Jumat, 26 Oktober 2012

Nafas dan Aroma Tengkukmu

Nafasku bergantung pada keberadaanmu.

Aku hanya mampu menghela udara berisi senyawa aroma yang keluar dari hidungmu, bibirmu dan tengkukmu.

Maka demi bertahan hidup, aku akan sekedar mendatangimu untuk menciumi bantal yang kautiduri setiap malam.

Atau aku akan mati selagi merindukanmu.

Kamis, 18 Oktober 2012


I know I was happy once or twice
I know the feeling when life was a joke
I know I've got a few best man

Tabungan Waktu Semesta




"Lo di mana?"
"Bentar. Lagi di luar."
"Buruan balik! Gue mau ke tempat lo."
"Ke kontrakan Tito aja sekarang. Bentar lagi gue kelar langsung ke sana."
"Buruan!"

Aku segera mengganti celana pendekku dengan jeans biru tua, mengenakan jaket abu-abu super besar milik salah satu teman dekatku yang aku pindahtangankan secara sepihak, menggulung-gulung rambutku dan mengikatnya seadanya, mengambil sepatu, helm dan kunci motor dan segera melaju ke kontrakan Tito yang tidak begitu jauh dari kosanku. Aku segera melaju tanpa polesan lipstik tipis atau bahkan sekedar lipbalm, tanpa sapuan halus eye shadow dan segaris eye liner yang biasanya melengkung tajam di kelopak mata dan dengan kaos putih over-sized oleh-oleh temanku dari Jepang yang biasa kupakai tidur. Mataku merah dan sembab luar biasa. Sisa sapuan eye shadow dan eye liner sebelumnya masih tiga perempat terhapus dari kelopak mataku dan meninggalkan bekas-bekas hitam halus di sekitar mata. Tubuhku lelah. Aku hanya berharap aku masih mampu mempertahankan keseimbangan sepeda motor yang kukendarai sampai di kontarakan Tito.

Rumah sederhana yang berantakan selayaknya karakteristik hunian para lelaki itu kosong. Entah kemana kelima penghuni rumah dalam satu waktu yang sama seperti ini. Aku mengambil kunci yang biasa disisipkan Tito di tumpukan perabot tak terpakai di sekitar pintu depan. Aku langsung menuju ke kamar Tito, mematikan lampu kamarnya, menyalakan laptop dan speaker-nya, memutar sejumlah lagu dalam sebuah playlist dan merebahkan diriku dengan keras di atas kasur. Mungkin lebih sesuai disebut membanting diriku di atas kasur. Aku terlentang menatap langit-langit kamar dan mulai menangis lagi. Aku haus. Tapi kemudian aku lebih memilih untuk menelan air mata yang mengucur mencapai bibirku dibandingkan harus bangkit ke dapur dan mengambil segelas air.

Jarum pendek jam sebentar lagi sejajar angka satu. Hampir setengah jam di sana dan aku hanya dikelilingi oleh gelap, lusinan lagu patah hati dan air mata. Aku lalu mendengar suara pintu depan dibuka. Aku memang tidak menguncinya lagi setelah masuk. Itu Doni.

"Kenapa lo, hah? Ganggu gue kencan aja."
"Ya ya ya..."
"Dih. Ga percaya lo?"
"Iyalah. Lo kan alergi cewe. Udah mulai gatel-gatel belom nih?"
"Hahahahahaha..."

Tawa itu benar-benar tidak kugubris. Aku langsung menuju pada pokok pebicaraan utama yang membuatku begitu membutuhkan sedikit saja bagian punggung Doni untuk menjagaku dari kejatuhan, seperti biasa.

"Bener Reza selingkuh."

Pernyataanku itu tak juga menghentikan tawanya. Ia malah tertawa semakin keras.

"HAHAHAHAHAHAHA..."
"Don!"
"...iya, iya maafin gue. Lagian, dari lo baru memulai hubungan sama dia udah kita bilang apa. Harus gue ulang-ulang lagi? Lo jawab iya juga males gue. Bosen ngomong ke lo."
"Terus gue harus gimana?"
"You tell me."
"Lepas dari dia?"
"Nah, gitu aja repot lo. Gausah kayak orang susah gitu deh."

Demikianlah aku tiba-tiba sudah untuk kesekian kalinya telah berada di dalam rangkulan paling kokoh yang pernah aku miliki untuk melindungiku. Demikianlah aku untuk pertama kalinya melepas sesosok laki-laki yang telah menjabat sebagai kekasihku selama hampir dua tahun, setelah lebih dari setahun hanya bergelut dengan emosi yang meletup dan hati yang patah lalu diperbaiki kemudian patah lagi dan terus-menerus seperti itu. Demikianlah aku membicarakan sakit hatiku yang mungkin sudah mencapai keseratus kali lebih. Demikianlah aku mulai menarik segaris awal sketsa trauma dan dendam yang dapat terkuak kapanpun tanpa aku mampu mengatasi atau lebih baik lagi mencegahnya.

.....


"PING!!!"
"PING!!!"
"PING!!!"
"Kita mau ke pantai. Siap-siap sekarang. Ini kita udah mau keluar, ke kosan lo nih, jemput lo."
"PING!!!"
"PING!!!"
"PING!!!"

Aku terbangun dengan mata yang teramat sangat berat karena serangan PING!!! BBM barusan. Sebelum tidur tadi aku menangis sejadi-jadinya dan sekarang bagian sekitar mataku tarasa menggemuk tiga kali lipat dari ukuran biasanya. Sebelum tidur yang tidak sampai dua jam itu aku bertemu Reza dan memulai peperangan besar. Aku sebut memulai karena memang tidak ada yang selesai dibereskan bahkan setelah dia beranjak pulang dan aku beranjak kembali ke persembunyianku di balik selimut. Beberapa bercak warna kebiruan tampak di tangan dan kakiku. Itu adalah memar yang mungkin merupakan hasil dari bagaimana aku dengan tanpa sadar mencelakai diriku sendiri selama peperangan itu berlangsung. Terkadang itulah yang terjadi ketika luka-luka yang masih basah di dalam hati mulai bersuara dan menguasai kewarasan yang kumiliki.

Waktu sudah menunjukkan pukul 12 malam lewat. Aku segera mengganti baju seadanya dan memasukkan beberapa potong pakaian ke dalam tas. Bom PING!!! kembali muncul di layar smartphone-ku, tandanya mereka sudah di depan kosku. Aku berlari menuruni tangga, keluar pintu depan, masuk mobil dan langsung mengambil tempat di samping Doni serta menyandarkan kepalaku lunglai di bahunya. Sepanjang perjalanan ke luar kota untuk mengejar matahari terbit yang lebih terang dan diiringi bisikan ombak itu aku tak banyak berbicara meski teman-temanku tak hentinya bercanda dan membuat kegaduhan. Aku masih sangat lelah. Mataku masih sangat perih. Kepala beratku tak lagi kupindahkan dari bahu Doni. Aku hanya sesekali menyunggingkan senyum menanggapi candaan-candaan mereka tentang hal apa saja. Tak banyak yang kuperhatikan selama di perjalanan kecuali pohon-pohon rindang yang mendominasi pinggiran jalan yang kita lewati dan mata Doni yang sesekali tertangkap sedang memandangi wajahku dalam dan heran serta mungkin sedikit kecewa.

Angin kencang khas tepian pantai langsung menerpa wajah kita sesampainya di sana. Seluruh penumpang mobil langsung berhamburan ke luar mobil kegirangan dan segera berjalan menuju tepi pantai. Doni masih berjalan di sisiku sambil membawa alas duduk yang akan digerai di dekat garis pantai.

"Lo abis ketemu Reza kan?"

Aku tidak menjawab. Aku hanya menunduk semakin rendah menghindari tatapan mata Doni yang entah sedang tajam atau teduh, aku sedang tak mau tahu. Sayangnya, Doni langsung merangkulku.

"...iya."
"Ya udahlah. Gue cuma harap lo bisa berhenti nyiksa diri lo sendiri"
"Gue ga tau. Gue ngerasa marah dan benci banget sama dia. Gue ngerasa harus negeledakin semua itu."
"Lo tau gue juga pernah begitu marah sama orang."
"Gue ngerasa pengen nyiksa dia sampe gue puas."

Air mataku menggantung lagi. Setengah mati ia berusaha mempertahankan diri agar tidak jatuh mengalir. Mataku sudah terlalu lelah malam ini.

"Gue ga suruh lo ilang dari dia. Gue cuma minta lo ga perlu nyiksa diri lo dengan emosi-emosi itu lagi."
"..."
"Semuanya ada di dalam diri lo. Di dalam. Handle that! Lo ga ketemu dia pun kalo diri lo belom ngeberesin isinya sendiri, lo akan selamanya gagal."
"Lo tau gue nyoba."

Hamparan semesta maha agung sudah terpapar di hadapanku. Di pantai, aku rasa langit malam selalu lebih pekat. Bintang-bintang semakin kontras bersinar. Jumlahnya seakan menjadi ribuan kali lipat lebih banyak bertaburan di atas sana. Aku rasa jumlah bintang selalu berbanding lurus dengan tingkat jatuh cinta yang dirasakan orang yang melihatnya. Gulungan ombak yang menyapu bibir garis batas pantai pun tidak mau kalah mempertunjukkan keindahannya. Nyanyian ombak terbang mengisi setiap partikel di udara.

Aku terus menatap ke atas, memandang langit yang aku sendiri tak pernah temukan seindah ini. Bintang yang berserakan seperti pasir di tepian pantai yang direfleksikan ke atas kepala seakan turun menjadi hujan kristal jika lama dipandang. Mungkin itu hanya karena aku tak pernah sejatuhcinta ini. Ya, kepada Doni. Satu-satunya orang yang aku harap bisa selamanya menyelamatkanku dari apapun yang menjahatiku, bahkan jika itu adalah diriku sendiri.

Aku menatapnya yang sedang ikut bernyanyi dengan teman-teman lainnya di sampingku. Cukup lama, sampai akhirnya dia menatapku balik. Tak ada kata yang terucap karena memang seharusnya tidak ada. Namun dalam tatapan itu kita selalu mampu bebicara. Aku percaya dia membaca tulisan di mataku bahwa aku mencintainya. Dia lalu meneggenggam tanganku.

"Mungkin aku memang sebaiknya menunggu sampai lukamu kering terlebih dahulu."

Itulah yang kubaca ada di matanya.

.....


Sudah hampir tiga kali aku dan Doni berputar-putar keliling kota sekedar untuk memutuskan di mana kita akan makan malam. Tak banyak yang terjadi di atas motor itu selain tawa, tawa dan lagi-lagi tawa. Sebuah angkringan di dekat stasiun kereta akhirnya membuat kita berlabuh untuk mengisi perut. Tak banyak pengunjung di sana ketika kita masuk.

"Gue seneng."
"Gue juga."
"Maksud gue, udah berapa lama lo ga bermasalah sama Reza lagi? Ga pernah ngomongin dia lagi."
"Hahahaha... Lo seneng ga gue rusuhin lagi dengan muka sembab busuk gue tengah malem?"
"Ya, semacam itu. Tapi selain daripada itu.....ya pokoknya gue seneng."

Aku hanya tersenyum. Ada yang aneh dari sorot mata yang kita tukar sepersekian detik tadi di ujung percakapan. Ada pesan yang tidak menyenangkan bagiku dan baginya.

"Eh, emang lo udah berapa lama ga ketemu Reza?"
"Eh...hmmm..."

Aku terdiam sekali lagi. Aku baru saja menguras emosiku lagi habis-habisan tadi malam. Doni juga terdiam lama. Tak ada yang mampu kita ucapkan lagi bagi satu sama lain. Dan kembali, sorot mata kita selalu mampu berkomunikasi dengan lebih baik.

"Beberapa luka tidak pernah sembuh, hanya saja berhenti dibicarakan," batinku.
"Kalau begitu aku mungkin harus memperpanjang kontrakku untuk menunggu," balasnya.

.....

So don't go away, say what you say, say that you'll stay forever and a day in the time of my life, 'cause I need more time, 'cause I need more time just to make things right...
(Don't Go Away - Oasis)

Semoga tabungan waktu semesta cukup untuk itu dan kita tidak direnggut keadaan sebelum luka-luka yang ada sempat kering.

.....

Rabu, 17 Oktober 2012

Surat No. 17

Selamat malam.
Bersama sapa ini aku sampaikan pucuk kesekian dari surat-surat yang tak pernah aku kirimkan kepadamu.
Bersama malam ini aku berharap dapat mengingatkanmu tentang bintang-bintang paling terang yang pernah kita tonton bersama di teater tepian pantai.
Bagaimana keadaanmu?
Sudah seharusnya lebih baik dari keadaanku karena kamu biasanya selalu mampu menyelamatkanku dari monster-monster persoalan yang menggerogoti keadaan baikku hanya dengan satu kalimat singkat.
Semalam aku memimpikanmu. Lagi.
Di dalam mimpi itu, kamu akhirnya menyisipkan sepenggal pesan untukku setelah diam yang kita lakoni sekian lama.
Pesan itu singkat. Sesingkat waktu yang kita miliki untuk menyanyikan lagu harapan tentang rasa yang kita endap.
Pesan itu singkat. Sesingkat usaha kita mempersiapkan hati masing-masing untuk menyambut hati satu sama lain sebelum akhirnya perkara lain datang lebih cepat dan mengambil kebersamaan kita bahkan sebelum kita sempat menyicipinya.
Pesan itu singkat. Sesingkat suratku kali ini.
Pesan itu adalah jawaban yang aku dan kamu sama-sama tak menginginkannya; "Berhentilah mencintaiku."
Maka demikianlah aku berusaha berhenti mencintaimu dan berjuang agar tidak akhirnya malah memulai untuk sangat mencintaimu.

Selasa, 09 Oktober 2012

ketika aku dan kamu tak lagi kita

Suatu saat nanti, ketika hidup tak lagi adalah tentang apa dan bagaimana kau melontarkan lelucon, waktu tak lagi sepenuhnya berada di dalam remasan tanganmu, tidur tak lagi serumit mimpi yang kaususun dan siapkan untuk ditemui, idealisme tak lagi utuh termakan realita, malam tak lagi lapang untuk kaunikmati sampai fajar menjelang, tawa tak lagi bisa kaupilih untuk disuarakan sesuka hati, bintang tak lagi tumpah ruah dan jatuh sebagai hujan, serta kebersamaan sekedar menjadi bahan untuk bertahan hidup...

...Kau akan terus merindukanku sebagai tubuh yang pernah mendampingimu melewati suatu masa indah dengan hidup yang penuh lelucon, waktu yang sepenuhnya kita taklukan dengan ujung-ujung jari, tidur yang selalu panjang dan nyenyak setelah lelah memilah mimpi yang ingin kita temui, idealisme yang kita bentuk setinggi langit, malam yang setiap hari secara terjaga kita nikmati, tawa yang mampu terlepas terbang ke atmosfir setiap saat, bintang yang kita kejar sampai ke tepian suara ombak, serta kebersamaan yang kita telan demi kebutuhan batin.

.....


Karena aku juga melakukan hal yang sama. Merindukanmu beserta meja kayu biasa pada suatu malam biasa dengan cangkir-cangkir bekas kopi yang biasa, asbak yang hampir muntah seperti biasa, dan rokok-rokok yang tak sengaja menjadi tidak biasa.

Merindukan.....kita.



Sabtu, 06 Oktober 2012

Adalah Waktu

Adalah waktu yang akan mengganti arah. Berputar ke arah sebaliknya setelah bosan berdetak ke arah yang terus-menerus sama. Berputar ke belakang dan melaju secara terbalik; kanan ke kiri.

Adalah waktu yang akan mengganti arah. Menyuguhkan keadaan dan perkara lainnya yang tetap sama. Menyuguhkan refleksi sekumpulan keadaan yang sama persis dalam dua dimensi masa yang berbeda; masa lalu dan masa kini.

Adalah waktu yang akan mengganti arah. Dengan poros yang masih sama dan tak bergeser sedikitpun. Dengan melewati urutan angka yang masih sama persis beserta pelaku utama yang tak berubah; kamu dan aku.

.....

Jika aku adalah 9, kamu adalah 3 dan cerita tentang kita adalah sebingkai jam dinding, berjanjilah padaku untuk tak bertukar tempat. Kemudian berjanjilah padaku untuk mematahkan jarum jam jika ia mulai berganti arah untuk melewati kita secara terbalik atas nama pembalasan; karma.