Senin, 26 November 2012

Sketsa Di Atas Surat Cinta




Lain kali, beritahu aku jika kamu ingin menyisipkan sebilah pisau di dalam genggaman tanganku. Jangan lakukan diam-diam, agar aku tahu aku tak merobek jiwamu ketika aku membelai wajahmu atau menusuk hatimu ketika aku memeluk tubuhmu.

.....

Dulu, aku suka terlalu sibuk menggoreskan penaku di atas kertas. Menuliskan beratus-ratus surat cinta untukmu. Surat-surat itu tak pernah kusampaikan kepadamu, tetapi selalu kamu rampas dari tanganku sebelum aku menyelesaikannya. Kamu lalu menyimpannya di bawah tumpukan komik-komikmu tanpa pernah kamu baca.

Dulu, kamu suka terlalu sibuk menggariskan pensilmu di atas kertas. Menggambarkan beratus-ratus sketsa abstrak tentang cinta yang kamu punya untukku. Sketsa-sketsa itu tak pernah kamu artikan di hadapanku, tetapi selalu aku kumpulkan dan tempelkan di seluruh sisi dan bidang tembok kamarku sampai penuh. Aku tak pernah ingin tahu tentang apa semua sketsa itu.

Paling tidak, dulu kita selalu memainkan alat tulis kita secara berdampingan. Paling tidak, kita selalu mengoyak kertas-kertas yang kita miliki bersama-sama. Surat-surat cintaku selalu hampir jadi di sebelahmu. Sketsa-sketsamu selalu menjadi tak berarti di sisiku.

Biasanya aku yang lebih dulu mengambil kertas, berbaring di atas kasur dan mulai menulis. Tidak lama kemudian kamu akan datang dengan kertasmu, berbaring di sampingku, merenggut kertas suratku, lalu mulai menggambar. Ketika itu aku akan menyandarkan kepalaku di bahumu sambil terus memperhatikanmu menggambar. Kita terus bersama menikmati emas yang bertebaran di atas langit senja atau kristal yang jatuh dari awan pekat lewat jendela kamarmu, tanpa pernah tahu apa yang sebenarnya kita tuangkan ke dalam kertas kita masing-masing.

Pada suatu saat yang aku tidak tahu pasti kapan, kamu menyisipkan sebilah pisau di dalam genggaman tanganku tanpa aku ketahui. Pisau itu memberikanku otoritas untuk dapat melukaimu kapanpun aku sempat, meskipun aku tak mau. Pada suatu saat yang aku tidak tahu pasti kapan, aku yang biasanya hanya berbaring di sampingmu dan menyandarkan kepalaku di bahumu, memutuskan untuk memelukmu, melingkarkan tangan yang terselip pisau itu ke tubuhmu.

Sekarang, dibandingkan menggariskan pensilmu di atas kertas dan menggambar ratusan sketsa abstrak, kamu lebih sibuk menutup pintu kamarmu. Sekarang, dibandingkan menggoreskan penaku di atas kertas dan menulis ratusan surat cinta, aku lebih sibuk mengetuk pintu kamarmu berharap kamu mau membuka sedikit celah.

Sekarang, ketika kita telah saling memahami isi coretan kertas kita satu sama lain, tak ada lagi ruangan yang terbuka untuk kita menyaksikan emas dan kristal yang bertaburan di angkasa bersama-sama.

Minggu, 25 November 2012

It's funny how I ever got helped by one sentence of one person in some kind of bad situation, and when she's in the same situation I had, I can't help her by telling the same sentence she gave to me. It's just..........funny!

Rabu, 21 November 2012

Tulisan Selamat Tinggal


Surat ini akan kusampaikan kepadamu ketika aku sudah dapat memastikan bahwa waktu yang ada untuk kita berdua semakin menyempit. Surat ini akan sampai  di tanganmu ketika waktu yang aku perkirakan tersebut telah benar-benar habis dan ruang yang ada di antara kita telah melebar jauh dari sebelumnya serta mengubah seluruh isi dunia yang selama ini kita tempati bersama.

.....

Aku mencintaimu. Sungguh.

Aku mencintaimu bukan atas nama peran sahabat yang sudah sekian tahun kita lakoni. Aku mencintaimu bukan atas nama perasaan yang aku miliki kepadamu lebih dari batas perasaan yang dua sahabat biasanya berbagi. Aku mencintaimu sekedar atas nama kebersamaan yang sudah bersama-sama kita lewati selama ini.

Sampai pada menit-menit terakhir waktu yang kita habiskan bersama sebelum semuanya berubah, aku masih begitu mencintaimu. Ketika menatap wajahmu, aku masih menahan nafas seperti layaknya orang yang sedang jatuh cinta menahan histeris ketika melihat pujaan hatinya. Ketika aku menatap tubuhmu, aku masih berhalusinasi dan melihat tubuhku bersanding di sampingmu, menggenggam tanganmu mesra atau dirangkul olehmu penuh kasih sayang.

Aku minta maaf. Sungguh.

Aku minta maaf atas kelancanganku menciptakan perasaan yang melebihi kadar yang seharusnya aku miliki terhadapmu. Aku minta maaf jika usahaku untuk menahan ego impulsifku dalam hal mencintaimu tidak begitu maksimal. Aku minta maaf jika aku telah membuatmu merasa tidak nyaman dan kebingungan untuk mencari cara mempertahankan kebersamaan kita seperti sebelum ada perasaan berlebihan ini.

Sampai pada menit-menit terakhir waktu yang kita habiskan bersama sebelum semuanya berubah, aku masih begitu merasa bersalah dan ingin memohonkan maaf langsung kepadamu. Aku masih terus berandai-andai jika saja kamulah yang menyelamatkanku dari setan-setan yang ada di dalam diriku. Aku masih terus berandai-andai jika saja kamulah teman hidup yang aku butuhkan selama ini. Aku masih terus berandai-andai jika saja kamulah keputusan benar bagiku setelah sekian keputusan-keputusan salah yang telah aku ambil.

.....

Surat ini akan kamu pahami ketika aku telah sungguh-sungguh menyerah untuk mendapatkan hatimu. Setelah aku tak sanggup menghancurkan tembok egomu, setelah aku tak sanggup mengalahkan persahabatan dan bahkan kekeluargaan kita yang adalah segalanya untuk dipertahankan, dan setelah aku tak sanggup lagi melawan ruang dan waktu yang berubah berdasarkan arahan takdir.

.....

Ditulis: 28 September 2012

Senin, 19 November 2012

Sedikit Tentang Saya Dan Ngayogjazz 2012

Sebagai seorang penduduk Jogja yang gagal, di postingan kali ini saya akan menceritakan pengalaman pertama saya pergi ke event Ngayogjazz 2012 pada tanggal 18 November yang lalu. Kenapa gagal? Karena sudah empat tahun saya bertahan hidup dengan menghirup atmosfir udara Jogja tapi baru tahun ini ke Ngayogjazz, sementara tahun ini sudah kali kedelapan acara ini digelar.

Ngyogjazz adalah sebuah event tahunan dengan konsep konser musik jazz yang dipadukan dengan ekplorasi budaya Jogja. Daripada saya menjelaskan dengan bahasa formal selayaknya menulis untuk artikel surat kabar, sebaiknya saya mengetik yang santai-santai saja. Lagipula saya tidak punya informasi yang memang valid dunia akhirat tentang konsepnya kalau harus menulis formal. Intinya, Ngayogjazz 2012 ini diadakan di Desa Brayut, Sleman, Yogyakarta. Jadi acaranya di perkampungan gitu. Ada enam panggung yang jadi spot utama tampilnya pengisi-pengisi acara. Setiap panggung itu ada di halaman rumah penduduk kampung setempat. Panggung-panggung itu pisah-pisah tempatnya, alias tidak berdekatan atau bersampingan.

Selain dimanfaatkan untuk spot panggung, halaman-halaman rumah warga juga dijadikan spot macam-macam stand, mulai dari stand para sponsor sampai warung-warung makan dadakan yang disediakan oleh warga setempat. Setting tempat Ngayogjazz ini luar biasa. Pengunjung dipaksa untuk jalan-jalan keliling kampung dan tidak diam di satu tempat saja. Bintang tamu utama yang merupakan musisi-musisi jazz Indonesia dengan nama yang sudah besar juga disebar di berbagai panggung. Jadi tidak ada pilihan lain, silakan wisata keliling kampung kalau mau nonton puas.

Kedatangan saya ke Ngayogjazz 2012 awalnya hanya karena mau menonton Jay & The Gatrawardaya, jadi ketika tiba saya langsung menuju panggung Pacul. Awal mengenal kelompok musik jazz asal Jogja ini setelah mengikuti kelas Akademi Berbagi Yogyakarta dengan tema Musik Puisi yang pembicara alias gurunya adalah Mas Jay yang notabene adalah pemain saxophone serta komponis, dan Mbak Tey sang alumni Sastra Inggris UNY yang bisa dibilang adalah sastrawati. Sebagai informasi tambahan, mereka ini pasangan kekasih. Biasanya ketika kita membaca sebuah sajak singkat atau melihat seseorang yang piawai bermain alat musik saja sudah bikin tergila-gila, mereka berdua bahkan berkolaborasi dalam berkarya, yang satu menulis puisi dan yang satu meng-compose musik untuk puisi yang sudah ada itu. Bagaimana saya tidak jatuh cinta dengan mereka sepulangnya dari kelas itu?

Setelah melihat Jay & The Gatrawardaya, konsep Ngayogjazz yang memaksa pengunjungnya untuk wisata keliling kampung tetap berhasil mempengaruhi saya. Meskipun hujan turun deras sepanjang sore sampai malam sebelum Barry Likumahua Project tampil, saya tetap jalan-jalan keliling venue acara. Dengan persiapan yang antara matang dan tidak matang, saya berkeliling dengan menggunakan jas hujan hijau yang sudah saya persiapkan dari rumah dan sepatu yang basah kuyup terendam lumpur di sana-sini karena seharusnya saya memakai atau paling tidak membawa sendal jepit. Tidak sia-sia, penampilan semua pengisi acara di semua panggung keren-keren. Namanya juga musisi jazz, skill-nya suka over-qualified semua. Sebagai orang yang suka mengaku pecinta musik, saya puas.

Salah satu hal yang membuat saya super-excited, Brayut malam itu dipenuhi oleh manusia-manusia yang mengenakan jas hujan warna-warni berhamburan di sana-sini. Saya ingat salah seorang teman saya yang begitu ingin membuat festival jas hujan. Katanya, menarik sekali melihat banyak orang mengenakan jas hujan warna-warni sedang bermain di bawah hujan, dan Brayut malam itu hampir mendekati keinginannya hanya karena masih ada sekelompok orang yang memakai payung. Malam itu pesta jas hujan!

Hal lainnya yang membuat saya super-excited, saya sebagai orang yang sering mengaku suka hujan, alih-alih merasa repot dengan hujan yang mengguyur selama acara berlangsung justru merasa termanjakan. Saya suka sekali melihat tetes-tetes hujan yang jatuh di bawah lampu, entah lampu apapun, meskipun saya seringnya melihat tetes hujan yang jatuh di bawah lampu jalan. Malam itu Ngayogjazz sudah membuat saya senang semalaman karena melihat hujan di bawah lampu itu semalaman sampai puas. Venue acara di Brayut juga dilengkapi dengan lampu-lampu kecil, (semacam) obor-obor dan lentera-lentera yang menghiasi jalan-jalan setapak dari satu spot ke spot lain. Sebagai pecinta cahaya-cahaya minimalis di tengah kegelapan, saya bangga ada di sana.

Akhirnya, keadaan saya yang kehujanan sejak sore, belum makan sejak pagi dan kaki yang sudah tidak berwujud di dalam sepatu yang basah kuyup terbayar oleh penampilan Barry Likumahua Project yang luar biasa menyenangkan sekitar pukul 10 malam. Setelah dibuat bergoyang mulai dari sekedar kepala, kaki sampai seluruh badan, saya juga dibuat semakin yakin pada pernyataan yang berbunyi "Orang Ambon itu yang namanya musik dan gombal udah ngalir di dalam darah dari sononya." Pernyataan itu awalnya sering saya baca dari tweet Kak Theo @perempuansore, yang kemudian didukung oleh statement senada yang diucapkan Glenn, Elo dan Edo Kondologit ketika mereka menjadi bintang tamu Just Alvin episode Beta Datang Dari Timur.

Selama BLP tampil, hanya dengan melihat Barry bermain bass, saya paham orang Ambon itu mungkin memang dilahirkan untuk bermusik atau minimal memiliki kepekaan di atas rata-rata terhadap rangkaian nada-nada. Malam itu, Om Benny Likumahua yang tidak lain tidak bukan adalah ayah dari Barry sendiri juga turut tampil dan memamerkan komposisi darah yang mengalir di dalam dirinya dan telah ia tumpahkan pada anaknya itu. Hanya dengan kalimat-kalimat pengantar basa-basi dari Barry ketika tampil jugalah saya paham orang Ambon itu memang sudah flamboyan sejak dalam tatapan! Kebetulan saya juga orang Ambon, semoga saja saya tidak digeneralisakan ke dalam ciri-ciri tersebut, karena saya akan bingung harus bangga atau tidak enak hati dilabeli tukang gombal.

At all, bagi diri saya sendiri, apalagi kurangnya Ngayogjazz 2012 di Brayut malam itu kalau semua yang saya suka bisa saya nikmati sampai puas di sana? Belum lagi CD Membuatku Cinta dari Jay & The Gatrawardaya bisa saya dapatkan gratis sehingga saya tidak jadi mengopi-ngopi secara ilegal. Itu sudah bonus luar biasa mengingat saya bahkan ikut nongkrong untuk berteduh di rumah tempat equipment dan transit artis termasuk Barry dan kawan-kawan serta ikut mencomot cemilan untuk artis.

Karena kebetulan ini bukan artikel untuk koran atau majalah, sampai di sini saja curhatan saya. Saya mau mengecek sepatu yang sudah saya jemur seharian dulu.


Di Depan Peta Lokasi dan Jadwal Tampil Pengisi Acara Ngayogjazz 2012

Di Antara Banner-banner Ngayogjazz 2012

Salah Satu Sudut Jalan Desa Brayut

Pesta Mantel dan Payung

Hampir Menyerupai Festival Jas Hujan

Flamboyan Sejak Dalam Tatapan


Kamis, 15 November 2012

Tertanggal; 13 November 2012


Setelah selama hampir empat tahun berkutat dengan sebuah konsep pengetahuan yang berisi bahwa semua variabel perilaku memiliki serangkaian indikator tertentu, saya akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa sesungguhnya tidak semua hal di dunia ini memiliki indikator yang pasti.

Beberapa hari yang lalu saya baru saja melupakan ulang tahun salah seorang teman dekat saya. Bukannya saya lupa kapan tanggal ulang tahunnya, melainkan tepat pada tanggal ulang tahunnya, saya tidak ingat itu tanggal berapa. Ketika menyadarinya, waktu sudah menunjukkan pukul 00.06 pada keesokan hari setelah ulang tahunnya. Saya pikir, saya bahkan sudah telat tujuh menit untuk memberi ucapan selamat ulang tahun sebagai orang terakhir.

Sayangnya, teman saya ini bukan sekedar teman yang secara kuantitatif paling banyak menghabiskan waktu bersama saya. Bukan sekedar pendengar yang baik. Bukan sekedar tembok yang kokoh untuk disandari. Bukan sekedar keluarga atau kakak beda darah seperti yang sering orang-orang istilahkan. Dia adalah idola saya. Idola yang saya tetapkan bagi diri saya sendiri karena merupakan satu-satunya orang paling sederhana yang pernah saya temukan di antara sekian banyak orang yang pernah saya temui. Dia adalah orang dengan kepribadian paling mewah yang pernah saya kenal. Dan pada banyak waktu, saya berharap bisa mewarisi sedikit kepribadiannya itu untuk mengisi sebagian tempat dari keseluruhan kepribadian saya.

Anehnya, tepat pada hari dimana dia merayakan ulang tahunnya yang ke 21, saya masih berkomunikasi dengannya. Komunikasi berisi tawaran pekerjaan dari saya untuknya. Sederhana, saya hanya mendapat tawaran magang, sementara saya sudah magang di tempat lain, dan tanpa berlama-lama mengambil keputusan, saya alihkan tawaran itu kepadanya. Lebih sederhana lagi, otak saya bekerja secara spontan menampilkan sosoknya paling pertama untuk ditawari, sementara ada banyak nama lainnya yang sebenarnya muncul namun entah kenapa saya kesampingkan. Saya merasa dia yang lebih pantas mendapatkan keberuntungan itu. Saya merasa saya memang mengutamakan dia. Mungkin karena saya memang menyayanginya.

Saya melupakan hari ulang tahunnya dan tidak menyampaikan doa apapun kepadanya tepat waktu. Tapi saya memperhatikan keadaan dan kebutuhannya. Lalu bagaimana sesungguhnya orang mengukur variabel rasa sayang jika indikator yang saya tunjukkan sekabur itu?

Saya rasa banyak hal yang memang diciptakan untuk hanya berada di dalam hati. Hal-hal itu diciptakan tidak sepaket dengan tanda-tanda yang menyertainya. Dan ini bukan pengalaman pertama saya dalam hal ketidakmampuan untuk mengukur suatu hal dari apa-apa yang ditunjukkan. Banyak hal yang sesunggunya YA tetapi diikuti oleh sekumpulan tanda-tanda TIDAK. Banyak hal yang sebenarnya A dengan indikator yang menunjukkan B. Banyak hal yang 1 namun tampak seperti 2.

Saya merasa gagal. Anggap saja ini hadiah ulang tahun dari saya untuknya.

Jumat, 02 November 2012

Cerita-cerita Yang Dikisahkan Di Dalam Kepala




Pukul 18.30. Aku sudah duduk manis di depan monitor komputer operator internet cafe tempat aku bekerja sekitar setahun belakangan. Shift kerjaku hari ini baru akan dimulai setengah jam lagi. Tapi tak apa, toh aku juga tidak sedang memiliki kegiatan lain yang harus membuatku datang terlambat atau terlalu kelelahan dan datang tepat waktu. Seharian ini aku hanya berkeliaran di atas kasurku, kecuali pada jam makan siang tadi ketika aku diminta Imam untuk mengantarnya ke rumah sepupunya. Seperti itulah aku menghabiskan waktuku hampir setahun ini sebagai mahasiswa tingkat akhir yang tidak memiliki kapasitas motivasi di atas rata-rata untuk bisa menyelesaikan tugas akhirnya tepat waktu, meskipun aku memiliki kapasitas kognitif di atas rata-rata. Untuk itu juga aku mengisi waktu bekerja disini demi sedikit menyelamatkan hidupku yang monoton. Sudahlah. Lupakan saja hidupku yang monoton dan tak punya esensi untuk diceritakan. Ini sudah pukul tujuh lebih 15 menit dan ada seorang wanita cantik yang membuka pintu warnet. Aku sering melihat dia datang ke sini. Dia wanita yang selalu menyanyikan semua lagu yang aku putar ketika sedang merajai playlist sebagai operator. Tapi ada yang berbeda dari wanita ini. Kali ini ia sudah mengkonsumsi waktuku lebih dari 5 menit untuk tenggelam ke dalam ketidaksadaran karena terlalu serius mengamatinya.

"Selamat malam. Silakan nomornya."


*****


Pukul 19.00. Aku kelelahan setelah pulang dari kantor tempat aku magang. Meskipun demikian, dibandingkan istirahat, aku memilih keluar lagi dan menyegarkan pikiranku. Aku mau ke warnet dekat kosku. Kebetulan wifi di kos sedang terganggu. Mungkin aku akan mengambil beberapa film dari koleksi lengkap warnet itu untuk kutonton malam ini, toh besok hari sabtu dan aku tidak berangkat ke kantor. Atau mungkin aku akan menulis sesuatu untuk blogku. Atau aku bisa mencari lowongan pekerjaan selain memeriksa hasil lowongan lain yang telah kulamar. Atau aku hanya akan melihat-lihat video di youtube. Apapun itu, aku mau keluar dan menghirup udara malam kota paling nyaman yang pernah kutempati, udara malam yang beberapa waktu lalu ketika hidupku masih hanya tentang bersenang-senang, selalu aku nikmati setiap hari sampai pagi menjelang. Setelah itu aku akan mencari makan malam. Mungkin sendiri atau mengajak siapa, entahlah. Aku sampai di warnet tepat pukul tujuh lewat 15 menit. Aku langsung menuju meja operator untuk mengambil nomor bilik. Penjaga warnet yang meyambutku tampan. Aku sering melihatnya, dia operator yang selalu memainkan lagu-lagu kesukaanku. Memang kebetulan, tapi baru kali ini dia mencuri kesadaranku dan membuatku memperhatikannya lebih dari biasanya.

"Oh iya. Makasih, Mas."

_________________________________________________________________


Pukul 20.05. Hari ini aku menjalani hariku dengan sedikit berbeda. Sedikit saja. Sepanjang siang setelah bimbingan skripsi yang tidak memberiakanku pencerahan dan jalan keluar kecuali membuatku semakin bingung, aku menemani Riska mencari buku. Riska itu pacarku. Sudah hampir empat tahun aku mengahbiskan hidupku menyandang status sebagai kekasihnya. Sudah empat tahun juga aku mengisahkan berbagai rasa dari satu kisah yang sama, mulai dari manisnya tahun pertama, pahitnya tahun kedua, pahit yang dipaksakan menjadi manis tahun ketiga, sampai pada tahun keempat dimana aku rasa aku tidak merasakan apa-apa lagi. Dan tentang 'kencan' kita tadi, aku merasa tidak lebih dari melaksanakan tugas dan peran yang seharusnya aku lakukan atas status yang aku sandang. Riska itu sesosok wanita manis yang biasa saja, tergolong kalem, dan membosankan. Tapi entah mengapa aku bisa bertahan selama ini bersamanya dengan berbagai krisis yang sudah membuatku muak sampai mati rasa. Mungkin aku terlalu pemalas untuk memanfaatkan wajah tampan, pembawaan menarik dan kecerdasan yang aku punya. Lima menit lagi setengah sembilan malam dan pintu warnet terbuka oleh dua orang pelanggan. Wanita cantik yang waktu itu bersama seorang lelaki yang aku rasa pacarnya. Sepertinya ada sedikit kecewa mengetuk-ngetuk hatiku dari dalam.

"Silakan. Maaf, tinggal yang smoking."


*****


Pukul 19.25. Aku makan malam bersama Tedi setelah hari yang panjang dan melelahkan di kantor. Seharian aku bekerja, yang lebih tepatnya belajar, dan seharian  juga aku tak tahu apa yang Tedi lakukan selain kuliah jam setengah 10 pagi sampai jam setengah empat sore dengan waktu istirahat siang jam 12 sampai jam satu. Aku memang jarang mencari tahu tentang kegiatannya jika memang bukan dia sendiri yang menceritakan. Aku lebih memilih tidak peduli daripada menuruti atau bahkan memaksakan keingintahuanku yang mungkin saja akan membuat ia lama kelamaan lelah mengahadapinya. Aku memilih diam daripada meributkan ketakutanku jika ia mengkhianatiku lalu membuatnya muak dan pada akhirnya sama saja meninggalkanku. Tedi itu pacarku. Kekasih yang sudah sekitar dua tahun menemaniku, meski entahlah, aku rasa ada yang salah dengan hubungan kita. Hubungan yang pada awalnya sama dengan sepasang-sepasang orang lainnya, sama-sama berada dalam tahap kebahagiaan diolok cinta, namun kemudian berubah mengikuti sebuah pepatah yang berkata bahwa satu-satunya hal yang pasti dan tetap adalah perubahan. Pukul setengah sembilan kurang lima menit kita sampai di warnet setelah makan malam karena Tedi ingin mengunduh sesuatu dari email-nya. Mataku lalu menemukan penjaga warnet tampan itu lagi. Kali ini matanya menatapku lama dan tajam. Ada rasa penasaran bercampur kesal tersorot dari sana.

"Iya, Mas. Ga apa-apa."

_________________________________________________________________


Pukul 23.10. Aku masih di depan layar monitor PC di warnet yang hampir setiap malam aku datangi, dan lebih tepatnya tunggui. Sudah beberapa bulan terakhir aku bertahan dengan shift malam. Sesungguhnya aku memang menikmatinya dan belum ingin bertukar shift demi membantu diriku sendiri menangani insomniaku. Malam ini udara agak lain dari biasanya. Sepertinya suhu turun beberapa derajat pertanda hujan deras akan segera turun. Tak apalah, kota ini sudah terlalu panas akhir-akhir ini dan masih lama waktu sebelum shift-ku habis jam 3 pagi, jadi tak masalah. Satu-satunya masalah adalah aku baru saja putus dengan Riska kemarin malam. Sesungguhnya aku bahkan tak benar-benar yakin itu adalah masalah untukku karena rasanya tak ada yang berubah, mulai dari keadaan fisik, mental atau bahkan hatiku. Tepat jam setengah 12 hujan turun dengan deras. Bersamaan dengan itu wanita cantik pelangganku tiba membuka pintu warnet. Tubuhnya sedikit basah. Tapi matanya sembab luar biasa. Ia langsung mengambil nomor dan pergi ke biliknya tanpa aku sempat mengatakan apapun.

"....."


*****


Pukul 22.30. Sudah hampir setengah jam aku berkutat dengan perkelahianku dengan Tedi. Dia terbukti selingkuh. Entah apa yang aku ributkan dengannya sampai seluruh air mataku harus terbuang. Sejak lama aku hanya punya dua pilihan, dia mengkhianatiku karena aku tak begitu memperhatikannya atau dia meninggalkanku karena aku teralu mengganggunya dengan perhatianku yang meresahkan. Langit di luar mendung. Tak ada bintang satupun di atas sana. Dan bersama dengan pertengkaran hebat ini, aku semakin merindukan hujan. Aku sadar aku tak perlu menyianyiakan tenagaku sebanyak ini. Ada sesuatu yang harus aku pelajari untuk dilepaskan. Sesuatu yang aku sudah tidak punya kontrol lagi atasnya. Jam setengah 12 setelah beberapa ratus menit yang begitu melelahkan untukku, aku akhirnya pergi meninggalkannya. Aku tak tahu harus ke mana. Di jalan, hujan turun dan aku akhirnya berlabuh di warnet langganan dekat kosku. Ada lelaki tampan penjaga warnet itu lagi. AKu bahkan tak menatapnya, tidak dengan tampilan wajahku yang sedang seperti ini.

"....."

_________________________________________________________________


Pukul 3.00. Aku bersiap untuk pulang. Sejak tadi aku memikirkan apa yang terjadi pada wanita itu. Aku memikirkannya lebih dari aku memikirkan statusku yang baru saja jomblo. Bersamaan dengan aku mengenakan jaketku, wanita itu keluar untuk membayar bill-nya. Dia menatapku sekilas dan tersenyum padaku. Kita lalu keluar pintu warnet itu bersama-sama menuju tempat parkir. Hujan baru saja reda.


*****


Pukul 3.00. Aku sudah cukup tenang. Aku lelah. Mungkin selain pelarian sementara di warnet ini, aku butuh tidur. Tidak, aku tidak apa-apa, aku sudah tenang dan tidak peduli lagi. Aku keluar membayar bill ketika lelaki penjaga warnet itu juga sedang bersiap pulang. Aku tersenyum padanya. Kita lalu keluar pintu warnet itu bersama-sama menuju tempat parkir. Hujan baru saja reda.


*****

"Kamu ga apa-apa pulang jam segini?"
"Hahahahaha... Udah biasa. Lagian kosku deket."
"Di mana?"
"Ini ke utara dikit, terus masuk belok kanan di gapura merah samping warung nasi uduk itu."
"Oooh..."
"Kamu abis shift jam segini?"
"Iya, abisnya jam tiga."
"Kamu udah lama di sini?"
"Lumayan, setahunan. Maklum, mahasiswa mandeg TA."
"Cepetan lulus, masih banyak kemandegan yang menanti di depan."
"Hahahaha... Iya sih, bertahan sama kegalauan level ini lama-lama cuma nunda banyak kegalauan lainnya di masa depan yang bakal tetep terjadi."
"Nah, itu ngerti. Emang kuliah di mana? Angkatan berapa?"
"UGM. Arsitek 2008. Kamu?"
"Psikologi 2008, UGM juga. Tapi udah lulus, udah dibikin bingung sama kesulitan-kesulitan hidup lanjutan."
"Hahahahaha..."
"Hahahahaha..."
"Eh abis ujan nih, kamu ga bawa jaket apa?"
"Ga. Udah, ga apa-apa. Deket ini kok. Tadi buru-buru."
"Yakin ga kenapa-kenapa?"
"Iya, ga."
"Bukan dinginnya, kamunya."
"Hahahahaha... Dipaksain aja biar ga kenapa-kenapa."
"Yaudah, hati-hati ya. Eh, aku Nino."
"Aku Tisa."
"Sampai ketemu lagi."
"Iya, makasih ya."


*****

Ada sesuatu yang baru saja aku mulai di dini hari ini.

_________________________________________________________________