Minggu, 08 Desember 2013

Gerbong Merenung: Sedikit Catatan Dalam Salah Satu Perjalanan Mencari Pulang

Pandai-pandailah bersyukur. Pandai-pandailah bersyukur. Pandai-pandailah bersyukur.

Pertama-tama saya ingin berterima kasih kepada kemampuan sosial saya yang baik. Bukan karena saya supel, melainkan bisa jadi hanya karena saya adalah orang yang suka sok asik.

Setelah menemukan banyak orang dengan banyak cerita, sebagai anak yang tidak pernah berkekurangan sesuatu apapun, saya semakin bisa memahami kalau akan selalu ada orang lain di luar sana yang hidupnya lebih sulit dari saya. Dalam hal apapun itu.

Saya pernah menemui sepasang suami istri di lorong gelap yang selalu saya lewati ketika pulang ke kos, mendorong gerobak jualannya bersama-sama, sambil bercerita dan tertawa. Lalu kenapa kita harus banyak mengeluh dan menuntut waktu bahkan masih dalam status pacaran, ketika hidup yang harus kita jalani dengan pasangan kita justru serba baik-baik saja?

Saya punya teman yang batal menikah ketika semua persiapannya telah sembilan puluh persen selesai, karena pasangannya menjalin hubungan lain dengan teman baiknya. Lalu kenapa kita yang mengalami patah hati lebih dini, ketika belum ada persiapan jauh-jauh menuju pelaminan dilakukan, harus sedemikian putus asa?

Saya juga punya teman yang untuk membiayai kuliahnya harus mengamen ke sana-ke mari, karena ibunya sendiri yang bahkan memintanya untuk berhenti kuliah karena tidak punya cukup uang. Lalu kenapa kita yang bisa kuliah dalam keadaan tenang dan tak perlu mengurusi urusan pembiayaan uang kuliah harus terus-menerus menuntut kepada orang tua kita karena selalu merasa berkekurangan?

Saya punya satu teman lagi yang orang tuanya berpisah dan kemudian menikah lagi dan lagi sampai dia punya begitu banyak saudara. Lalu kenapa kita yang masih selalu bisa berfoto bersama ayah dan ibu kita dengan senyum penuh di depan kamera harus selalu mampu mencari alasan untuk mengeluh?

Beberapa minggu yang lalu saya baru saja melakukan perjalanan pulang ke Jogja. Saya selalu menyebut perjalanan menuju kota itu dengan 'pulang', karena kota itu memang sudah terlalu nyaman untuk tidak dijadikan rumah. Setelah peristiwa membeli tiket kereta api secara impulsif dan spontan di Indomaret dekat kos, saya mempersiapkan segala sesuatu untuk berangkat. Kereta yang saya pilih adalah kereta ekonomi malam jurusan Pasar Senen - Lempuyangan. Ya, ini bukan kereta ekonomi AC yang sudah lebih nyaman dibandingkan kereta bisnis. Ini kereta ekonomi kasta terendah. Hanya satu kasta di atas kereta barang.

Dengan biaya pulang-pergi seratus ribu, dimana sekali perjalanan hanya memakan biaya lima puluh ribu, saya merasa menang banyak. Di Jakarta, ongkos taksi untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lain saja sudah bisa menyamai total biaya perjalanan saya yang sudah bisa sampai di Jogja.

Perjalanan menuju Jogja terasa baik-baik dan biasa-biasa saja, kecuali ketika subuh mulai menjelang dan yang ada di depan mata saya adalah bentangan hijau persawahan dan bentangan jingga langit ketika matahari terbit. Saya merasa pulih. Pulih dari kesakitan yang disebabkan oleh riuhnya Jakarta. Perjalanan kereta malam saya menuju Jogja ditemani oleh dua teman yang saya temui secara kebetulan setelah bolak-balik berpindah gerbong, bertukar-tukar tempat duduk dengan orang-orang yang seenaknya menempati tempat di dalam gerbong. Saya pikir, "selamat datang di kereta ekonomi. Selamat menikmati perilaku penumpangnya." Kereta menuju Jogja itu sepi. Dari Jakarta sampai Jogja, kursi yang seharusnya ditempati lima orang hanya ditempati kami bertiga. Gerbong usang terasa seperti rumah. Tidak ada masalah.

Renungan-renungan panjang mulai dilakukan justru ketika berada di dalam kereta malam dari Jogja kembali ke Jakarta. Segala sesuatu tidak baik-baik saja.

Mulai dari kereta yang dijadwalkan berangkat pukul lima sore dari Jogja terlambat sekitar setengah jam. Selama hidup saya, saya belum pernah mengalami kereta terlambat, suatu hal yang bisa saya banggakan dari sistem yang ada di negara saya ini. Seringnya, saya yang hampir ketinggalan kereta, saking tepat waktunya jadwal kereta api, tidak seperti pesawat terbang. Namun kali ini berberda.

Di dalam kereta, saya tidak menemukan siapa-siapa yang saya kenali di gerbong yang sama. Saya langsung menuju tempat duduk yang tertera di tiket dan menjadi orang kelima yang datang. Artinya, kereta penuh. Tempat duduk untuk lima orang telah terisi empat orang yang semuanya laki-laki sebelum saya datang. Saya tidak peduli. Dengan kemampuan sosial (atau sok asik) saya yang di atas rata-rata, saya bisa langsung menyapa penumpang lainnya dan malah ditawari bertukar tempat di kursi dekat jendela. Senang luar biasa saya menerima tawaran itu.

Malam semakin larut. Mata-mata mulai mengantuk. Satu demi satu penumpang menggelar koran atau alas apapun itu di lantai kereta untuk tidur. Masing-masing mencuri celah sebisa mungkin untuk tidur nyaman. Lorong sisa untuk jalan di dalam gerbong pun penuh sesak. Orang-orang yang harus ke WC harus melompat-lompati tubuh-tubuh yang tidur di lantai, bahkan sampai harus memanjat-manjat kursi penumpang sepanjang lorong agar tidak menginjak yang sedang tidur.

Di antara deretan huruf yang berputar di dalam kepala saya dari buku yang saya baca, yang beruntung, telah menyelamatkan saya, saya membaca stiker peraturan yang menjelaskan larangan untuk menempati lorong-lorong jalan di dalam gerbong, termasuk untuk tidur, agar tidak mengganggu. Stiker itu sudah terkelupas sebagian, membuatnya tidak dianggap. Benar saja, siapa yang mau menaati peraturan yang sudah tinggal terbaca sebagian? Peraturan yang seluruh informasinya dapat ditangkap saja belum tentu ditaati, apalagi yang sisa sebagian? Rasanya seperti yang memberi peraturan saja tidak niat menyampaikannya.

Belum lagi tempelan pengumuman dilarang merokok. Saya hanya tertawa-tawa melihatnya, meskipun itu sudah kesekian kalinya saya membaca peraturan itu. Saya merasa lucu karena teringat salah satu teman saya yang pernah memprotes peraturan tersebut. Katanya, "sudah salah melarang saya merokok, salah pula penulisan kalimat larangan itu secara Bahasa Indonesia." Sekali lagi, siapa yang mau mematuhi peraturan yang penulisannya saja salah? Dan sekali lagi, seolah yang memberi peraturan saja tidak sungguh-sungguh. Pada akhirnya, seperti orang-orang yang tidur di lantai gerbong, peraturan dilarang merokokpun hanya menghasilkan para pencuri kesempatan yang merokok di sambungan-sambungan antargerbong.

Semua itu tidak begitu menjadi masalah bagi saya. Satu hal yang sungguh-sungguh membuat saya kagum adalah banyaknya kecoak di dalam gerbong. Dari setiap sambungan besi, berpuluh-puluh kecoak keluar masuk. Untungnya, mereka tidak mendekati manusia. Tapi tetap saja, melihat ribuan kecoak merayap di dinding-dinding gerbong, keluar-masuk dari celah-celah sambungan besi, dan mengelilingi orang-orang yang tidur, bukan suatu hal yang indah. Saya pikir, masalah kecoak bisa tinggal ditangani dengan pengasapan seluruh gerbong kereta. Tidak perlu waktu lama. Tidak perlu biaya yang terlalu besar. Penumpang bisa lebih nyaman. Perusahaan bisa memperindah nama baik. Tapi kemudian saya pikir, siapa yang peduli? Inilah yang kamu dapatkan dari berapa rupiah yang kamu bayar. Mungkin itu juga yang ada di pikiran Sang Pembuat Peraturan, Sang Perawat Kelayakan Gerbong, dan Sang-sang Lainnya Empunya Hajat.

Ketidaknyamanan saya mulai membuat saya banyak berpikir. Sambil saling bertatapan mesra dan pasrah dengan berekor-ekor kecoak yang sungguh lincah merayap berputar-putar ke sana-ke mari, saya kembali memikirkan konsep bersyukur yang saya ungkit di awal tadi.

Saya duduk di sini karena saya mau. Bukan karena saya tidak punya pilihan. Saya bisa saja memilih alat transportasi lain yang lebih baik dan notabene lebih mahal. Saya duduk di sini hanya karena saya ingin melakukannya. Ingin mengalami pengalaman-pengalaman apapun itu. Saya memang seperti itu. Teman-teman saya sering bilang kalau saya suka nekat dan seperti tidak pernah kehabisan energi. Bagi saya biasa saja. Toh, saya bukan orang yang setiap minggu mendaki puncak-puncak gunung yang berbeda-beda. Ini hanya jalan-jalan biasa. Sendirian bukan hal yang luar biasa juga bagi saya. Memilih kereta ekonomi yang sungguh apa adanya ini juga hanya karena saya adalah orang yang ingin mengalami segala hal mumpung masih hidup. Apapun itu.

Saya duduk di sini tidak seperti orang lain yang mungkin tidak punya pilihan. Manusia-manusia lelah yang mencari rumah dengan cara pulang ataupun pergi. Manusia-manusia yang mencuri celah yang sesungguhnya tak layak untuk tidur, demi menemukan tempat berbaring yang paling baik. Orang-orang yang mungkin tidak pernah bermasalah dengan kecoak, karena biasanya justru bermasalah dengan bukan hanya kecoak.

Belum lagi melihat petugas-petugas stasiun kereta api setiap kami singgah. Di dalam pikiran saya, apa yang ada di dalam pikiran mereka menjalani perkerjaan tersebut? Mereka juga orang-orang yang bekerja dua puluh empat jam seperti orang-orang di tempat saya bekerja; media televisi. Tapi tempat saya bekerja begitu menyenangkan. Sementara mereka? Tidak banyak yang bisa mereka lakukan di antara bangku-bangku tunggu yang kosong dengan bentangan rel yang tak punya ujung di depan mata sambil menanti rangkaian kotak-kotak besi yang telah berkarat menghampiri. Lalu kenapa kita masih bisa terus mengeluh?

Saya sampai di kos ketika toa-toa masjid sudah ramai mengajak orang beribadah. Kereta terlambat tiba satu setengah jam. Saya hanya punya waktu istirahat tiga jam sebelum harus memulai Senin. Tapi saya merasa baik-baik saja dan tidak ada yang perlu dikeluhkan.

Bentang renungan

Setengah-setengah

Dilarang merokok di dalam kereta..........akan diturunkan di stasiun terdekat

Perjalanan mencari pulang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar