Selasa, 24 Desember 2013

Kotak Kosong

Catatan ini ditulis di dalam kepala, dari dalam sebuah kotak besar, panjang, beroda banyak, berisi tangan-tangan kaku, tubuh-tubuh lelah, kaki-kaki pegal, dan mata-mata kosong.

Gambaran orang-orang di dalam kotak ini mampu menjelaskan definisi keanehan. Dunia memang aneh. Hidup memang aneh. Semakin kini semakin aneh.

Di dalam kotak ini, semua orang berkumpul. Pada beberapa waktu, beberapa di antaranya tidak sempurna. Kata orang, cacat. Sesekali, mereka akan diberikan tempat duduk, sementara yang lain berkorban berdiri. Sesekali saja. Itu jika mereka termasuk golongan 'orang biasa'. Jika tidak, penampilan lusuh dan kotor mereka tidak akan sempat diindera oleh orang lain. Tidak ada yang peduli. Tidak ada yang melihat. Tidak ada yang tersentuh kulitnya ketika mereka berdesakan lewat. Tidak ada yang mendengar ketika mereka mengeluarkan suara. Jikapun ada, orang justru akan menampilkan tatapan mengusir. Melalui tatapan jijik. Sisanya yang sempat akan menampilkan tatapan iba. Tatapan sedih. Tatapan yang justru lebih bisa membuat mereka putus asa dibandingkan tatapan lainnya yang sudah terlalu biasa mereka santap.

Di dalam kotak ini, jarak terdekat terpaksa diabaikan. Dekat yang seharusnya didamba manusia sebagai makhluk sosial. Dekat yang maknanya telah kabur ditelan kemajuan zaman. Di antara tubuh-tubuh yang sama sekali tak berjarak dan bahkan berdesak-desakan serta wajah-wajah yang berhadap-hadapan tidak lebih dari dua jengkal, orang-orang bisa mengabaikan semuanya. Bisa mengabaikan keberadaan orang lain yang tak berjarak darinya itu. Dekat yang seharusnya melahirkan interaksi dapat diubah menjadi biasa saja. Tidak ada yang peduli. Manusia semakin hebat membangun dunianya sendiri.

Di dalam kotak ini, segala sesuatu diklasifikasikan. Bukan dikategorikan. Karena segalanya punya kelasnya masing-masing, siapa yang lebih penting dari siapa. Dari klasifikasi itu lahir aturan-aturan. Siapa saja yang harus didahulukan. Siapa yang harus diberi jalan. Siapa yang harus diutamakan mendapat tempat duduk. Siapa yang harus tetap berdiri. Siapa yang harus terpisah dari siapa. Demi keamanan dan keselamatan, katanya. Sayangnya, aturan tak pernah lahir sebagai satu-satunya. Ia pasti terlahir kembar dengan para pembangkang. Kepekaan yang ingin dihadirkan melalui aturan itu membuat beberapa orang sadar untuk mematuhi, dan beberapa sisanya justru sadar bahwa isi yang dilarang di dalam kalimat larangan itu mampu ia lakukan. Maka orang cacat biasa akan diutamakan dan orang cacat yang kumal akan sengaja dibiarkan menderita. Kalau bisa lebih menderita dari orang biasa lainnya yang tidak cacat sekalipun. Maka laki-laki akan tetap mencuri kesempatan untuk melecehkan perempuan. Maka para renta akan tetap dibiarkan berdiri, diabaikan oleh yang tidak renta dengan pura-pura tidur di kursi yang sudah dimenangkan lebih dulu.

Di dalam kotak ini, segala sesuatu menjadi aneh. Kewajaran dijungkir-balikkan. Ketidakwajaran dimaklumi. Orang-orang tidur dalam keadaan berdiri dan terhempas-hempas kecil. Dalam keadaan yang bahkan tidak nyaman dialami saat tidak tidur. Orang-orang yang lelah dan bukannya beristirahat, melainkan justru melarikan diri. Entah dari apa. Mungkin dari diri mereka sendiri.

Di dalam kotak ini, penuh dapat dengan mudah menjelma kosong. Semakin penuh kotak, semakin kosong mata-mata orang di dalamnya. Mata-mata yang pandangannya lebih jauh dari jarak dunia. Karena pandangan-pandangan itu mampu menembus lapisan dunia lain. Dunia yang mereka bangun sendiri, lalu mereka lingkupkan ke sekeliling tubuh mereka sendiri. Mata-mata itu gelap. Tak punya sorot. Meskipun yang mereka pandang adalah tebaran lampu-lampu yang sungguh meriah dari kota yang sungguh ramai dan tak pernah redup. Namun ramai cahaya dari kota itu tak cukup mampu menembus mata mereka dan membantunya ikut bersinar.

Sekian. Halte tujuan sudah tinggal beberapa meter.



Jakarta, 21/12/13
Transjakarta Blok M - Harmoni




Jumat, 13 Desember 2013

Catatan Kepergian Lainnya

Di sinilah saya. Bermain dengan pena dan kertas. Bermain dengan jari dan tuts keyboard laptop. Di sinilah saya, ketika tidak berhasil melisankan isi kepala saya. Bukan isi hati. Lama-kelamaan saya malas membicarakan hati.

Setelah melewati suatu siang yang biasa saja, sore mulai turun dan saya seharusnya menangis sore itu juga. Bukan ketika menuliskan catatan ini, yang juga seharusnya disampaikan sore itu juga.

Di sinilah saya. Akan menceritakan tentang seorang lelaki yang telah datang, dan sayangnya, juga telah pergi.

.....

Tidak mudah bagi saya bekerja dengan tugas yang sederhana; digugat. Ya, pekerjaan saya adalah digugat. Ditempatkan di divisi yang merupakan organ yang bertugas mengayomi seluruh sel lainnya, segala sesuatu yang terjadi di dalam tubuh ini--baik dan buruk--adalah tanggung jawab saya. Apapun yang ada di sistem ini adalah hasil kontribusi pekerjaan saya. Saya bertanggungjawab atas keadaan tubuh ini, meskipun bukan atas aktivitas yang dihasilkan tubuh ini.

Dalam suatu tubuh bayi, pekerjaan saya semakin berat. Tubuh ini masih muda. Kakinya belum kuat berlari kencang. Mulutnya belum mampu berbicara dengan jelas. Matanya masih terlalu peka pada cahaya. Masih banyak yang harus diusahakan agar bayi ini tumbuh dengan sempurna, atau minimal, baik-baik saja.

Di antara lautan gugatan dan usaha membuat tubuh bayi ini tumbuh sehat, saya butuh banyak bimbingan dan penguatan. Saya butuh pimpinan yang baik; atasan yang tegas, teman yang mengerti dan ayah yang membimbing. Beruntungnya, saya punya. Atau sempat punya.

Saya punya satu sosok yang dapat saya andalkan ketika sosok lain dengan espektasi sama hanya bisa membuat saya semakin ingin menyerah ketika keadaan sedang sulit. Saya punya atasan yang tegas sampai sering dianggap tidak menyenangkan oleh orang lain yang memutuskan sebisa mungkin tidak harus berurusan dengannya. Saya punya teman yang bisa mengerti keadaan saya dan menerima saya, lalu pandai memberi jalan keluar sampai saya bisa merasa baik-baik saja ketika sesungguhnya tidak. Saya punya ayah yang mau membimbing agar saya pintar, bukan hanya memerintahkan saya harus pintar.

Saya pernah punya lelaki itu. Lalu setelah melalui suatu siang yang biasa saja, sore mulai turun dan lelaki itu pergi. Dipindahtugaskan oleh kuasa yang lebih besar. Tanpa pengganti, atau dengan satu-satunya calon pengganti yang paling tidak pernah saya harapkan. Satu-satunya orang yang paling saya hindari berurusan dengannya.

Lelaki itu pergi. Atasan yang telah begitu percaya pada saya untuk menanggung tugas ini, setelah sekian penolakan orang lain hanya dengan alasan saya terlalu muda. Teman yang selalu mampu tertawa memaklumi ketika saya melakukan hal aneh, yang sesungguhnya membuat saya sendiri takut jika itu adalah kesalahan. Ayah yang kuat mengayomi setelah sering menuduh saya lari dari rumah, karena saya yang anak satu-satunya namun terus pergi jauh dan enggan pulang, karena saya yang seharusnya manja justru begitu berani dan tak bisa diatur.

Saya kehilangan. Atau mungkin bukan. Mungkin saya hanya ketakutan. Takut hilang arah sebagai seekor anak bebek di dalam rombongan yang ditinggal induknya. Saya takut tidak ada lagi penguat, dan yang tertinggal hanya penekan yang tak pernah bisa membuat sesuatu jadi lebih baik. Saya takut tidak bisa diselamatkan lagi setiap saya akan menyerah.

Namun, atas nama terima kasih besar yang saya punya untuknya, kepercayaan dan kesempatan yang telah ia berikan akan saya jadikan penguat saya. Kepercayaan dan kesempatan bagi saya untuk bisa berada di dalam tubuh yang saya damba-dambakan, di dalam tubuh dengan setiap sel-jaringan-organ-sistem organ yang menyenangkan ini.

Sekali lagi, terima kasih. Semoga kita semua akan baik-baik saja.



Jakarta,
13/12/13
Done at 23.52 WIB

Rabu, 11 Desember 2013

Kau Berjalan Terlalu Jauh

Kau berjalan terlalu jauh
Sampai jalan-jalan menjadi keras
dibalut aspal dan keributan dini hari
orang-orang yang harus meninggalkan
anak istrinya lelap tanpanya
Demi meredam keributan di perut
dini hari mereka
Lalu kau rindu setapak-setapak tanah
yang selalu basah tergenang ketika hujan
Dan tawa-tawa kecilmu dan teman-temanmu
yang jatuh di kaki mungil kalian
yang membercak cokelat

Kau berjalan terlalu jauh
Sampai dataran terlalu tinggi
dan udara terlalu dingin
untuk membekukan air matamu agar tak keluar
Dan mengendap berkerak
di dinding-dinding hatimu
Lalu kau rindu jari-jari paling tabah
yang kerap kali menelusur rambut dan wajahmu
ketika tangismu masih nyaring
Hingga kau terdiam merasakan hangat rahim
yang pernah kau tinggali

Kau berjalan terlalu jauh
Sampai terbangmu sungguh bebas
ke angkasa paling luas
Di mana kau temukan bintang yang bersinar
hanyalah batu yang mati
dan  tak ada lagi selain itu
Maka sayapmu patah
Lalu kau rindu suara berat dan tegas
yang senang mengekang dan mengguruimu
Yang menyimpan ketulusan paling dalam
dari pria manapun
yang mampu mencintaimu dan nanti menyingkirkannya

Kau berjalan terlalu jauh
Sampai kau tak lagi menemukan manusia
kecuali yang penuh dengan amarah
Kecuali yang tak tampak seperti manusia
Yang memenuhi ruang hidupmu hingga sesak
dan enggan membiarkanmu bernapas lega
Lalu kau rindu ruang damai di bawah atap
yang kau kenal sebagai rumah
Tempat di mana adzan Maghrib dari masjid
masih dekat terdengar
Sebagai pengingatmu pulang
dari bermain dengan senja

Kau berjalan terlalu jauh
Sampai kau melewatkan waktu
dan tak mampu lagi mengenalinya
atau dirimu sendiri
Lalu kau rindu bercermin
dan menemukan dirimu di dalam sana

Jakarta
29/10/13

Minggu, 08 Desember 2013

Gerbong Merenung: Sedikit Catatan Dalam Salah Satu Perjalanan Mencari Pulang

Pandai-pandailah bersyukur. Pandai-pandailah bersyukur. Pandai-pandailah bersyukur.

Pertama-tama saya ingin berterima kasih kepada kemampuan sosial saya yang baik. Bukan karena saya supel, melainkan bisa jadi hanya karena saya adalah orang yang suka sok asik.

Setelah menemukan banyak orang dengan banyak cerita, sebagai anak yang tidak pernah berkekurangan sesuatu apapun, saya semakin bisa memahami kalau akan selalu ada orang lain di luar sana yang hidupnya lebih sulit dari saya. Dalam hal apapun itu.

Saya pernah menemui sepasang suami istri di lorong gelap yang selalu saya lewati ketika pulang ke kos, mendorong gerobak jualannya bersama-sama, sambil bercerita dan tertawa. Lalu kenapa kita harus banyak mengeluh dan menuntut waktu bahkan masih dalam status pacaran, ketika hidup yang harus kita jalani dengan pasangan kita justru serba baik-baik saja?

Saya punya teman yang batal menikah ketika semua persiapannya telah sembilan puluh persen selesai, karena pasangannya menjalin hubungan lain dengan teman baiknya. Lalu kenapa kita yang mengalami patah hati lebih dini, ketika belum ada persiapan jauh-jauh menuju pelaminan dilakukan, harus sedemikian putus asa?

Saya juga punya teman yang untuk membiayai kuliahnya harus mengamen ke sana-ke mari, karena ibunya sendiri yang bahkan memintanya untuk berhenti kuliah karena tidak punya cukup uang. Lalu kenapa kita yang bisa kuliah dalam keadaan tenang dan tak perlu mengurusi urusan pembiayaan uang kuliah harus terus-menerus menuntut kepada orang tua kita karena selalu merasa berkekurangan?

Saya punya satu teman lagi yang orang tuanya berpisah dan kemudian menikah lagi dan lagi sampai dia punya begitu banyak saudara. Lalu kenapa kita yang masih selalu bisa berfoto bersama ayah dan ibu kita dengan senyum penuh di depan kamera harus selalu mampu mencari alasan untuk mengeluh?

Beberapa minggu yang lalu saya baru saja melakukan perjalanan pulang ke Jogja. Saya selalu menyebut perjalanan menuju kota itu dengan 'pulang', karena kota itu memang sudah terlalu nyaman untuk tidak dijadikan rumah. Setelah peristiwa membeli tiket kereta api secara impulsif dan spontan di Indomaret dekat kos, saya mempersiapkan segala sesuatu untuk berangkat. Kereta yang saya pilih adalah kereta ekonomi malam jurusan Pasar Senen - Lempuyangan. Ya, ini bukan kereta ekonomi AC yang sudah lebih nyaman dibandingkan kereta bisnis. Ini kereta ekonomi kasta terendah. Hanya satu kasta di atas kereta barang.

Dengan biaya pulang-pergi seratus ribu, dimana sekali perjalanan hanya memakan biaya lima puluh ribu, saya merasa menang banyak. Di Jakarta, ongkos taksi untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lain saja sudah bisa menyamai total biaya perjalanan saya yang sudah bisa sampai di Jogja.

Perjalanan menuju Jogja terasa baik-baik dan biasa-biasa saja, kecuali ketika subuh mulai menjelang dan yang ada di depan mata saya adalah bentangan hijau persawahan dan bentangan jingga langit ketika matahari terbit. Saya merasa pulih. Pulih dari kesakitan yang disebabkan oleh riuhnya Jakarta. Perjalanan kereta malam saya menuju Jogja ditemani oleh dua teman yang saya temui secara kebetulan setelah bolak-balik berpindah gerbong, bertukar-tukar tempat duduk dengan orang-orang yang seenaknya menempati tempat di dalam gerbong. Saya pikir, "selamat datang di kereta ekonomi. Selamat menikmati perilaku penumpangnya." Kereta menuju Jogja itu sepi. Dari Jakarta sampai Jogja, kursi yang seharusnya ditempati lima orang hanya ditempati kami bertiga. Gerbong usang terasa seperti rumah. Tidak ada masalah.

Renungan-renungan panjang mulai dilakukan justru ketika berada di dalam kereta malam dari Jogja kembali ke Jakarta. Segala sesuatu tidak baik-baik saja.

Mulai dari kereta yang dijadwalkan berangkat pukul lima sore dari Jogja terlambat sekitar setengah jam. Selama hidup saya, saya belum pernah mengalami kereta terlambat, suatu hal yang bisa saya banggakan dari sistem yang ada di negara saya ini. Seringnya, saya yang hampir ketinggalan kereta, saking tepat waktunya jadwal kereta api, tidak seperti pesawat terbang. Namun kali ini berberda.

Di dalam kereta, saya tidak menemukan siapa-siapa yang saya kenali di gerbong yang sama. Saya langsung menuju tempat duduk yang tertera di tiket dan menjadi orang kelima yang datang. Artinya, kereta penuh. Tempat duduk untuk lima orang telah terisi empat orang yang semuanya laki-laki sebelum saya datang. Saya tidak peduli. Dengan kemampuan sosial (atau sok asik) saya yang di atas rata-rata, saya bisa langsung menyapa penumpang lainnya dan malah ditawari bertukar tempat di kursi dekat jendela. Senang luar biasa saya menerima tawaran itu.

Malam semakin larut. Mata-mata mulai mengantuk. Satu demi satu penumpang menggelar koran atau alas apapun itu di lantai kereta untuk tidur. Masing-masing mencuri celah sebisa mungkin untuk tidur nyaman. Lorong sisa untuk jalan di dalam gerbong pun penuh sesak. Orang-orang yang harus ke WC harus melompat-lompati tubuh-tubuh yang tidur di lantai, bahkan sampai harus memanjat-manjat kursi penumpang sepanjang lorong agar tidak menginjak yang sedang tidur.

Di antara deretan huruf yang berputar di dalam kepala saya dari buku yang saya baca, yang beruntung, telah menyelamatkan saya, saya membaca stiker peraturan yang menjelaskan larangan untuk menempati lorong-lorong jalan di dalam gerbong, termasuk untuk tidur, agar tidak mengganggu. Stiker itu sudah terkelupas sebagian, membuatnya tidak dianggap. Benar saja, siapa yang mau menaati peraturan yang sudah tinggal terbaca sebagian? Peraturan yang seluruh informasinya dapat ditangkap saja belum tentu ditaati, apalagi yang sisa sebagian? Rasanya seperti yang memberi peraturan saja tidak niat menyampaikannya.

Belum lagi tempelan pengumuman dilarang merokok. Saya hanya tertawa-tawa melihatnya, meskipun itu sudah kesekian kalinya saya membaca peraturan itu. Saya merasa lucu karena teringat salah satu teman saya yang pernah memprotes peraturan tersebut. Katanya, "sudah salah melarang saya merokok, salah pula penulisan kalimat larangan itu secara Bahasa Indonesia." Sekali lagi, siapa yang mau mematuhi peraturan yang penulisannya saja salah? Dan sekali lagi, seolah yang memberi peraturan saja tidak sungguh-sungguh. Pada akhirnya, seperti orang-orang yang tidur di lantai gerbong, peraturan dilarang merokokpun hanya menghasilkan para pencuri kesempatan yang merokok di sambungan-sambungan antargerbong.

Semua itu tidak begitu menjadi masalah bagi saya. Satu hal yang sungguh-sungguh membuat saya kagum adalah banyaknya kecoak di dalam gerbong. Dari setiap sambungan besi, berpuluh-puluh kecoak keluar masuk. Untungnya, mereka tidak mendekati manusia. Tapi tetap saja, melihat ribuan kecoak merayap di dinding-dinding gerbong, keluar-masuk dari celah-celah sambungan besi, dan mengelilingi orang-orang yang tidur, bukan suatu hal yang indah. Saya pikir, masalah kecoak bisa tinggal ditangani dengan pengasapan seluruh gerbong kereta. Tidak perlu waktu lama. Tidak perlu biaya yang terlalu besar. Penumpang bisa lebih nyaman. Perusahaan bisa memperindah nama baik. Tapi kemudian saya pikir, siapa yang peduli? Inilah yang kamu dapatkan dari berapa rupiah yang kamu bayar. Mungkin itu juga yang ada di pikiran Sang Pembuat Peraturan, Sang Perawat Kelayakan Gerbong, dan Sang-sang Lainnya Empunya Hajat.

Ketidaknyamanan saya mulai membuat saya banyak berpikir. Sambil saling bertatapan mesra dan pasrah dengan berekor-ekor kecoak yang sungguh lincah merayap berputar-putar ke sana-ke mari, saya kembali memikirkan konsep bersyukur yang saya ungkit di awal tadi.

Saya duduk di sini karena saya mau. Bukan karena saya tidak punya pilihan. Saya bisa saja memilih alat transportasi lain yang lebih baik dan notabene lebih mahal. Saya duduk di sini hanya karena saya ingin melakukannya. Ingin mengalami pengalaman-pengalaman apapun itu. Saya memang seperti itu. Teman-teman saya sering bilang kalau saya suka nekat dan seperti tidak pernah kehabisan energi. Bagi saya biasa saja. Toh, saya bukan orang yang setiap minggu mendaki puncak-puncak gunung yang berbeda-beda. Ini hanya jalan-jalan biasa. Sendirian bukan hal yang luar biasa juga bagi saya. Memilih kereta ekonomi yang sungguh apa adanya ini juga hanya karena saya adalah orang yang ingin mengalami segala hal mumpung masih hidup. Apapun itu.

Saya duduk di sini tidak seperti orang lain yang mungkin tidak punya pilihan. Manusia-manusia lelah yang mencari rumah dengan cara pulang ataupun pergi. Manusia-manusia yang mencuri celah yang sesungguhnya tak layak untuk tidur, demi menemukan tempat berbaring yang paling baik. Orang-orang yang mungkin tidak pernah bermasalah dengan kecoak, karena biasanya justru bermasalah dengan bukan hanya kecoak.

Belum lagi melihat petugas-petugas stasiun kereta api setiap kami singgah. Di dalam pikiran saya, apa yang ada di dalam pikiran mereka menjalani perkerjaan tersebut? Mereka juga orang-orang yang bekerja dua puluh empat jam seperti orang-orang di tempat saya bekerja; media televisi. Tapi tempat saya bekerja begitu menyenangkan. Sementara mereka? Tidak banyak yang bisa mereka lakukan di antara bangku-bangku tunggu yang kosong dengan bentangan rel yang tak punya ujung di depan mata sambil menanti rangkaian kotak-kotak besi yang telah berkarat menghampiri. Lalu kenapa kita masih bisa terus mengeluh?

Saya sampai di kos ketika toa-toa masjid sudah ramai mengajak orang beribadah. Kereta terlambat tiba satu setengah jam. Saya hanya punya waktu istirahat tiga jam sebelum harus memulai Senin. Tapi saya merasa baik-baik saja dan tidak ada yang perlu dikeluhkan.

Bentang renungan

Setengah-setengah

Dilarang merokok di dalam kereta..........akan diturunkan di stasiun terdekat

Perjalanan mencari pulang

Jumat, 06 Desember 2013

Passion, Idealism or Nothing

Orang yang paling bahagia adalah orang yang menjalani hidup sesuai passion-nya.

Itu kata banyak orang.

Bagi saya, masih ada orang yang lebih bahagia lagi. Orang yang dapat menjalani hidupnya sesuai dengan passion dan idealisme yang dimilikinya.

Lalu, mana yang lebih penting?

Tidak ada yang lebih penting. Bagi saya, kita hanya harus pintar-pintar bersyukur. Sudah paling beruntung orang yang bisa menjalani hidup sesuai passion dan idealismenya. Sudah beruntung orang yang bisa menjalani hidup sesuai salah satu di antara passion atau idealismenya. Sudah cukup beruntung orang yang meskipun tidak bisa menjalani hidup sesuai apapun di antara passion atau idealismenya, tapi sudah mampu memahami apa sebenarnya passion dan/atau idealismenya. Karena sesungguhnya, masih banyak orang di luar sana yang terjebak selama-lamanya dengan rutinitas yang bahkan tak mampu mereka kenali apalagi pahami. Masih banyak orang di luar sana yang bahkan tidak tahu apa passion dan/atau idealisme mereka, atau lebih buruk lagi, tidak tahu apa itu passion dan apa itu idealisme.

Bagi saya, tidak ada yang lebih penting. Kalau memang ingin menjadi orang yang bahagia, living your passion then living your idealism. Passion first, idealism follows.

Kenapa passion lebih dulu?

Bagi saya, passion lebih mudah dipahami. Termasuk pemahaman tentang ukuran apakah suatu passion sudah dijalani atau belum. Sementara idealisme cenderung lebih rumit dan sulit ditemukan.

Passion bagi saya adalah apapun yang jika kamu lakukan, akan selalu membuatmu senang. Banyak yang bilang kalau passion itu apapun yang jika kamu lakukan, kamu tidak akan merasa lelah. Bagi saya itu bukan definisi yang tepat. Kamu pasti lelah, itu permasalahan raga. Tapi kamu akan tetap merasa senang, karena ini masalah jiwa. Lelah masalah lahir, senang masalah batin. Untuk mengukurnya akan lebih mudah. Ada yang bisa bernyanyi sampai suaranya serak, tapi ia tak bisa berhenti bernyanyi karena merasa senang ketika melakukannya. Ada yang bisa menulis sampai ia merasa begitu mengantuk dan punggungnya sakit, tapi ia hanya tidak dapat berhenti. Nantinya ia akan tetap butuh istirahat. Hanya saja, ia telah merasa senang.

Sayangnya, banyak yang masih tidak bisa membedakan mana pekerjaan yang senang dilakukannya karena pekerjaan itu sendiri, dan mana yang senang dilakukannya karena lingkungan kerjanya. Yang kedua ini cukup disebut kenyamanan. Kenyamanan tidak berarti disertai dengan passion, tapi passion sudah pasti disertai dengan kenyamanan.

Lebih rumit lagi masalah idealisme. Sesungguhnya konsep idealisme bagi saya cukup sederhana; melakukan apa yang menurut kamu baik. Idealisme saya tidak muluk-muluk. Hanya ingin lebih banyak menghasilkan manfaat daripada mudharot bagi orang banyak. Menghasilkan lebih banyak kebaikan daripada keburukan bagi orang banyak. Masalahnya, baik menurut setiap orang itu berbeda-beda.

Mengapa konsep idealisme lebih rumit?

Karena nilai baik yang kamu pegang mungkin akan terus berubah-ubah sesuai perubahan apapun yang terjadi di sekelilingmu dan mempengaruhi pola pikir serta pandangmu. Selain itu, karena mungkin tidak ada yang benar-benar baik di dunia ini. Selalu ada yang salah dalam satu kesatuan apapun itu. Itu sebabnya, saya ingin memberi lebih banyak kebaikan daripada keburukan bagi orang banyak, bukannya memberi kebaikan bagi orang banyak. Meskipun tidak secara langsung, namun bagaimana pekerjaan yang saya lakukan itu berkontribusi terhadap berlangsungnya suatu sistem yang lebih banyak memberi kebaikan daripada keburukan bagi orang banyak, sesuai idealisme saya.

Tentang istilah idealis, bagi saya itu hanya menunjukkan sifat bahwa seseorang tahu apa yang dia anggap baik dan gigih memperjuangkan serta mempertahankan apa yang dia anggap baik itu. Istilah ini bukan menunjukkan bahwa seseorang memiliki nilai kebaikan yang paling benar. Bukan berarti orang idealis adalah orang dengan pegangan hidup yang paling baik dari orang-orang lainnya.

Mengapa saya bilang passion dulu, baru idealisme?

Kembali lagi, karena passion lebih mudah dipahami, diukur dan didapatkan daripada idealisme.

Saya bekerja di industri dengan orang-orang yang sebagian besar (seharusnya) menjalani passion-nya. Orang-orang ini berkarya, menciptakan sesuatu; karya seni. Sekecil apapun kontribusi mereka dalam bekerja, mereka berkarya di sini. Dan karya seni butuh hati, butuh batin dan jiwa yang senang dalam mengerjakannya.

Namun, saya bahkan masih banyak menemukan orang-orang yang telah bekerja sesuai passion-nya ini mengeluhkan pekerjaannya. Ada juga yang bahkan tidak betah. Inilah yang bisa disebut sebagai benturan idealisme. Ia bisa senang melakukan pekerjaannya karena sesuai dengan passion-nya, tapi ternyata muara akhir pekerjaannya itu tidak menghasilkan sesuatu yang ia anggap adalah kebaikan. Orang bisa menulis dan senang melakukannya, namun ternyata hasil tulisannya digunakan untuk keburukan. Orang bisa bermusik dan senang melakukannya, namun tujuan bermusiknya berbeda dengan rekan bermusiknya yang lain sampai ia tidak betah, karena apa yang mereka anggap baik dalam apa yang mereka lakukan berbeda. Sekali lagi, baik dan buruk bagi setiap orang itu berbeda-beda.

Sesungguhnya saya pun merasa tidak pantas beropini dan menuliskan opini ini panjang-panjang. Saya belum merasa telah hidup sesuai passion dan idealisme, atau minimal salah satu di antaranya. Saya juga merasa kalau saya belum benar-benar tahu apa passion atau idealisme saya. Saya bahkan merasa kalau pemahaman saya tentang passion dan idealisme yang saya tuliskan di sini masih salah. Paling jauh, saya mungkin hanya telah menemukan kenyamanan kerja. Hanya kenyamanan, dan ini hanya perkara lingkungan, bukan diri saya sendiri.

Jadi sekali lagi, pintar-pintarlah bersyukur. Kamu mungkin tak lebih merugi daripada saya. Ini hanya opini, itu sebabnya saya selalu mengulang-ulang 'bagi saya' dalam tulisan ini.

Long live, happy life!


Jumat, 29 November 2013

Rimba Perasaan

Aku memulai semuanya dari sebuah titik. Aku melangkahkan kakiku dan mulai menelusur liuk-liuk setapak kisah tentangmu. Berjalan terus sampai tersesat di rimba rahasiamu yang sungguh senyap. Rimba yang tak mengenal kata-kata untuk diucapkan. Aku mulai kebingungan mencari jalan pulang. Malam sudah turun dan kabut-kabut perasaan semakin pekat dan mencipta gigil bagi kaki-kakiku yang pernah patah dan enggan pulih. Lamat-lamat aku mendengar desis ular-ular hutan. Katanya, "kau seharusnya tahu di mana harus berhenti membaca halaman buku masa lalumu yang sungguh sudah tua, melapuk dan busuk, agar kau bisa berdiri di tempat yang tepat untuk memulai melanjutkan membaca halaman buku barumu." Maka aku mulai terduduk memeluk kedua lututku sendiri dan berpikir. Aku melumat renungan-renungan kosong sampai kenyang, lalu berdiri lagi. Berjalan lagi. Terus-menerus melangkahkan kaki sampai bertemu selengkung akar pohon yang serupa senyummu. Aku tak yakin bahwa aku tersangkut atau menyangkutkan kakiku, yang pasti, aku terjatuh. Lalu ular-ular hutan mulai berdesis lagi. "Kau harus terjatuh untuk dapat hidup," katanya. Maka pikiranku kembali menari liar. Aku bertanya-tanya dalam kebosananku, harus berapa kali lagi aku terjatuh? Tapi aku mulai tak peduli. Atas luka-luka jatuhku, bahkan atas kaki patahku. Maka aku terus mencintaimu. Sambil terus menghitung, berapa langkahkah yang sanggup kutempuh sebelum bertemu sumur tua tak bertepi dan berujung yang akan menelanku sampai hilang?

4/6/13
Jakarta

Selasa, 12 November 2013

Botol Kaca Air Mata

Jadi, siapa yang mau turut serta berpesta bersamaku malam ini?
Ada kesedihan yang sedang kurayakan.
Kesedihan yang tak jua selesai,
meski dirayakan setiap malam.
Setiap siang.
Setiap waktu.

Jadi, siapa yang mau turut serta berpesta bersamaku malam ini?
Kita akan berbincang semalaman,
sampai diusir matahari dan suara-suara tabah,
yang mengajak beribadah dari toa-toa masjid.
Dan kita selalu pura-pura tuli.

Aku bosan berbincang dengan tembok.
Ia tak bisa diajak meneguk bir,
dan dua-tiga tegukan lain.
Atau banyak teguk.
Supaya mabuk.

Jadi, siapa yang mau turut serta berpesta bersamaku malam ini?
Aku janjikan kembang api.
Agar kenanganmu meledak,
dan ingatanmu terbakar.
Meski tak habis.
Karena mereka justru menjelma kabut asap,
sampai kau sesak.
Masuk ke lubang hidungmu.
Ke sistem sarafmu.
Lalu membentuk lagi ingatan yang disimpan rapi,
di laci-laci otak.

Jadi, siapa yang mau turut serta berpesta bersamaku malam ini?
Aku tak mau bersenang-senang sendirian.
Air mata sudah siap di dalam botol-botol kaca di atas meja.

Kamis, 31 Oktober 2013

Apakah Kita

Bagaimana jika melepaskan bukanlah pilihan?
Apakah kita adalah ketidakmungkinan yang paling diinginkan, atau kemungkinan yang paling tidak diinginkan?
Apakah kita adalah ketiadaan yang paling nyata, atau keberadaan yang paling samar?

Kembali

Kutuk-kutuk menguap
Keluh-keluh menetas
Teriakan merekah
Tuduhan berhamburan

Tangismu tak pernah terdengar
Katanya kau lupa
Bahwa kau telah menyisihkan kalimat-kalimat
Dari lembar-lembar buku pertama
Yang Pemberi Napasmu kenalkan padamu

Bibirmu telah banyak mengelak
Dahimu telah gersang
Jauh dari sepotong kain alas
Yang memberinya subur

Kembalilah
Pada lembar-lembar buku napasmu
Pada sepotong kain kehidupanmu
Dan luruhkan kutuk-keluh-tangismu

Kamis, 24 Oktober 2013

Perjalanan Terjauh Ke Rumah Pertama



Hidup adalah perjalanan. Satu kalimat bijak yang sungguh klasik. Kalimat dengan berbagai makna tersirat di dalamnya. Apalagi bagi orang yang hidup di dalam perjalanan dan melakukan perjalanan untuk hidup seperti aku. Orang-orang sepertiku bahkan merupakan makna tersurat dari kalimat bijak itu.

Seorang supir angkutan antarkota. Itulah profesiku. Profesi yang hampir semua anak kecil tak pernah sebutkan ketika ditanya apa cita-citanya ketika dewasa nanti. Aku mengemudikan alat transportasi dengan roda minimal empat dalam berbagai ukuran. Tergantung tugas yang diberikan kepadaku ketika itu. Tergantung bagaimana keinginan dan pengaturan bos di tempatku bekerja, sebuah perusahaan penyedia jasa angkutan segala rute untuk segala jenis angkutan. Untuk keterangan segala rute itu, sesungguhnya aku tak bisa menyebut diriku sebagai seorang supir angkutan antarkota karena aku biasanya melalui rute antarprovinsi, antarpulau, bahkan sampai mendekati garis-garis batas antarnegara.

Aku mengemudikan mobil box standar travel antardaerah. Aku mengendarai bus besar dengan berpuluh penumpang. Aku mengendarai truk yang memuat entah apa aku tak tahu, karena biasanya aku diberitahu ketika apa yang aku angkut bukanlah hal yang berbahaya, dan tidak diberitahu ketika apa yang aku angkut adalah barang ilegal. "Bawa saja sampai ke tempat tujuan dalam keadaan utuh!" Begitu biasanya bentakan mereka. Dari semua itu, aku paling sering mengemudikan bus dengan rute sampai antarpulau.

Entah di mana titik paling jauh yang pernah aku temui selama bekerja menjadi supir seperti ini. Yang aku ketahui, aku telah sering sekali menyaksikan perjalanan yang lebih jauh dari perjalanan manapun yang bisa kuanggap paling jauh. Perjalanan terjauh seluruh manusia yang hidup di muka bumi. Perjalanan kembali menuju rumah pertama, kembali menuju pelukan Sang Pemilik Hidup.

Kematian sudah bukan merupakan hal luar biasa untuk disaksikan bagi orang sepertiku. Jalan raya yang jahat, jalan setapak yang kejam, lelah yang mengembun di sudut-sudut mata bercampur dengan berbagai pikiran tentang nasib, dan takdir yang tak pernah mampu berkompromi. Belum lagi rindu. Rindu sambutan-sambutan hangat dari tangan-tangan lembut keluarga di rumah yang terlalu sering ditinggalkan, memaksa kami selalu bertindak terburu-buru.

Perjalanan terjauh itu bagi kami adalah tontonan sehari-hari, drama serial berisi ribuan episode yang tak habis diputar setiap hari. Tontonan harian di layar televisi itu pada masa tertentu akan berubah menjadi tontonan layar lebar di bioskop-bioskop atau paling tidak, layar tancap perayaan di perkampungan. Pelakon kisahnya semakin banyak. Ceritanya semakin dramatis. Penontonnya pun semakin ramai.

Masa-masa itu terjadi pada musim mudik raya yang selalu menyertai serangkaian peringatan hari raya. Masa ketika semua orang ingin pulang. Beramai-ramai. Sampai banyak pula di antara mereka yang berpulang ke rumah yang paling jauh. Masih tetap beramai-ramai. Bus terbalik. Mobil terbakar. Motor terhempas jauh. Sekeluarga luka parah; kepala terbentur berurai darah, tangan patah, kaki memar. Seorang ibu terselip kakinya di sela ban dan badan truk. Suaminya meninggal di tempat terlindas kendaraan besar. Anaknya menangis, entah menangisi lukanya yang sakit, atau kehidupannya yang takkan sama lagi. Sopir melarikan diri takut diminta pertanggungjawaban polisi, tapi lebih takut lagi langsung dihakimi warga di tempat. Pecahan kaca bus menembus kulit. Kepala pecah dengan luka sobek besar yang harus dijahit. Semacam itulah keadaan yang sudah lumrah kutonton. Sisanya selain itu, bernasib sama seperti sang ayah yang akhirnya sampai ke rumah segala rumah.

"AWAAAAAAAAAASSS!!!"

Aku sadar dari lamunanku. Teriakan satu penumpang tadi langsung ramai diikuti teriakan penumpang lainnya. Yang tertidur langsung terbangun dan terserang panik, lalu ikut berteriak. Aku membanting setir ke kiri. Sebuah mobil baru saja tiba-tiba muncul di depan bus yang kukemudikan. Ia mencoba menyalip mobil di depannya dan tidak memperhitungkan kemungkinan lewatnya mobil lain di arah sebaliknya, arah di mana busku melaju.

Busku berhenti di luar jalur. Untungnya, di kiri-kanan jalan berjejer hutan-hutan tanpa saluran air di pinggir jalan sekalipun yang akan membuat kendaraanku terperosok masuk. Itupun jika ada, aku akan tetap mensyukurinya dibandingkan keberadaan jurang-jurang yang akan membuat kami tak terselamatkan. Teriakan-teriakan manusia dari dalam bus pun berhenti, digantikan dengan setarik-dua tarik napas panjang yang lalu dihembuskan dengan panjang dan berat pula. Penumpang berhamburan keluar bus. Beberapa di antaranya memaki-maki, sisanya menangis ketakutan. Tapi paling tidak, kami selamat.

Aku mengeluarkan ponsel dari saku celanaku dan mengirim satu pesan singkat kepada istriku.

"Ma, tadi papa hampir kecelakaan. Alhamdulillah aman. Dua jam lagi masuk Ungaran."

Pukul dua lebih empat belas menit. Istri dan kedua anakku pasti sudah tertidur pulas. Sementara perjalananku kali ini masih jauh, belum lagi perjalanan pulang kembali ke Jakarta. Rindu-rindu masih harus ditimbun di bawah bantal dan di jok depan setir bersama ketakutan dan kekhawatiran yang selalu mampu menyelipkan diri.

______________________________________


Pagi masih kanak-kanak. Matahari belum siap mengenakan gaun jingganya. Adzan subuh masih beberapa belas menit lagi. Aku duduk di teras depan rumah kecilku sambil menghisap sebatang rokok setelah menikmati hidangan sahur seadanya. Entah mengapa, perasaanku tak enak. Sudah tiga hari terakhir aku tak bisa tidur. Rasanya ada sebongkah kekhawatiran entah tentang apa yang mengusikku.

Pagi ini, aku, istri dan kedua anakku akan melakukan sebuah perjalanan. Perjalanan pulang ke rumah. Perjalanan raya tahunan dalam serangkaian peringatan hari raya lebaran. Beramai-ramai, seperti ribuan orang lainnya. Keluargaku mendapat potongan setengah harga jalan menggunakan bus yang akan aku kemudikan. Itu sudah batas toleransi serta batas kebaikan hati yang bisa diberikan oleh bosku. Sampai di kampung halaman nanti, akan ada supir lain di kantor cabang daerah rumahku yang menggantikanku menyetir bus yang sama menuju rute lainnya.

Perasaanku masih tidak enak. Perjalanan pulang terasa akan sangat jauh kali ini. Apakah kami akan melakukan perjalanan terjauh kami sekarang? Apakah ini sudah waktunya? Baru dua minggu setelah kejadian terakhir di mana aku hampir mengalami kecelakaan, sementara selama dua minggu itu akupun masih melakukan beberapa perjalanan penuh tontonan drama kematian. Aku masih sangat ketakutan. Ah, sudahlah. Toh tempat hidupku memang adalah di dalam perjalanan, bersama dengan ketakutan dan kekhawatiran. Ini perasaan yang wajar.

Betapapun aku berusaha menenangkan diriku sendiri, aku tetap gagal. Perasaanku sungguh tak enak. Berbagai macam skenario buruk berputar di dalam kepalaku. Bagaimana jika hari ini drama kematian tak lagi kutonton, tapi justru kualami? Namun perjalanan harus tetap dilakukan, meskipun aku sungguh ingin meminta istriku agar kami tak usah pulang ke kampung lebaran kali ini. Ia tak akan menerima keinginanku. Keluarga besar sudah menanti kepulangan kami yang aku tak yakin akan dalam wujud yang diinginkan.

______________________________________


Sekitar empat jam setelah keberangkatan. Kepalaku terbentur hebat. Setelah itu, teriakan yang beberapa detik lalu sungguh memekakkan telinga lenyap seketika. Semuanya sunyi. Sepi. Dan aku tak tahu apa-apa lagi.

______________________________________


Aku terbangun di ruangan dengan bau menyengat yang khas. Aku di rumah sakit. Perban membungkus hampir semua bagian tubuhku. Perih. Sepertinya berbagai macam luka bersatu di tubuh yang sama, bertindih-tindihan. Luka bakar, luka sobek, memar, dan apapun itu. Bermacam-macam selang melilit-lilit tubuhku. Aku semakin tak mampu menggerakkan bagian tubuh manapun kecuali kelopak mataku.

Di sampingku terduduk kakak iparku. Kakak laki-laki dari istriku. Ia kaget melihatku sadarkan diri. Respon pertamanya justru langsung memeluk tubuhku dan membuatnya semakin perih, sambil menangis sejadi-jadinya. Di antara tangis dan gumamannya yang tak jelas itu, sayup-sayup aku mendengar ucapannya yang membuat isi dadaku seakan berurai keluar. Katanya, istri dan anak-anakku tewas dalam kecelakaan bus yang aku kemudikan dua minggu lalu. Selama itu juga aku sudah terkapar tak sadarkan diri di rumah sakit ini. Cuma tiga orang yang selamat dari puluhan orang yang ada di dalam bus itu, termasuk aku. Bus masuk ke jurang. Terbakar. Entahlah. Aku tak mampu lagi mendengar kalimat yang ia ucapkan di antara tangisnya.

Istri dan anak-anakku memang sampai di rumah, namun dalam keadaan yang tak pernah diinginkan oleh keluarga besar kami yang sudah menunggu. Aku menangis sejadi-jadinya. Aku meminta untuk segera keluar dari rumah sakit dan diantar ke pemakaman istri dan anak-anakku, tapi tubuhku sendiri masih tak sanggup kugerakkan.

Hidup memang adalah perjalanan. Orang sepertiku sering dianggap melakukan perjalanan untuk hidup. Namun bagiku, awalnya aku hidup di dalam perjalanan. Lambat laun aku menjadi penonton setia drama perjalanan terjauh orang-orang. Kini, aku justru telah menjadi pengantar orang-orang melakukan perjalanan terjauhnya.

Aku masih menangis sejadi-jadinya. Segagal-gagalnya orang yang melakukan perjalanan adalah yang tak sampai di tempat tujuannya dan tak menemukan makna apapun dari kegagalannya. Namun bagiku, tak ada yang lebih gagal dari seorang pengantar kematian yang bahkan tak bisa mengantar keluarganya sendiri pulang menuju rumah paling jauh; liang sempit di tanah yang basah.

______________________________________


Sirine berbunyi kencang dari atas kepalaku dengan suaranya yang memekakkan, menyanyikan nada-nada yang selalu minor dan membawa duka atau paling tidak kekhawatiran. Di belakangku, air mata, keringat dan ketakutan beberapa orang mengiringi pejam seorang lainnya yang terbaring tak berdaya di depan mereka. Selalu seperti itu. Tak ada yang mampu memastikan apakah setiap perjalanan yang ada akan mengantar pada rumah sakit terdekat atau rumah berpulang terjauh, pada keselamatan dan kelegaan atau pada kehilangan dan kesedihan. Ketika sirine dinyalakan, satu perjalanan dilakukan, sejuta harapan diterbangkan, dan satu kehilangan akan meruntuhkan dan mendiamkan segalanya.

Kini aku benar-benar menjadi pengantar perjalanan orang menuju rumah terjauh mereka. Setelah beberapa saat sepi yang teramat sangat kukecap, kini duniaku ramai sekali. Di atas kepala sirine berbunyi, di belakang orang-orang ribut menangis. Begitu setiap waktu. Dan aku hanya akan mengemudi dengan senyum tersungging di belakang setir. Di dalam sebuah mobil ambulans, perjalanan menjadi benar-benar tak dapat ditebak akhirnya.

Hidup memang adalah perjalanan. Bagiku sekarang, aku masih melakukan perjalanan untuk hidup, menjemput manusia-manusia kritis di sana-sini agar aku bisa mendapat makan. Aku juga masih hidup di dalam perjalanan, menghabiskan sebagian besar waktu di dalam kotak putih bising yang sering sekali membangunkan trauma. Akupun masih menjadi penonton drama kematian, lakon orang-orang yang melakukan perjalanan terjauh ke rumah pertama, bahkan kini lebih sering kutonton, hampir setiap hari. Aku masih seorang supir, namun telah lebih pantas diberi gelar pengantar kematian dibandingkan dulu.

"Jika aku tak bisa mengantar keluargaku dalam perjalanan terjauhnya, aku akan menghabiskan hidupku mengantar semua orang lain." Gumamku.

"Hah? Kenapa, Pak?" Salah seorang keluarga korban kecelakaan yang duduk di sampingku menyahut mendengar gumamanku.

"Ah, tidak apa-apa." Lalu aku tersenyum lagi.

Seorang wanita paruh baya yang sedari tadi menangis di belakang, di samping anaknya yang terkapar bermandikan darah, tiba-tiba berteriak semakin kencang, meraung-raung tak terkendali. Anaknya berhenti bernapas. Mobil yang kukemudikan belum sampai di rumah sakit.

Satu lagi perjalanan terjauh yang kuantar. Aku tersenyum.

Selasa, 22 Oktober 2013

Malam Ini Aku Mau Menulis Surat...

Malam ini aku mau menulis surat untuk Ibu dan Bapak.

Malam ini aku mau menulis surat untuk dua pasang mata yang sorotnya hanya cukup untuk menyimpan aku dan rindu untukku.

Malam ini aku mau menulis surat maaf, di waktu lain aku akan menulis lagi surat terima kasih, karena surat untuk mereka hanya bisa berisikan dua ucapan itu.

Malam ini aku mau menulis; Ibu, Bapak, maaf. Ketika aku kini selalu tak punya waktu, kalian selamanya hanya punya aku.

Kamis, 26 September 2013

Lantai Dansa dan Tembok-tembok Kamar

Kau pesta
Aku lamunan

Kau lantai dansa
Aku tembok-tembok kamar

Kau suara-suara
Aku keheningan

Kau tak pernah tidur
Aku tak pernah bangun

Kau cita-cita
Aku mimpi

Kau ternyata
Aku andai

Kau hentakan kaki berirama
Aku tubuh di bawah selimut

Kau percakapan-percakapan
Aku diam

Sampai akhirnya hatimu sungguh lengang
Dan kepalaku sungguh riuh

Maka aku mulai berbicara padamu
Lalu kau mulai memelukku

Di bawah satu atap kelelahan yang sama
Dan kita tak ingin lagi keluar rumah



Jakarta, 29/8/13
11.57 PM

Sabtu, 21 September 2013

Catatan Manusia Patah

Catatan yang harus dicatat karena tercatat sebagai catatan penting

Jakarta
Sekitar pukul satu malam
Sepuluh Mei Dua Ribu Tiga Belas

Satu
Catatan ini penting, sepenting rokok yang harus aku bawa ketika buang air besar seperti sekarang ini

Dua
Buku catatan ini menjadi sama penting dengan rokok untuk dibawa karena aku harus segera membakar dan menghisap isi kepalaku sendiri, lalu membuang abunya ke atas kertas ini sebagai surat

Tiga
Aku harus segera mencatat catatan ini setelah mengendap-endap ke kamarmu untuk meminjam korek api karena korek apiku hilang, sebelum kamu pulang dan mengubah isi kepalaku seperti semula ketika catatan ini belum ada di dalamnya

Empat
Ini sudah rokok kedua di atas kloset sambil memangku buku catatan dan aku harus segera menuliskan pesan yang sesungguhnya ditujukan padamu

Lima
Aku ingin kamu tahu kalau aku sudah menduga semuanya, dan kamu seharusnya sudah tahu kalau aku baik-baik saja selama kamu merasa semua ini baik-baik saja untuk dilakukan

Enam
Kamu tidak bisa menghancurkan sesuatu yang memang sudah hancur, karena pot bunga yang terbelah dua dan pot bunga yang hancur berkeping-keping hanya akan diketahui sebagai pot bunga yang pecah, demikianlah aku; pot bunga itu

Tujuh
Lorong menuju pulang yang gelap tadi sempat menggelapkan harapanku dengan bayangan bahwa apa yang aku ketahui bukanlah kebenaran, tapi begitulah kebenaran yang ada, bahwa harapanku bukan salah satu di antaranya

Delapan
Aku ingin menyampaikan catatan ini langsung kepadamu sesegera aku mencatatnya di kamar mandi seperti ini, tapi kamu belum juga pulang dan mataku ingin segera mengawini kasurku

Sembilan
Ini sudah batang rokok ketiga di atas kloset dan tak ada lagi yang ingin aku buang termasuk pikiranku atau catatan ini sekalipun

Sepuluh
Angkanya sudah genap lagi dan kamu harus paham bahwa aku adalah manusia, meski manusia patah sekalipun, jika saja kamu lupa

Senin, 16 September 2013

Rumah Rindu

Aku merindukanmu.
Bukan karena rumah yang katanya ada di ujung jalan, dipisahkan bentangan rel kereta yang terlalu panjang untukmu menantiku, untukku menghampirimu, atau untuk kita menukarkan makna diam lewat tatap.

Aku merindukanmu.
Bukan karena rumah yang akan meneduhkan kepala-kepala mungil masa depan kerap kali kaubicarakan, kuiyakan, atau kita dambakan terletak di kota yang sama kita cintai seperti cinta yang sama kita coba tuai.

Aku merindukanmu.
Bukan karena rumah yang kasurnya sempat kita tiduri telah merekam habis ingatan yang kita bangun dari batu bata aroma tengkukmu, pasir belaiku, atau semen bibir kita yang mengeras mati tak mau berganti.

Aku merindukanmu.
Karena rumah yang senantiasa kutuliskan telah bermukim di lenganmu, dan memaksa tubuhku bermukim di dalamnya, dan membangunkan kita untuk kembali bermukim pada rindu, dan nantinya; ketiadaan.

Kamis, 12 September 2013

Buku Pembaringan

Aku ingin membeli buku catatan yang lebih tebal
Lalu rak buku yang lebih besar
Agar luka tak perlu keluar kamar,
menggelandang mencari tempat berbaring
Agar luka bisa tertidur lelap di atas kertas putih tak bergaris


Jakarta,
Pukul ketika kota ini tampak cantik

Selasa, 10 September 2013

Gadis Kecil Yang Tak Ingin Dewasa

Sore yang basah. Aku melarikan telapak-telapak kaki mungilku menuju rumah. Matahari tampak sudah sangat lelah dan ia berkata kepadaku bahwa ia akan segera pulang. Pengeras-pengeras suara di masjid-masjid membisikkanku suara yang rata-rata orang tak mampu dengar, bahwa aku harus segera pulang. Umurku baru saja menginjak 5 tahun dan matahari serta toa masjid begitu merepotkanku. Aku tak suka pulang. Aku baru saja bermain hujan dengan teman-temanku di dekat rumah dan aku tak mau berhenti meskipun hujan sudah berhenti setengah jam yang lalu.

Aku mendobrak pintu depan rumah yang sedikit terbuka. Baju terusan biru muda yang dibelikan salah seorang tanteku sebagai oleh-oleh perjalanannya dari Hongkong beberapa bulan lalu berubah cokelat karena habis bermain lumpur. Lantai rumah kubuat licin oleh bekas kaki telanjangku yang lembab. Aku sudah bersiap dimarahi. Kutunggu suara mama terdengar dan meninggi. Aku memasang raut paling polos untuk menutupi kenakalanku karena telah membuatnya repot harus membersihkan kekacauan yang kubuat dan mengkhawatirkanku sepanjang sore.

Aku masih menanti suara mama untuk menyerangku dan juga pelukannya yang biasanya akan segera menyusul suara tingginya. Pelukan itu yang aku tunggu. Tak apa jika aku harus kena marah lebih dulu. Namun yang aku dengar lain. Aku memang mendengar suara mama, tapi bukan suara marah dengan nada yang meninggi, melainkan suara tangisan hebat.

Aku memasuki kamar mama, membuka pintunya pelan-pelan dan menemukannya sedang menutupi wajahnya sebisa mungkin dengan bantal di sofa pojok kamar dekat jendela. Aku merasa sedih. Aku tidak suka melihat perempuan menangis meskipun sebagai anak perempuan aku suka sekali merengek untuk hal-hal kecil. Tapi aku menangis hanya untuk mencari perhatian. Aku hanya anak kecil. Aku menangis karena aku melihat darah bercucuran dari permukaan lututku, bukan dari hatiku.

Aku sering sekali melihat mama menangis sejak aku lahir. Lima tahun yang lalu, ketika aku mendapat giliran untuk pindah tempat tinggal ke dunia di luar tubuh mama setelah jauh sebelumnya bersusah payah mengambil keputusan untuk bersedia ditempatkan di perutnya oleh Tuhan dan keluar dari surga, aku pikir hanya aku yang akan sering menangis. Ternyata aku salah. Mama adalah sainganku. Entah karena apa saja dia menangis. Dulu aku sering mendengar teriakan-teriakan penuh makian ketika tidur di dalam perut mama. Mungkin itu papa, aku tak tahu. Aku tak pernah tahu sebab aku tak pernah melihat wajahnya sama sekali.

Tadi aku melihat Om Kumis, begitu aku biasa memanggilnya, keluar dari rumah ketika aku sedang bermain hujan. Ia mengendarai mobilnya buru-buru. Ia sering datang meskipun tak setiap hari, dan sering ketika malam hari. Mungkin tadi ia mau buru-buru menjemput istrinya dari salon. Selain Om Kumis, aku punya banyak om lain yang sering mengunjungi mama pada waktu-waktu yang tidak jauh berbeda polanya dengan Om Kumis. Aku punya panggilan khusus masing-masing untuk mereka. Ada Om Kelingking yang suka mengaitkan kelingkingnya dengan kelingkingku ketika berjalan bersama, ada Om Pak Raden yang suka mendongengiku, ada Om Lalala yang suka menyanyikanku lagu sebelum tidur, dan banyak lagi. Aku menceritakan tentang mereka semua kepada Baba, bonekaku yang baik hati dan mau menyimpan rahasia dari cerita-ceritaku. Sesering mereka mengunjungi mama, sesering itulah aku melihat mama menangis.

Aku marangkak naik ke atas sofa tempat mama duduk dengan gaunku yang masih basah dan penuh lumpur. Aku memeluknya. Aku tahu itu akan mengahangatkannya, meskipun secara teori aku justru membuatnya dingin. Ketika memeluknya, aku ingat teman di dekat rumahku. Mereka memang tak pernah memelukku, tapi aku merasa hangat ketika bermain bersama mereka. Meskipun bermain hujan sekalipun, aku tetap hangat. Mungkin karena mereka tak menyimpan mendung di dalam kepala dan hati mereka. Mereka hanya anak kecil, sama seperti aku. Mereka tak mengenal kesedihan. Tidak seperti orang dewasa.

Aku tak mau dewasa. Aku pernah bercerita kepada Baba bahwa aku ingin cepat mati. Secepatnya selama aku masih kecil. Aku tak mau merasakan bagaimana menjadi dewasa. Aku mau mati ketika aku hanya punya luka di lutut, sebelum aku mengenal luka di dalam hati.

____________________________________________


Matahari terik sekali siang ini. Sekolah sudah bubar satu jam yang lalu tapi aku tak ingin pulang. Di sini tempat dimana ada banyak anak kecil, maka di sini hangat. Teman-temanku sudah pulang semua tapi aku masih ingin bermain ayunan di bawah beringin belakang sekolah. Tempat itu pasti sejuk sekali di tengah hari seperti ini.

Aku berjalan sambil sesekali melompat-lompat ke belakang sekolah. Ternyata ada orang di bawah pohon. Aku mengenalinya sebagai Ibu Ria. Namanya memang bukan Ria, tapi ia selalu ceria di depan muridnya, maka sejak hari pertama aku bertemu dengannya, aku memanggilnya Ibu Ria. Awalnya ia sering menanyakan alasanku, namun aku biasanya hanya tertawa dan berlari darinya. Lalu ia hanya akan ikut tertawa dan lama kelamaan tak lagi mempermasalahkannya.

Ibu Ria memang selalu tampak ceria. Tapi ia sering sekali menangis dan hanya aku yang tahu. Aku memang satu-satunya anak yang suka tinggal di sekolah lebih lama setelah jam pulang sekolah. Rumahku dekat sehingga aku tidak perlu mengkhawatirkan apapun untuk harus pulang cepat. Aku bahkan biasa berjalan kaki sendiri karena sekolah hanya dua lorong dari rumahku di dalam satu kompleks perumahan yang sama. Oleh sebab itu, hanya aku yang tahu Ibu Ria sering sekali menangis. Ia hanya menangis setelah jam pulang sekolah. Aku tidak pernah mau tahu kenapa, karena aku memang tahu orang dewasa menyimpan mendung di dalam kepala dan hati mereka masing-masing. Tapi minggu lalu aku tak sengaja mendengar bahwa tunangan Ibu Ria meninggal beberapa bulan yang lalu dalam kecelakaan lalu-lintas. Maka pemaklumanku terhadap orang dewasa yang suka menangis semakin kuat. Aku semakin tidak bertanya-tanya.

Aku berjalan mendekati Ibu Ria. Biasanya jika mendengar dia menangis, aku hanya memperhatikan dari jauh. Tapi kali ini aku ingin memeluknya. Aku tahu hal itu akan menghangatkannya meskipun siang ini memang sudah sangat terik. Ia melihat kedatanganku dan menyambut tubuhku dengan tangan terbuka dan tangis yang semakin pecah. Di dalam pelukannya, aku menuliskan janji di dalam diriku sendiri bahwa aku akan mati selagi masih kecil, lalu perjanjian itu kutandatangani. Aku semakin yakin dengan keinginanku. Aku akan pulang ke surga, tempatku tinggal sebelum aku mengiyakan tawaran Tuhan untuk turun dan menempati isi perut mama. Di sana menyenangkan sekali.

____________________________________________


Sore ini aku mau bermain. Aku memilih melangkahkan telapak-telapak mungilku ke arah tempat pemakaman dekat rumah. Sama dengan sekolah, pemakaman masih di dalam satu kompleks. Mama tidak akan khawatir, tempatnya dekat dan di sana aku akan menemui kakek. Lagipula mama pasti sedang sibuk. Dia selalu sibuk. Kalau tidak menangis, pasti ia sibuk melukai dirinya sendiri untuk menangis lagi nantinya, dan terus-menerus berputar seperti itu.

Aku senang menemui kakek. Ia bisa diajak bercerita banyak. Ia teman bercerita yang baik bagiku selain Baba. Aku memetik bunga dan daun-daun di sepanjang perjalananku untuk ditaburi di atas makamnya. Setelah mengucapkan salam dan menaburkan potongan-potongan tumbuhan yang kupotong sendiri dengan kuku-kuku yang sering malas kupotong itu, aku duduk di dekat gundukan tanah yang menindihnya tidur di dalam sana. Aku mulai bercerita tentang banyak hal. Sebagian besar tentang tangisan, orang-orang yang menangis, dan apa-apa yang membuat mereka menangis. Aku sadar, aku jarang bercerita tentang bahagia.

Tiba-tiba aku ingat tentang satu-satunya cerita bahagia yang aku miliki. Cerita itu tentang kakek dan nenek. Maka aku menceritakannya lagi kepada kakek, siapa tahu dia lupa, karena dia memang sudah tua dan meninggal dalam keadaan pikun akut. Meskipun begitu, nenek adalah hal yang paling jarang ia lupakan di antara setumpuk kebingungan-kebingungan yang ia alami setiap hari karena kepikunannya. Kakek tidak hanya selalu mampu mengingat nenek, tapi juga mengingat perasaan yang dirasakannya kepada nenek dengan sangat detail. Sosok nenek yang muncul di kepala dan bibirnya di antara sekian banyak hal yang selalu ia lupakan mampu membuatnya tersenyum. Ketika ia tersenyum, bukan hanya keriputnya yang tampak tertarik dan giginya yang tampak ompong, tapi nenek juga ikut tampak di dalam matanya.

Nenek sudah meninggal lebih dulu sebelum kakek. Kakek sempat sangat bersedih, tapi tidak lama. Mungkin setelah itu dia lupa, karena dia memang sudah pikun. Lalu ia akan teringat lagi, dan tersenyum lagi, lalu lupa lagi. Begitu seterusnya. Ia pernah bercerita kepadaku di suatu sore yang mendung bahwa ia akan segera menyusul nenek. Matanya bersinar begitu bahagia ketika mengatakannya.

Aku tak punya cerita bahagia lain selain cerita kakek dan nenek. Maka aku pikir, menyusul kakek mungkin adalah suatu keputusan yang sangat baik dan membahagiakan. Lagipula, aku akan sangat senang bisa bertemu dengan kakek, sama dengan kakek dulu sangat senang jika bisa menyusul nenek.

_______________________________________________


Pagi ini aku mau bermain di rumah sakit. Kali ini aku tidak sendirian karena rumah sakit terletak jauh dari rumah. Aku pergi bersama mama. Aku tidak menggenggam tangannya, melainkan hanya mengikuti langkahnya dari belakang. Sesungguhnya aku tak sabar. Aku suka berjalan sambil sesekali berlari dan melompat-lompat. Hal itu menyenangkan. Tapi mama berjalan sangat lambat dan aku hanya bisa mengikuti dari belakang. Langkahnya lunglai, sorot matanya redup dan lelah. Atau mungkin malah sedih.

Aku sampai di rumah sakit dan memasuki salah satu kamar rawat inap. Aku mulai melompat-lompat dan berlari-larian. Aku bermain dengan apa saja yang bisa aku mainkan di dalam kamar itu. Kamar itu ramai, ada beberapa keluargaku yang datang, tapi mereka semua tidak ada yang mempermasalahkanku.

Akhirnya aku kelelahan. Aku duduk di sofa dekat tempat tidur pasien. Aku hanya terdiam menatap diriku sendiri di atas kasur di depanku. Bukan apa-apa, aku hanya tidak tahu lagi harus bermain dengan apa. Orang-orang di dalam ruangan itu tak ada yang melihatku. Mereka sibuk mendengarkan suster yang datang melaporkan keadaanku. Katanya aku sudah tidak sadarkan diri di tengah koma selama 4 hari. Katanya lagi, aku mengidap penyakit hati. Ada luka di dalam hatiku. Luka itu bahkan mengakibatkan pendarahan di dalam hati. Penyakit yang aneh, kupikir.

Kemarin sebelum suster yang ini datang, dokter sempat mengatakan bahwa penyebab luka di dalam hatiku adalah cacing parasit yang memakan organ dalam tubuh. Itu penemuan baru di dunia kesehatan. Diam-diam aku merasa bangga. Aku merasa seperti ilmuan atau astronot atau orang-orang lain yang dekat dengan kata penemuan. Hal itu aku dengar dari Ibu Ria di sekolah dan dari dongeng-dongeng yang diceritakan Om Pak Raden. Aku membanyangkan diriku menjadi kayu lapuk di gudang halaman belakang rumah. Lalu cacing itu adalah rayap-rayap yang akan menghabiskanku.

Aku masih menatap tubuhku sendiri terbaring di depanku. Orang-orang di dalam kamar tak ada yang bisa melihatku. Aku masih lelah dan malas untuk bergerak. Pelan-pelan aku tersenyum. Aku berhasil. Aku akan mati ketika aku hanya mengenal luka di lutut. Aku akan segera menemui kakek dan berbahagia melihatnya sedang berbahagia dengan nenek.

Lama-kelamaan mataku tertutup. Aku merasa sangat mengantuk dan akhirnya tertidur. Di depanku, tubuhku menghentikan detak jantungnya. Mungkin karena hatiku sudah habis dimakan cacing dan ia mulai menuju jantungku. Suara datar dan panjang dari monitor yang di layarnya menampilkan sebuah garis lurus terdengar memekakkan telinga. Tangis mama pecah, tangis paling menyedihkan yang pernah aku dengar dalam kebosananku mendengar tangisnya. Tapi aku semakin terlelap sembari tersenyum.

Senin, 09 September 2013

Aku Telah Habis

Aku telah habis mengeja liuk tengkukmu
Membaca abjad demi abjad aroma tubuhmu
Mencatat alkohol dan sisa asap rupa-rupa rokok dari sudut bibirmu
Membukukan ingatan-ingatan yang dapat kuberi judul; kita

Aku telah habis di dalam pelukanmu
Dan jika pelukan itu adalah rumah yang selama ini kudamba untuk berpulang,
j a n g a n   p e r n a h   b a n g u n k a n   a k u
Karena mimpi hanya akan berupa bentangan luas langit malam penuh bintang,
yang semakin kutatap akan semakin menyerupai kecebong bercahaya berenang di dalam kolam
Atau hujan kristal berjatuhan ke bumi
Karena tak ada lagi mimpi indah dan mimpi buruk
Dan kenyataan

Senin, 02 September 2013

Rumah Yang Tak Sampai Dan Masa Lalu Yang Pincang

Di titik tapak ini, napasmu tersengal
Dayamu luruh dari raga yang penuh peluh

Kamu telah terlalu banyak berlari
Mencoba melebarkan jarak dari realita
Dari gapainya yang menggerogoti
Mencoba mencapai udara segar
Keluar dari bekap kenyataan-kenyataan

Kamu telah terlalu banyak berlari
Menuju rumah yang tak pernah sampai
Lengan-lengannya telah melunglai
Tak sanggup memeluk roboh tubuhmu
Dan harapan-harapan yang terbujur kaku

Di titik tapak ini, kamu terperangkap
Karena kaki masa lalu yang pincang itu,
lebih kuat berlari dari pelarianmu sendiri

Kamis, 29 Agustus 2013

Kring Kring! Postcard!


I got a postcard.
I got a chocolate.
I got a happiness.

Jakarta, 
Akhir Agustus yang bersedih kehilangan teman bicara terbaik.
Tapi September segera datang.

Jumat, 23 Agustus 2013

Cerita Tentang Bakau

Kata mereka,
mereka suka caraku bercerita ketika sedang jatuh cinta.
Mereka senang,
ada taman bunga yang muncul dari atas ubun-ubun kepalaku,
ketika nama lekaki demi lelaki keluar dari bibirku,
melompat riang meninggalkan jejak rona merah di pipiku.
Mereka senang,
karena kepala yang biasanya memupuk bakau kering,
yang merindukan sapuan air laut,
yang pecah di garis pantai,
menjelma mewangi melati.
Maka aku terus bercerita,
terus memekarkan kuncup-kuncup bunga,
terus menyebut nama lelaki demi lelaki,
satu demi satu,
bergiliran.
Sampai matahari bersinar terlalu panas,
dan hujan tak kunjung turun kecuali dari sudut-sudut mataku.
Dan taman bunga itu kering.
Mati.
Lalu aku memupuk lagi bakau kering,
yang merindukan sapuan air laut,
yang pecah di garis pantai.
Lalu jatuh cinta lagi,
bercerita lagi,
mati lagi.

Rabu, 14 Agustus 2013

Trilogi Kehilangan: Bagian Tiga

Sepucuk surat untukmu:



Sebesar-besarnya harapan untuk bersamamu adalah bisa membicarakannya. Melafalkan perkara-perkara besar yang tak pernah ada di dalam percakapan-percakapan kecil kita. Tapi lilin sudah lebih dulu padam. Balon sudah lebih dulu pecah. Jam sudah lebih dulu berdentang dua belas kali. Dan aku sudah lebih dulu mati di bibir dan matamu.



 

Jakarta, 14 Agustus 2013

Trilogi Kehilangan: Bagian Dua

Sepotong puisi untukmu:



Aku menuliskan ini ketika jam yang tak pernah berbunyi
seharusnya akan bedentang dua belas kali

Dua menit lagi, sudut-sudut dunia akan merayakan
apa-apa yang seharusnya dirayakan

Sudut kepalaku merayakan kecemasan

Harapan-harapan ramai berdatangan
bukan sebagai ingatan dari desa belakang gunung
tapi sebagai ketiadaan dari desa depan sungai
mengetuk pintu, menyalakan lilin tubuhnya sendiri
lalu meniupnya sampai mati sebelum meleleh habis

Kemudian gelap

Kemudian senyap

Lalu balon yang digenggam tangan
yang telah mendorongku jatuh ke liang paling dalam meletus

DOR!!!

Potongan-potongan kehilangan berhamburan di depan mata,
mengaburkan pandangan atas langkah-langkah kaki seseorang
di depanku yang tengah berlari

Semakin jauh menghilang




Jakarta, 13 Agustus 2013

Trilogi Kehilangan: Bagian Satu

Sebait sajak untukmu:



Telapakmu terus meremas dan tak mau lepas
Padahal aku sudah lebih dulu mati
Di bibir dan matamu




Jakarta, 12 Juli 2013

Selasa, 13 Agustus 2013

Kisah Seorang Pemetik Gitar

Napasmu, nada-nada
Dekap lenganmu, telapak yang menapak kokoh
di atas tanah kayu penuh pelitur
Jemarimu, cerita yang menelusur
sepanjang benang enam rupa
Matamu, redup dalam pejam
yang tenggelam terseret arus masa
Bibirmu, cinta yang terkatup rapat melebur detak

Maka kau tak seharusnya memetik tubuhku

Kini napasku adalah nyanyian atas detakmu,
apa-apa yang mengisi suara gitarmu

Senin, 12 Agustus 2013

Euforia

Apa yang ada di benakmu jika kau mendengar dua kata; "Pasangan Hidup"?

Ini tulisan kedua dari saya tentang hal tersebut, setelah tulisan pertama dengan judul "Teman Hidup" yang bisa kau temukan di blog yang sama. Ini tulisan kedua yang mungkin isinya tidak akan terdengar seindah dan sepositif tulisan pertama tadi.

Akan saya tanyakan kembali, apa yang ada di benakmu jika mendengar dua kata; "Pasangan Hidup"?

Saya ingin menceritakan tentang isi benak saya sendiri. Saya berada dalam dua pilihan, 1) terlalu banyak hal yang ada di benak tentang hal itu, 2) tidak ada hal yang ada di benak tentang hal itu, dan 3) keduanya. Saya rasa, jika menerima impuls penyataan yang berbunyi "Pasangan Hidup", isi kepala saya akan segera mencetak berbagai macam skema atau yang lebih kalian kenal sebagai mind set, yang positif dan kebanyakan negatif, dan membiarkannya melintas anggun di pikiran saya. Saking banyak dan padatnya skema yang diproses, saya lebih sering merasa tidak terpikirkan apapun tentang hal itu. Dengan mengetik tulisan ini, sesungguhnya saya ingin berbagi beberapa pandangan tentang "Pasangan Hidup" dari orang-orang yang sempat saya kenal dan walaupun tidak mempengaruhi, tapi cukup membekas di benak saya.

Sekali lagi, apa yang ada di dalam benakmu jika mendengar dua kata; "Pasangan Hidup"?

Rata-rata orang akan menyederhanakan pemikiran mereka dan mentransformasikan dua kata "Pasangan" dan diikuti dengan "Hidup" menjadi hanya satu kata yang berbunyi "Pernikahan". Standar pemikiran orang timur yang budayanya masih tabu menerima kondisi dua orang berbeda jenis kelamin tinggal, menjalani hidup dan bahkan membangun keluarga bersama-sama tanpa ada ikatan pernikahan. Tapi memang benar, keduanya adalah dua hal yang jauh berbeda konsep dan konten di dalamnya. Memiliki pasangan hidup adalah hal yang jauh berbeda dengan melaksanakan pernikahan. Mencintai adalah hal yang jauh berbeda dengan menikah.

Ada tiga konsep pernikahan yang negatif, yang muncul melalui skema-skema pemikiran tiga orang berbeda yang akan saya ceritakan di sini. Dan ketiganya lelaki.

Pria pertama, sosok dengan wajah tampan dan bentuk badan mendekati dambaan wanita-wanita umumnya yang sering dikira blasteran. Pria mapan yang bahkan untuk sekarang ini kemapanannya minimal sudah bisa digunakan untuk menghidupi satu istri dan tiga anak. Pria dengan isi kepala ajaib yang kecerdasannya mungkin akan menampakkan deviasi atas yang jauh dari rata-rata. Pria yang wawasannya luas dan didukung dengan latar belakang pendidikan serta pengalaman kerja yang matang. Pria dengan selera seni, terutama musik, yang patut diacungi empat jempol. Pria yang sungguh sulit mencari pasangan hidup yang mampu mengimbangi kualitas dirinya. Seorang wanita cantik luar biasa, mapan dan lulusan pendidikan seni suatu universitas di negeri Paman Sam pun pernah gagal mencuri hatinya pada kencan pertama. Katanya, wanita itu tidak cukup asik diajak ngobrol. Maka demikianlah, skema tentang pernikahan yang ada di dalam kepalanya adalah bahwa orang-orang yang menikah itu tidak keren. Tidak keren karena membuang-buang waktu dengan menghabiskannya melalui interaksi omong kosong dan tidak berguna dengan orang yang mungkin tepat untuk hanya mendampingi, tapi tidak tepat untuk mengimbangi.

Pria kedua, sosok sederhana dengan isi kepala yang juga unik dan luar biasa. Pembaca buku dengan jiwa kemanusiaan yang tinggi dan perhatian khusus yang banyak dicurahkannya pada isu-isu sosial serta seringkali politik. Pria dengan pemikiran yang sungguh kaya serta wawasan yang sungguh luas dan dalam. Pria yang tampaknya baik sebagai teman bicara bagi siapapun. Pria yang sedang menjalin cinta dengan seorang wanita beruntung dan sering membuat iri orang lain yang melihatnya. Iri karena melihat kebersamaan dua orang yang bukan orang "baik-baik", paham benar rasa keburukan yang suka disajikan oleh kehidupan, telah sekian kali mengarungi sungai patah hati, akhirnya berlabuh dan bahkan menetap di rumah yang sama, lalu saling mencintai sedalam-dalamnya. Mencintai sedalam-dalamnya keindahan dan kecacatan satu sama lain. Tak ada yang akan menyangka jika skema pernikahan yang ada di kepala pria itu hanyalah berupa protes dan ketidaksukaan. Pernikahan baginya hanya merupakan syarat yang menyulitkan. Pernikahan baginya hanyalah lembaga yang membuat segala sesuatu yang seharusnya sederhana seperti dua orang yang saling mencintai, menjadi rumit dengan peraturan-peraturan dan nilai-nilai kolektif masyarakat yang harus dipatuhi.

Pria ketiga, sosok luar biasa yang sama halnya dengan dua sosok sebelumnya, merupakan golongan manusia cerdas dan unik, yang isi kepala dan wawasannya selalu sanggup membuat lawan bicaranya kagum. Pria yang sejak kecil tumbuh dengan berbagai kepelikan di dalam keluarganya, mulai dari perpisahan kedua orang tua sampai kondisi keuangan buruk yang sempat membuatnya tahu rasanya berjuang menghidupi diri dan membiayai sekolah sendiri dengan cara apapun yang mampu dilakukan olehnya. Pria hebat yang akhirnya sukses, sedikit demi sedikit bersiap untuk menjadi orang besar. Pria yang sudah menjalin hubungan dengan seorang wanita bertahun-tahun lamanya, seakan wanita itu telah dipersiapkannya untuk mendampingi di pelaminan. Namun baginya, pernikahan bukanlah suatu hal besar apalagi sakral. Bahkan ada skema yang dipegang olehnya bahwa pernikahan bukan hal yang terjadi sekali seumur hidup, atau sekali untuk seumur hidup. Hanya orang beruntung yang menikah sampai mati, dan ia tidak yakin ia termasuk di dalam golongan orang beruntung itu. Jadi, pernikahan hanyalah satu dari sekian banyak moment of life dan bukan merupakan hal besar atau penting dalam hidup. "Kau mungkin akan menikah dengannya, tapi kau juga mungkin tak akan selamanya bersama dia," begitulah kira-kira.

Lalu bagaimana dengan skema saya sendiri? Selalu ada dua kutub kepercayaan yang sungguh bertolak belakang yang hadir pada saat bersamaan. Pada salah satu kutubnya, saya tidak percaya dengan kebahagiaan yang selamanya. Tidak ada hidup yang indah pada akhirnya, segala sesuatu akan selamanya mengalami naik-turun. Kau harus pintar mengatasi euforia. Mungkin ketidakpercayaan yang sama adalah alasan orang-orang lain sulit menemukan pasangan yang pas. Ketidakpercayaan yang muncul dari ingatan-ingatan masa lalu, atau dari pemahaman bahwa rasa memiliki yang berlebihan selalu mampu menjadi perusak kewarasan terbaik. Atau bahkan sosok pendamping impian yang saking terlalu sederhana justru menjadi terlalu muluk karena kesederhanaan sudah terlalu sulit ditemukan di zaman seperti ini.

Di kutub lainnya, selalu ada harapan kecil yang terselip di antara ketidakpercayaan saya tentang bagaimana menemukan pasangan hidup dan menjalin hubungan yang bahagia selamanya. Harapan bahwa ketidakpercayaan saya justru akan terbukti dan menjadi kenyataan. Bahwa saya akan menemukan dan menikmati apa yang tidak saya percayai itu suatu saat nanti; menemukan rumah paling nyaman untuk berpulang setelah serangkaian perjalanan jauh yang sungguh melelahkan.

Jadi, apa yang ada di dalam benakmu jika mendengar dua kata; "Pasangan Hidup"?

Paling tidak, selamatkanlah dirimu dengan terus memupuk keyakinan-keyakinan positif di dalam kepalamu.

Minggu, 28 Juli 2013

Mengisahkan Mimpi

Selamat malam.

Untukmu, kusampaikan selamat yang kedua setelah selamat pembuka tulisan, atas kesempatanmu menerima surat ini.
Surat pertama yang kusampaikan kepada seluruh dunia kecuali kepadamu.
Surat kesekian di antara surat-surat lain yang selama ini hanya diselipkan melalui bawah pintu kamarmu yang terkunci rapat, serupa harapanku untuk bisa terus bersamamu.
Surat pertama yang lahir dari tarian jariku di atas deretan tombol huruf, setelah sekian surat yang lahir dari tarian penaku di atas kertas.
Pena yang sudah kuhancurkan kemarin untuk melampiaskan emosi yang tak cukup habis kulampiaskan dengan cara mengukir tintanya di atas kertas.

Aku ingin membicarakan tentang mimpi.
Mimpimu, mimpiku dan semoga saja, mimpi kita.
Mimpi-mimpi yang senang kita mimpikan bersama-sama sepanjang lelap dan jaga yang kita lakoni.
Mimpi-mimpi yang kemarin baru saja kau pertanyakan umurnya.
Akankah ia dijemput malaikat kematian dalam waktu dekat?
Atau sanggupkah ia menahan lagu pemakaman agar dinyanyikan setelah ia menjadi kenyataan?
Entahlah.
Tapi kau tak perlu cemas.
Kecemasan adalah tamu yang senang mengunjungi orang-orang lemah.
Bukan orang-orang dengan kekuatan super bernama keyakinan seperti dirimu.

Aku ingin membicarakan tentang kisah yang tak pernah selesai.
Atau paling tidak, begitulah menurutmu.
Sekali lagi, kau tak perlu cemas.
Kecemasan adalah tamu yang senang mengunjungi orang-orang yang tak siap menelan kepahitan.
Bukan orang-orang yang telah tamat mengecap segala rasa milik buah peristiwa dari pohon kehidupan seperti dirimu.
Banyak hal-hal baik, banyak hal-hal buruk, namun lebih banyak lagi hal-hal di antaranya.
Banyak hal-hal yang tak pernah dimulai.
Banyak hal-hal yang yang dimulai dan selesai sepantas-pantasnya.
Namun lebih banyak lagi hal-hal yang dimulai dan tak pernah selesai.
Serupa kisah kebersamaan dua manusia yang menyebut namanya masing-masing sebagai Aku dan Kamu.

Aku ingin membicarakan tentang mimpimu, mimpiku dan kisah kita yang tak pernah selesai.
Waktu akan datang sebagai malaikat maut yang bersayap.
Ia siap menjemput dan membawa terbang mimpimu, mimpiku dan kisah kita yang tak pernah selesai.
Kau mungkin akan melihatnya menjauh darimu dan hilang di angkasa.
Tapi kau tak perlu cemas, ia hanya akan membawanya lebih dekat dengan Tuhan agar lebih cepat dibubuhi amin.
Mimpiku akan tetap menjadi kenyataan, begitu pula mimpimu.
Lalu pada mimpiku yang telah nyata, aku akan menuliskan cerita panjang yang indah tentangmu dan mimpimu yang telah nyata.

Sementara itu, tentang kisah kita yang tak pernah selesai, biarkan saja tak selesai.
Bahkan di dalam cerita yang kutuliskan di antara mimpi-mimpi kita yang telah nyata.

Minggu, 14 Juli 2013

Hujan dan Tanah-tanah Basah yang Lain

Sebagian tanah basah oleh hujan
Sebagian lainnya basah oleh kehilangan

Sebagian sisanya basah oleh keduanya

Maka demikianlah
Pemakaman di sore hari yang hujan
Adalah seteduh-teduhnya tempat peristirahatan

Rabu, 10 Juli 2013

Tiga Jurang Kejatuhan dan Empat yang Tak Pernah Menyelamatkan

Pada awalnya, aku menjatuhkan diriku sendiri di jurang pertama
Di dasarnya, ada kamu, kita dan kebahagiaanku
Lalu aku mulai menulis skenario-skenario dengan pena yang tintanya sudah habis
Mengarang cerita-cerita yang tak akan pernah benar-benar terjadi


Pada titik waktu itu, aku terjatuh di jurang kedua
Di dasarnya, ada kamu, kalian dan kesedihanku
Lalu aku mulai berlari menyelamatkan diri
Menuju rupa-rupa entah yang sesungguhnya tak mampu menyelamatkan


Ketika itu, aku kembali menjatuhkan diri di jurang ketiga
Di dasarnya, ada dia, kami dan harapannya
Lalu aku mulai membuatnya menulis skenario-skenario dengan pena yang tintanya sudah habis
Mengarang cerita-cerita yang tak pernah mampu menjadikan dirinya nyata


Akhirnya aku menciptakan jurang keempat dan mendorongnya jatuh
Di dasarnya, ada aku yang masih terus berlari dan tak terselamatkan
Masih terus menulis cerita-cerita dengan pena yang hanya bisa merobek kertasnya
Masih terus ingin kembali jatuh di jurang pertama

Selasa, 02 Juli 2013

Rel Kabut Dan Gerbong Air Mata

Aku sampai pada satu keputusan besar di dalam hidupku. Aku akan pulang. Ini adalah keputusan besar yang pilihan iya atau tidaknya telah bertarung di dalam diriku selama sekitar sepuluh tahun belakangan. Ini keputusan yang seakan tidak menyediakan bagiku satu pilihanpun, karena bagiku yang ada hanyalah kosong selama belasan tahun. Bagiku, keputusan ini adalah hasil dari usaha kasat mataku selama belasan tahun untuk menyembuhkan traumaku.

Selembar tiket kereta api sudah ada di tanganku sejak seminggu yang lalu. Hari ini aku akan berangkat dari Stasiun Tugu Yogyakarta menuju Stasiun Malang. Aku akan pulang. Melakukan rekonstruksi atas definisi rumah bagiku, karena selama belasan tahun belakangan ini, kota tempat lahirku itu hanyalah sebuah nama yang tertera di buku pengetahuan sosial dan tak ada satupun isi informasi lain yang aku miliki tentangnya. Aku memang sengaja melupakannya. Aku menghapus semua hal tentang kota itu dan menolak ingin tahu tentang apapun yang berhubungan dengannya. Aku telah melakukannya sejak kecil. Aku melakukan aksi represi hebat untuk segala informasi tentang kota yang pernah ditempati oleh rumah dan keluarga kecil bahagiaku. Aku terlalu kecil untuk membedakan kenangan dan informasi, tapi aku telah terlanjur jauh melakukannya sampai aku tumbuh dewasa seperti ini. Sudah lama sekali sejak aku menganggap kota itu tidak ada.

Aku memilih keberangkatan jam 9 malam agar aku bisa tiba kira-kira pukul 4 dini hari. Aku tidak mau mengamati apapun di luar jendela, biar hanya hitam dan aku tak punya pilihan. Aku akan membiarkan diriku fokus lebih dalam pada suara-suara yang sesungguhnya membuatku merasa sedang menyayat nadiku sendiri. Suara gesekan antara besi-besi yang berkarat, rem kereta dan gerbong-gerbong yang bertubrukan sepantasnya. Suara-suara yang menganyam potongan-potongan memori paling menyakitkan yang pernah kuketahui.

Ini kali pertama aku akan naik kereta lagi setelah belasan tahun yang lalu. Rangkaian kotak-kotak besi itu mengerikan. Bau karatnya selalu mampu menakutiku dan membuatku terbangun penuh peluh oleh mimpi buruk yang bahkan hanya terjadi karena aku membayangkannya, tanpa benar-benar menaiki atau mendekatinya. Keputusan ini memang terlalu besar. Memberanikan diri menaiki alat transportasi paling mengerikan dan menuju tempat paling menyakitkan sekaligus dalam sebuah keputusan adalah hal yang terlalu besar. Semoga aku mampu menahan bebannya.

"Nggak ada yang ketinggalan kan? Kamu hati-hati, ya."

Aku hanya mengangguk dan tersenyum menenangkan. Aku diantar oleh Rora, kekasihku, dan kalimat kedua dari mulutnya tadi yang berupa pernyataan, sudah dua puluh sembilan kali ia ucapkan sejak aku memberitahukan rencana keberangkatanku tiga hari yang lalu kepadanya. Mungkin hanya kekhawatiran yang berlebihan akan pikiran-pikiran wanitanya. Kali ini, ia menghabiskan waktu lebih banyak untuk menanyakan berkali-kali keadaanku dan memberi nasehat ini-itu daripada berdandan.

.....


Ketika itu aku hanya anak lelaki berusia 8 tahun. Aku masih tidak cukup mau mengerti tentang mengapa orang tuaku ingin aku pindah sekolah ke Yogyakarta. Segala sesuatu diatur sedemikian rupa, aku akan tinggal bersama pakdhe dan budhe-ku di sana. Katanya aku hanya akan sebentar di Yogya, meskipun tak ada satu orangpun yang berhasil menyampaikan kepadaku tepatnya berapa lama waktu yang akan aku habiskan di sana dan jauh dari rumah serta orang tuaku. Sampai sekarang aku masih tidak paham apa alasan sesungguhnya mereka ingin aku meninggalkan Malang.

Aku hanya mampu mengingat beberapa hal. Ketika itu budhe-ku datang dari Yogya ke Malang untuk menjemputku. Sudah dua hari dia ada di rumahku sebelum pada suatu pagi aku dibawa ke stasiun dengan banyak sekali tas yang aku tidak tahu kapan dan oleh siapa mereka disiapkan. Kereta pagi itu datang dan aku beserta budhe-ku naik ke salah satu gerbongnya. Ayah dan ibuku hanya sempat sebentar memeluk dan menciumku tanpa ada air mata setetespun atau raut muka sedih sedikitpun yang tampak dari wajah mereka. Semuanya biasa saja. Kasih sayang melimpah dari mereka yang setiap hari aku rasakan, masih sama terasa pada pagi hari itu. Tak ada yang aneh.

Aku melambai-lambaikan tangan dari jendela di dalam gerbong kereta. Lambaian itu dibalas hangat oleh orang tuaku. Aku tersenyum. Budhe duduk di sampingku. Katanya, kereta akan sampai di Yogya jam 4 sore. Aku harus bersabar di dalam kereta. Ia juga bilang bahwa aku akan masuk sekolah yang lebih bagus di sana. Ayah dan ibuku akan segera menyusulku. Aku hanya mengangguk-ngangguk mendengarnya.

Tidak sampai tiga jam jam berlalu di dalam kereta, budhe mulai menangis di sampingku. Aku tidak benar-benar tahu mengapa. Sejak kereta mulai bergerak, aku hanya menatap pemandangan alam di luar jendela sambil terkantuk-kantuk. Aku bahkan bisa tidak sadar kalau budhe sempat beranjak dari duduknya di sampingku. Ia langsung memelukku erat dan dengan histeris yang agak ditahan secara paksa, ia  membisikkan padaku sesuatu yang membuat isi kepalaku seperti dikeluarkan dari tempatnya beberapa saat sampai aku tidak mampu melakukan apapun.

"Orang tuamu meninggal, Nak. Mereka kecelakaan sepulang dari stasiun untuk mengantarmu barusan."

Tangisnya pecah lagi. Aku hanya melotot dan menganga. Aku tidak mampu memikirkan apapun. Aku hanya merasa seakan organ-organ dalamku tercabut keluar dari rongganya tiba-tiba, dan aku hanyalah rangka tanpa isi sama sekali. Aku melanjutkan kegiatanku memperhatikan pemandangan alam di luar jendela, namun yang terlihat di benakku hanya gambar mobil yang tertabrak oleh mobil lainnya, terbalik, lalu banyak darah yang keluar dari tubuh-tubuh yang ada di dalam mobil itu. Aku tetap diam. Air mataku jatuh beberapa tetes, tapi berhenti setelah itu sampai belasan tahun kemudian.

Kami melanjutkan perjalanan ke Yogya. Selama sisa waktu perjalanan itu, hanya nyeri hebat yang terasa di ulu hatiku. Aku merasa sedih sekali, tapi tak ada yang kulakukan, tidak menangis sekalipun. Aku juga tidak bicara sampai beberapa hari. Suara gesekan antara besi-besi yang berkarat, rem kereta dan gerbong-gerbong yang bertubrukan sepantasnya benar-benar menusuk telingaku dan semakin membuat nyeri ulu hatiku. Aku muntah dan semakin jijik melihat keadaan di dalam gerbong. Meskipun sesungguhnya semuanya normal, gerbong ini terlihat sebagai neraka bagiku.

Malam harinya, budhe dan pakdhe-ku kembali menuju Malang. Aku masih diam di atas tempat tidur sejak tiba di rumah mereka di Yogya. Tatapan mataku kosong. Aku tidak mau ikut ke Malang. Aku tidak mau apapun. Aku tidak mau melakukan apapun, aku tidak mau memikirkan apapun. Akhirnya aku ditinggal di rumah mereka bersama seorang pembantu karena aku meronta hebat ketika dipaksa ikut.

Aku tidak mau lagi menginjak Malang dan menemukan bangunan yang sudah tidak bisa lagi kusebut rumah, sembari mengingat tawa dan peluk dari ayah dan ibuku yang tak akan pernah ada lagi di sepanjang perjalanan sudut manapun kota itu. Aku akan menganggap kota itu tidak ada sama sekali dan aku tidak akan pulang. Aku juga tidak akan lagi naik kereta, mencium bau besi berkarat lalu muntah karena membayangkan darah yang mengalir dari dalam mobil yang terbalik membuat ulu hatiku sakit. Aku bertahan melakukannya sampai aku dewasa.

.....


Sudah pukul 11 malam. Sudah sekitar 2 jam aku duduk manis di dalam kereta. Hanya dudukku yang manis, perasaanku pahit bukan main. Kali pertama aku memaksa diri naik kereta setelah pergulatan batin dengan pengalaman traumatis yang telah aku lakukan belasan tahun belakangan ini, ternyata terlalu berat. Bayangan tentang kenangan di kota yang aku tujupun tak terasa manis sama sekali. Rangkaian memori manis telah dibusukkan kehilangan sampai menjelma pahit.

Sejak kepindahanku ke Yogya dan sekaligus sejak kematian ayah dan ibuku, aku tinggal dengan pakdhe dan budhe-ku. Mereka menyekolahkanku dan memenuhi segala kebutuhan hidupku, dibantu dengan tabungan peninggalan orang tuaku sampai sekarang, ketika aku sudah lulus perguruan tinggi dan mulai bekerja. Tapi tak apa, kali ini tekadku bulat. Aku memang mau pulang. Aku hanya tinggal berharap bahwa definisi pulang yang berani aku beri pada perjalananku kali ini tidak salah.

Ruang dalam gerbong cukup dingin. Baru saja Rora menelepon dan mengulangi pernyataan yang sama lagi agar aku berhati-hati. Dia terdengar sangat khawatir, entah apa sebenarnya yang dipikirkan dan dirasakannya.

"Semalam aku mimpi buruk." Katanya.

"Mimpi apa?"

"Aku bermimpi, aku menangis sejadi-jadinya di kamar karena kamu pergi. Aku hanya ingat itu. Aku menangis sampai air mataku menggenang semata kaki, dan aku terus saja menangis."

"Sudahlah. Kamu hanya terlalu mengkhawatirkanku. Aku akan baik-baik saja."

.....


Waktu menunjukkan pukul dua malam. Sekitar dua jam lagi aku akan sampai. Udara di dalam gerbong kereta semakin dingin. Udara dingin ini menyerang mulai sekitar satu jam yang lalu. Aku merapatkan jaket yang kukenakan. Jaket itu sudah merupakan lapisan pakaian keempat yang kupakai jika kaos dan baju hangat sebagai dua lapisan paling dalam turut dihitung. Wujud hembusan napasku semakin tampak jelas seperti asap rokok di dalam ruangan yang dingin ini. Aku seperti ada di dalam sekotak lemari es.

Orang-orang di sekitarku di dalam gerbong yang sama tertidur. Semuanya tertidur. Wajah mereka tampak tenang, seolah tak ada mimpi yang mereka lihat dan membuat raut wajah mereka tampak berbeda-beda. Anak-anak kecil lelap di pelukan orang tuanya. Tak ada tangisan atau rewelan sama sekali. Tak ada juga satupun remaja-remaja yang terjaga dan berbagi cerita cinta mereka yang sedang merekah ataupun layu. Seorang pria dengan ransel besar, celana pendek dan sendal gunung yang tampak sering bepergianpun lenyap dalam lelapnya. Ia tidak sedang berkutat dengan pena dan buku catatan untuk menceritakan perjalanannya. Petugas kereta yang biasanya bolak-balik menawarkan pinjaman bantal tidak lewat sama sekali. Tak ada suara di dalam ruangan ini. Ruangan ini begitu sepi. Sunyi. Senyap.

Sedikit demi sedikit ada yang berubah dengan perasaanku. Perasaan-perasaan pahit dan menyakitkan yang kurasakan sejak aku memutuskan untuk melakukan perjalanan pulang ini, dan menguat sejak aku naik kereta, tidak lagi terasa. Hatiku perlahan-lahan damai. Tidak ada lagi sedikitpun beban yang terasa menumpang di bahuku. Kepalaku ringan dan aku mampu berpikir dengan jernih. Anehnya, dinginnya ruangan ini tidak menggangguku sama sekali. Ada yang terasa hangat di dalam rongga dadaku. Aku merasa bahagia. Aku merasa aku tak salah mendefinisikan perjalanan ini sebagai pulang, meskipun sebelumnya aku sangat tidak yakin rumah masa kecilku di Malang bisa membuatku merasa pulang tanpa adanya pelukan ayah dan ibuku.

Di luar jendela, hitam yang daritadi pekat dan menjadi satu-satunya pemandangan mulai berubah warna menjadi kelabu. Ada cahaya yang perlahan-lahan menyala dan menyibakkan gelap. Padahal waktu masih menunjukkan pukul 3 dini hari. Cahaya itu perlahan-lahan semakin terang dan menyilaukan. Kelabu di luar jendela berubah menjadi putih bersih. Tiba-tiba dari sela pintu-pintu pembatas gerbong, ada air yang mulai masuk. Entah dari mana air itu berasal sedangkan di luar tidak hujan. Air itu terus masuk memenuhi gerbong sampai menggenang semata kaki. Aku menyelupkan jariku ke dalamnya dan mencicipinya. Rasanya asin, seperti air mata.

Kereta ini seperti sedang melintas membelah kabut. Kabut yang dingin dan padat sehingga menyerupai awan. Kereta ini seperti sedang terbang di langit tanpa biru, yang ada hanya kabut putih tebal yang menyilaukan. Orang-orang di dalam gerbong masih saja pulas tak terganggu oleh apapun dengan raut-raut wajah damai. Rongga dadaku semakin hangat. Aku merasa sangat bahagia. Aku menyunggingkan senyum lebar dengan perasaan sangat lega. Aku merasa benar-benar pulang.

Laju kereta melambat. Kereta itu akhirnya berhenti di sebuah stasiun yang semua catnya berwarna putih. Banyak orang ramai menunggu di luar, mungkin ingin menjemput kerabatnya. Mereka semua mengenakan baju berwarna putih. Kereta akhirnya benar-benar berhenti. Dari jendela aku melihat ayah dan ibuku sedang menunggu dengan pakaian yang juga putih. Tangan mereka terbentang di antara senyum hangat, menanti memelukku.

Akhirnya aku benar-benar pulang.