Rabu, 02 Januari 2013

Memasuki Malang dan 2013


Kemarin saya liburan ke Malang, merayakan tahun baru di sana. Saya menghabiskan waktu liburan bersama teman saya, Opi. Saya berangkat dari Jogja tanggal 29 Desember dengan kereta jam 9 malam dan tiba di Malang pukul 4 dini hari. Dua hari sebelumnya, Opi sudah berangkat lebih dulu ke Malang menggunakan travel untuk menemui adiknya yang kuliah di sana.

Seharusnya saya dijemput oleh Opi jam 4 subuh. Tapi berhubung saat itu belum memasuki jam operasi angkot dan taksi pun sulit didapat, saya naik mobil carteran ke alamat tempat di mana Opi berada. Butuh obrolan yang cukup panjang dan akrab sebagai basa-basi yang saya lakukan bersama bapak sopir mobil carter sebelum saya mendapat potongan harga antar yang pantas bagi kantong saya.

Beberapa tukang becak dan satpam stasiun tampak agak heran melihat perilaku 'mengobrol akrab' saya dengan pak sopir, karena saya adalah seorang perempuan, pendatang baru, di suatu daerah yang asing, di dini hari yang masih sepi, dan seharusnya sedang dalam keadaan bingung karena tak kunjung dijemput. Entahlah, sepertinya saya terlalu patah hati untuk kebingungan di tempat tujuan liburan yang baru pertama kali saya kunjungi itu.

Tidak banyak yang saya lakukan di Malang. Saya hanya punya waktu 2 hari di sana sebelum kembali menumpang kereta pulang menuju Jogja pada tanggal 1 Januari pukul setengah 9 pagi. Sesampainya di tempat Opi, kami hanya menitipkan ransel di kamar kos adiknya dan pergi ke Pasar Minggu. Semacam Sunmor-nya Jogja yang lebih rapi tata letak lapaknya. Di sana setiap stand harus menggantung surat ijin dari pemerintah daerah. Jalan-jalan di sekitar pasar diberlakukan Car Free Day setiap hari minggu pada rentang waktu tertentu.

Setelah pulang dari Pasar Minggu dan terkapar tidur di lantai kamar tanpa alas selama bebeapa jam karena kepanasan, kami menuju Malang Town Square untuk mencari makan siang. Bukan apa-apa, mall itu bisa dicapai dengan jalan kaki dari kos. Dari sana kami langsung menuju Batu dan menghabiskan malam di Batu Night Spectacular. Mesra sekali malam yang saya habiskan dengan Opi. Perjalanan menuju BNS di antara padat jalanan, ditambah lagi dengan perjalanan pulang dari Batu ke Malang menggunakan ojek dan harus berusaha keras melawan dingin, menyempurnakan kemesraan kami.

Saya bahkan tidak tahu mengapa saya memutuskan untuk melewatkan malam tahun baru di Malang. Kebetulan terjadi ketika Opi harus mengunjungi adiknya di Malang, maka demikianlah perjalanan itu terjadi. Saya hanya ingin naik kereta. Sendirian. Yang jauh. Itu sebabnya saya tidak menuju Solo dengan kereta, karena terlalu dekat. Saya hanya ingin melamun yang lama. Saya hanya ingin duduk diam dan menatap jendela dengan rangkaian gambar yang tak putus bergerak. Walaupun tidak mungkin, karena orang yang duduk di dekat saya pasti mengajak berbicara meskipun sedikit.

Seharusnya keinginan itu saya penuhi dengan perjalanan menuju Jakarta karena saya sudah berjanji mengunjungi teman-teman saya di sana. Tapi saya mengurungkan niat dan berbalik arah tujuannya ke bagian timur pulau Jawa. Saya merasa tidak perlu menuju tempat yang terkenal dengan keramaiannya untuk merayakan malam yang selalu membuat ramai langitnya dengan pecahan cahaya warna-warni dan meramaikan tanahnya dengan sampah berbagai rupa.

Entah apa yang saya cari di Malang. Saya tidak punya tujuan pasti akan tempat-tempat yang wajib saya kunjungi. Saya sedang tidak ingin mengeksplor kota itu. Saya tidak ingin ke Bromo, Semeru atau Mahameru sekalian. Saya bahkan tidak dalam kondisi holiday's super-exciting syndrome ketika menuju Malang. Saya juga tidak ingin menemui siapapun. Sepertinya saya hanya butuh pelarian. Saya butuh berlari-lari kecil dari kenyataan yang setiap harinya saya hadapi di Jogja. Saya ingin pergi. Atau pulang. Entahlah.

Hari kedua saya di Malang hanya dihabiskan dengan mencari dan membeli beberapa kebutuhan yang harus dibawa ke Jogja. Tapi kami sempat mencicipi Mie Setan yang level 2-nya saja sudah mengandung cabe 25 biji yang dicampur sempurna dengan mienya. Rasanya saya hampir tak sadarkan diri karena menahan pedas. Rasanya seperti melambai-lambaikan tangan ke kamera alias menyerah.

Malam tahun baru saya sendiri dilewatkan dengan berjalan kaki kesana-kemari mencari tempat yang kira-kira bisa menyediakan tempat duduk yang nyaman sampai pukul 12 lewat. Kamipun berakhir di sebuah cafe di pinggiran jalan yang kebetulan punya acara sendiri untuk malam tahun baru. Minimal kami masih bermain kembang api dan meniup terompet untuk menandakan tahun telah berganti. Itupun semesta sepertinya berkonspirasi untuk mendukung saya lebih banyak melamun. Malam itu cafe band di sana malah membawakan lagu-lagu semacam Fall For You, Best I Ever Had, Fix You, Everybody's Changing, dan bahkan Ada Yang Hilang. Menyedihkan.

Petasan-petasan mulai berbunyi dan menjadi pengingat  bagi saya bahwa waktu memang adalah pelari handal. Semuanya berlalu dan saya merindukan banyak hal malam itu. Rasanya sedih mengingat waktu-waktu menyedihkan yang pernah lewat, tapi rasanya jauh lebih sedih mengingat waktu-waktu membahagiakan yang tak akan pernah kembali lagi.

Saya merindukan banyak hal. Sebut saja salah satu di antaranya adalah kebersamaan saya dengan teman-teman saya. Seharusnya saya ada di Jakarta, memeluk tubuh-tubuh yang tidak pernah melepas dekapannya dari tubuh saya meskipun kami berjauhan. Seharusnya saya sedang menangis di pangkuan mereka. Tapi sekali lagi saya tidak sanggup untuk merayakan keramaian di Jakarta. Maka seharusnya saya ada di Jogja, merenung dan berdoa bersama saudara-saudara lain darah saya di malam penuh harapan itu. Melepaskan tawa-tawa ke langit di pinggiran pantai seperti yang biasanya kami lakukan tanpa perlu menunggu momen pergantian tahun. Tapi waktu berlalu dan banyak hal berubah. Itu sebabnya saya seperti tidak punya pilihan kecuali memilih lari. Ke Malang.

Tahun terus-menerus mengganti angkanya dan waktu dalam bagian terkecilnya terus berlalu. Rasanya tidak mudah berada di antara penyesalan-penyesalan tentang masa lalu dan kekhawatiran-kekhawatiran tentang masa depan. Beberapa perkara tidak mau berlalu meskipun waktu yang mewadahinya telah menjauh. Saya kembali ke Jogja sendiri karena Opi masih harus tetap tinggal di Malang beberapa waktu. Di dalam kereta saat perjalanan pulang, saya menuliskan sesuatu di buku catatan saya;

Seperti duduk di dalam kereta, waktu dan seluruh isi kejadian semesta di dalamnya akan berlalu menjauhimu.
Tinggal di mana kamu duduk di dalam kereta. Apakah menghadap tujuanmu dan membiarkan mereka berlalu ke belakang, atau membelakangi tujuanmu dan menyaksikan mereka menjauh dalam pandanganmu tanpa kamu mampu melakukan apa-apa.

Karena poin utama dari perjalanan liburan tahun baru saya adalah saya ingin naik kereta, saya sudah memesan tiket pulang-pergi sejak dari Jogja. Saya mengambil kursi di dekat jendela pada kedua perjalanan kereta saya dan membagi waktu keberangkatan dengan matang. Saya berangkat dengan kereta malam untuk melamunkan gelap dan pulang dengan kereta siang untuk mengamati terang. Hanya saja di kedua perjalanan pulang-pergi itu saya duduk membelakangi tujuan dan menyaksikan pemandangan di luar jendela menjauh dalam pandangan saya...


Car Free Day di sekitar Pasar Minggu

Penunjuk arah setelah memasuki pintu masuk BNS

Batu Night Spectacular

Dibagikan terompet di Bandung 36 Cafe

Pesta kembang api

Tidak ada komentar:

Posting Komentar