Selasa, 24 Desember 2013

Kotak Kosong

Catatan ini ditulis di dalam kepala, dari dalam sebuah kotak besar, panjang, beroda banyak, berisi tangan-tangan kaku, tubuh-tubuh lelah, kaki-kaki pegal, dan mata-mata kosong.

Gambaran orang-orang di dalam kotak ini mampu menjelaskan definisi keanehan. Dunia memang aneh. Hidup memang aneh. Semakin kini semakin aneh.

Di dalam kotak ini, semua orang berkumpul. Pada beberapa waktu, beberapa di antaranya tidak sempurna. Kata orang, cacat. Sesekali, mereka akan diberikan tempat duduk, sementara yang lain berkorban berdiri. Sesekali saja. Itu jika mereka termasuk golongan 'orang biasa'. Jika tidak, penampilan lusuh dan kotor mereka tidak akan sempat diindera oleh orang lain. Tidak ada yang peduli. Tidak ada yang melihat. Tidak ada yang tersentuh kulitnya ketika mereka berdesakan lewat. Tidak ada yang mendengar ketika mereka mengeluarkan suara. Jikapun ada, orang justru akan menampilkan tatapan mengusir. Melalui tatapan jijik. Sisanya yang sempat akan menampilkan tatapan iba. Tatapan sedih. Tatapan yang justru lebih bisa membuat mereka putus asa dibandingkan tatapan lainnya yang sudah terlalu biasa mereka santap.

Di dalam kotak ini, jarak terdekat terpaksa diabaikan. Dekat yang seharusnya didamba manusia sebagai makhluk sosial. Dekat yang maknanya telah kabur ditelan kemajuan zaman. Di antara tubuh-tubuh yang sama sekali tak berjarak dan bahkan berdesak-desakan serta wajah-wajah yang berhadap-hadapan tidak lebih dari dua jengkal, orang-orang bisa mengabaikan semuanya. Bisa mengabaikan keberadaan orang lain yang tak berjarak darinya itu. Dekat yang seharusnya melahirkan interaksi dapat diubah menjadi biasa saja. Tidak ada yang peduli. Manusia semakin hebat membangun dunianya sendiri.

Di dalam kotak ini, segala sesuatu diklasifikasikan. Bukan dikategorikan. Karena segalanya punya kelasnya masing-masing, siapa yang lebih penting dari siapa. Dari klasifikasi itu lahir aturan-aturan. Siapa saja yang harus didahulukan. Siapa yang harus diberi jalan. Siapa yang harus diutamakan mendapat tempat duduk. Siapa yang harus tetap berdiri. Siapa yang harus terpisah dari siapa. Demi keamanan dan keselamatan, katanya. Sayangnya, aturan tak pernah lahir sebagai satu-satunya. Ia pasti terlahir kembar dengan para pembangkang. Kepekaan yang ingin dihadirkan melalui aturan itu membuat beberapa orang sadar untuk mematuhi, dan beberapa sisanya justru sadar bahwa isi yang dilarang di dalam kalimat larangan itu mampu ia lakukan. Maka orang cacat biasa akan diutamakan dan orang cacat yang kumal akan sengaja dibiarkan menderita. Kalau bisa lebih menderita dari orang biasa lainnya yang tidak cacat sekalipun. Maka laki-laki akan tetap mencuri kesempatan untuk melecehkan perempuan. Maka para renta akan tetap dibiarkan berdiri, diabaikan oleh yang tidak renta dengan pura-pura tidur di kursi yang sudah dimenangkan lebih dulu.

Di dalam kotak ini, segala sesuatu menjadi aneh. Kewajaran dijungkir-balikkan. Ketidakwajaran dimaklumi. Orang-orang tidur dalam keadaan berdiri dan terhempas-hempas kecil. Dalam keadaan yang bahkan tidak nyaman dialami saat tidak tidur. Orang-orang yang lelah dan bukannya beristirahat, melainkan justru melarikan diri. Entah dari apa. Mungkin dari diri mereka sendiri.

Di dalam kotak ini, penuh dapat dengan mudah menjelma kosong. Semakin penuh kotak, semakin kosong mata-mata orang di dalamnya. Mata-mata yang pandangannya lebih jauh dari jarak dunia. Karena pandangan-pandangan itu mampu menembus lapisan dunia lain. Dunia yang mereka bangun sendiri, lalu mereka lingkupkan ke sekeliling tubuh mereka sendiri. Mata-mata itu gelap. Tak punya sorot. Meskipun yang mereka pandang adalah tebaran lampu-lampu yang sungguh meriah dari kota yang sungguh ramai dan tak pernah redup. Namun ramai cahaya dari kota itu tak cukup mampu menembus mata mereka dan membantunya ikut bersinar.

Sekian. Halte tujuan sudah tinggal beberapa meter.



Jakarta, 21/12/13
Transjakarta Blok M - Harmoni




Tidak ada komentar:

Posting Komentar