Sabtu, 26 Januari 2013

Di Tiga Per Empat Malam Dengan-Mu

Tuhan, sebenarnya aku tahu Kamu sudah membaca tulisan ini bahkan sebelum jari-jariku menekan tombol-tombol laptop.

Tuhan, apa aku masih boleh menuliskan surat untuk-Mu? Pasti boleh. Tapi apakah aku masih boleh mengirimkan suratku kepada-Mu lewat doa yang tidak rajin aku tunaikan? Aku sudah terlalu sering bertanya, lalu menyesal, lalu mengutuk apa-apa yang Kamu tuliskan di kitab perjalananku. Padahal aku terlalu sering mengoceh ke semua orang tentang bagaimana seharusnya kami, hamba-Mu, tak pantas banyak-banyak mengeluh, hanya untuk meneriaki diriku sendiri. Aku tahu jawabannya masih sama dengan jawaban pertanyaan pertama; pasti boleh.

Begini, Tuhan, aku punya banyak sekali pertanyaan yang diawali dengan kata tanya 'kapan', yang baru saja aku tuliskan di buku catatan yang suka kubawa ke mana-mana itu. Aku rasa aku tidak mau menanyakannya di surat ini. Kamu pasti sudah membaca semua pertanyaanku ketika aku sedang menuliskannya. Aku hanya ingin merangkum pertanyaan-pertanyaan itu ke dalam sebuah doa di surat ini. Semoga Kamu mau membacanya. Aku tahu Kamu pasti membacanya karena Kamu bukan karyawan bagian SDM dari suatu perusahaan yang suka tidak membaca semua surat lamaran yang ditujukan kepadanya.

Tuhan, aku minta sebuah perpisahan. Perpisahan yang sungguh-sungguh. Tolong tuliskan bagian yang kuminta ini di kitab perjalanan milikinya, dia yang Kamu pasti sudah tahu siapa. Jangan sisipkan kedatangan-pertemuan kecil di antaranya. Buatkan aku satu semesta lagi yang berbeda dengan semestanya jika saja bisa. Biarkan aku berhenti berlaku seperti orang yang sering kehilangan kewarasan, lalu menemukannya lagi, lalu kehilangannya lagi. Aku mau terus waras, walaupun aku butuh kembali dulu dari ketidakwarasan ini.

Tuhan, aku tahu ada jauh lebih banyak hal-hal baik yang sudah ada di dalam kitab perjalananku. Semuanya sudah Kamu siapkan. Mungkin hanya masalah warna tinta yang Kamu pakai untuk menulis, yang membuat beberapa hal mengecewakan dan menyakitkan saja yang tampak jelas sementara ini. Tolong bantu aku membaca, agar aku bisa tahu dan menjadi bijaksana. Aku sadar aku masih buta huruf sekarang.

Ya sudah, Tuhan. Sudah hampir tiga per empat malam. Sebentar lagi Kamu akan sibuk menyalakan lampu kehidupan sebagian besar orang di wilayah bagian tempatku tinggal. Semoga surat ini sampai lebih dulu. Aku mau bersyukur dulu, karena seberapa banyakpun air mata yang aku buat meresap di sekujur kasur dan bantal-bantalku, atau jaketku, aku tahu aku masih jauh lebih beruntung dari banyak orang lain.

Selamat beristirahat, Tuhan. Selamat membaca.

Rabu, 23 Januari 2013

Pelarian-pelarian

Hidup adalah tentang mencari pelarian
Berpindah-pindah dari satu pelarian
Ke pelarian lainnya

Lalu di manakah letak tempat pertama?
Asal muasal segala
Sebelum pelarian pertama dimulai

Mereka yang berbahagia
Adalah mereka yang selalu kuat berlari
Yang selalu mampu menemukan
Pelarian yang baik

Lalu jika letak tempat pertamaku adalah dadamu
Mungkin aku takkan pernah
Menjadi satu yang berbahagia

Minggu, 20 Januari 2013

Menjemput Rumah Impian


Jari-jarinya masih gemetar. Bukan karena sudah terlalu renta, hanya saja hari masih terlalu dini dan matahari belum siap hadir untuk menghangatkan. Kuduk-kuduk pada kulitnya yang mulai keriput berdiri menahan hawa dingin. Kulitnya legam. Rambutnya sudah memasuki periode perubahan warna, sehelai demi sehelai. Badannya kurus berbungkus kaos putih lusuh yang telah berubah menjadi cokelat. Kakinya hanya beralaskan sendal jepit yang tak tahu benar berpasangan atau tidak.

Namanya Wandi. Nama panjangnya Suwandi tanpa ada nama tengah atau belakang, atau ia hanya tidak tahu. Sekarang jam empat subuh dan sehari-harinya ia selalu terbit sebelum matahari. Ketika warna langit masih hitam, dengan atau tanpa bulan, ia akan berpamitan kepada istrinya dan melangkahkan kaki ke luar rumah. Tujuan yang selalu ia tuju sepagi itu adalah stasiun kereta. Stasiun kereta besar di kota tempatnya tinggal beberapa belas tahun terakhir, sebuah kota di bagian tengah pulau Jawa. Di sana, sebelum salah satu pusat keramaian kota itu dipenuhi manusia yang entah akan bepergian, datang, atau sekadar mengantar orang lain, ia akan bergegas mengambil sapu dan membersihkan stasiun.

"Pak Wandi, monggo kulo aturi ngunjuk kopi rumiyin, Pak." Sapa seorang ibu yang membuka warung kopi seadanya di sekitar stasiun, menawarkan segelas kopi untuknya.

"Oh, njeh pun mbotensah repot-repot. Taksih kathah ingkang perlu dipunsresiki niki." Tolaknya dengan halus karena tugas membersihkan stasiun masih banyak yang perlu dikerjakan.

"Mboten nopo-nopo. Kulo damelke kopi rumiyen sakderengipun kulo beres-beres kondur." Ibu pemilik warung kopi itu masih memaksa membuatkan kopi sebelum berberes pulang. Ia biasa membuka warung dari magrib sampai subuh dan akan pulang pada jam sisanya. Mungkin mengerjakan pekerjaan lain demi sesuap nasi.

"Oh, njeh pun menawi ngaten. Maturnuwun njih." Ia akhirnya mengiyakan tawaran segelas kopi.

Segelas kopi itu sesungguhnya tak akan menyelamatkannya. Tidak juga cukup sanggup mengurangi rasa kantuknya karena tak cukup tidur. Bukan karena terlalu banyak kesibukan yang harus dijalaninya sampai larut malam, hanya saja pikirannya sering sulit diajak tenang dan berhenti mengkhawatirkan kehidupannya. Lagipula, siapa yang mampu tidur nyenyak setiap malam jika pekerjaannya adalah tukang bersih-bersih stasiun kereta dengan istri seorang penjual gorengan keliling beranak satu yang masih balita dan bahkan belum terbayangkan bagaimana sosoknya mengenakan seragam sekolah.

Satu hal yang membuat pikirannya semakin enggan diajak beristirahat dua hari belakangan ini adalah anaknya yang sedang sakit. Demam tinggi yang tak mau turun apalagi meninggalkan tubuh anaknya telah membuyarkan seluruh konsentrasinya terhadap segala hal. Ia tak punya cukup uang untuk membawanya ke dokter, mengingat upahnya pekerjaannya tidak seperti jabatan cleaning service perusahaan besar yang formal dan berseragam. Ia bukan pegawai stasiun yang resmi statusnya dan resmi standar gajinya. Istrinya pun tak bisa berkeliling menjual dagangannya dua hari ini karena harus menjaga anak mereka yang sedang sakit.

Hari ini ia keluar rumah menuju tempat kerja, meninggalkan anak dan istrinya yang belum tidur semalaman karena anaknya terus memuntahkan apapun makanan yang masuk ke perutnya. Ia harus segera membawanya ke dokter. Besok. Ia yakin akan membawa anaknya ke dokter dan mendapat pengobatan yang pantas besok. Upahnya dan hasil dagangan istrinya memang belum cukup. Tapi malam ini malam tahun baru. Ia akan menjual terompet untuk menambah penghasilannya. Ia sudah menyiapkan segalanya dan ia yakin akan mendapat banyak penghasilan tambahan malam ini.

"Badhe tindak proyek, Pak Wan?" Seorang satpam ramah yang menanyakan apakah ia akan menuju proyek tempatnya menjadi buruh kasar, membuyarkan lamunannya.

"Njih niki, Pak." Ia menjawab dengan bersemangat, karena meskipun ia harus menuju tempat proyek dan menambah penghasilan dengan menjadi buruh kasar, kesuksesan penjualan terompet malam ini telah membayang-bayanginya.

"Nderekne ngatos atos njih, Pak."

"Matur suwun. Kulo mlampah rumiyin njih."

____________________________________________________


Dia duduk dengan daster lusuhnya di samping tempat tidur, menatap anaknya yang akhirnya bisa tidur setelah semalaman demam tinggi dan muntah-muntah. Ia mengusap kepala anaknya dengan sepenuh rasa iba, entah kepada anaknya yang sakit, kepada dirinya yang tidak mampu membawa anaknya ke dokter, atau pada nasib kehidupannya. Ia tak merasakan kantuk sama sekali meskipun rasanya sudah berbulan-bulan ia tak cukup tidur. Beberapa bahan makanan yang seharusnya digoreng dan dijualnya keliling kampung telah membusuk, tapi ia tak punya cukup ruang di dalam kepala untuk memikirkannya.

Ia ingin berjualan selagi anaknya tertidur, tapi ia takut akan terjadi sesuatu pada anaknya ketika ia pergi. Maka ia memilih menunggui anaknya. Tak apa, nanti malam adalah malam tahun baru dan suaminya akan pergi menjual terompet semenjak pulang dari pekerjaan buruhnya di proyek. Ia yakin suaminya akan mendapat banyak rejeki malam ini dan anaknya akan segera dapat diselamatkan dokter yang berkompeten besok.

"Bu..." Suara anaknya menyadarkannya dari lamunannya.

"Iya, Nak?"

"Haus..."

"Iya, Ibu jupukne wedhang sekedap." Ia mengiyakan permintaan anaknya dan mengambil air minum ke dapur.

Kaki telanjangnya yang kasar melangkah ke dapur rumah yang tak cukup layak ditinggali itu untuk mengambil segelas air. Anaknya baru tidur selama sejam dan sekarang terbangun lagi. Sungguh, ia tak pernah merasa segelisah ini. Anak satu-satunya itu belum genap lima tahun dan sudah harus menderita melawan penyakit yang entah apa. Ia perempuan, ia seorang ibu, dan hal itu sungguh menyiksa batinnya.

Ada sebuah rumah sederhana berlantai dua dan berisi perabotan lengkap yang dimilikinya. Rumah itu berdiri tegak di dalam impiannya dan impian itu sering menguntitnya ke mana-mana. Rumah itu tidak besar, hanya saja nyaman dan hangat. Warnanya cokelat bercampur krem bercampur apapun yang dikehendaki arsitek dan penata ruang yang di dalam impian itu mampu ia sewa jasanya. Halamannya cukup luas dan rindang, penuh dengan tanaman-tanaman yang rajin ia rawat setiap hari. Ia tak mampu membayangkan detail lain di dalam rumah itu selain tawa-tawa miliknya, suaminya dan anaknya terbang mengisi seantero udara di dalam rumah.

Nama perempuan yang telah menjadi ibu seorang anak itu Wulan. Mungkin ketika ia dilahirkan, orang tuanya menginginkan ia seperti bulan. Pada akhirnya ia seringkali bersinar penuh, kadang separuh, kadang tidak ada, dan kadang tertutup mendung. Imipannya masih menguntit langkah-langkahnya kembali dari dapur sambil membawa segelas air putih, sampai ia tiba di hadapan anaknya dan melihat keadaan anaknya. Kakinya lalu kembali menginjak realita yang pada sebagian besar waktu berusaha keras ia tahan untuk dikutuk.

____________________________________________________


Sejak pukul tiga sore ia sudah duduk di depan deretan atau lebih tepatnya disebut tumpukan terompet dagangannya. Jam kerjanya sebagai buruh kasar yang seharusnya berkisar dari jam delapan pagi sampai empat sore mendapat potongan hari ini. Ia diperbolehkan pulang jam dua siang tadi. Mungkin mereka yang punya jabatan lebih tinggi darinya juga ingin menikmati momen libur pergantian tahun lebih lama. Sekarang, matahari sudah kelelahan dan berpulang ke dalam hitam langit malam melalui jingga cakrawala yang sempat dilukisnya sebelum hilang. Jumlah terompet yang telah terjual olehnya masih dapat dihitung dengan jari-jari tangannya.

"Pak, terompetnya dua ya." Seorang pembeli menghampiri penjual terompet beberapa meter di sampingnya.

"Oh iya, Mbak."

"Berapa, Pak?"

"Dua puluh ribu."

"Ini, Pak. Terima kasih."

"Sama-sama, Mbak."

Lingkungan di sekitar balai kota tempat ia berjualan terompet itu ramai sekali. Mungkin karena akan dilaksanakan pesta kembang api di sini. Padahal akan ada pesta kembang api di mana-mana malam ini. Ini malam pergantian tahun. Atau mungkin karena ada beberapa panggung pertunjukkan musik di sini. Entahlah. Keramaian di sekitar balai kota tak juga bisa memberi keramaian penghasilan untuk dirinya. Ia tak tahu kenapa, tapi penjualan terompetnya tak cukup laku sebagaimana penjual-penjual lain di sampingnya.

Beberapa menit lagi langit akan dipenuhi pecahan cahaya kecil-kecil. Baru saja seorang pembeli meninggalkan tempatnya berjualan terompet dan pikirannya langsung berkelana jauh. Awalnya ke rumah, ke mata anaknya yang sedang sayu kesakitan dan senyum istrinya yang luruh oleh peluh. Setelah itu pikirannya sampai pada rumah impiannya.

Rumah itu sederhana, berlantai dua dan berisi perabotan lengkap. Rumah itu berdiri tegak di dalam impiannya dan impian itu sering menguntitnya ke mana-mana. Rumah itu tidak besar, hanya saja nyaman dan hangat. Warnanya cokelat bercampur krem bercampur apapun yang dikehendaki arsitek dan penata ruang yang di dalam impian itu mampu ia sewa jasanya. Halamannya cukup luas dan rindang, penuh dengan tanaman-tanaman yang rajin dirawat istrinya setiap hari. Ia tak mampu membayangkan detail lain di dalam rumah itu selain tawa-tawa miliknya, istrinya dan anaknya terbang mengisi seantero udara di dalam rumah.

Riuh suara mulai meledak. Suara terompet-terompet mulai bersahutan di antara lautan manusia. Tembakan-tembakan kembang api mulai terlontar ke langit. Gaduh di atas kepala, dan di sela kaki-kaki yang berdiri. Teriakan-teriakan yang terdengar seperti kebahagiaan terdengar dari mana-mana. Ucapan-ucapan selamat dari bibir ke bibir dilantunkan ramai sekali. Waktu sudah menunjukkan pukul dua belas malam dan kalender sudah mengganti angka satuannya.

Kali ini ia tidak duduk di depan tumpukan terompet dagangannya yang masih menggunung. Ia lebih pantas dianggap terduduk tak berdaya. Langit semakin warna-warni, pikirannya semakin abu-abu dan hatinya semakin hitam. Ia menatap kosong ke langit tahun baru dan salah satu impian kelam yang bertolakbelakang dengan impian tentang rumah bahagianya mulai berkabut di dalam kepalanya.

Seiring dengan pertanyaan-pertanyaan yang menyimpan kutukan-kutukan senyap tentang nasibnya, pikirannya sering menuliskan skenario bunuh diri untuknya. Kadang ia merasa kakinya harus melangkah ke arah rel kereta ketika bekerja membersihkan stasiun. Dengan demikian ia akan terlindas sempurna di antara gesekan besi-besi berkarat dan berpindah ke dunia yang ia harap lebih baik menuliskan nasibnya. Jika tidak, ia akan berharap tertimbun runtuhan suatu bahan bangunan yang berat. Dengan demikian dia akan terjepit di sela tanah dan material yang menimpanya diselingi darah yang mengalir deras di antaranya. Setelah itu ia mungkin akan membangun rumah impiannya di atas awan.

Jeritan terdengar dari arah jalan raya di sekitar balai kota, di dekat tempatnya berjualan. Sebuah motor melaju dengan cepat dan ugal-ugalan hampir menabrak seorang gadis. Ia lalu menyusun satu skenario lagi. Bagaimana jika ia menyeberang jalan di malam meriah yang dirayakan seluruh dunia ini, lalu ditabrak seorang pengendara motor yang sedang terlalu uforia. Kemudian ia akan terhempas bermeter-meter, kehilangan nafas dan terbang ke rumah impiannya di atas awan yang mungkin saja sudah selesai dibangun oleh Sang Pemberi Nasib Kehidupan.

____________________________________________________


Panas tubuh Bintang, anak satu-satunya itu semakin tinggi. Saat ini, tak ada yang lebih ramai dari pecahan kembang api di langit pergantian tahun dan kegelisahan di dalam hatinya. Baru saja anaknya muntah darah beberapa kali. Keringat dingin mengucur dari dahinya. Ia tak bisa menanti suaminya pulang. Kepanikan menyerang seluruh otot tubuhnya. Tanpa pikir panjang, ia menggendong anaknya dan segera berlari ke rumah sakit terdekat. Masih dengan daster lusuhnya, masih dengan telapak kaki kasar yang katanya menyimpan surga.

Rumah sakit yang ditujunya sudah ada di depan mata. Beberapa langkah lagi dan ia akan menyelamatkan anaknya. Entah bagaimana ia akan membayar biaya rumah sakit, tak sempat terlintas di dalam kepalanya. Ia berlari menyeberang jalan dan entah dari mana datangnya, sebuah motor yang melaju dengan kecepatan tinggi tak mampu menghentikan laju kendaraannya atau paling tidak mengelak darinya yang menggendong anaknya di tengah jalan. Lampu motornya menyilaukan mata dan tak memberi kesempatan baginya untuk melakukan apapun. Secepat kecepatan cahaya itu pula ia melihat sinar yang sangat terang. Lalu ia sudah berada di atas awan, di depan rumah impiannya, dan masih menggendong anaknya.

______________________________________________________


Sebuah tembakan kembang api ke udara mengagetkannya. Ada yang tiba-tiba meledak di dalam perasaannya. Ledakan itu tak berwarna-warni seperti langit malam ini. Skenario-skenario kematian yang ia susun untuk dirinya agar bisa lari dari nasib buruk kehidupannya dan langsung menemui Sang Pemberi Nasib Kehidupan buyar seketika. Tiba-tiba semuanya kosong meskipun riuh suara perayaan masih ada di sekelilingnya. Pikirannya kosong. Hatinya kosong.

Dengan dilatarbelakangi hitam langit, pecahan-pecahan kecil api warna-warni berhamburan. Tak ada yang lain selain itu di atas sana. Bulan dan bintang tak tampak karena ditutupi mendung. Mungkin mereka berada di lapisan langit yang lebih tinggi, sedang melihatnya dari ketinggian surga.

______________________________________________________

Rabu, 16 Januari 2013

Sedikit Catatan Yang Terendam Banjir

Dari Jogja.
Di sebuah pagi yang tak mendung pada Januari yang seharusnya basah.
Tanggal 17, di tahun 2013, pukul 10 lewat beberapa menit.
_____________________________________________________


Jakarta banjir. Timeline twitter banjir. Televisi banjir. Isi kepala manusia Ibu Pertiwi banjir.

Kepala saya masih berat akibat efek obat yang saya tenggak dini hari tadi. Hidung saya lebih berat akibat efek lendir yang produksinya sedang berlebihan di dalam saluran pernapasan saya. Namun ternyata, hati saya jauh lebih berat lagi akibat efek berita tentang bencana yang sedang kesekian kalinya menjenguk kesadaran kita, manusia-manusia Ibu Pertiwi.

Sesuatu yang sangat basi membicarakan tentang Jakarta yang macet atau Jakarta yang banjir. Tapi pagi ini, saya terbangun di antara gelisah manusia-manusia yang sudah lebih dulu terjaga, atau bahkan belum sempat terlelap sama sekali di Ibukota sana. Jalanan tak lagi hitam aspal, melainkan cokelat air bah. Jalanan tak lagi padat, melainkan cair.

Di daerah Hotel Indonesia, air mancur yang biasanya bening biru melantangkan sebuah kejayaan, berubah menjadi cokelat meneriakkan keterpurukan. Monas yang biasanya tegap dan sombong sebagai simbol kebesaran masih tetap menjadi objek wisata, hanya berubah sebagai objek wisata air. Bahkan Istana Negara ikut terendam. Twitter dipenuhi twitpic penduduk Jakarta yang berlomba-lomba mengabarkan atau mungkin tak disadarinya, justru memamerkan ketinggian air bah di tempat masing-masing. Display Picture BBM semua teman yang berdomisili di Jakarta berubah senada dengan tema warna cokelat. Kali ini musibah tidak mau melewatkan satu manusia Jakarta-pun.

Air sungai meluap. Isi kepala orang-orang juga meluap. Sebagian besar mengeluh. Sebagian lainnya bersyukur lewat kalimat-kalimat bijak sebagai defense atas kutukan yang sesungguhnya ingin dilontarkan. Sebagian lainnya menghujat sesama manusia, seringnya kepada yang punya jabatan tinggi dan dianggap seharusnya bertanggungjawab. Sebagian lainnya meramu lelucon untuk menghibur diri sendiri meski tak menghibur yang mengalami bencana sama sekali.

Manusia Ibu Pertiwi membagi-bagi dirinya ke dalam golongan-golongan itu. Meskipun begitu, mereka tetap menyatu dalam satu kesamaan. Hampir semuanya sama-sama belum sadarkan diri. Bahwa Tuhan sudah seringkali datang terlalu dekat, menggenggam terlalu erat dan meneriakkan petunjuk-Nya terlalu keras. Sementara ciptaan-Nya masih terlalu angkuh untuk tidak mengelak.



Senin, 14 Januari 2013

Sebut Saja Kita Jatuh Cinta

Sebut saja kita jatuh cinta.
Pada sajak-sajak patah hatimu,
aku melabuhkan kesedihanku.
Di antara kata-kata yang kautulis lalu kaulumuri dengan air matamu,
aku memeluk tubuhmu dan memintamu menghapus air mataku.

Hujan yang turun selalu mempertemukan kita.
Dalam rinainya, kita merayakan ritual kesakitan kita masing-masing.
Kita suka berbagi kuyup,
dari tubuh-tubuh kita yang sudah remuk.

Aku butuh gelap untuk sembuh, begitu juga kamu.
Lalu kita menemukannya di sorot mata satu sama lain.
Untuk itu, kita selalu bertatapan.
Kau menyanyikan syair tentang hatimu yang telah patah,
lalu memberikannya kepadaku agar hatiku rekat.

Sebut saja kita jatuh cinta.
Atau mungkin hanya sedang melarutkan diri,
pada sakit hati masing-masing.
Lewat rangkulan yang kita rentangkan,
ke tubuh satu sama lain.

Apa kita sedang saling menyembuhkan?
Atau sedang mengawetkan kenangan sendiri-sendiri?
Atau justru sedang mempersiapkan kesakitan berikutnya?

Beri tahu aku jika kau sudah punya jawaban.
Tentang apa yang sebenarnya sedang kita lakukan,
dalam kecupan-kecupan yang kita bagi berdua.

Sebut saja kita jatuh cinta.
Atau sebut saja bukan.

Minggu, 06 Januari 2013

Satu Surat Lagi Yang Tak Pernah Disampaikan

I'm glad to have you back.

Aku menulis surat ini di dalam kepalaku selagi kamu mengelap jari-jarimu yang habis kaucelupkan ke dalam kopi-cokelat panas di celana jeans-ku. Sambil tertawa karena sukses mengerjaiku yang kesal dan sibuk menjauhkan kaki dari jangkauan tanganmu.

Beberapa bulan tanpa kehadiranmu dalam proporsi yang pas seperti yang biasanya aku miliki, bukanlah bulan-bulan yang berat. Keadaanku baik-baik saja tanpa bantal di kamarmu yang selalu menampung air mata dan ingusku, dan tanpa lengan-lengan panjangmu yang selalu kuanggap rumah untukku pulang. Tetapi ketika semua itu kembali malam ini, aku tak pernah merasa selega dan sesenang ini.

Aku selalu mampu berkomunikasi dengan matamu, dan aku senang malam ini dapat kembali berbicara kepadanya. Aku bisa menemukan kehangatan yang selalu mampu menjadi tempat duduk yang nyaman berlama-lama aku tempati di tatapanmu. Tak peduli tatapan-tatapan itu tersembunyi di balik lensa kacamatamu, atau pudar di antara kantukmu. Aku tahu malam ini mereka kembali kepadaku, dan aku tak pernah merasa selega dan sesenang ini.

Selamanya kita akan berakhir bersama. Paling tidak sepeti itulah yang kuharapkan. Kita akan selamanya menjadi keluarga beranggotakan manusia-manusia yang tak pernah berbagi satu darah dan gen yang sama. Meskipun di matamu, ada sorot yang selalu mampu meledakkan kembang api, lalu menaburkan percikannya ke dalam hatiku. Setelah itu, aku akan menulis satu surat cinta lagi yang tak akan pernah kusampaikan kepadamu, seperti surat ini.

Di atas segalanya, aku senang bisa memilikimu kembali setelah konflik bodoh yang hanya bisa meninggikan tembok egomu dan menenggelamkanku dalam diam. Aku tak tahu rasanya bisa sebahagia ini untuk bisa kembali kepada bantal dan pelukanmu, rumah tempatku pulang dan membaringkan seluruh keletihanku.

Aku menuliskan surat ini di dalam kepalaku pada detik dimana aku menemukanmu tertawa di atas pecahnya tawaku untuk satu hal yang sama.

Kamis, 03 Januari 2013

Perenung-perenung Pinggiran Jalan Raya




Isi kepala mereka serupa jalanan ibukota pukul lima sore. Antrian kendaraan padat hampir tak merayap sama-sama ingin sampai ke tujuan. Pikiran-pikiran mengantri, sama-sama ingin keluar. Lewat batang kepala, lalu turun menembus saluran pernapasan, ke arah tenggorokan, lalu naik lagi ke rongga mulut, dan akhirnya dituangkan lewat bibir. Berkelok memang. Sama saja dengan jalan pulang dari kantor ke rumah. Atau ke cafe-cafe untuk berkumpul dengan teman. Atau ke hotel-hotel untuk bergumul dengan yang tidak sah.

Jika bukan berupa pikiran-pikiran yang seperti lengkungan panjang mobil-mobil yang diam dan terhambat untuk segera sampai di tempat tujuan, isi kepala mereka akan berupa perasaan-perasaan. Perasaan yang tidak pernah sempurna ditransformasikan menjadi pikiran yang layak ditempatkan di dalam kepala, karena seperti itulah persyaratan sebuah perasaan dapat keluar sebagai sebuah perkataan. Isinya luka yang tak bersedia sembuh atau bahagia yang porsinya tidak pas.

Mereka tidak butuh atap atau tikar untuk menjadi lebih peka dari batas standar kepekaan manusia pada umumnya. Mereka hanya butuh bentangan aspal yang lebar dan panjang di hadapan mereka, yang di tengahnya ada garis putih putus-putus marka jalan yang telah sepi. Mereka hanya butuh jalanan dini hari. Jalanan sepi dengan deretan lampu oranye remang yang beberapa di antaranya mungkin mati. Mereka hanya butuh jalan raya yang tak boleh ramai seperti isi kepala mereka.

Mereka tidak butuh pantai atau gunung untuk merenung dan mencerna perkara kehidupan. Mereka hanya butuh isu-isu politik untuk dihujat. Atau fakta-fakta ilmu pengetahuan untuk diperdebatkan. Atau perihal-perihal agama untuk dipertanyakan. Atau paling tidak sebundel kenangan dan harapan untuk sekedar disuarakan lantang-lantang di antara kesadaran yang semakin melemah. Mereka hanya butuh beberapa cangkir teh atau kopi yang lama-kelamaan biasanya berubah menjadi botol-botol bir. Mereka hanya butuh beberapa kepala dengan isi serupa dan mau diajak bicara.

Rabu, 02 Januari 2013

Memasuki Malang dan 2013


Kemarin saya liburan ke Malang, merayakan tahun baru di sana. Saya menghabiskan waktu liburan bersama teman saya, Opi. Saya berangkat dari Jogja tanggal 29 Desember dengan kereta jam 9 malam dan tiba di Malang pukul 4 dini hari. Dua hari sebelumnya, Opi sudah berangkat lebih dulu ke Malang menggunakan travel untuk menemui adiknya yang kuliah di sana.

Seharusnya saya dijemput oleh Opi jam 4 subuh. Tapi berhubung saat itu belum memasuki jam operasi angkot dan taksi pun sulit didapat, saya naik mobil carteran ke alamat tempat di mana Opi berada. Butuh obrolan yang cukup panjang dan akrab sebagai basa-basi yang saya lakukan bersama bapak sopir mobil carter sebelum saya mendapat potongan harga antar yang pantas bagi kantong saya.

Beberapa tukang becak dan satpam stasiun tampak agak heran melihat perilaku 'mengobrol akrab' saya dengan pak sopir, karena saya adalah seorang perempuan, pendatang baru, di suatu daerah yang asing, di dini hari yang masih sepi, dan seharusnya sedang dalam keadaan bingung karena tak kunjung dijemput. Entahlah, sepertinya saya terlalu patah hati untuk kebingungan di tempat tujuan liburan yang baru pertama kali saya kunjungi itu.

Tidak banyak yang saya lakukan di Malang. Saya hanya punya waktu 2 hari di sana sebelum kembali menumpang kereta pulang menuju Jogja pada tanggal 1 Januari pukul setengah 9 pagi. Sesampainya di tempat Opi, kami hanya menitipkan ransel di kamar kos adiknya dan pergi ke Pasar Minggu. Semacam Sunmor-nya Jogja yang lebih rapi tata letak lapaknya. Di sana setiap stand harus menggantung surat ijin dari pemerintah daerah. Jalan-jalan di sekitar pasar diberlakukan Car Free Day setiap hari minggu pada rentang waktu tertentu.

Setelah pulang dari Pasar Minggu dan terkapar tidur di lantai kamar tanpa alas selama bebeapa jam karena kepanasan, kami menuju Malang Town Square untuk mencari makan siang. Bukan apa-apa, mall itu bisa dicapai dengan jalan kaki dari kos. Dari sana kami langsung menuju Batu dan menghabiskan malam di Batu Night Spectacular. Mesra sekali malam yang saya habiskan dengan Opi. Perjalanan menuju BNS di antara padat jalanan, ditambah lagi dengan perjalanan pulang dari Batu ke Malang menggunakan ojek dan harus berusaha keras melawan dingin, menyempurnakan kemesraan kami.

Saya bahkan tidak tahu mengapa saya memutuskan untuk melewatkan malam tahun baru di Malang. Kebetulan terjadi ketika Opi harus mengunjungi adiknya di Malang, maka demikianlah perjalanan itu terjadi. Saya hanya ingin naik kereta. Sendirian. Yang jauh. Itu sebabnya saya tidak menuju Solo dengan kereta, karena terlalu dekat. Saya hanya ingin melamun yang lama. Saya hanya ingin duduk diam dan menatap jendela dengan rangkaian gambar yang tak putus bergerak. Walaupun tidak mungkin, karena orang yang duduk di dekat saya pasti mengajak berbicara meskipun sedikit.

Seharusnya keinginan itu saya penuhi dengan perjalanan menuju Jakarta karena saya sudah berjanji mengunjungi teman-teman saya di sana. Tapi saya mengurungkan niat dan berbalik arah tujuannya ke bagian timur pulau Jawa. Saya merasa tidak perlu menuju tempat yang terkenal dengan keramaiannya untuk merayakan malam yang selalu membuat ramai langitnya dengan pecahan cahaya warna-warni dan meramaikan tanahnya dengan sampah berbagai rupa.

Entah apa yang saya cari di Malang. Saya tidak punya tujuan pasti akan tempat-tempat yang wajib saya kunjungi. Saya sedang tidak ingin mengeksplor kota itu. Saya tidak ingin ke Bromo, Semeru atau Mahameru sekalian. Saya bahkan tidak dalam kondisi holiday's super-exciting syndrome ketika menuju Malang. Saya juga tidak ingin menemui siapapun. Sepertinya saya hanya butuh pelarian. Saya butuh berlari-lari kecil dari kenyataan yang setiap harinya saya hadapi di Jogja. Saya ingin pergi. Atau pulang. Entahlah.

Hari kedua saya di Malang hanya dihabiskan dengan mencari dan membeli beberapa kebutuhan yang harus dibawa ke Jogja. Tapi kami sempat mencicipi Mie Setan yang level 2-nya saja sudah mengandung cabe 25 biji yang dicampur sempurna dengan mienya. Rasanya saya hampir tak sadarkan diri karena menahan pedas. Rasanya seperti melambai-lambaikan tangan ke kamera alias menyerah.

Malam tahun baru saya sendiri dilewatkan dengan berjalan kaki kesana-kemari mencari tempat yang kira-kira bisa menyediakan tempat duduk yang nyaman sampai pukul 12 lewat. Kamipun berakhir di sebuah cafe di pinggiran jalan yang kebetulan punya acara sendiri untuk malam tahun baru. Minimal kami masih bermain kembang api dan meniup terompet untuk menandakan tahun telah berganti. Itupun semesta sepertinya berkonspirasi untuk mendukung saya lebih banyak melamun. Malam itu cafe band di sana malah membawakan lagu-lagu semacam Fall For You, Best I Ever Had, Fix You, Everybody's Changing, dan bahkan Ada Yang Hilang. Menyedihkan.

Petasan-petasan mulai berbunyi dan menjadi pengingat  bagi saya bahwa waktu memang adalah pelari handal. Semuanya berlalu dan saya merindukan banyak hal malam itu. Rasanya sedih mengingat waktu-waktu menyedihkan yang pernah lewat, tapi rasanya jauh lebih sedih mengingat waktu-waktu membahagiakan yang tak akan pernah kembali lagi.

Saya merindukan banyak hal. Sebut saja salah satu di antaranya adalah kebersamaan saya dengan teman-teman saya. Seharusnya saya ada di Jakarta, memeluk tubuh-tubuh yang tidak pernah melepas dekapannya dari tubuh saya meskipun kami berjauhan. Seharusnya saya sedang menangis di pangkuan mereka. Tapi sekali lagi saya tidak sanggup untuk merayakan keramaian di Jakarta. Maka seharusnya saya ada di Jogja, merenung dan berdoa bersama saudara-saudara lain darah saya di malam penuh harapan itu. Melepaskan tawa-tawa ke langit di pinggiran pantai seperti yang biasanya kami lakukan tanpa perlu menunggu momen pergantian tahun. Tapi waktu berlalu dan banyak hal berubah. Itu sebabnya saya seperti tidak punya pilihan kecuali memilih lari. Ke Malang.

Tahun terus-menerus mengganti angkanya dan waktu dalam bagian terkecilnya terus berlalu. Rasanya tidak mudah berada di antara penyesalan-penyesalan tentang masa lalu dan kekhawatiran-kekhawatiran tentang masa depan. Beberapa perkara tidak mau berlalu meskipun waktu yang mewadahinya telah menjauh. Saya kembali ke Jogja sendiri karena Opi masih harus tetap tinggal di Malang beberapa waktu. Di dalam kereta saat perjalanan pulang, saya menuliskan sesuatu di buku catatan saya;

Seperti duduk di dalam kereta, waktu dan seluruh isi kejadian semesta di dalamnya akan berlalu menjauhimu.
Tinggal di mana kamu duduk di dalam kereta. Apakah menghadap tujuanmu dan membiarkan mereka berlalu ke belakang, atau membelakangi tujuanmu dan menyaksikan mereka menjauh dalam pandanganmu tanpa kamu mampu melakukan apa-apa.

Karena poin utama dari perjalanan liburan tahun baru saya adalah saya ingin naik kereta, saya sudah memesan tiket pulang-pergi sejak dari Jogja. Saya mengambil kursi di dekat jendela pada kedua perjalanan kereta saya dan membagi waktu keberangkatan dengan matang. Saya berangkat dengan kereta malam untuk melamunkan gelap dan pulang dengan kereta siang untuk mengamati terang. Hanya saja di kedua perjalanan pulang-pergi itu saya duduk membelakangi tujuan dan menyaksikan pemandangan di luar jendela menjauh dalam pandangan saya...


Car Free Day di sekitar Pasar Minggu

Penunjuk arah setelah memasuki pintu masuk BNS

Batu Night Spectacular

Dibagikan terompet di Bandung 36 Cafe

Pesta kembang api

Selasa, 01 Januari 2013

Dan Aku Menjelma Kunang-Kunang

Kabut merayap mendekat
Mendekap tegang kuduk yang telanjang
Membentuk garis batas di udara
Memeluk kaki-kaki gunung yang gigil

Setapak-setapak meliuk rumit ke puncak
Serupa jalan ingatanmu
Jagung-jagung di ladang tetap tabah
Mengelak dingin, mananti matahari
Serupa hatimu terhadap bahagia yang telah jauh

Lampu-lampu kota berserakan dari atas bukit
Perlahan menari menjadi kunang-kunang
Melenyapkan warasku, mengaburkan inderaku

Gelas-gelas kosong dan abu rokok tumpah
Hatiku menjelma julangan jagung
Tabah menanti matahari membakar habis liku ingatanmu
Juga menjelma kunang-kunang
Terbang dan menyalakan harapan
Akan lengan berkabutmu memeluk tegang kuduk rasaku



Batu - Malang
30 Des 2012