Kamis, 31 Oktober 2013

Apakah Kita

Bagaimana jika melepaskan bukanlah pilihan?
Apakah kita adalah ketidakmungkinan yang paling diinginkan, atau kemungkinan yang paling tidak diinginkan?
Apakah kita adalah ketiadaan yang paling nyata, atau keberadaan yang paling samar?

Kembali

Kutuk-kutuk menguap
Keluh-keluh menetas
Teriakan merekah
Tuduhan berhamburan

Tangismu tak pernah terdengar
Katanya kau lupa
Bahwa kau telah menyisihkan kalimat-kalimat
Dari lembar-lembar buku pertama
Yang Pemberi Napasmu kenalkan padamu

Bibirmu telah banyak mengelak
Dahimu telah gersang
Jauh dari sepotong kain alas
Yang memberinya subur

Kembalilah
Pada lembar-lembar buku napasmu
Pada sepotong kain kehidupanmu
Dan luruhkan kutuk-keluh-tangismu

Kamis, 24 Oktober 2013

Perjalanan Terjauh Ke Rumah Pertama



Hidup adalah perjalanan. Satu kalimat bijak yang sungguh klasik. Kalimat dengan berbagai makna tersirat di dalamnya. Apalagi bagi orang yang hidup di dalam perjalanan dan melakukan perjalanan untuk hidup seperti aku. Orang-orang sepertiku bahkan merupakan makna tersurat dari kalimat bijak itu.

Seorang supir angkutan antarkota. Itulah profesiku. Profesi yang hampir semua anak kecil tak pernah sebutkan ketika ditanya apa cita-citanya ketika dewasa nanti. Aku mengemudikan alat transportasi dengan roda minimal empat dalam berbagai ukuran. Tergantung tugas yang diberikan kepadaku ketika itu. Tergantung bagaimana keinginan dan pengaturan bos di tempatku bekerja, sebuah perusahaan penyedia jasa angkutan segala rute untuk segala jenis angkutan. Untuk keterangan segala rute itu, sesungguhnya aku tak bisa menyebut diriku sebagai seorang supir angkutan antarkota karena aku biasanya melalui rute antarprovinsi, antarpulau, bahkan sampai mendekati garis-garis batas antarnegara.

Aku mengemudikan mobil box standar travel antardaerah. Aku mengendarai bus besar dengan berpuluh penumpang. Aku mengendarai truk yang memuat entah apa aku tak tahu, karena biasanya aku diberitahu ketika apa yang aku angkut bukanlah hal yang berbahaya, dan tidak diberitahu ketika apa yang aku angkut adalah barang ilegal. "Bawa saja sampai ke tempat tujuan dalam keadaan utuh!" Begitu biasanya bentakan mereka. Dari semua itu, aku paling sering mengemudikan bus dengan rute sampai antarpulau.

Entah di mana titik paling jauh yang pernah aku temui selama bekerja menjadi supir seperti ini. Yang aku ketahui, aku telah sering sekali menyaksikan perjalanan yang lebih jauh dari perjalanan manapun yang bisa kuanggap paling jauh. Perjalanan terjauh seluruh manusia yang hidup di muka bumi. Perjalanan kembali menuju rumah pertama, kembali menuju pelukan Sang Pemilik Hidup.

Kematian sudah bukan merupakan hal luar biasa untuk disaksikan bagi orang sepertiku. Jalan raya yang jahat, jalan setapak yang kejam, lelah yang mengembun di sudut-sudut mata bercampur dengan berbagai pikiran tentang nasib, dan takdir yang tak pernah mampu berkompromi. Belum lagi rindu. Rindu sambutan-sambutan hangat dari tangan-tangan lembut keluarga di rumah yang terlalu sering ditinggalkan, memaksa kami selalu bertindak terburu-buru.

Perjalanan terjauh itu bagi kami adalah tontonan sehari-hari, drama serial berisi ribuan episode yang tak habis diputar setiap hari. Tontonan harian di layar televisi itu pada masa tertentu akan berubah menjadi tontonan layar lebar di bioskop-bioskop atau paling tidak, layar tancap perayaan di perkampungan. Pelakon kisahnya semakin banyak. Ceritanya semakin dramatis. Penontonnya pun semakin ramai.

Masa-masa itu terjadi pada musim mudik raya yang selalu menyertai serangkaian peringatan hari raya. Masa ketika semua orang ingin pulang. Beramai-ramai. Sampai banyak pula di antara mereka yang berpulang ke rumah yang paling jauh. Masih tetap beramai-ramai. Bus terbalik. Mobil terbakar. Motor terhempas jauh. Sekeluarga luka parah; kepala terbentur berurai darah, tangan patah, kaki memar. Seorang ibu terselip kakinya di sela ban dan badan truk. Suaminya meninggal di tempat terlindas kendaraan besar. Anaknya menangis, entah menangisi lukanya yang sakit, atau kehidupannya yang takkan sama lagi. Sopir melarikan diri takut diminta pertanggungjawaban polisi, tapi lebih takut lagi langsung dihakimi warga di tempat. Pecahan kaca bus menembus kulit. Kepala pecah dengan luka sobek besar yang harus dijahit. Semacam itulah keadaan yang sudah lumrah kutonton. Sisanya selain itu, bernasib sama seperti sang ayah yang akhirnya sampai ke rumah segala rumah.

"AWAAAAAAAAAASSS!!!"

Aku sadar dari lamunanku. Teriakan satu penumpang tadi langsung ramai diikuti teriakan penumpang lainnya. Yang tertidur langsung terbangun dan terserang panik, lalu ikut berteriak. Aku membanting setir ke kiri. Sebuah mobil baru saja tiba-tiba muncul di depan bus yang kukemudikan. Ia mencoba menyalip mobil di depannya dan tidak memperhitungkan kemungkinan lewatnya mobil lain di arah sebaliknya, arah di mana busku melaju.

Busku berhenti di luar jalur. Untungnya, di kiri-kanan jalan berjejer hutan-hutan tanpa saluran air di pinggir jalan sekalipun yang akan membuat kendaraanku terperosok masuk. Itupun jika ada, aku akan tetap mensyukurinya dibandingkan keberadaan jurang-jurang yang akan membuat kami tak terselamatkan. Teriakan-teriakan manusia dari dalam bus pun berhenti, digantikan dengan setarik-dua tarik napas panjang yang lalu dihembuskan dengan panjang dan berat pula. Penumpang berhamburan keluar bus. Beberapa di antaranya memaki-maki, sisanya menangis ketakutan. Tapi paling tidak, kami selamat.

Aku mengeluarkan ponsel dari saku celanaku dan mengirim satu pesan singkat kepada istriku.

"Ma, tadi papa hampir kecelakaan. Alhamdulillah aman. Dua jam lagi masuk Ungaran."

Pukul dua lebih empat belas menit. Istri dan kedua anakku pasti sudah tertidur pulas. Sementara perjalananku kali ini masih jauh, belum lagi perjalanan pulang kembali ke Jakarta. Rindu-rindu masih harus ditimbun di bawah bantal dan di jok depan setir bersama ketakutan dan kekhawatiran yang selalu mampu menyelipkan diri.

______________________________________


Pagi masih kanak-kanak. Matahari belum siap mengenakan gaun jingganya. Adzan subuh masih beberapa belas menit lagi. Aku duduk di teras depan rumah kecilku sambil menghisap sebatang rokok setelah menikmati hidangan sahur seadanya. Entah mengapa, perasaanku tak enak. Sudah tiga hari terakhir aku tak bisa tidur. Rasanya ada sebongkah kekhawatiran entah tentang apa yang mengusikku.

Pagi ini, aku, istri dan kedua anakku akan melakukan sebuah perjalanan. Perjalanan pulang ke rumah. Perjalanan raya tahunan dalam serangkaian peringatan hari raya lebaran. Beramai-ramai, seperti ribuan orang lainnya. Keluargaku mendapat potongan setengah harga jalan menggunakan bus yang akan aku kemudikan. Itu sudah batas toleransi serta batas kebaikan hati yang bisa diberikan oleh bosku. Sampai di kampung halaman nanti, akan ada supir lain di kantor cabang daerah rumahku yang menggantikanku menyetir bus yang sama menuju rute lainnya.

Perasaanku masih tidak enak. Perjalanan pulang terasa akan sangat jauh kali ini. Apakah kami akan melakukan perjalanan terjauh kami sekarang? Apakah ini sudah waktunya? Baru dua minggu setelah kejadian terakhir di mana aku hampir mengalami kecelakaan, sementara selama dua minggu itu akupun masih melakukan beberapa perjalanan penuh tontonan drama kematian. Aku masih sangat ketakutan. Ah, sudahlah. Toh tempat hidupku memang adalah di dalam perjalanan, bersama dengan ketakutan dan kekhawatiran. Ini perasaan yang wajar.

Betapapun aku berusaha menenangkan diriku sendiri, aku tetap gagal. Perasaanku sungguh tak enak. Berbagai macam skenario buruk berputar di dalam kepalaku. Bagaimana jika hari ini drama kematian tak lagi kutonton, tapi justru kualami? Namun perjalanan harus tetap dilakukan, meskipun aku sungguh ingin meminta istriku agar kami tak usah pulang ke kampung lebaran kali ini. Ia tak akan menerima keinginanku. Keluarga besar sudah menanti kepulangan kami yang aku tak yakin akan dalam wujud yang diinginkan.

______________________________________


Sekitar empat jam setelah keberangkatan. Kepalaku terbentur hebat. Setelah itu, teriakan yang beberapa detik lalu sungguh memekakkan telinga lenyap seketika. Semuanya sunyi. Sepi. Dan aku tak tahu apa-apa lagi.

______________________________________


Aku terbangun di ruangan dengan bau menyengat yang khas. Aku di rumah sakit. Perban membungkus hampir semua bagian tubuhku. Perih. Sepertinya berbagai macam luka bersatu di tubuh yang sama, bertindih-tindihan. Luka bakar, luka sobek, memar, dan apapun itu. Bermacam-macam selang melilit-lilit tubuhku. Aku semakin tak mampu menggerakkan bagian tubuh manapun kecuali kelopak mataku.

Di sampingku terduduk kakak iparku. Kakak laki-laki dari istriku. Ia kaget melihatku sadarkan diri. Respon pertamanya justru langsung memeluk tubuhku dan membuatnya semakin perih, sambil menangis sejadi-jadinya. Di antara tangis dan gumamannya yang tak jelas itu, sayup-sayup aku mendengar ucapannya yang membuat isi dadaku seakan berurai keluar. Katanya, istri dan anak-anakku tewas dalam kecelakaan bus yang aku kemudikan dua minggu lalu. Selama itu juga aku sudah terkapar tak sadarkan diri di rumah sakit ini. Cuma tiga orang yang selamat dari puluhan orang yang ada di dalam bus itu, termasuk aku. Bus masuk ke jurang. Terbakar. Entahlah. Aku tak mampu lagi mendengar kalimat yang ia ucapkan di antara tangisnya.

Istri dan anak-anakku memang sampai di rumah, namun dalam keadaan yang tak pernah diinginkan oleh keluarga besar kami yang sudah menunggu. Aku menangis sejadi-jadinya. Aku meminta untuk segera keluar dari rumah sakit dan diantar ke pemakaman istri dan anak-anakku, tapi tubuhku sendiri masih tak sanggup kugerakkan.

Hidup memang adalah perjalanan. Orang sepertiku sering dianggap melakukan perjalanan untuk hidup. Namun bagiku, awalnya aku hidup di dalam perjalanan. Lambat laun aku menjadi penonton setia drama perjalanan terjauh orang-orang. Kini, aku justru telah menjadi pengantar orang-orang melakukan perjalanan terjauhnya.

Aku masih menangis sejadi-jadinya. Segagal-gagalnya orang yang melakukan perjalanan adalah yang tak sampai di tempat tujuannya dan tak menemukan makna apapun dari kegagalannya. Namun bagiku, tak ada yang lebih gagal dari seorang pengantar kematian yang bahkan tak bisa mengantar keluarganya sendiri pulang menuju rumah paling jauh; liang sempit di tanah yang basah.

______________________________________


Sirine berbunyi kencang dari atas kepalaku dengan suaranya yang memekakkan, menyanyikan nada-nada yang selalu minor dan membawa duka atau paling tidak kekhawatiran. Di belakangku, air mata, keringat dan ketakutan beberapa orang mengiringi pejam seorang lainnya yang terbaring tak berdaya di depan mereka. Selalu seperti itu. Tak ada yang mampu memastikan apakah setiap perjalanan yang ada akan mengantar pada rumah sakit terdekat atau rumah berpulang terjauh, pada keselamatan dan kelegaan atau pada kehilangan dan kesedihan. Ketika sirine dinyalakan, satu perjalanan dilakukan, sejuta harapan diterbangkan, dan satu kehilangan akan meruntuhkan dan mendiamkan segalanya.

Kini aku benar-benar menjadi pengantar perjalanan orang menuju rumah terjauh mereka. Setelah beberapa saat sepi yang teramat sangat kukecap, kini duniaku ramai sekali. Di atas kepala sirine berbunyi, di belakang orang-orang ribut menangis. Begitu setiap waktu. Dan aku hanya akan mengemudi dengan senyum tersungging di belakang setir. Di dalam sebuah mobil ambulans, perjalanan menjadi benar-benar tak dapat ditebak akhirnya.

Hidup memang adalah perjalanan. Bagiku sekarang, aku masih melakukan perjalanan untuk hidup, menjemput manusia-manusia kritis di sana-sini agar aku bisa mendapat makan. Aku juga masih hidup di dalam perjalanan, menghabiskan sebagian besar waktu di dalam kotak putih bising yang sering sekali membangunkan trauma. Akupun masih menjadi penonton drama kematian, lakon orang-orang yang melakukan perjalanan terjauh ke rumah pertama, bahkan kini lebih sering kutonton, hampir setiap hari. Aku masih seorang supir, namun telah lebih pantas diberi gelar pengantar kematian dibandingkan dulu.

"Jika aku tak bisa mengantar keluargaku dalam perjalanan terjauhnya, aku akan menghabiskan hidupku mengantar semua orang lain." Gumamku.

"Hah? Kenapa, Pak?" Salah seorang keluarga korban kecelakaan yang duduk di sampingku menyahut mendengar gumamanku.

"Ah, tidak apa-apa." Lalu aku tersenyum lagi.

Seorang wanita paruh baya yang sedari tadi menangis di belakang, di samping anaknya yang terkapar bermandikan darah, tiba-tiba berteriak semakin kencang, meraung-raung tak terkendali. Anaknya berhenti bernapas. Mobil yang kukemudikan belum sampai di rumah sakit.

Satu lagi perjalanan terjauh yang kuantar. Aku tersenyum.

Selasa, 22 Oktober 2013

Malam Ini Aku Mau Menulis Surat...

Malam ini aku mau menulis surat untuk Ibu dan Bapak.

Malam ini aku mau menulis surat untuk dua pasang mata yang sorotnya hanya cukup untuk menyimpan aku dan rindu untukku.

Malam ini aku mau menulis surat maaf, di waktu lain aku akan menulis lagi surat terima kasih, karena surat untuk mereka hanya bisa berisikan dua ucapan itu.

Malam ini aku mau menulis; Ibu, Bapak, maaf. Ketika aku kini selalu tak punya waktu, kalian selamanya hanya punya aku.