanmu.

.....

Sekarang adalah malam kesekian kita berlari menuju pagi bersama beratus-ratus cerita, berpuluh-puluh batang rokok dan dua gelas kopi yang mengantar. Aku rasa ini sudah malam ke-sekian-ratus kita menjalankan ritual ini. Di dalam ratusan malam yang lenyap ditelan pagi itulah, kita diam-diam menanam benih harapan yang pada akhirnya tumbuh membesar dan memaksa untuk dipetik buahnya. Aku bahkan tak sadar kapan aku mulai senang memperhatikan relief garis yang terbentuk dari bagian depan tengkorakmu, setiap aku mengamati dari samping lekuk wajahmu yang terbaring tenang di atas sofa, karpet atau kasurku.

Di sorot matamu, aku dapati kedalaman perasaanku tenggelam dan tak mampu menyelamatkan diri. Di helai rambutmu, aku dapati lembut belaian mimpi yang kubentuk dengan sempurna menyusurinya. Di lapang bahumu, aku dapati aroma terbaik yang dikeluarkan tubuh manusia mengunciku sampai tak bergerak. Di kedua lenganku, kamu dapati pelukan paling tulus yang selalu berhasil meredam panas di kepalamu. Di basah bibirku, kamu dapati kata-kata yang paling ingin telingamu nikahi. Di sudut senyumanku, kamu dapati tembok empuk untukmu meminta sandaran bagi jiwa lelahmu.

"Besok papa sama mama sampai. Mau ikut jemput?"
"Ga ah. Igo di mana?"
"Ada, dia ikut jemput juga."
"Oh. Lamarannya lusa kan?"
"Iya..."
"Akhirnya kamu behenti jadi pacar tukang nangisnya Igo."
"Ya, mungkin malah jadi istri tukang nangis gara-gara Igo."
"Percaya saja dia memang sudah berubah."

Kamu langsung menarikku masuk ke dalam pelukanmu sambil tersenyum yang kutahu kamu paksakan. Kamu lalu mengusap kepalaku dan mengalirkan hantaran listrik paling kuat yang pernah aku rasakan. Rasanya usapan itu menyetrum langsung di hatiku. Rasanya setruman itu menjalarkan panas di sekujur tubuhku. Rasanya panas itu mendidih di mataku. Rasanya melalui didihan itu kita berbicara.

Air mata tak sanggup lagi aku halangi kejatuhannya. Aku menumpahkan seisi kelenjar di sekitar mata dan kelopak mataku seperti hujan pertama setelah musim kemarau. Aku membasahi dadamu dengan hujan yang pecah setelah sekian lama seakan digantung mendung yang tebal dan angin yang kencang namun tak kunjung turun. Kamu mempererat dekapanmu. Telingaku di dadamu membuatku mendengar langsung detak jantungmu yang mengiramakan kata yang selama ini tak pernah sempat kamu ucapkan. Telingamu di kepalaku membuatmu mendengar langsung serangkaian huruf yang tak pernah mampu kususun rapi dan kukeluarkan dari brankas otakku. Irama jantungmu bersama lirik dari kata di kepalaku ternyata menyanyikan sebuah lagu cinta.

Aku tak pernah paham apa kelemahan dari aroma kopi yang bahkan sebelum diteguk sudah mampu membuat kita menyulam kain panjang cerita tentang apapun. Aku tak pernah mengerti apa kekurangan hangat larutan kaffein yang selalu mampu mencairkan beku yang masing-masing kita miliki. Aku tak pernah mengetahui sudut bagian mana dari gudang kata kita yang  meninggalkan beberapa isinya tersangkut tak keluar meski pintu telah dibuka lebar. Aku tak pernah menyangka kita mampu memendam asa besar yang baru saja mampu kita baca lewat sebentuk komunikasi tak kasat mata.

Dan semuanya telah terlanjur terjadi terlalu jauh untuk kita ubah agar sesuai dengan asa yang kita rajut diam-diam.

.....


Aku duduk di bangku pojok sebuah cafe, memesan secangkir kopi, sendirian menunggu Igo menjemputku. Sore sudah hampir kehilangan cahayanya dan diculik malam. Rintik hujan masih deras di luar sana. Lampu-lampu kendaraan yang mulai dinyalakan di jalan raya membiaskan warna-warni buram di setiap titik-titik air yang menempel terpercik di kaca jendela cafe. Aku meneguk kopi di dalam cangkirku. Hanya sebuah cangkir kopi yang habis terseduh terletak di atas meja. Tidak cukup hangat menjalari lapisan kaca cangkir, juga tidak cukup wangi untuk melayangkan cerita ke seluruh penjuru ruangan. Aku bahkan tak lagi punya cukup kekuatan untuk menyeduh secangkir kopi untukku sendiri.

.....


Sekarang, aku juga butuh kamu lebih dari dua cangkir kopi yang diseduh. Ternyata, dan terlambat.

Kamis, 06 September 2012

sajak-sajak dari malam yang berair

ketika tubuhku sudah sebagian mati terinjak botol kaca yang hampir pecah, akankah kau memungut sebagian yang masih berdetak agar tak sampai berdarah tersayat belingnya?
_____________

cuka yang sedang kumakan ini tak cukup asam untuk menuang perih bagi luka yang sudah lama terbengkalai, jika saja kau masih mampu membiarkanku mengecap manis dari aroma bahumu yang mendekapku.
_____________

bukankah kamu tak pernah membiarkanku mabuk? jangan biarkan aku terlalu banyak meneguk pahit lagu-lagu patah hati yang kau nyanyikan karena isi perutku sedang tak bisa kumuntahkan.
_____________

kamu tahu telingaku tak sanggup. aku terhimpit berat suaramu yang meneriakkan sajak-sajak kehilangan dengan nada-nada minor yang kau hembuskan lirih di tengkuk leherku.
_____________

mataku tak lagi mampu berair. sudah terlalu banyak air yang kutelan malam ini. ada asa kecil agar kau mampu menyeka asa besarku terhadapmu atau jika saja air mata itu akhirnya menyerah jatuh.
_____________

aku butuh tatapan matamu sekarang juga tertembak langsung ke dalam mataku tajam dan dalam, sehingga menarikku dari tatapanku yang akan segera menyandingkan sorotnya di mata orang lain.
_____________

jangan biarkan lengan itu merenggutku yang sedang tak sadarkan diri. aku masih berlari ke arahmu, berharap punggungmu mengisi segenap sadarku bersama sisa tubuhmu yang lain.
_____________

masih bayangmu yang membara, bertransformasi ke dalam asap-asap pekat menjadi dirimu yang sempurna. jangan biarkan terbakar habis menjadi abu yang berserakan di tepi rindu.
_____________

Selasa, 04 September 2012

Rintik Hitam


Sayang,
Dini hari telah menghisap habis sinar merah yang menyala dari dalam diriku.
Di antara bintang dan bulan, aku terhimpit sebagai hitam yang membentang di angkasa.
Bahkan jingga pagi yang menghangat sekarang mampu membakarku sampai hampir menjadi abu.
Tanganku tak lagi cukup panjang untuk menggapaimu.
Kakiku sudah keram untuk berjalan menghampirimu.
Tubuhku terlalu lelah untuk memelukmu.
Andai ada selimut yang bisa kau rapatkan ke tubuhku karena aku telah dilumat malam.
Aku telah dicerna gelap karena asaku padamu yang menajam sepanjang malam.

Sayang,
Awan kelabu yang semakin pekat telah menghapus warna-warni dalam auraku.
Di antara rintik yang menerjang, aku tergeletak di tanah yang basah bermandikan lumpur.
Bahkan air yang tergenang tipis di permukaan bumi sekarang mampu menenggelamkanku.
Ada serpihan hati berserakan yang harus lebih dulu kubersihkan sendirian.
Ada bekas-bekas sayatan pisau yang harus lebih dulu kuobati sendirian.
Ada coretan-coretan yang harus lebih dulu kuwarnai polos sendirian.
Andai ada payung yang bisa kau sediakan sebagai atap untukku atau sekedar pelukan bagi kuyup tubuhku.
Karena dingin ini telah merasuk masuk bersama mimpiku membelai rambutmu.

Senin, 03 September 2012

Catatan (Telapak) Kaki


Rumah ini terlalu besar untuk kita bertiga. Aku kesepian. Entah apa yang kalian berdua rasakan ketika bahkan rumah ini hanya dihuni kalian berdua tanpa diriku. Entah bagaimana sepi yang menyeruak bagi kalian berdua jika bertiga saja aku merasa begitu senyap. Banyak ruang kosong yang pasti sering terlewat bagi kalian untuk sekedar menginjakkan kaki di dalamnya. Di lantai atas cuma ada aku. Jika bukan untuk mencuci dan menjemur pakaian, merawat tanaman di teras atas, menyalakan lampu setiap magrib, dan sesekali duduk mencari angin malam yang damai di beranda atas rumah, kapan lagi kalian ke lantai atas? Kamarku bahkan terlalu besar untukku sendiri. Kita bertiga muat tidur di sini setiap malam tanpa harus merasa sesak sedikitpun.

Dunia kecil milik kita bertiga ini terlalu pribadi untuk dibagi dengan orang-orang baru atau ditinggalkan oleh salah satu di antara kita karena sebuah tuntutan perubahan yang entah apa. Dunia ini ekslusif untuk kita. Dengan siapa lagi aku bermain sejak kecil sampai sekarang jika tidak dengan kalian berdua? Dengan siapa lagi aku bercanda dan tertawa jika tidak bersama kalian? Aku tak punya saudara atau sepupu seusia yang sering bersamaku dan berada di antara kita. Dunia ini hanya milik kita bertiga, diisi dengan segala sesuatu apapun tanpa terlewat yang kita lakukan bertiga. Aku tak akan pernah terbiasa, dan bahkan tak pernah terpikirkan, jika ada orang lain yang memasuki dunia kita, juga tidak jika ada salah satu di antara kita yang berubah berpindah tempat meninggalkan dunia ajaib ciptaan kita.

Tanggung jawab ini terlalu berat untuk kuemban sendiri. Aku tak pernah benar-benar tahu bahwa ada kekurangan menjadi seorang anak tunggal. Setahuku dengan menjadi anak tunggal, aku tinggal bersenang-senang karena semua keinginan yang hampir selalu terpenuhi tanpa syarat bisa kunikmati sendiri tanpa perlu bersaing dengan siapapun. Setahuku, dengan menjadi anak tunggal aku tinggal menjadi ratu yang semua kepentingannya sudah dibereskan oleh kalian berdua. Pada akhirnya aku sampai pada waktu dimana aku sudah harus bergantian mengerjakan tugas dengan kalian. Sekarang sudah harus aku yang memperhatikan kalian. Aku mulai keberatan ketika menyadari bahwa akulah satu-satunya yang kalian miliki dan satu-satunya yang menggenggam kesempatan untuk membahagiakan kalian.

Usiaku ini terlalu muda untuk mengkhawatirkan semuanya seperti ini. Aku tak pernah bermasalah dengan usiaku yang selalu terlalu muda di dalam lingkungan-lingkungan yang aku hadapi. Aku bahkan selalu berprestasi di sekolah meskipun aku yang paling muda. Aku masih terus berhasil sampai aku mengenakan toga yang dengan bangga kalian berdua pajang foto-fotonya di seluruh sudut rumah karena aku mengenakannya tepat waktu, bergelar dengan pujian dan sebagai lulusan termuda. Sekarang aku kebingungan. Apa aku harus menyamai orang lain seusiaku yang masih banyak bersantai dan diurusi oleh kalian? Atau aku sudah harus bertanggung jawab atas diriku sendiri dan bahkan atas kalian berdua? Aku tak pernah tahu untuk menjadi karbitan harus serumit ini.

Doa ini terlalu singkat untuk dapat mengungkapkan seluruh pengharapanku atas kalian. Aku ingin terus menjadi ratu kecil dan mungil yang polos di dalam dunia ajaib milik kita bertiga. Aku ingin berjalan kemanapun dengan selalu memboyong kalian di sisiku. Aku ingin menjadi yang mampu mengaminkan segala keinginan kalian terhadapku tanpa mengurangi sedikitpun impianku. Tapi aku hanya bisa memanjatkan harapan agar kalian selalu sehat dan bahagia, dan semoga bahagia itu juga berasal dari diriku. Aku bukan saja mencintai kalian lebih dari yang kalian tahu. Aku juga ingin melakukan yang terbaik untuk kalian lebih dari yang kalian kira.

Minggu, 02 September 2012

Maaf dan Doa

Ada sepantasnya maaf yang tak kuasa tersampaikan, dituliskan di sepucuk kertas yang terlipat dan tersimpan rapi di ruangan terbawah lemari hati.

Namun ada setulusnya doa yang dihembuskan lirih oleh nafas, ditiupkan ke dalam sebuah botol usang dan dihanyutkan ke lautan angkasa.

Maaf telah meremukkan yang kokoh demi menggenggam yang rapuh, doa terbaik atas segala yang terbaik selalu ada untukmu.

Kamis, 30 Agustus 2012

hujan, fajar, dan surat untuk mimpi


"It goes to show, i hope that you know that you are what my dreams are made of..."
-Sleeping With Sirens

Kamu tahu tidak? Kamu memang adalah sebentuk mimpi yang paling kompleks yang pernah aku ciptakan. Kamu memang adalah sebingkai mimpi yang aku susun dari potongan-potongan harapan, keinginan dan kebutuhan yang dengan sungguh aku miliki.

.....

Sudah semalaman aku duduk di balik jendela kamarku. Langit malam yang gelap semakin hitam karena hujan gerimis yang turun. Dengan begitu aku semakin merindukanmu. Aku melihat penggalan-penggalan gambar kebersamaan kita di hari terakhir sebelum masing-masing dari kita menanggalkan kaki pergi dari kota yang mesra itu. Aku ingat dengan detil raut wajahmu ketika kamu menyandarkan pipimu mesra di bahuku saat kita berbaring di kasur yang sama. Aku ingat dengan detil ritme nafasmu ketika kamu tertidur pulas di sampingku. Aku ingat dengan detil sorot matamu yang jarang terlihat begitu lembut di hari  dimana kamu dengan baik hati meruntuhkan paling tidak setengah tembok dirimu di hadapanku.

Kamu mungkin tahu, sejak dulu, aku selalu tak mampu mendefinisikanmu. Kamu pasti menjadikannya sebuah bahan lelucon kalau aku bilang aku menyukaimu. Kamu pasti tidak tertarik jika aku bilang aku menyayangimu karena kita toh telah bersahabat sekian lama dan sudah pasti saling menyayangi. Kamu pasti belum punya cukup keberanian untuk mempercayaiku kalau aku bilang aku mencintaimu. Tapi yang paling tidak harus kamu dekap dalam otak dan hatimu dengan baik adalah bahwa aku membutuhkanmu, karena itu hal yang paling benar yang aku yakini.

Aku membutuhkanmu. Dini hari ini hujan deras bergantian dengan gerimis halus tak henti-hentinya mengiringi malam dan aku mengerti aku membutuhkanmu untuk memayungiku. Jika kamu juga tak punya payung, aku membutuhkanmu untuk berbasah-kuyup bersamaku dan menggenggam tanganku erat di bawah langit yang sedang muntah-muntah itu. Aku membutuhkanmu untuk menjadi yang benar yang dapat menyudahi semua keputusan-keputusan kecil yang pernah kubuat dan mengarahkanku ke berbagai kesalahan besar. Aku membutuhkanmu untuk menjadi yang tepat yang terkena panah dewi cinta dan menghapus bekas-bekas panah lainnya yang selama ini hanya meleset dan tidak menancap sempurna. Aku membutuhkanmu untuk menjadi yang sederhana dan mengakhiri perkara-perkara berlebihan yang selama ini kulakoni.

Ada sebuah puisi rekayasa yang aku buat karena teringat akan sebuah puisi lawas yang mungkin juga sering kamu dengar ketika pelajaran Bahasa Indonesia dulu di bangku sekolah. Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, seperti puisi yang tak sempat dibacakan awan kepada hujan yang menjadikannya tergenang. Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, seperti nada yang tak sempat dinyanyikan malam kepada fajar yang menjadikannya terang. Kamu ingin tahu kenapa puisi itu berbicara tentang hujan dan subuh? Karena bayanganmu di sisiku tampak begitu jelas ketika hujan turun dan pagi menjelang.

.....

Sudah semalaman aku duduk di balik jendela kamarku. Sebentar lagi matahari akan menampakkan diri meski di balik awan tebal yang semakin berat. Aku selalu merasa kita mulai saling menggenggam tangan satu sama lain ketika senja dan mulai saling memeluk tubuh satu sama lain ketika fajar, dan untuk itu aku mencintaimu sepanjang malam.

.....

Awan pecah lagi, sayang. Dan kamu berhamburan ke mana-mana.



Selasa, 07 Agustus 2012

Kereta Lilin



Aku duduk diam menopang dagu di sebuah kursi deret ketiga lajur bagian kanan di dalam gerbong kelima sebuah kereta. Pandanganku menerawang ke luar jendela menyaksikan gambar-gambar yang diputar dengan kecepatan yang terlalu tinggi yang tak benar-benar kuamati. Pikiranku melayang begitu jauh, lebih jauh dari jarak perjalanan yang telah kutempuh dengan kereta ini.

Sudah semalaman aku duduk di dalam gerbong ini. Sesekali aku berdiri dan menuju ke kamar kecil atau ke bagian sambungan antargerbong, menghisap rokok atau sekedar pindah tempat untuk melamun. Kereta ini akan membawaku menuju Yogyakarta. Kota yang sangat sesak dipenuhi memori-memori tentang tahun-tahun terbaik yang pernah kumiliki ketika aku tinggal dan menempuh pendidikan di sebuah perguruan tinggi di sana. Kota yang telah mempertemukanku dengan saudara-saudara terbaik yang selalu siap menjadi tembok penopang diriku.

Malam ini, genap tiga tahun setelah aku meninggalkan kota ramah itu dan menetap di Jakarta demi pundi-pundi yang harus aku timbun demi seorang wanita hebat yang akan membangun kerajaan kecil bersamaku yang aku sendiri belum tahu siapa dia. Malam ini ulang tahunku. Tiga tahun lalu, ketika aku baru saja menyelesaikan studi yang telah kutempuh selama empat tahun, aku diterima bekerja di sebuah perusahaan yang cukup menjanjikan masa depanku di Jakarta. Tepat saat ulang tahunku juga, aku menumpangi sebuah kereta yang membawaku pergi dari Yogya.

Kereta, Yogya dan ulang tahunku sepertinya sudah menjadi suatu komposisi pas yang harus terus kukonsumsi setiap tahun. Ada satu lagi kehilangan, kepergian atau sekedar perubahan, entah apalah hal itu biasa disebut, yang juga kualami yang berkaitan dengan tiga komposisi di atas. Satu-satunya wanita yang masih menguasai hatiku sejak sekitar sembilan tahun yang lalu resmi meninggalkanku ketika berada di dalam kereta setelah liburannya di Yogya. Dia resmi melepas pelukannya dari tubuhku dan berlabuh ke dalam pelukan lelaki lain tepat saat ulang tahunku.

.....

Pikiranku terus terbang jauh sampai akhirnya tiba pada sebuah masa. Pada sebuah waktu yang terisi akan sebuah kejadian yang terus kuingat dengan detil. Aku sampai pada hidupku enam tahun yang lalu. Ketika itu aku telah memasuki tahun ketiga hubunganku dengan Hesti. Saat itu masih tahun pertama aku menetap di Yogya sebagai mahasiswa, yang berarti aku telah menjalin hubungan dengannya sejak masih duduk di bangku sekolah menengah atas di Bekasi.

Hesti adalah salah satu siswi populer di sekolah yang banyak dikejar oleh laki-laki. Sedangkan aku, seorang siswa biasa dan tidak populer yang terlalu cuek dan tidak peduli pada apa-apa yang terjadi di sekitarnya. Sampai pada suatu hari sahabatku, Vino yang sekelas dengan Hesti, menangkap Hesti yang sedang heboh menceritakan tentang ketertarikannya padaku di hadapan teman-temannya dan kemudian memberitahukannya padaku. Dari situlah aku mulai mengikis ketidakpedulianku dan mendekati Hesti.

Semuanya baik-baik saja aku rasa, sampai pada waktunya, jarak harus memberi sebuah pemberitahuan akan adanya bahaya dalam cerita indah yang telah kita tulis bersama. Aku memutuskan melanjutkan kuliah di Jogja, sedangkan Hesti di Bandung. Memang benar, pada akhirnya cinta saja tidak cukup. Banyak hal lain yang perlu hadir dalam porsinya yang seimbang dan proporsional agar sebuah hubungan dapat berjalan dengan baik.

"Ada kakak angkatanku di kampus yang deketin aku."
"Siapa?"
"Namanya Rino."
"Terus?"
"Dia suka ngajak aku makan di luar atau jalan-jalan nonton gitu tapi aku ga mau terus."
"Udah sejak kapan?"
"Dua mingguan."
"Hmmm..."
"Paling kalo ketemu di kantin aja biasanya terus makan bareng."
"Iya yaudah. Kamu jadi pergi cari buku?"
"Iya nih, Dino udah jemput."
"Yaudah ati-ati ya."
"Iya, aku sayang kamu."
"Aku juga."

Paling tidak dia jujur. Dia selalu jujur, dan untuk itu aku selalu menghargainya dan semakin mencintainya. Percakapan lewat pesan singkat itu berkahir setelah dia pergi dengan Dino, yang aku kenal sebagai teman laki-laki terdekatnya di antara teman-temannya yang lain yang sering bersamanya. Sering aku merasa khawatir. Aku tahu, kadang rasa yang kuat sekalipun dapat dikalahkan oleh kebersamaan yang intens. Dan untuk itu aku sudah kalah dari Rino maupun Dino.

Teori-teoriku tentang hubungan kutemui benar. Belakangan ini hubunganku merenggang dengan Hesti. Banyak pertengkaran-pertengkaran kecil yang lebih sering berakhir besar menemani kita. Dia memang sudah tidak lagi didekati oleh Rino, tapi selalu saja ada hal tidak penting yang bisa menjadi pemicu perang. Aku mulai lelah. Aku tahu dia juga. Dia menjadi lebih fokus dengan teman-temannya. Sampai akhirnya aku memutuskan untuk break demi memberi waktu bagi diri masing-masing agar dapat memperbaiki diri.

Beberapa minggu setelah keputusan untuk mengistirahatkan hati kita ambil, Hesti menghubungiku.

"Aku mau ke Yogya."
"Kapan?"
"Jumat ini. Rame-rame sama temen-temenku."
"Sampai hari apa di sini?"
"Sampai ulang tahun kamu."
"Iya, nanti kalian kujemput ama kucariin penginapan."
"Makasih ya."

Aku tersenyum di dalam hati. Aku pikir Hesti masih sangat mempedulikanku sampai ingin berlibur ke Yogya dan mengambil kesempatan ketika hari ulang tahunku. Ya, hari minggu ini aku ulang tahun dan Hesti, walaupun dengan teman-temannya, akan datang hari jumat. Sekilas aku merasa penasaran akankah ada Dino di antara gerombolan teman-temannya itu. Entah mengapa, kali ini aku merasa tidak suka.

Aku mendapati pikiran-pikiranku yang menyenangkan itu ternyata salah. Aku hanya sempat bertemu dengan Hesti saat menjemput mereka di stasiun dan mengantarkan mereka ke penginapan. Dia terus bersama teman-temannya dan menolak setiap ajakanku untuk bertemu dengan alasan tidak enak hati jika harus memisahkan diri dari teman-temannya. Aku masih tenang dan mengharapkan dia akan meluangkan waktunya pada hari ulang tahunku. Perasaanku sebelumnya bahwa aku senang Hesti datang ke Yogya semakin salah ketika mereka ternyata memutuskan untuk kembali ke Bandung hari minggu, tepat saat ulang tahunku.

Entah apa yang harus aku rasakan dan kupikirkan. Hanya kepasrahan dan kerelaan yang setengah mati aku bentuk yang menyelimuti perasaanku. Dalam perjalanan pulangnya ke Bandung di dalam kereta, Hesti meneleponku.

"Selamat ulang tahun ya."
"Iya, terima kasih."
"Semoga panjang umur dan semakin baik."
"Amin."
"Oh iya, ini Dino mau bicara."

Aku terdiam. Rasanya was-was. Aku menangkap ada hal buruk yang akan terjadi setelah ini.

"Halo."
"Eh iya, halo."
"Dim, ini Dino."
"Iya, No. Gimana?"
"Selamat ulang tahun ya, Dim. Panjang umur sehat selalu."
"Amin. Makasih ya, No."
"Oh iya, gue pengen ngomong jujur sama lo."
"Ngomong jujur? Ada apaan sih?"
"Sebenernya gue deket sama Hesti. Gue tempat dia ngadu semuanya. Masalah dia sama lo, sama cowo lain yang deketin dia, atau masalah sama temennya dan yang lain-lain lah pokoknya."
"Iya, makasih udah ada buat Hesti. Lo kan emang temen deket dia."
"Nah untuk itu gue mau jujur."
"Hm..."
"Kedekatan gue sama Hesti udah mengarah ke hal lain. Gue sayang sama dia bukan cuma sebagai teman dan gue tau dia sayang sama gue..."
"..."
"...dan kita udah jadian."
"....."

Aku hanya diam dan langsung menutup telepon. Belum pernah aku menyaksikan cerita lain yang lebih tragis dengan klimaks cerita sedemikian menyedihkan. Aku tidak bisa memikirkan dan merasakan apa-apa.

.....

Sudah enam tahun sejak satu-satunya wanita yang masih menguasai hatiku sejak sekitar sembilan tahun yang lalu resmi meninggalkanku. Resmi melepas pelukannya dari tubuhku dan berlabuh ke dalam pelukan lelaki lain. Sejak ia meninggalkanku, belum ada perempuan lain yang bisa dengan sempurna duduk di singgasana hatiku. Sisa-sisa tahunku di kampus kuhabiskan dengan menjalin berbagai hubungan singkat dan tidak berkualitas dengan berbagai macam wanita. Setiap saat menjelang ulang tahunku, aku merasa ada kebencian yang menyusupi aliran darahku. Tiga tahun terkahir selama empat tahun aku berkuliah di Yogya, aku begitu membenci hari ulang tahunku.

Kini setelah tiga tahun aku meninggalkan Yogya, aku justru selalu mengambil cuti di hari ulang tahunku. Kalau tidak bisa, aku akan bolos kantor. Hari libur setiap ulang tahunku itu pasti kugunakan untuk menaiki kereta menuju Yogya dan kembali lagi ke Jakarta. Sudah tiga tahun belakangan ini aku sengaja menyeduh kenanganku sendiri di dalam kereta menuju atau dari Yogya, tepat saat hari ulang tahunku. Aku merasa memiliki kebutuhan untuk meneguk kenanganku sendiri sedikit demi sedikit sampai gelas memori itu kosong. Aku suka menyeduh kenanganku itu sampai kental dan pekat.

Tiga tahun belakangan ini aku merayakan ulang tahunku bersama kenangan-kenangan terbaik yang pernah aku miliki, sekaligus bersama kenangan-kenangan paling menyedihkan yang pernah aku alami. Entah kenapa aku sengaja melakukan ritual ini setiap tahun. Aku tahu ini menyikasku, tapi aku juga membutuhkannya untuk menenangkanku dan menghilangkan dahagaku akan sosok Hesti yang telah hilang sekian lama.

Sudah tiga tahun ini aku merayakan ulang tahunku di kereta. Sudah tiga tahun aku menyalakan lilin ulang tahun di dalam kereta. Lilin itu tidak pernah kutiup. Lilin itu berisi kenangan-kenangan yang paling mempengaruhi keseluruhan hidupku. Lilin itu dibuat dari tumpukan momen-momen yang paling berarti di dalam hidupku. Lilin itu kubakar sesaat setelah aku naik di kereta, lalu membiarkannya sampai kereta berhenti di tempat yang kutuju. Lilin itu tidak kutiup, hanya kunikmati aroma api yang membakar kenanganku sampai meleleh habis.

Sayangnya, aku ketergantungan dengan aroma itu.

.....