Kemarin saya liburan ke Malang, merayakan tahun baru di
sana. Saya menghabiskan waktu liburan bersama teman saya, Opi. Saya berangkat
dari Jogja tanggal 29 Desember dengan kereta jam 9 malam dan tiba di Malang
pukul 4 dini hari. Dua hari sebelumnya, Opi sudah berangkat lebih dulu ke
Malang menggunakan travel untuk menemui adiknya yang kuliah di sana.
Seharusnya saya dijemput oleh Opi jam 4 subuh. Tapi
berhubung saat itu belum memasuki jam operasi angkot dan taksi pun sulit
didapat, saya naik mobil carteran ke alamat tempat di mana Opi berada. Butuh
obrolan yang cukup panjang dan akrab sebagai basa-basi yang saya lakukan
bersama bapak sopir mobil carter sebelum saya mendapat potongan harga antar
yang pantas bagi kantong saya.
Beberapa tukang becak dan satpam stasiun tampak agak
heran melihat perilaku 'mengobrol akrab' saya dengan pak sopir, karena saya
adalah seorang perempuan, pendatang baru, di suatu daerah yang asing, di dini
hari yang masih sepi, dan seharusnya sedang dalam keadaan bingung karena tak
kunjung dijemput. Entahlah, sepertinya saya terlalu patah hati untuk
kebingungan di tempat tujuan liburan yang baru pertama kali saya kunjungi itu.
Tidak banyak yang saya lakukan di Malang. Saya hanya
punya waktu 2 hari di sana sebelum kembali menumpang kereta pulang menuju Jogja
pada tanggal 1 Januari pukul setengah 9 pagi. Sesampainya di tempat Opi, kami hanya
menitipkan ransel di kamar kos adiknya dan pergi ke Pasar Minggu. Semacam
Sunmor-nya Jogja yang lebih rapi tata letak lapaknya. Di sana setiap stand harus
menggantung surat ijin dari pemerintah daerah. Jalan-jalan di sekitar pasar
diberlakukan Car Free Day setiap hari minggu pada rentang waktu tertentu.
Setelah pulang dari Pasar Minggu dan terkapar tidur di
lantai kamar tanpa alas selama bebeapa jam karena kepanasan, kami menuju Malang
Town Square untuk mencari makan siang. Bukan apa-apa, mall itu bisa dicapai
dengan jalan kaki dari kos. Dari sana kami langsung menuju Batu dan
menghabiskan malam di Batu Night Spectacular. Mesra sekali malam yang saya habiskan
dengan Opi. Perjalanan menuju BNS di antara padat jalanan, ditambah lagi dengan
perjalanan pulang dari Batu ke Malang menggunakan ojek dan harus berusaha keras
melawan dingin, menyempurnakan kemesraan kami.
Saya bahkan tidak tahu mengapa saya memutuskan untuk
melewatkan malam tahun baru di Malang. Kebetulan terjadi ketika Opi harus
mengunjungi adiknya di Malang, maka demikianlah perjalanan itu terjadi. Saya
hanya ingin naik kereta. Sendirian. Yang jauh. Itu sebabnya saya tidak menuju
Solo dengan kereta, karena terlalu dekat. Saya hanya ingin melamun yang lama.
Saya hanya ingin duduk diam dan menatap jendela dengan rangkaian gambar yang
tak putus bergerak. Walaupun tidak mungkin, karena orang yang duduk di dekat
saya pasti mengajak berbicara meskipun sedikit.
Seharusnya keinginan itu saya penuhi dengan perjalanan
menuju Jakarta karena saya sudah berjanji mengunjungi teman-teman saya di sana.
Tapi saya mengurungkan niat dan berbalik arah tujuannya ke bagian timur pulau
Jawa. Saya merasa tidak perlu menuju tempat yang terkenal dengan keramaiannya
untuk merayakan malam yang selalu membuat ramai langitnya dengan pecahan cahaya
warna-warni dan meramaikan tanahnya dengan sampah berbagai rupa.
Entah apa yang saya cari di Malang. Saya tidak punya
tujuan pasti akan tempat-tempat yang wajib saya kunjungi. Saya sedang tidak
ingin mengeksplor kota itu. Saya tidak ingin ke Bromo, Semeru atau Mahameru
sekalian. Saya bahkan tidak dalam kondisi holiday's super-exciting syndrome
ketika menuju Malang. Saya juga tidak ingin menemui siapapun. Sepertinya saya
hanya butuh pelarian. Saya butuh berlari-lari kecil dari kenyataan yang setiap
harinya saya hadapi di Jogja. Saya ingin pergi. Atau pulang. Entahlah.
Hari kedua saya di Malang hanya dihabiskan dengan mencari
dan membeli beberapa kebutuhan yang harus dibawa ke Jogja. Tapi kami sempat
mencicipi Mie Setan yang level 2-nya saja sudah mengandung cabe 25 biji yang
dicampur sempurna dengan mienya. Rasanya saya hampir tak sadarkan diri karena
menahan pedas. Rasanya seperti melambai-lambaikan tangan ke kamera alias
menyerah.
Malam tahun baru saya sendiri dilewatkan dengan berjalan
kaki kesana-kemari mencari tempat yang kira-kira bisa menyediakan tempat duduk
yang nyaman sampai pukul 12 lewat. Kamipun berakhir di sebuah cafe di pinggiran
jalan yang kebetulan punya acara sendiri untuk malam tahun baru. Minimal kami
masih bermain kembang api dan meniup terompet untuk menandakan tahun telah
berganti. Itupun semesta sepertinya berkonspirasi untuk mendukung saya lebih banyak melamun. Malam itu cafe band di sana malah membawakan lagu-lagu semacam Fall For You, Best I Ever Had, Fix You, Everybody's Changing, dan bahkan Ada Yang Hilang. Menyedihkan.
Petasan-petasan mulai berbunyi dan menjadi pengingat bagi saya bahwa waktu memang adalah pelari
handal. Semuanya berlalu dan saya merindukan banyak hal malam itu. Rasanya
sedih mengingat waktu-waktu menyedihkan yang pernah lewat, tapi rasanya jauh
lebih sedih mengingat waktu-waktu membahagiakan yang tak akan pernah kembali lagi.
Saya merindukan banyak hal. Sebut saja salah satu di
antaranya adalah kebersamaan saya dengan teman-teman saya. Seharusnya saya ada
di Jakarta, memeluk tubuh-tubuh yang tidak pernah melepas dekapannya dari tubuh
saya meskipun kami berjauhan. Seharusnya saya sedang menangis di pangkuan
mereka. Tapi sekali lagi saya tidak sanggup untuk merayakan keramaian di
Jakarta. Maka seharusnya saya ada di Jogja, merenung dan berdoa bersama
saudara-saudara lain darah saya di malam penuh harapan itu. Melepaskan tawa-tawa
ke langit di pinggiran pantai seperti yang biasanya kami lakukan tanpa perlu
menunggu momen pergantian tahun. Tapi waktu berlalu dan banyak hal berubah. Itu
sebabnya saya seperti tidak punya pilihan kecuali memilih lari. Ke Malang.
Tahun terus-menerus mengganti angkanya dan waktu dalam
bagian terkecilnya terus berlalu. Rasanya tidak mudah berada di antara
penyesalan-penyesalan tentang masa lalu dan kekhawatiran-kekhawatiran tentang
masa depan. Beberapa perkara tidak mau berlalu meskipun waktu yang mewadahinya
telah menjauh. Saya kembali ke Jogja sendiri karena Opi masih harus tetap
tinggal di Malang beberapa waktu. Di dalam kereta saat perjalanan pulang, saya
menuliskan sesuatu di buku catatan saya;
Seperti duduk di dalam kereta, waktu dan seluruh isi kejadian semesta di dalamnya akan berlalu menjauhimu.
Tinggal di mana kamu duduk di dalam kereta. Apakah menghadap tujuanmu dan membiarkan mereka berlalu ke belakang, atau membelakangi tujuanmu dan menyaksikan mereka menjauh dalam pandanganmu tanpa kamu mampu melakukan apa-apa.
Karena poin utama dari perjalanan liburan tahun baru saya
adalah saya ingin naik kereta, saya sudah memesan tiket pulang-pergi sejak dari
Jogja. Saya mengambil kursi di dekat jendela pada kedua perjalanan kereta saya
dan membagi waktu keberangkatan dengan matang. Saya berangkat dengan kereta
malam untuk melamunkan gelap dan pulang dengan kereta siang untuk mengamati
terang. Hanya saja di kedua perjalanan pulang-pergi itu saya duduk membelakangi
tujuan dan menyaksikan pemandangan di luar jendela menjauh dalam pandangan
saya...
Car Free Day di sekitar Pasar Minggu |
Penunjuk arah setelah memasuki pintu masuk BNS |
Batu Night Spectacular |
Dibagikan terompet di Bandung 36 Cafe |
Pesta kembang api |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar