Jumat, 17 Januari 2014

Yang Mengisahkan Padamu

Ini bukan perjalanan untuk pulang.

Ini perjalanan untuk bernapas.

Perjalanan meniti milyaran potongan besi berkarat yang mengisahkan padamu bahwa menuju apa yang kaukira bahagia adalah tidak sederhana, dan tidak lebih sederhana melarikan diri dari apa yang kaukira kesedihan.

Ini perjalanan untuk bernapas.

Perjalanan menonton gelap dari baris-baris jendela gerbong yang hampir retak dimakan usia, yang mengisahkan padamu bahwa selalu ada satu-dua titik cahaya yang tampak dan cukup mampu menyilaukan, meski terus-menerus berlalu meninggalkanmu atau ditinggalkan olehmu, dan kau tak pernah berhasil membedakannya.

Ini perjalanan untuk bernapas.

Perjalanan mengiringi lelap jiwa-jiwa yang lelahnya lebih kosong dari apa yang tubuhmu rasakan, yang mengisahkan padamu bahwa menemukan sesungguhnya tempat berbaring tak pernah mudah, namun kau takkan mati tertidur di kursi kereta hanya karena rumah tak kunjung sampai.

Ini perjalanan untuk bernapas.

Perjalanan menyambut bentangan jingga di atas hijau yang mengisahkan padamu bahwa pagi akan selalu datang menjemput malam, suka atau tidak suka, serupa orang-orang yang suka atau tidak suka diciptakan dan ditempatkan di dalam hidupmu untuk menjemput sepi, meski serupa satu-dua titik cahaya dalam gelap di luar jendela, mereka akan berlalu.

Ini perjalanan untuk bernapas.

Perjalanan menemukan setapak demi setapak kejutan yang menuntunmu pada puncak di mana kau mencoba mengeja semesta, yang mengisahkan padamu bahwa hidup tidak terbuat dari jalan raya beraspal dengan deretan lampu jalan yang menenangkan dan sementara.

Ini perjalanan untuk bernapas.

Perjalanan menyusuri tepian pantai, melantunkan debur ombak dan merayakan cahaya bintang-bintang yang berenang di atas kepala, yang mengisahkan padamu bahwa setiap langkah yang kauambil akan mendekapmu kembali ke titik nol, karena seperti bentang laut dan bentang langit, awal dan akhir hanyalah perkara letak titik di dalam lingkaran.



Suatu dini hari yang sesak di dalam kepala
Dari yang ternyata bukan rumah, ke yang memang bukan rumah
Gaya Baru Malam, Yogyakarta - Jakarta
24 November 2013

Selasa, 07 Januari 2014

Kau dan Galaksi di Dalam Kepalamu

Aku jatuh cinta pada melihatmu,
dan memperhatikan galaksi di dalam kepalamu sendiri,
dan gelembung dunia yang meliputi tubuhmu sendiri,
dan rimba raya di puncak malammu sendiri,
dan luar angkasa dalam sorot tatapmu sendiri.

Maka aku dan galaksi di dalam kepalaku sendiri,
dan gelembung dunia yang meliputi tubuhku sendiri,
dan rimba raya di puncak malamku sendiri,
begitu ingin bermuara kepadamu,
dan merangkai rasi kita sendiri.

Kamis, 02 Januari 2014

Matahari Terbenam Di Punggungmu Lalu Kembang Api Pecah Di Dadaku

Bintang telah lalai bersinar di langitku sejak malam. Atau sejak aku tak lagi mengenal waktu. Aku lupa. Hanya menorehkan hitam membentang serupa ingatan buruk. Maka aku telah mulai melukiskan sendiri angkasa luas di dalam kepalaku. Lalu menambahkan padanya titik-titik putih yang tak punya cukup nyala dan tak punya cukup nyata.

Hujan telah turun di dalam kepalaku sejak pagi. Atau sejak aku tak lagi mengenal waktu. Aku lupa. Hanya menyisakan genang-genang keruh serupa yang kerap bersarang tertahan di sudut-sudut mata. Maka aku telah mulai menyulam sendiri awan di sepanjang batas pandangku. Lalu mendung dapat terjadi selamanya asal tak ada yang menetes darinya.

Matahari telah hilang dari batas pandangku sejak sore. Atau sejak aku tak lagi mengenal waktu. Aku lupa. Hanya meninggalkan ruang maha luas yang hampa serupa yang terletak di dalam dada. Maka aku telah mulai mewarnai sendiri senja di langitku. Lalu selaksa jingga dapat hadir mengenyangkan cakrawala yang akan melumatnya sampai habis dan gelap.

Tapi bintang baru saja kembali bersinar di ujung bibirmu. Hujan baru saja reda di dalam matamu. Dan matahari baru saja terbenam di lengkung punggungmu. Maka ada kembang api yang pecah di rongga dadaku; bercahaya, hangat dan tiba-tiba.




Jakarta Dini Hari, 1 Januari 2014

Angka yang Hilang dan Tubuh yang Tak Kunjung Pulang

Selaksa bahagia redam
Di relung awan pekat dan bulan temaram
Jejak telapak takdir melekat
Pada dada yang yang sesak dan pikiran yang sesat

Sumbu-sumbu mulai menyala
Meledakkan petasan memori di dalam kepala
Warna-warni pecah
Melupakan bentangan malam gundah

Jarum jam senantiasa bergeming
Mencemooh sepi yang setia mengiring
Riuh doa perlahan merayap
Di sela harapan yang kian senyap

Angka-angka tegas berganti
Mengacuhkan rasa yang ingin kembali
Dan kosong yang butuh terengkuh
Atau ego yang bosan mengeluh

Serpihan cahaya hilang
Dan aku masih dalam perjalanan yang tak kunjung pulang



Malang Dini Hari, 1 Januari 2013