Minggu, 28 Juli 2013

Mengisahkan Mimpi

Selamat malam.

Untukmu, kusampaikan selamat yang kedua setelah selamat pembuka tulisan, atas kesempatanmu menerima surat ini.
Surat pertama yang kusampaikan kepada seluruh dunia kecuali kepadamu.
Surat kesekian di antara surat-surat lain yang selama ini hanya diselipkan melalui bawah pintu kamarmu yang terkunci rapat, serupa harapanku untuk bisa terus bersamamu.
Surat pertama yang lahir dari tarian jariku di atas deretan tombol huruf, setelah sekian surat yang lahir dari tarian penaku di atas kertas.
Pena yang sudah kuhancurkan kemarin untuk melampiaskan emosi yang tak cukup habis kulampiaskan dengan cara mengukir tintanya di atas kertas.

Aku ingin membicarakan tentang mimpi.
Mimpimu, mimpiku dan semoga saja, mimpi kita.
Mimpi-mimpi yang senang kita mimpikan bersama-sama sepanjang lelap dan jaga yang kita lakoni.
Mimpi-mimpi yang kemarin baru saja kau pertanyakan umurnya.
Akankah ia dijemput malaikat kematian dalam waktu dekat?
Atau sanggupkah ia menahan lagu pemakaman agar dinyanyikan setelah ia menjadi kenyataan?
Entahlah.
Tapi kau tak perlu cemas.
Kecemasan adalah tamu yang senang mengunjungi orang-orang lemah.
Bukan orang-orang dengan kekuatan super bernama keyakinan seperti dirimu.

Aku ingin membicarakan tentang kisah yang tak pernah selesai.
Atau paling tidak, begitulah menurutmu.
Sekali lagi, kau tak perlu cemas.
Kecemasan adalah tamu yang senang mengunjungi orang-orang yang tak siap menelan kepahitan.
Bukan orang-orang yang telah tamat mengecap segala rasa milik buah peristiwa dari pohon kehidupan seperti dirimu.
Banyak hal-hal baik, banyak hal-hal buruk, namun lebih banyak lagi hal-hal di antaranya.
Banyak hal-hal yang tak pernah dimulai.
Banyak hal-hal yang yang dimulai dan selesai sepantas-pantasnya.
Namun lebih banyak lagi hal-hal yang dimulai dan tak pernah selesai.
Serupa kisah kebersamaan dua manusia yang menyebut namanya masing-masing sebagai Aku dan Kamu.

Aku ingin membicarakan tentang mimpimu, mimpiku dan kisah kita yang tak pernah selesai.
Waktu akan datang sebagai malaikat maut yang bersayap.
Ia siap menjemput dan membawa terbang mimpimu, mimpiku dan kisah kita yang tak pernah selesai.
Kau mungkin akan melihatnya menjauh darimu dan hilang di angkasa.
Tapi kau tak perlu cemas, ia hanya akan membawanya lebih dekat dengan Tuhan agar lebih cepat dibubuhi amin.
Mimpiku akan tetap menjadi kenyataan, begitu pula mimpimu.
Lalu pada mimpiku yang telah nyata, aku akan menuliskan cerita panjang yang indah tentangmu dan mimpimu yang telah nyata.

Sementara itu, tentang kisah kita yang tak pernah selesai, biarkan saja tak selesai.
Bahkan di dalam cerita yang kutuliskan di antara mimpi-mimpi kita yang telah nyata.

Minggu, 14 Juli 2013

Hujan dan Tanah-tanah Basah yang Lain

Sebagian tanah basah oleh hujan
Sebagian lainnya basah oleh kehilangan

Sebagian sisanya basah oleh keduanya

Maka demikianlah
Pemakaman di sore hari yang hujan
Adalah seteduh-teduhnya tempat peristirahatan

Rabu, 10 Juli 2013

Tiga Jurang Kejatuhan dan Empat yang Tak Pernah Menyelamatkan

Pada awalnya, aku menjatuhkan diriku sendiri di jurang pertama
Di dasarnya, ada kamu, kita dan kebahagiaanku
Lalu aku mulai menulis skenario-skenario dengan pena yang tintanya sudah habis
Mengarang cerita-cerita yang tak akan pernah benar-benar terjadi


Pada titik waktu itu, aku terjatuh di jurang kedua
Di dasarnya, ada kamu, kalian dan kesedihanku
Lalu aku mulai berlari menyelamatkan diri
Menuju rupa-rupa entah yang sesungguhnya tak mampu menyelamatkan


Ketika itu, aku kembali menjatuhkan diri di jurang ketiga
Di dasarnya, ada dia, kami dan harapannya
Lalu aku mulai membuatnya menulis skenario-skenario dengan pena yang tintanya sudah habis
Mengarang cerita-cerita yang tak pernah mampu menjadikan dirinya nyata


Akhirnya aku menciptakan jurang keempat dan mendorongnya jatuh
Di dasarnya, ada aku yang masih terus berlari dan tak terselamatkan
Masih terus menulis cerita-cerita dengan pena yang hanya bisa merobek kertasnya
Masih terus ingin kembali jatuh di jurang pertama

Selasa, 02 Juli 2013

Rel Kabut Dan Gerbong Air Mata

Aku sampai pada satu keputusan besar di dalam hidupku. Aku akan pulang. Ini adalah keputusan besar yang pilihan iya atau tidaknya telah bertarung di dalam diriku selama sekitar sepuluh tahun belakangan. Ini keputusan yang seakan tidak menyediakan bagiku satu pilihanpun, karena bagiku yang ada hanyalah kosong selama belasan tahun. Bagiku, keputusan ini adalah hasil dari usaha kasat mataku selama belasan tahun untuk menyembuhkan traumaku.

Selembar tiket kereta api sudah ada di tanganku sejak seminggu yang lalu. Hari ini aku akan berangkat dari Stasiun Tugu Yogyakarta menuju Stasiun Malang. Aku akan pulang. Melakukan rekonstruksi atas definisi rumah bagiku, karena selama belasan tahun belakangan ini, kota tempat lahirku itu hanyalah sebuah nama yang tertera di buku pengetahuan sosial dan tak ada satupun isi informasi lain yang aku miliki tentangnya. Aku memang sengaja melupakannya. Aku menghapus semua hal tentang kota itu dan menolak ingin tahu tentang apapun yang berhubungan dengannya. Aku telah melakukannya sejak kecil. Aku melakukan aksi represi hebat untuk segala informasi tentang kota yang pernah ditempati oleh rumah dan keluarga kecil bahagiaku. Aku terlalu kecil untuk membedakan kenangan dan informasi, tapi aku telah terlanjur jauh melakukannya sampai aku tumbuh dewasa seperti ini. Sudah lama sekali sejak aku menganggap kota itu tidak ada.

Aku memilih keberangkatan jam 9 malam agar aku bisa tiba kira-kira pukul 4 dini hari. Aku tidak mau mengamati apapun di luar jendela, biar hanya hitam dan aku tak punya pilihan. Aku akan membiarkan diriku fokus lebih dalam pada suara-suara yang sesungguhnya membuatku merasa sedang menyayat nadiku sendiri. Suara gesekan antara besi-besi yang berkarat, rem kereta dan gerbong-gerbong yang bertubrukan sepantasnya. Suara-suara yang menganyam potongan-potongan memori paling menyakitkan yang pernah kuketahui.

Ini kali pertama aku akan naik kereta lagi setelah belasan tahun yang lalu. Rangkaian kotak-kotak besi itu mengerikan. Bau karatnya selalu mampu menakutiku dan membuatku terbangun penuh peluh oleh mimpi buruk yang bahkan hanya terjadi karena aku membayangkannya, tanpa benar-benar menaiki atau mendekatinya. Keputusan ini memang terlalu besar. Memberanikan diri menaiki alat transportasi paling mengerikan dan menuju tempat paling menyakitkan sekaligus dalam sebuah keputusan adalah hal yang terlalu besar. Semoga aku mampu menahan bebannya.

"Nggak ada yang ketinggalan kan? Kamu hati-hati, ya."

Aku hanya mengangguk dan tersenyum menenangkan. Aku diantar oleh Rora, kekasihku, dan kalimat kedua dari mulutnya tadi yang berupa pernyataan, sudah dua puluh sembilan kali ia ucapkan sejak aku memberitahukan rencana keberangkatanku tiga hari yang lalu kepadanya. Mungkin hanya kekhawatiran yang berlebihan akan pikiran-pikiran wanitanya. Kali ini, ia menghabiskan waktu lebih banyak untuk menanyakan berkali-kali keadaanku dan memberi nasehat ini-itu daripada berdandan.

.....


Ketika itu aku hanya anak lelaki berusia 8 tahun. Aku masih tidak cukup mau mengerti tentang mengapa orang tuaku ingin aku pindah sekolah ke Yogyakarta. Segala sesuatu diatur sedemikian rupa, aku akan tinggal bersama pakdhe dan budhe-ku di sana. Katanya aku hanya akan sebentar di Yogya, meskipun tak ada satu orangpun yang berhasil menyampaikan kepadaku tepatnya berapa lama waktu yang akan aku habiskan di sana dan jauh dari rumah serta orang tuaku. Sampai sekarang aku masih tidak paham apa alasan sesungguhnya mereka ingin aku meninggalkan Malang.

Aku hanya mampu mengingat beberapa hal. Ketika itu budhe-ku datang dari Yogya ke Malang untuk menjemputku. Sudah dua hari dia ada di rumahku sebelum pada suatu pagi aku dibawa ke stasiun dengan banyak sekali tas yang aku tidak tahu kapan dan oleh siapa mereka disiapkan. Kereta pagi itu datang dan aku beserta budhe-ku naik ke salah satu gerbongnya. Ayah dan ibuku hanya sempat sebentar memeluk dan menciumku tanpa ada air mata setetespun atau raut muka sedih sedikitpun yang tampak dari wajah mereka. Semuanya biasa saja. Kasih sayang melimpah dari mereka yang setiap hari aku rasakan, masih sama terasa pada pagi hari itu. Tak ada yang aneh.

Aku melambai-lambaikan tangan dari jendela di dalam gerbong kereta. Lambaian itu dibalas hangat oleh orang tuaku. Aku tersenyum. Budhe duduk di sampingku. Katanya, kereta akan sampai di Yogya jam 4 sore. Aku harus bersabar di dalam kereta. Ia juga bilang bahwa aku akan masuk sekolah yang lebih bagus di sana. Ayah dan ibuku akan segera menyusulku. Aku hanya mengangguk-ngangguk mendengarnya.

Tidak sampai tiga jam jam berlalu di dalam kereta, budhe mulai menangis di sampingku. Aku tidak benar-benar tahu mengapa. Sejak kereta mulai bergerak, aku hanya menatap pemandangan alam di luar jendela sambil terkantuk-kantuk. Aku bahkan bisa tidak sadar kalau budhe sempat beranjak dari duduknya di sampingku. Ia langsung memelukku erat dan dengan histeris yang agak ditahan secara paksa, ia  membisikkan padaku sesuatu yang membuat isi kepalaku seperti dikeluarkan dari tempatnya beberapa saat sampai aku tidak mampu melakukan apapun.

"Orang tuamu meninggal, Nak. Mereka kecelakaan sepulang dari stasiun untuk mengantarmu barusan."

Tangisnya pecah lagi. Aku hanya melotot dan menganga. Aku tidak mampu memikirkan apapun. Aku hanya merasa seakan organ-organ dalamku tercabut keluar dari rongganya tiba-tiba, dan aku hanyalah rangka tanpa isi sama sekali. Aku melanjutkan kegiatanku memperhatikan pemandangan alam di luar jendela, namun yang terlihat di benakku hanya gambar mobil yang tertabrak oleh mobil lainnya, terbalik, lalu banyak darah yang keluar dari tubuh-tubuh yang ada di dalam mobil itu. Aku tetap diam. Air mataku jatuh beberapa tetes, tapi berhenti setelah itu sampai belasan tahun kemudian.

Kami melanjutkan perjalanan ke Yogya. Selama sisa waktu perjalanan itu, hanya nyeri hebat yang terasa di ulu hatiku. Aku merasa sedih sekali, tapi tak ada yang kulakukan, tidak menangis sekalipun. Aku juga tidak bicara sampai beberapa hari. Suara gesekan antara besi-besi yang berkarat, rem kereta dan gerbong-gerbong yang bertubrukan sepantasnya benar-benar menusuk telingaku dan semakin membuat nyeri ulu hatiku. Aku muntah dan semakin jijik melihat keadaan di dalam gerbong. Meskipun sesungguhnya semuanya normal, gerbong ini terlihat sebagai neraka bagiku.

Malam harinya, budhe dan pakdhe-ku kembali menuju Malang. Aku masih diam di atas tempat tidur sejak tiba di rumah mereka di Yogya. Tatapan mataku kosong. Aku tidak mau ikut ke Malang. Aku tidak mau apapun. Aku tidak mau melakukan apapun, aku tidak mau memikirkan apapun. Akhirnya aku ditinggal di rumah mereka bersama seorang pembantu karena aku meronta hebat ketika dipaksa ikut.

Aku tidak mau lagi menginjak Malang dan menemukan bangunan yang sudah tidak bisa lagi kusebut rumah, sembari mengingat tawa dan peluk dari ayah dan ibuku yang tak akan pernah ada lagi di sepanjang perjalanan sudut manapun kota itu. Aku akan menganggap kota itu tidak ada sama sekali dan aku tidak akan pulang. Aku juga tidak akan lagi naik kereta, mencium bau besi berkarat lalu muntah karena membayangkan darah yang mengalir dari dalam mobil yang terbalik membuat ulu hatiku sakit. Aku bertahan melakukannya sampai aku dewasa.

.....


Sudah pukul 11 malam. Sudah sekitar 2 jam aku duduk manis di dalam kereta. Hanya dudukku yang manis, perasaanku pahit bukan main. Kali pertama aku memaksa diri naik kereta setelah pergulatan batin dengan pengalaman traumatis yang telah aku lakukan belasan tahun belakangan ini, ternyata terlalu berat. Bayangan tentang kenangan di kota yang aku tujupun tak terasa manis sama sekali. Rangkaian memori manis telah dibusukkan kehilangan sampai menjelma pahit.

Sejak kepindahanku ke Yogya dan sekaligus sejak kematian ayah dan ibuku, aku tinggal dengan pakdhe dan budhe-ku. Mereka menyekolahkanku dan memenuhi segala kebutuhan hidupku, dibantu dengan tabungan peninggalan orang tuaku sampai sekarang, ketika aku sudah lulus perguruan tinggi dan mulai bekerja. Tapi tak apa, kali ini tekadku bulat. Aku memang mau pulang. Aku hanya tinggal berharap bahwa definisi pulang yang berani aku beri pada perjalananku kali ini tidak salah.

Ruang dalam gerbong cukup dingin. Baru saja Rora menelepon dan mengulangi pernyataan yang sama lagi agar aku berhati-hati. Dia terdengar sangat khawatir, entah apa sebenarnya yang dipikirkan dan dirasakannya.

"Semalam aku mimpi buruk." Katanya.

"Mimpi apa?"

"Aku bermimpi, aku menangis sejadi-jadinya di kamar karena kamu pergi. Aku hanya ingat itu. Aku menangis sampai air mataku menggenang semata kaki, dan aku terus saja menangis."

"Sudahlah. Kamu hanya terlalu mengkhawatirkanku. Aku akan baik-baik saja."

.....


Waktu menunjukkan pukul dua malam. Sekitar dua jam lagi aku akan sampai. Udara di dalam gerbong kereta semakin dingin. Udara dingin ini menyerang mulai sekitar satu jam yang lalu. Aku merapatkan jaket yang kukenakan. Jaket itu sudah merupakan lapisan pakaian keempat yang kupakai jika kaos dan baju hangat sebagai dua lapisan paling dalam turut dihitung. Wujud hembusan napasku semakin tampak jelas seperti asap rokok di dalam ruangan yang dingin ini. Aku seperti ada di dalam sekotak lemari es.

Orang-orang di sekitarku di dalam gerbong yang sama tertidur. Semuanya tertidur. Wajah mereka tampak tenang, seolah tak ada mimpi yang mereka lihat dan membuat raut wajah mereka tampak berbeda-beda. Anak-anak kecil lelap di pelukan orang tuanya. Tak ada tangisan atau rewelan sama sekali. Tak ada juga satupun remaja-remaja yang terjaga dan berbagi cerita cinta mereka yang sedang merekah ataupun layu. Seorang pria dengan ransel besar, celana pendek dan sendal gunung yang tampak sering bepergianpun lenyap dalam lelapnya. Ia tidak sedang berkutat dengan pena dan buku catatan untuk menceritakan perjalanannya. Petugas kereta yang biasanya bolak-balik menawarkan pinjaman bantal tidak lewat sama sekali. Tak ada suara di dalam ruangan ini. Ruangan ini begitu sepi. Sunyi. Senyap.

Sedikit demi sedikit ada yang berubah dengan perasaanku. Perasaan-perasaan pahit dan menyakitkan yang kurasakan sejak aku memutuskan untuk melakukan perjalanan pulang ini, dan menguat sejak aku naik kereta, tidak lagi terasa. Hatiku perlahan-lahan damai. Tidak ada lagi sedikitpun beban yang terasa menumpang di bahuku. Kepalaku ringan dan aku mampu berpikir dengan jernih. Anehnya, dinginnya ruangan ini tidak menggangguku sama sekali. Ada yang terasa hangat di dalam rongga dadaku. Aku merasa bahagia. Aku merasa aku tak salah mendefinisikan perjalanan ini sebagai pulang, meskipun sebelumnya aku sangat tidak yakin rumah masa kecilku di Malang bisa membuatku merasa pulang tanpa adanya pelukan ayah dan ibuku.

Di luar jendela, hitam yang daritadi pekat dan menjadi satu-satunya pemandangan mulai berubah warna menjadi kelabu. Ada cahaya yang perlahan-lahan menyala dan menyibakkan gelap. Padahal waktu masih menunjukkan pukul 3 dini hari. Cahaya itu perlahan-lahan semakin terang dan menyilaukan. Kelabu di luar jendela berubah menjadi putih bersih. Tiba-tiba dari sela pintu-pintu pembatas gerbong, ada air yang mulai masuk. Entah dari mana air itu berasal sedangkan di luar tidak hujan. Air itu terus masuk memenuhi gerbong sampai menggenang semata kaki. Aku menyelupkan jariku ke dalamnya dan mencicipinya. Rasanya asin, seperti air mata.

Kereta ini seperti sedang melintas membelah kabut. Kabut yang dingin dan padat sehingga menyerupai awan. Kereta ini seperti sedang terbang di langit tanpa biru, yang ada hanya kabut putih tebal yang menyilaukan. Orang-orang di dalam gerbong masih saja pulas tak terganggu oleh apapun dengan raut-raut wajah damai. Rongga dadaku semakin hangat. Aku merasa sangat bahagia. Aku menyunggingkan senyum lebar dengan perasaan sangat lega. Aku merasa benar-benar pulang.

Laju kereta melambat. Kereta itu akhirnya berhenti di sebuah stasiun yang semua catnya berwarna putih. Banyak orang ramai menunggu di luar, mungkin ingin menjemput kerabatnya. Mereka semua mengenakan baju berwarna putih. Kereta akhirnya benar-benar berhenti. Dari jendela aku melihat ayah dan ibuku sedang menunggu dengan pakaian yang juga putih. Tangan mereka terbentang di antara senyum hangat, menanti memelukku.

Akhirnya aku benar-benar pulang.