Kamis, 26 September 2013

Lantai Dansa dan Tembok-tembok Kamar

Kau pesta
Aku lamunan

Kau lantai dansa
Aku tembok-tembok kamar

Kau suara-suara
Aku keheningan

Kau tak pernah tidur
Aku tak pernah bangun

Kau cita-cita
Aku mimpi

Kau ternyata
Aku andai

Kau hentakan kaki berirama
Aku tubuh di bawah selimut

Kau percakapan-percakapan
Aku diam

Sampai akhirnya hatimu sungguh lengang
Dan kepalaku sungguh riuh

Maka aku mulai berbicara padamu
Lalu kau mulai memelukku

Di bawah satu atap kelelahan yang sama
Dan kita tak ingin lagi keluar rumah



Jakarta, 29/8/13
11.57 PM

Sabtu, 21 September 2013

Catatan Manusia Patah

Catatan yang harus dicatat karena tercatat sebagai catatan penting

Jakarta
Sekitar pukul satu malam
Sepuluh Mei Dua Ribu Tiga Belas

Satu
Catatan ini penting, sepenting rokok yang harus aku bawa ketika buang air besar seperti sekarang ini

Dua
Buku catatan ini menjadi sama penting dengan rokok untuk dibawa karena aku harus segera membakar dan menghisap isi kepalaku sendiri, lalu membuang abunya ke atas kertas ini sebagai surat

Tiga
Aku harus segera mencatat catatan ini setelah mengendap-endap ke kamarmu untuk meminjam korek api karena korek apiku hilang, sebelum kamu pulang dan mengubah isi kepalaku seperti semula ketika catatan ini belum ada di dalamnya

Empat
Ini sudah rokok kedua di atas kloset sambil memangku buku catatan dan aku harus segera menuliskan pesan yang sesungguhnya ditujukan padamu

Lima
Aku ingin kamu tahu kalau aku sudah menduga semuanya, dan kamu seharusnya sudah tahu kalau aku baik-baik saja selama kamu merasa semua ini baik-baik saja untuk dilakukan

Enam
Kamu tidak bisa menghancurkan sesuatu yang memang sudah hancur, karena pot bunga yang terbelah dua dan pot bunga yang hancur berkeping-keping hanya akan diketahui sebagai pot bunga yang pecah, demikianlah aku; pot bunga itu

Tujuh
Lorong menuju pulang yang gelap tadi sempat menggelapkan harapanku dengan bayangan bahwa apa yang aku ketahui bukanlah kebenaran, tapi begitulah kebenaran yang ada, bahwa harapanku bukan salah satu di antaranya

Delapan
Aku ingin menyampaikan catatan ini langsung kepadamu sesegera aku mencatatnya di kamar mandi seperti ini, tapi kamu belum juga pulang dan mataku ingin segera mengawini kasurku

Sembilan
Ini sudah batang rokok ketiga di atas kloset dan tak ada lagi yang ingin aku buang termasuk pikiranku atau catatan ini sekalipun

Sepuluh
Angkanya sudah genap lagi dan kamu harus paham bahwa aku adalah manusia, meski manusia patah sekalipun, jika saja kamu lupa

Senin, 16 September 2013

Rumah Rindu

Aku merindukanmu.
Bukan karena rumah yang katanya ada di ujung jalan, dipisahkan bentangan rel kereta yang terlalu panjang untukmu menantiku, untukku menghampirimu, atau untuk kita menukarkan makna diam lewat tatap.

Aku merindukanmu.
Bukan karena rumah yang akan meneduhkan kepala-kepala mungil masa depan kerap kali kaubicarakan, kuiyakan, atau kita dambakan terletak di kota yang sama kita cintai seperti cinta yang sama kita coba tuai.

Aku merindukanmu.
Bukan karena rumah yang kasurnya sempat kita tiduri telah merekam habis ingatan yang kita bangun dari batu bata aroma tengkukmu, pasir belaiku, atau semen bibir kita yang mengeras mati tak mau berganti.

Aku merindukanmu.
Karena rumah yang senantiasa kutuliskan telah bermukim di lenganmu, dan memaksa tubuhku bermukim di dalamnya, dan membangunkan kita untuk kembali bermukim pada rindu, dan nantinya; ketiadaan.

Kamis, 12 September 2013

Buku Pembaringan

Aku ingin membeli buku catatan yang lebih tebal
Lalu rak buku yang lebih besar
Agar luka tak perlu keluar kamar,
menggelandang mencari tempat berbaring
Agar luka bisa tertidur lelap di atas kertas putih tak bergaris


Jakarta,
Pukul ketika kota ini tampak cantik

Selasa, 10 September 2013

Gadis Kecil Yang Tak Ingin Dewasa

Sore yang basah. Aku melarikan telapak-telapak kaki mungilku menuju rumah. Matahari tampak sudah sangat lelah dan ia berkata kepadaku bahwa ia akan segera pulang. Pengeras-pengeras suara di masjid-masjid membisikkanku suara yang rata-rata orang tak mampu dengar, bahwa aku harus segera pulang. Umurku baru saja menginjak 5 tahun dan matahari serta toa masjid begitu merepotkanku. Aku tak suka pulang. Aku baru saja bermain hujan dengan teman-temanku di dekat rumah dan aku tak mau berhenti meskipun hujan sudah berhenti setengah jam yang lalu.

Aku mendobrak pintu depan rumah yang sedikit terbuka. Baju terusan biru muda yang dibelikan salah seorang tanteku sebagai oleh-oleh perjalanannya dari Hongkong beberapa bulan lalu berubah cokelat karena habis bermain lumpur. Lantai rumah kubuat licin oleh bekas kaki telanjangku yang lembab. Aku sudah bersiap dimarahi. Kutunggu suara mama terdengar dan meninggi. Aku memasang raut paling polos untuk menutupi kenakalanku karena telah membuatnya repot harus membersihkan kekacauan yang kubuat dan mengkhawatirkanku sepanjang sore.

Aku masih menanti suara mama untuk menyerangku dan juga pelukannya yang biasanya akan segera menyusul suara tingginya. Pelukan itu yang aku tunggu. Tak apa jika aku harus kena marah lebih dulu. Namun yang aku dengar lain. Aku memang mendengar suara mama, tapi bukan suara marah dengan nada yang meninggi, melainkan suara tangisan hebat.

Aku memasuki kamar mama, membuka pintunya pelan-pelan dan menemukannya sedang menutupi wajahnya sebisa mungkin dengan bantal di sofa pojok kamar dekat jendela. Aku merasa sedih. Aku tidak suka melihat perempuan menangis meskipun sebagai anak perempuan aku suka sekali merengek untuk hal-hal kecil. Tapi aku menangis hanya untuk mencari perhatian. Aku hanya anak kecil. Aku menangis karena aku melihat darah bercucuran dari permukaan lututku, bukan dari hatiku.

Aku sering sekali melihat mama menangis sejak aku lahir. Lima tahun yang lalu, ketika aku mendapat giliran untuk pindah tempat tinggal ke dunia di luar tubuh mama setelah jauh sebelumnya bersusah payah mengambil keputusan untuk bersedia ditempatkan di perutnya oleh Tuhan dan keluar dari surga, aku pikir hanya aku yang akan sering menangis. Ternyata aku salah. Mama adalah sainganku. Entah karena apa saja dia menangis. Dulu aku sering mendengar teriakan-teriakan penuh makian ketika tidur di dalam perut mama. Mungkin itu papa, aku tak tahu. Aku tak pernah tahu sebab aku tak pernah melihat wajahnya sama sekali.

Tadi aku melihat Om Kumis, begitu aku biasa memanggilnya, keluar dari rumah ketika aku sedang bermain hujan. Ia mengendarai mobilnya buru-buru. Ia sering datang meskipun tak setiap hari, dan sering ketika malam hari. Mungkin tadi ia mau buru-buru menjemput istrinya dari salon. Selain Om Kumis, aku punya banyak om lain yang sering mengunjungi mama pada waktu-waktu yang tidak jauh berbeda polanya dengan Om Kumis. Aku punya panggilan khusus masing-masing untuk mereka. Ada Om Kelingking yang suka mengaitkan kelingkingnya dengan kelingkingku ketika berjalan bersama, ada Om Pak Raden yang suka mendongengiku, ada Om Lalala yang suka menyanyikanku lagu sebelum tidur, dan banyak lagi. Aku menceritakan tentang mereka semua kepada Baba, bonekaku yang baik hati dan mau menyimpan rahasia dari cerita-ceritaku. Sesering mereka mengunjungi mama, sesering itulah aku melihat mama menangis.

Aku marangkak naik ke atas sofa tempat mama duduk dengan gaunku yang masih basah dan penuh lumpur. Aku memeluknya. Aku tahu itu akan mengahangatkannya, meskipun secara teori aku justru membuatnya dingin. Ketika memeluknya, aku ingat teman di dekat rumahku. Mereka memang tak pernah memelukku, tapi aku merasa hangat ketika bermain bersama mereka. Meskipun bermain hujan sekalipun, aku tetap hangat. Mungkin karena mereka tak menyimpan mendung di dalam kepala dan hati mereka. Mereka hanya anak kecil, sama seperti aku. Mereka tak mengenal kesedihan. Tidak seperti orang dewasa.

Aku tak mau dewasa. Aku pernah bercerita kepada Baba bahwa aku ingin cepat mati. Secepatnya selama aku masih kecil. Aku tak mau merasakan bagaimana menjadi dewasa. Aku mau mati ketika aku hanya punya luka di lutut, sebelum aku mengenal luka di dalam hati.

____________________________________________


Matahari terik sekali siang ini. Sekolah sudah bubar satu jam yang lalu tapi aku tak ingin pulang. Di sini tempat dimana ada banyak anak kecil, maka di sini hangat. Teman-temanku sudah pulang semua tapi aku masih ingin bermain ayunan di bawah beringin belakang sekolah. Tempat itu pasti sejuk sekali di tengah hari seperti ini.

Aku berjalan sambil sesekali melompat-lompat ke belakang sekolah. Ternyata ada orang di bawah pohon. Aku mengenalinya sebagai Ibu Ria. Namanya memang bukan Ria, tapi ia selalu ceria di depan muridnya, maka sejak hari pertama aku bertemu dengannya, aku memanggilnya Ibu Ria. Awalnya ia sering menanyakan alasanku, namun aku biasanya hanya tertawa dan berlari darinya. Lalu ia hanya akan ikut tertawa dan lama kelamaan tak lagi mempermasalahkannya.

Ibu Ria memang selalu tampak ceria. Tapi ia sering sekali menangis dan hanya aku yang tahu. Aku memang satu-satunya anak yang suka tinggal di sekolah lebih lama setelah jam pulang sekolah. Rumahku dekat sehingga aku tidak perlu mengkhawatirkan apapun untuk harus pulang cepat. Aku bahkan biasa berjalan kaki sendiri karena sekolah hanya dua lorong dari rumahku di dalam satu kompleks perumahan yang sama. Oleh sebab itu, hanya aku yang tahu Ibu Ria sering sekali menangis. Ia hanya menangis setelah jam pulang sekolah. Aku tidak pernah mau tahu kenapa, karena aku memang tahu orang dewasa menyimpan mendung di dalam kepala dan hati mereka masing-masing. Tapi minggu lalu aku tak sengaja mendengar bahwa tunangan Ibu Ria meninggal beberapa bulan yang lalu dalam kecelakaan lalu-lintas. Maka pemaklumanku terhadap orang dewasa yang suka menangis semakin kuat. Aku semakin tidak bertanya-tanya.

Aku berjalan mendekati Ibu Ria. Biasanya jika mendengar dia menangis, aku hanya memperhatikan dari jauh. Tapi kali ini aku ingin memeluknya. Aku tahu hal itu akan menghangatkannya meskipun siang ini memang sudah sangat terik. Ia melihat kedatanganku dan menyambut tubuhku dengan tangan terbuka dan tangis yang semakin pecah. Di dalam pelukannya, aku menuliskan janji di dalam diriku sendiri bahwa aku akan mati selagi masih kecil, lalu perjanjian itu kutandatangani. Aku semakin yakin dengan keinginanku. Aku akan pulang ke surga, tempatku tinggal sebelum aku mengiyakan tawaran Tuhan untuk turun dan menempati isi perut mama. Di sana menyenangkan sekali.

____________________________________________


Sore ini aku mau bermain. Aku memilih melangkahkan telapak-telapak mungilku ke arah tempat pemakaman dekat rumah. Sama dengan sekolah, pemakaman masih di dalam satu kompleks. Mama tidak akan khawatir, tempatnya dekat dan di sana aku akan menemui kakek. Lagipula mama pasti sedang sibuk. Dia selalu sibuk. Kalau tidak menangis, pasti ia sibuk melukai dirinya sendiri untuk menangis lagi nantinya, dan terus-menerus berputar seperti itu.

Aku senang menemui kakek. Ia bisa diajak bercerita banyak. Ia teman bercerita yang baik bagiku selain Baba. Aku memetik bunga dan daun-daun di sepanjang perjalananku untuk ditaburi di atas makamnya. Setelah mengucapkan salam dan menaburkan potongan-potongan tumbuhan yang kupotong sendiri dengan kuku-kuku yang sering malas kupotong itu, aku duduk di dekat gundukan tanah yang menindihnya tidur di dalam sana. Aku mulai bercerita tentang banyak hal. Sebagian besar tentang tangisan, orang-orang yang menangis, dan apa-apa yang membuat mereka menangis. Aku sadar, aku jarang bercerita tentang bahagia.

Tiba-tiba aku ingat tentang satu-satunya cerita bahagia yang aku miliki. Cerita itu tentang kakek dan nenek. Maka aku menceritakannya lagi kepada kakek, siapa tahu dia lupa, karena dia memang sudah tua dan meninggal dalam keadaan pikun akut. Meskipun begitu, nenek adalah hal yang paling jarang ia lupakan di antara setumpuk kebingungan-kebingungan yang ia alami setiap hari karena kepikunannya. Kakek tidak hanya selalu mampu mengingat nenek, tapi juga mengingat perasaan yang dirasakannya kepada nenek dengan sangat detail. Sosok nenek yang muncul di kepala dan bibirnya di antara sekian banyak hal yang selalu ia lupakan mampu membuatnya tersenyum. Ketika ia tersenyum, bukan hanya keriputnya yang tampak tertarik dan giginya yang tampak ompong, tapi nenek juga ikut tampak di dalam matanya.

Nenek sudah meninggal lebih dulu sebelum kakek. Kakek sempat sangat bersedih, tapi tidak lama. Mungkin setelah itu dia lupa, karena dia memang sudah pikun. Lalu ia akan teringat lagi, dan tersenyum lagi, lalu lupa lagi. Begitu seterusnya. Ia pernah bercerita kepadaku di suatu sore yang mendung bahwa ia akan segera menyusul nenek. Matanya bersinar begitu bahagia ketika mengatakannya.

Aku tak punya cerita bahagia lain selain cerita kakek dan nenek. Maka aku pikir, menyusul kakek mungkin adalah suatu keputusan yang sangat baik dan membahagiakan. Lagipula, aku akan sangat senang bisa bertemu dengan kakek, sama dengan kakek dulu sangat senang jika bisa menyusul nenek.

_______________________________________________


Pagi ini aku mau bermain di rumah sakit. Kali ini aku tidak sendirian karena rumah sakit terletak jauh dari rumah. Aku pergi bersama mama. Aku tidak menggenggam tangannya, melainkan hanya mengikuti langkahnya dari belakang. Sesungguhnya aku tak sabar. Aku suka berjalan sambil sesekali berlari dan melompat-lompat. Hal itu menyenangkan. Tapi mama berjalan sangat lambat dan aku hanya bisa mengikuti dari belakang. Langkahnya lunglai, sorot matanya redup dan lelah. Atau mungkin malah sedih.

Aku sampai di rumah sakit dan memasuki salah satu kamar rawat inap. Aku mulai melompat-lompat dan berlari-larian. Aku bermain dengan apa saja yang bisa aku mainkan di dalam kamar itu. Kamar itu ramai, ada beberapa keluargaku yang datang, tapi mereka semua tidak ada yang mempermasalahkanku.

Akhirnya aku kelelahan. Aku duduk di sofa dekat tempat tidur pasien. Aku hanya terdiam menatap diriku sendiri di atas kasur di depanku. Bukan apa-apa, aku hanya tidak tahu lagi harus bermain dengan apa. Orang-orang di dalam ruangan itu tak ada yang melihatku. Mereka sibuk mendengarkan suster yang datang melaporkan keadaanku. Katanya aku sudah tidak sadarkan diri di tengah koma selama 4 hari. Katanya lagi, aku mengidap penyakit hati. Ada luka di dalam hatiku. Luka itu bahkan mengakibatkan pendarahan di dalam hati. Penyakit yang aneh, kupikir.

Kemarin sebelum suster yang ini datang, dokter sempat mengatakan bahwa penyebab luka di dalam hatiku adalah cacing parasit yang memakan organ dalam tubuh. Itu penemuan baru di dunia kesehatan. Diam-diam aku merasa bangga. Aku merasa seperti ilmuan atau astronot atau orang-orang lain yang dekat dengan kata penemuan. Hal itu aku dengar dari Ibu Ria di sekolah dan dari dongeng-dongeng yang diceritakan Om Pak Raden. Aku membanyangkan diriku menjadi kayu lapuk di gudang halaman belakang rumah. Lalu cacing itu adalah rayap-rayap yang akan menghabiskanku.

Aku masih menatap tubuhku sendiri terbaring di depanku. Orang-orang di dalam kamar tak ada yang bisa melihatku. Aku masih lelah dan malas untuk bergerak. Pelan-pelan aku tersenyum. Aku berhasil. Aku akan mati ketika aku hanya mengenal luka di lutut. Aku akan segera menemui kakek dan berbahagia melihatnya sedang berbahagia dengan nenek.

Lama-kelamaan mataku tertutup. Aku merasa sangat mengantuk dan akhirnya tertidur. Di depanku, tubuhku menghentikan detak jantungnya. Mungkin karena hatiku sudah habis dimakan cacing dan ia mulai menuju jantungku. Suara datar dan panjang dari monitor yang di layarnya menampilkan sebuah garis lurus terdengar memekakkan telinga. Tangis mama pecah, tangis paling menyedihkan yang pernah aku dengar dalam kebosananku mendengar tangisnya. Tapi aku semakin terlelap sembari tersenyum.

Senin, 09 September 2013

Aku Telah Habis

Aku telah habis mengeja liuk tengkukmu
Membaca abjad demi abjad aroma tubuhmu
Mencatat alkohol dan sisa asap rupa-rupa rokok dari sudut bibirmu
Membukukan ingatan-ingatan yang dapat kuberi judul; kita

Aku telah habis di dalam pelukanmu
Dan jika pelukan itu adalah rumah yang selama ini kudamba untuk berpulang,
j a n g a n   p e r n a h   b a n g u n k a n   a k u
Karena mimpi hanya akan berupa bentangan luas langit malam penuh bintang,
yang semakin kutatap akan semakin menyerupai kecebong bercahaya berenang di dalam kolam
Atau hujan kristal berjatuhan ke bumi
Karena tak ada lagi mimpi indah dan mimpi buruk
Dan kenyataan

Senin, 02 September 2013

Rumah Yang Tak Sampai Dan Masa Lalu Yang Pincang

Di titik tapak ini, napasmu tersengal
Dayamu luruh dari raga yang penuh peluh

Kamu telah terlalu banyak berlari
Mencoba melebarkan jarak dari realita
Dari gapainya yang menggerogoti
Mencoba mencapai udara segar
Keluar dari bekap kenyataan-kenyataan

Kamu telah terlalu banyak berlari
Menuju rumah yang tak pernah sampai
Lengan-lengannya telah melunglai
Tak sanggup memeluk roboh tubuhmu
Dan harapan-harapan yang terbujur kaku

Di titik tapak ini, kamu terperangkap
Karena kaki masa lalu yang pincang itu,
lebih kuat berlari dari pelarianmu sendiri