Kamis, 29 Agustus 2013

Kring Kring! Postcard!


I got a postcard.
I got a chocolate.
I got a happiness.

Jakarta, 
Akhir Agustus yang bersedih kehilangan teman bicara terbaik.
Tapi September segera datang.

Jumat, 23 Agustus 2013

Cerita Tentang Bakau

Kata mereka,
mereka suka caraku bercerita ketika sedang jatuh cinta.
Mereka senang,
ada taman bunga yang muncul dari atas ubun-ubun kepalaku,
ketika nama lekaki demi lelaki keluar dari bibirku,
melompat riang meninggalkan jejak rona merah di pipiku.
Mereka senang,
karena kepala yang biasanya memupuk bakau kering,
yang merindukan sapuan air laut,
yang pecah di garis pantai,
menjelma mewangi melati.
Maka aku terus bercerita,
terus memekarkan kuncup-kuncup bunga,
terus menyebut nama lelaki demi lelaki,
satu demi satu,
bergiliran.
Sampai matahari bersinar terlalu panas,
dan hujan tak kunjung turun kecuali dari sudut-sudut mataku.
Dan taman bunga itu kering.
Mati.
Lalu aku memupuk lagi bakau kering,
yang merindukan sapuan air laut,
yang pecah di garis pantai.
Lalu jatuh cinta lagi,
bercerita lagi,
mati lagi.

Rabu, 14 Agustus 2013

Trilogi Kehilangan: Bagian Tiga

Sepucuk surat untukmu:



Sebesar-besarnya harapan untuk bersamamu adalah bisa membicarakannya. Melafalkan perkara-perkara besar yang tak pernah ada di dalam percakapan-percakapan kecil kita. Tapi lilin sudah lebih dulu padam. Balon sudah lebih dulu pecah. Jam sudah lebih dulu berdentang dua belas kali. Dan aku sudah lebih dulu mati di bibir dan matamu.



 

Jakarta, 14 Agustus 2013

Trilogi Kehilangan: Bagian Dua

Sepotong puisi untukmu:



Aku menuliskan ini ketika jam yang tak pernah berbunyi
seharusnya akan bedentang dua belas kali

Dua menit lagi, sudut-sudut dunia akan merayakan
apa-apa yang seharusnya dirayakan

Sudut kepalaku merayakan kecemasan

Harapan-harapan ramai berdatangan
bukan sebagai ingatan dari desa belakang gunung
tapi sebagai ketiadaan dari desa depan sungai
mengetuk pintu, menyalakan lilin tubuhnya sendiri
lalu meniupnya sampai mati sebelum meleleh habis

Kemudian gelap

Kemudian senyap

Lalu balon yang digenggam tangan
yang telah mendorongku jatuh ke liang paling dalam meletus

DOR!!!

Potongan-potongan kehilangan berhamburan di depan mata,
mengaburkan pandangan atas langkah-langkah kaki seseorang
di depanku yang tengah berlari

Semakin jauh menghilang




Jakarta, 13 Agustus 2013

Trilogi Kehilangan: Bagian Satu

Sebait sajak untukmu:



Telapakmu terus meremas dan tak mau lepas
Padahal aku sudah lebih dulu mati
Di bibir dan matamu




Jakarta, 12 Juli 2013

Selasa, 13 Agustus 2013

Kisah Seorang Pemetik Gitar

Napasmu, nada-nada
Dekap lenganmu, telapak yang menapak kokoh
di atas tanah kayu penuh pelitur
Jemarimu, cerita yang menelusur
sepanjang benang enam rupa
Matamu, redup dalam pejam
yang tenggelam terseret arus masa
Bibirmu, cinta yang terkatup rapat melebur detak

Maka kau tak seharusnya memetik tubuhku

Kini napasku adalah nyanyian atas detakmu,
apa-apa yang mengisi suara gitarmu

Senin, 12 Agustus 2013

Euforia

Apa yang ada di benakmu jika kau mendengar dua kata; "Pasangan Hidup"?

Ini tulisan kedua dari saya tentang hal tersebut, setelah tulisan pertama dengan judul "Teman Hidup" yang bisa kau temukan di blog yang sama. Ini tulisan kedua yang mungkin isinya tidak akan terdengar seindah dan sepositif tulisan pertama tadi.

Akan saya tanyakan kembali, apa yang ada di benakmu jika mendengar dua kata; "Pasangan Hidup"?

Saya ingin menceritakan tentang isi benak saya sendiri. Saya berada dalam dua pilihan, 1) terlalu banyak hal yang ada di benak tentang hal itu, 2) tidak ada hal yang ada di benak tentang hal itu, dan 3) keduanya. Saya rasa, jika menerima impuls penyataan yang berbunyi "Pasangan Hidup", isi kepala saya akan segera mencetak berbagai macam skema atau yang lebih kalian kenal sebagai mind set, yang positif dan kebanyakan negatif, dan membiarkannya melintas anggun di pikiran saya. Saking banyak dan padatnya skema yang diproses, saya lebih sering merasa tidak terpikirkan apapun tentang hal itu. Dengan mengetik tulisan ini, sesungguhnya saya ingin berbagi beberapa pandangan tentang "Pasangan Hidup" dari orang-orang yang sempat saya kenal dan walaupun tidak mempengaruhi, tapi cukup membekas di benak saya.

Sekali lagi, apa yang ada di dalam benakmu jika mendengar dua kata; "Pasangan Hidup"?

Rata-rata orang akan menyederhanakan pemikiran mereka dan mentransformasikan dua kata "Pasangan" dan diikuti dengan "Hidup" menjadi hanya satu kata yang berbunyi "Pernikahan". Standar pemikiran orang timur yang budayanya masih tabu menerima kondisi dua orang berbeda jenis kelamin tinggal, menjalani hidup dan bahkan membangun keluarga bersama-sama tanpa ada ikatan pernikahan. Tapi memang benar, keduanya adalah dua hal yang jauh berbeda konsep dan konten di dalamnya. Memiliki pasangan hidup adalah hal yang jauh berbeda dengan melaksanakan pernikahan. Mencintai adalah hal yang jauh berbeda dengan menikah.

Ada tiga konsep pernikahan yang negatif, yang muncul melalui skema-skema pemikiran tiga orang berbeda yang akan saya ceritakan di sini. Dan ketiganya lelaki.

Pria pertama, sosok dengan wajah tampan dan bentuk badan mendekati dambaan wanita-wanita umumnya yang sering dikira blasteran. Pria mapan yang bahkan untuk sekarang ini kemapanannya minimal sudah bisa digunakan untuk menghidupi satu istri dan tiga anak. Pria dengan isi kepala ajaib yang kecerdasannya mungkin akan menampakkan deviasi atas yang jauh dari rata-rata. Pria yang wawasannya luas dan didukung dengan latar belakang pendidikan serta pengalaman kerja yang matang. Pria dengan selera seni, terutama musik, yang patut diacungi empat jempol. Pria yang sungguh sulit mencari pasangan hidup yang mampu mengimbangi kualitas dirinya. Seorang wanita cantik luar biasa, mapan dan lulusan pendidikan seni suatu universitas di negeri Paman Sam pun pernah gagal mencuri hatinya pada kencan pertama. Katanya, wanita itu tidak cukup asik diajak ngobrol. Maka demikianlah, skema tentang pernikahan yang ada di dalam kepalanya adalah bahwa orang-orang yang menikah itu tidak keren. Tidak keren karena membuang-buang waktu dengan menghabiskannya melalui interaksi omong kosong dan tidak berguna dengan orang yang mungkin tepat untuk hanya mendampingi, tapi tidak tepat untuk mengimbangi.

Pria kedua, sosok sederhana dengan isi kepala yang juga unik dan luar biasa. Pembaca buku dengan jiwa kemanusiaan yang tinggi dan perhatian khusus yang banyak dicurahkannya pada isu-isu sosial serta seringkali politik. Pria dengan pemikiran yang sungguh kaya serta wawasan yang sungguh luas dan dalam. Pria yang tampaknya baik sebagai teman bicara bagi siapapun. Pria yang sedang menjalin cinta dengan seorang wanita beruntung dan sering membuat iri orang lain yang melihatnya. Iri karena melihat kebersamaan dua orang yang bukan orang "baik-baik", paham benar rasa keburukan yang suka disajikan oleh kehidupan, telah sekian kali mengarungi sungai patah hati, akhirnya berlabuh dan bahkan menetap di rumah yang sama, lalu saling mencintai sedalam-dalamnya. Mencintai sedalam-dalamnya keindahan dan kecacatan satu sama lain. Tak ada yang akan menyangka jika skema pernikahan yang ada di kepala pria itu hanyalah berupa protes dan ketidaksukaan. Pernikahan baginya hanya merupakan syarat yang menyulitkan. Pernikahan baginya hanyalah lembaga yang membuat segala sesuatu yang seharusnya sederhana seperti dua orang yang saling mencintai, menjadi rumit dengan peraturan-peraturan dan nilai-nilai kolektif masyarakat yang harus dipatuhi.

Pria ketiga, sosok luar biasa yang sama halnya dengan dua sosok sebelumnya, merupakan golongan manusia cerdas dan unik, yang isi kepala dan wawasannya selalu sanggup membuat lawan bicaranya kagum. Pria yang sejak kecil tumbuh dengan berbagai kepelikan di dalam keluarganya, mulai dari perpisahan kedua orang tua sampai kondisi keuangan buruk yang sempat membuatnya tahu rasanya berjuang menghidupi diri dan membiayai sekolah sendiri dengan cara apapun yang mampu dilakukan olehnya. Pria hebat yang akhirnya sukses, sedikit demi sedikit bersiap untuk menjadi orang besar. Pria yang sudah menjalin hubungan dengan seorang wanita bertahun-tahun lamanya, seakan wanita itu telah dipersiapkannya untuk mendampingi di pelaminan. Namun baginya, pernikahan bukanlah suatu hal besar apalagi sakral. Bahkan ada skema yang dipegang olehnya bahwa pernikahan bukan hal yang terjadi sekali seumur hidup, atau sekali untuk seumur hidup. Hanya orang beruntung yang menikah sampai mati, dan ia tidak yakin ia termasuk di dalam golongan orang beruntung itu. Jadi, pernikahan hanyalah satu dari sekian banyak moment of life dan bukan merupakan hal besar atau penting dalam hidup. "Kau mungkin akan menikah dengannya, tapi kau juga mungkin tak akan selamanya bersama dia," begitulah kira-kira.

Lalu bagaimana dengan skema saya sendiri? Selalu ada dua kutub kepercayaan yang sungguh bertolak belakang yang hadir pada saat bersamaan. Pada salah satu kutubnya, saya tidak percaya dengan kebahagiaan yang selamanya. Tidak ada hidup yang indah pada akhirnya, segala sesuatu akan selamanya mengalami naik-turun. Kau harus pintar mengatasi euforia. Mungkin ketidakpercayaan yang sama adalah alasan orang-orang lain sulit menemukan pasangan yang pas. Ketidakpercayaan yang muncul dari ingatan-ingatan masa lalu, atau dari pemahaman bahwa rasa memiliki yang berlebihan selalu mampu menjadi perusak kewarasan terbaik. Atau bahkan sosok pendamping impian yang saking terlalu sederhana justru menjadi terlalu muluk karena kesederhanaan sudah terlalu sulit ditemukan di zaman seperti ini.

Di kutub lainnya, selalu ada harapan kecil yang terselip di antara ketidakpercayaan saya tentang bagaimana menemukan pasangan hidup dan menjalin hubungan yang bahagia selamanya. Harapan bahwa ketidakpercayaan saya justru akan terbukti dan menjadi kenyataan. Bahwa saya akan menemukan dan menikmati apa yang tidak saya percayai itu suatu saat nanti; menemukan rumah paling nyaman untuk berpulang setelah serangkaian perjalanan jauh yang sungguh melelahkan.

Jadi, apa yang ada di dalam benakmu jika mendengar dua kata; "Pasangan Hidup"?

Paling tidak, selamatkanlah dirimu dengan terus memupuk keyakinan-keyakinan positif di dalam kepalamu.