Sabtu, 11 Juli 2015

Mencukupkan Diri

Pada akhirnya berpasangan adalah perkara mencukupkan diri.

Kau bisa hidup untuk dirimu sendiri. Percayalah. Kita ini makhluk egosentris. Kita ini diciptakan lebih dulu sebagai individual, barulah setelah melalui berbagai proses belajar, kita mulai menumbuhkan kebutuhan sosial kita sampai matang, lalu menjadi makhluk sosial dan individual secara bersamaan.

Kita tak terlalu perlu berpasangan. Percayalah, kau tak perlu terlibat di dalam ruang penuh pertimbangan, karena harus menghitung segala sesuatunya untuk dua orang. Kau harus menjaga perasaan dua orang, kau dan pasanganmu. Kau harus menghitung kepantasan dengan proporsional, apakah sesuatu itu pantas bagimu dan bagi pasanganmu. Kau harus bertanggungjawab, atas dirimu dan atas pasanganmu.

Kau tak perlu melakukan itu. Kau bisa bebas. Kau bisa melakukan apa saja sesuka hatimu. Cukup memikirkan dirimu sendiri, cukup berbuat apapun untuk dirimu sendiri. Kau akan baik-baik saja. Kau bisa flirting dengan sebanyak-banyaknya lawan jenis dalam sebanyak-banyaknya waktu. Kau bisa bersama dengan siapa saja di waktu kapan saja. Hidupmu akan baik-baik saja.

Kau bisa menatap wajah pasanganmu dalam-dalam, dan bertanya-tanya, “kenapa harus dia?” Kau tahu yang lebih keren pasti banyak di luar sana. Entah arti keren itu yang pintar, yang tampan, yang artsy, apapun –terserah padamu-, ada banyak di luar sana. Tak akan habis. Lalu kau akan menjawab sendiri, “karena semua ini sudah cukup.”

Kau tak akan pernah bisa memenuhi semua yang kau inginkan. Kesempurnaan itu kau karang di dalam kepalamu dan memang tempatnya hanya di dalam kepalamu. Tidak ada di dunia nyata. Tidak ada yang selamanya akan menye-menye, semua akan mengalami kepudaran interaksi. Tidak ada yang akan selama excited pada apapun tentangmu, semua akan mengalami kepudaran ekspresi.

Kau akan bertanya lagi kepada dirimu sendiri, apa yang sesungguhnya kau butuhkan. Kebutuhan-kebutuhan itu saja yang perlu kau penuhi. Saya butuh teman hidup. Maka saya akan mencukupkan diri saya dengan seorang pasangan yang seperti teman saya. Teman, tapi dengan kualitas paling baik di antara teman-teman saya yang lain. Seseorang yang menemani dan mengimbangi saya ketika saya hanya membaca buku atau menulis dalam diam, berteriak-teriak di gunung, pantai, atau konser, menangis-nangis sesenggukan demi hormon bulanan, atau sekadar mendiskusikan film atau manusia yang sekarang sudah jarang tampak seperti manusia seharusnya. Seseorang yang untuk bercerita saja harus selalu berebutan dengan saya -tak mau kalah-, terus mengomentari apa yang saya lakukan, dan pastinya punya dunia dan hidupnya sendiri yang tak perlu terlalu saya acuhkan sampai kelewat batas. Seperti itulah teman. Itulah yang saya butuhkan.

Pada akhirnya kau mencukupkan diri. Kau cukupi kebebasan dalam hidupmu yang tak elak memang sangat menyenangkan. Kau cukupi keinginanmu yang muluk-muluk, lalu fokus kepada kebutuhanmu. Kau cukupi perjalanan-perjalananmu yang selama ini membuatmu berlari kencang sampai kau sesak napas, lalu memilih berjalan kaki pelan-pelan dan damai agar kau tak melewatkan lagi pemandangan di sekelilingmu.

Begitulah konsep berpasangan. Pada akhirnya kau butuh penakar hidup. Agar kau tak terbang terlalu tinggi. Tidak semua burung cocok berada di semua level ketinggian, dan kau perlu sesuatu untuk menahanmu agar tidak kemudian sesak napas kekurangan oksigen di sela-sela awan dan lalu terkapar gagal menyesuaikan diri dengan tekanan udara yang asing.

Perihal Si Keren dan Si Kotor

Saya pernah me-retweet suatu tweet yang jika diartikan kembali kira-kira berbunyi seperti ini:

“Cuma karena punya vagina, kami harus susah-susah was-was berjalan sendirian di malam hari? Thanks society.”

Rasanya saya ingin me-repost tweet ini setiap bulan. Selain karena saking sukanya saya dengan tweet ini, juga karena saya ingin terus membuat reminder bagi semua orang.

Saya sering sekali merasa terganggu dengan kalimat yang berbunyi, “kamu itu cuma dimanfaatin sama dia!” Kalimat ini jika dipakai untuk mengungkapkan konteks selain seks, bisa dipakai oleh perempuan maupun laki-laki. Konteks harta misalnya. Sang tertuduh yang memanfaatkan bisa saja Si Perempuan ataupun Si Laki-laki. Namun konteks ini jika digunakan dalam konteks seks, sebagian besar tertuduh pastilah laki-laki.

Mengapa harus laki-laki yang memanfaatkan perempuan? Memangnya yang merasa enak hanya si laki-laki sehingga hanya mereka yang mendapatkan manfaat? Jika hubungan seks itu memang dilakukan dengan persetujuan kedua pihak, tidak ada paksaan dan sama-sama mau, coba tanyakan ke perempuan-perempuan itu, apakah mereka juga merasa enak atau tidak. Tempeleng saja sekalian jika mereka menjawab tidak.

Lalu mengapa harus laki-laki yang memanfaatkan perempuan? Kenapa tidak pernah terpikirkan bahwa mungkin justru si perempuan yang sedang memanfaatkan si laki-laki? Jawabannya; konstruk sosial, atau kesadaran kolektif atau apapun orang suka menyebutnya. Konstruk sosial yang sudah terbentuk sejak purba. Bahwa perempuan pasti lebih lemah dari laki-laki. Bahwa di Mesir dulu, laki-lakilah yang menyusun batu sampai jadi Piramida dan perempuan cukup menyiapkan bergalon-galon bir untuk para laki-laki itu. Konstruk nilai yang diamini selama berabad-abad pergantian peradaban manusia. Sampai pada peradaban ini, tidak ada yang akan mempertanyakannya lagi. Pokoknya ya begitu.

Konstruk ini bahkan sebenarnya sudah kurang valid digunakan di masa sekarang. Sudah banyak perempuan yang menjadi kuli, buruh kasar pembangunan. Lagipula tidak ada lagi yang butuh-butuh banget menata batu sampai tinggi untuk punya tempat tinggal. Kami cukup punya uang, lalu beli apartemen. Untuk punya uang kami hanya perlu punya karir sukses. Di titik mana lagi laki-laki dibutuhkan kalau begitu? Tidak punya pasangan selamanya juga hidup mungkin akan baik-baik saja. Kalau butuh kasih sayang, tinggal punya affair di sana-sini tanpa perlu ada attachment berlebihan. Kalau butuh seks, ada di mana-mana.

Saya juga sering sekali merasa terganggu dengan konsep; laki-laki yang pernah ‘mencicipi’ banyak perempuan itu keren, tapi kalau perempuan yang pernah ‘dicicipi’ banyak laki-laki -mengapa harus dalam kata kerja pasif?- itu rendah dan kotor. Kita sama-sama punya organ reproduksi yang hanya saja bentuknya berbeda. Sudah. Selain itu apalagi yang perlu dibedakan? Silakan dibayangkan saja bagaimana laki-laki melakukan hubungan seks dengan banyak perempuan, seperti apa motivasi dan perasaannya di setiap hubungan yang terjadi. Mereka melakukannya mungkin ada yang karena sayang, ada yang karena iseng, ada yang karena khilaf saja. Tidak semuanya berarti dan harus dibaperin. Ya seperti itulah juga kami. Sama saja.

Seks menempati bagian paling dasar dan besar dalam Hirarki Kebutuhan Manusia menurut teori psikologi Maslow. Kebutuhan yang juga ditempatkan di situ adalah kebutuhan kita untuk makan. Begitulah manusia punya insting untuk bertahan hidup; makan dan bereproduksi. Sudah seperti itu kita diciptakan, baik yang perempuan maupun yang laki-laki.

Seks itu sesederhana ‘gue sange ya gue ngewe trus gue seneng ya udah gitu aja’. Itu basic instinct. Tanpa perlu rumit-rumit mencampur adonannya dengan sekian gram nilai-nilai sosial yang berlaku soal mana yang pantas dan mana yang tidak. Soal mana yang lebih pantas dan mana yang kurang pantas.  Soal perempuan tidak pantas begini dan laki-laki bebas begitu.

Kebutuhan ini sudah ditanamkan ke diri kita sejak orok. Bukan hanya orok si laki-laki, tapi juga orok si perempuan. Bukan hanya laki-laki yang boleh terangsang di dunia ini, perempuan juga. Bukan hanya laki-laki yang harus mengontrol perilakunya ketika terangsang, ya perempuan juga. Seharusnya begitu. Jika begitu, tidak harus kami yang was-was berjalan malam-malam sendirian. Tidak juga yang punya penis. Seharusnya kita semua aman dan baik-baik saja. Tidak perlu juga seorang pria bule memungut sembarangan cabe-cabean yang bahkan ‘tidak enak dilihat’ di jalan untuk memproduksi Asian Sex Diary, saking ‘rendah’ dan ‘tak punya arti’ kami. Lalu saya juga tidak perlu bertanya-tanya kenapa bukan terong-terongan saja yang dipungut sembarangan di jalan oleh seorang wanita bule, karena kalaupun iya, jarang untuk dieksploitasi.

Dalam suatu malam, saya pernah terjebak –untuk kesekian kalinya- dalam diskusi meja makan yang membahas perihal-perihal rumit –dan melelahkan karena tak akan ada habisnya- bersama teman-teman saya. Mulai dari Tuhan, agama, dosa, pahala, dan hal-hal yang sangat menarik dibahas, hanya saja obrolan rumit seperti ini memang butuh mood. Dari berbagai referensi yang mendasari pendapat masing-masing, salah satu teman saya bilang begini;

“Gue pernah baca di salah satu kitab, dosa itu berakar dari mencuri. Membunuh itu mencuri hak hidup orang lain. Korupsi itu mencuri harta orang lain. Lalu kalau ngewe, siapa nyolong apa dari siapa, kalau sama-sama mau, sama-sama senang?”

Iya. Kita memang sama saja. Si Perempuan tidak berdosa atau mencuri apapun dari siapapun. Si Laki-laki juga tidak. Saya bukan feminis radikal KW super yang mau menuntut persamaan hak dan kewajiban antara perempuan dan laki-laki sampai pada taraf perempuan harus boleh jadi imam masjid raya dan laki-laki harus boleh mendapat cuti sampai tiga bulan seperti jika perempuan sedang cuti melahirkan. Saya hanya membahas ini dalam konteks seks; merekonstruksi nilai yang menghasilkan pandangan tentang siapa bisa menjadi orang yang keren dan siapa bisa menjadi orang yang kotor.

Seharusnya tidak ada yang kotor. Seharusnya tidak ada juga yang keren. Biasa saja. Seks hanya urusan insting dasar manusia dan otoritas atas tubuh masing-masing.