Selasa, 20 Maret 2012

Pada Suatu Masa


Pada suatu masa, kita berada dalam sebuah kereta. Kita digiring takdir menempati gerbong yang sama, hanya saja duduk di tempat yang berbeda. Aku bisa melihatmu dari dari tempatku duduk. Begitu juga sebaliknya kamu.

Pada suatu masa, entah kamu atau aku datang menghampiri yang lain. Saling bercerita tentang buku yang kubaca. Saling bercerita tentang lagu yang kau dengar. Pada beberapa waktu, cerita yang mengalir di antara kita begitu menarik dan menjadi magnet agar posisi duduk kita semakin dekat. Pada saat itu, kita bercerita tentang lebih banyak hal. Tentang film-film yang pernah kita tonton atau bahkan kita bintangi.

Pada suatu masa, buku yang kubaca menarikku kembali terikat di dalam rantai milyaran hurufnya. Begitu juga lagu yang kau dengar menarikmu kembali tenggelam di dalam lautan nadanya. Pemandangan di luar kereta menjadi lebih menarik perhatian. Lalu kita kembali ke tempat duduk kita masing-masing saat pertama kali.

..........


Pada suatu masa, aku masih bisa melihatmu, dan kamu masih bisa melihatku. Ada dorongan hebat di dalam diriku yang menarikku untuk mendekat dan memulai cerita yang sama seperti dulu. Tapi aku menahannya. Aku lebih suka tetap duduk di tempatku dan mencintaimu dari sini. Mencintaimu dari balik dinding jarak yang menjadi garis pembatas dua dunia. Dunia dirimu, dan dunia diriku.

..........


Pada suatu masa, aku sadar bahwa tujuan pemberhentian kita mungkin tak sama.

Jembatan Ego

Aku tak perlu kehilanganmu untuk menyadari seberapa berharganya kamu. Aku hanya perlu melihatmu berubah.


Aku tak perlu pernah memilikimu untuk menyadari seberapa berharganya kamu. Aku hanya perlu pernah membunuh waktu bersamamu.



Kamu telah lama berharga bagiku. Hanya saja aku menyimpan semuanya di alam bawah sadarku. Aku sendiri yang membiarkan diriku untuk tidak membawamu ke atas garis kesadaran dan menjelmamu dalam realita.



Kamu telah lama berharga bagiku. Hanya saja aku tak pernah merumuskannya secara lumrah. Aku tak pernah membiarkan rasa itu menyebrangi jembatan egoku agar aku bisa menyadarinya.



......




Selamat menempuh hidup baru, Teman. Sekarang kamu berhasil menyebrangi alam bawah sadar ke alam sadarku. Dan aku menyesal.

Sabtu, 17 Maret 2012

kuning - merah - hijau


Alex

saat ini aku berada di dalam mobil. mobil kesayangan yang memang satu-satunya milikku. mobil yang memang aku tak punya banyak untuk dipilih-pilih setiap kali keluar rumah. duduk tenang di belakang kemudi. fokus melihat ke depan, melihat rangkaian gambar-gambar yang setiap frame-nya semakin mendekat sambil beberapa kali terdistraksi benda-benda yang berlari mundur dengan cepat di luar jendela kiri dan kanan.

aku rasa aku sedang mengemudi pulang ke rumah. walaupun aku tak yakin. aku baru saja melakukan perjalanan keliling dunia, dan jika itu terlalu hiperbola, keliling jawa sudah cukup. keliling jawa lewat jalan darat dengan aku sendiri yang mengemudi. hanya berhenti di beberapa tempat untuk istirahat dan makan. mencari kenyamanan kalau boleh dibilang. walaupun pada akhirnya tak ada kenyamanan yang mampu membuatku bertahan sampai akhirnya aku beranjak pergi lagi.


..........


Sandra

aku duduk bersandar di jok belakang kemudi. aku merasa berada di sebuah tempat parkir luas yang biasanya sangat ramai dan penuh. namum sat ini, malam ini, lahan parkir itu kosong dan sangat lengang. hanya ada mobilku dan dua mobil lainnya yang aku yakin dititipkan pemiliknya dan tidak akan diambil kembali untuk malam ini. aku terdiam, tanpa menginjak gas, rem, ataupun memainkan persneling. bahkan tidak menyentuh kunci dalam niat mengubah posisinya.

aku merasa seperti sudah bertahun-tahun berada di lahan parkir itu dengan gambaran keadaan persis seperti malam ini. aku hanya diam mendengarkan musik yang mengalun dari alat yang menyatu di dasboard mobilku. memejamkan mata dan menyusun serpihan-serpihan apapun untuk membentuk sebuah dunia baru di dalam kepalaku. mendengarkan hatiku. walaupun yang lebih sering kudengar dari sana adalah sunyi atau riuh. tak pernah di antaranya. tak pernah ada suara bisikan yang cukup bisa dipahami untuk membimbingku.


..........


Sandra

ini malam ketiga aku, Alex, Doni, Tira, dan Yuyun menghabiskan malam bersama. aku rasa kita semua lelah dengan kelelahan kita masing-masing. kita semua bosan menghadapi kebosanan kita. dan di sinilah kita, duduk bersama di sebuah cafe untuk sekedar membunuh waktu, berbagi kehangatan dan melarikan diri. melarikan diri dari dunia kita masing-masing ke satu dunia yang kita ciptakan bersama-sama setiap malam.

ini malam senin, setelah malam sabtu dan malam minggu yang kita habiskan bersama-sama. malam ini kita memilih cafe, bukan bar seperti biasanya. pilihan ini menang setelah Doni panjang lebar memberi khutbah tentang pekerjaan dan tanggung jawab yang harus kita selesaikan besok. ada ketakutan akan waktu yang terlalu banyak terbunuh dan matahari yang menjemput langsung jika kita kembali duduk di bar. malam ini kita memilih pulang lebih awal.

"gue ikut mobil lo ya, Lex?" tanyaku.

"ga sama Yuyun sama Tira?" Alex balik bertanya.

"ga deh. tadi bareng mereka soalnya sorenya kita emang bareng. kalo gini kan enakan ama lo, sejalur. kasian mereka bolak-balik beda arah kalo nganter gue dulu. apa gue ikut mobil Doni? lo berdua satu apartemen tapi bawa mobil sendiri-sendiri."

"si Doni mau di rumah temennya malem ini. ada kerjaan tim yang belom dia beresin. makanya bawa mobil sendiri. yaudah lo ikut gue."

kurang dari 20 menit dan mobil Alex sudah melaju di jalan raya metropolitan yang masih saja ramai di jam 12 malam lewat seperti ini. aku hanya diam sepanjang perjalanan. Alex juga. aku rasa dia kelelahan. sesekali aku menatap wajah tampannya, mencari keteduhan, namun ia tak peduli. atau aku yang tak pernah tau dia peduli.

ya, aku menaruh perhatian pada Alex sejak satu tahun yang lalu, sejak kurang lebih enam bulan setelah aku dipindah tugaskan ke kota rusuh ini dan berada satu kantor dengannya. ya, sekedar menaruh perhatian karena aku sendirilah yang membangun tembok tebal dan tinggi untuk menahan luapan rasa yang bisa saja aku produksi lebih banyak sampai meluap dan menghancurkan tembok itu.

"yeah, all the things that you are, beautifully broken alive in my heart. and know that you are everything..." Goo Goo Dolls - All That You Are


..........


Alex

aku terus terpaku dengan gambar-gambar bergerak dari luar mobilku. memperhatikan jalan dengan isi pikiran yang berkelana kesana-kemari. bahkan saat ini pikiranku sudah sampai di Grand Canyon, tempat yang aku sendiri tidak berani memastikan kapan akan mencapainya, bahkan sampai akhir hidupku. aku melihat lebih banyak lagi gambar di dalam kepalaku dibandingkan dengan gambar yang ada di luar jendela mobilku. gambar-gambar di dalam kepalaku pun bahkan bisa berlari lebih cepat, dan bukan hanya berlari mundur, mereka bahkan mampu berputar-putar.

sekitar 200 meter dari tempatku terlihat sebuah pertigaan dengan lampu kuning yang menyala menggantikan lampu hijau. aku mulai mengangkat kakiku dari pedal gas dan menginjak rem. lampu kuning itu hanya beberapa detik, namun terasa seperti menahun untuk memastikan aku akan menginjak rem sekencang-kencangnya agar mobil ini berhenti, atau menginjak gas semakin dalam agar mobil ini melaju terus menembus sepersekian detik yang tersisa sebelum lampu merah.


..........


Sandra

aku membuka mataku perlahan-lahan. melihat ke sekeliling tempat parkir yang masih sepi. kembali ke dunia nyata dan pergi dari dunia di dalam kepalaku dengan membiarkan sebelah sepatuku tertinggal sekedar untuk memberi alasan jika aku ingin kembali ke dunia dalam kepalaku itu. aku butuh dunia itu selama dan setiap aku berada di dalam mobil, terperangkap di lahan parkir luas yang sepi dan lengang ini. bukan karena tak bisa keluar dari penantian kosong di dalam tempat parkir ini, aku rasa aku lebih kepada tak tahu jalan keluar. atau bahkan bukannya tak tahu, tapi tak mau keluar.

aku berhenti mendengarkan suara dari dalam hatiku yang malam ini sunyi. paling tidak itu lebih baik daripada suara riuh yang selalu hanya mampu mengajakku menelan aspirin. suara sunyi ini paling tidak mampu membuatku bergerak, walaupun aku tak tahu apa yang aku lakukan. aku mulai memutar posisi kunci mobilku, menginjak gas dan memutar-mutar kemudi, mengarahkan mobilku keluar dari lapangan parkir ini. memberanikan diriku untuk akhirnya menghadapi jalan raya yang mengerikan di luar sana.


..........


Alex

aku merasa sangat lelah malam ini. ini hari minggu setelah sejak jumat malam aku hanya bersenang-senang tanpa memikirkan pekerjaan, tapi entah mengapa aku merasa sangat lelah. aku merasa sedang membawa beban berat. ya, bukan di tanganku, bukan di pundakku, bahkan bukan di kepalaku. tapi di hatiku.

aku tak pernah selesai merancang apa yang harus aku lakukan saat bersama Sandra, terutama saat hanya berdua seperti ini. aku pun bahkan tak pernah tamat mengevaluasi apa yang telah kulakukan saat bersamanya, apakah benar atau salah. aku hanya seperti seorang petani yang menarik gerobaknya yang terlalu berat, melewati jembatan, menyeberangi sungai saat hujan deras dan air sungai meluap mencapai jembatan. saat aku bersamanya, aku si petani yang tak tahu harus mempercepat langkah menuju tanah sebelah, atau kembali ke daratan sebelum jembatan. sepertinya aku lebih suka pasrah, walaupun jembatan ini akan segera putus dan aku akan tetap tenggelam pada akhirnya.

"gue di tempat lo aja boleh?" Sandra tiba-tiba membuka suara.

"lo besok ga ngantor?" aku balik bertanya.

"ngantor. tapi siangan kok. kayak ga tau kerjaan bagian gue aja. gue ada tugas keluar kantor besok pagi, urusan sama klien. tapi udah gue beresin skalian tadi."

"ya udah kalo gitu."

"besok gue suruh sopir kantor jemput ke tempat lo, jadi lo ngantor aja ga usah mikir nganter gue pulang."

"oke."

"lo ga apa-apa?" aku kembali bertanya.

"apa-apa kenapa?"

"yah, lo yang tau dan bisa kasi tau gue."

"mau melarikan diri. nyari tempat bengong. di tempat sendiri ga pewe. you know me lah."

"hahahahaha..."

seperti inilah aku terperangkap di dalam kedekatanku dengan Sandra dan lainnya. we're the ones who know each others best. dan aku tak bisa melompat keluar dari deskripsi yang sama dengan label atau level hubungan yang berbeda dengan Sandra.

"hello, i've waited here for you, everlong. tonight, i throw myself into, and out of the red, out of her head she sang..." Foo Fighters - Everlong


..........


Alex

tanpa aku sadari, kakiku telah lama meninggalkan pedal gas dan telah cukup dalam menginjak pedal rem. aku tak benar-benar sadar. alam bawah sadarku benar-benar menguasaiku saat ini. lagipula tak ada gunanya kesadaranku bekerja sesuai keinginan-keinginan yang kusengaja. aku bahkan tak pernah benar-benar tahu apa yang aku inginkan. aku menginjak rem sampai penuh dan akhirnya berhenti di garis paling depan antrian lampu merah. aku lah yang terakhir berlari dalam balapan dan satu-satunya yang mengalah untuk berhenti.

lampu kuning telah berubah menjadi merah sepersekian detik yang lalu. aku memforsir diriku habis-habisan untuk menahan egoku. aku berteriak sekeras mungkin untuk menyuruh monster dalam diriku berhenti meronta. aku sudah memenangkan satu monster sampai akhirnya aku memilih menginjak rem, bukannya menginjak gas. sekarang aku bertarung lagi dengan satu monster lainnya yang ingin melahirkan rasa menyesal karena telah berhenti. aku tahu aku bukan berhenti. aku hanya sedang menunggu. aku paham, setelah lampu merah akan ada lampu hijau tanpa lampu kuning terlebih dahulu. dan jika saat itu tiba, aku akan melaju lebih cepat dari yang lain.


..........


Sandra

aku mengendarai mobilku dengan pelan. aku bersungguh-sungguh tentang keraguanku akan apa yang aku lakukan sekarang. aku tak tahu apakah yang aku lakukan ini benar-benar aku inginkan atau aku butuhkan. aku tidak tahu perbuatanku ini benar atau salah. aku mencoba memejamkan mata beberapa detik, lebih dari sekedar berkedip. dalam beberapa detik itu aku mencoba mencari dan mendengarkan hatiku, berharap ada yang berbicara. kali ini harapanku sia-sia dan yang kudengar hanyalah sunyi.

aku terus melaju dengan kecepatan seminimal mungkin. aku tak yakin dengan keputusanku berhenti mengapung di lautan penantian. aku tak yakin dengan keputusanku meninggalkan parkiran lapang tempat aku menunggu dan mempertimbangkan tentang apa yang sesungguhnya harus kulakukan. aku melihat kiri dan kanan ke luar jendela, mencari jawaban atas semua pertanyaan di kepalaku. aku melihat pertigaan tidak jauh dari tempatku saat ini dan lampu kuning mulai menyala menggantikan lampu hijau. aku semakin memperlambat kecepatan, menginjak rem dan berhenti tepat di garis paling depan. aku menarik napas dalam-dalam dan kembali memejamkan mata. kali aini aku mendengar keriuhan luar biasa dari dalam hatiku.


..........


Sandra

sekitar satu jam telah berlalu mengantarkan diam yang aku dan Alex perankan di dalam mobil ini. satu jam lebih ini terasa seperti satu abad lebih. akhirnya kita sampai di apartemen Alex. aku membuka pintu, keluar dari mobil, lalu berdiri melihat ke langit sekitar. aku memperhatikan sela-sela langit malam tak berbintang di tengah bentangan ujung-ujung gedung tinggi sebelum akhirnya menarik napas panjang dan menutup pintu.

masih dalam diam aku dan Alex berjalan memasuki gedung apartemennya, naik ke dalam lift lalu keluar di lantai 11. masih dalam diam aku dan Alex berjalan memasuki ruang apartemennya. aku tahu ini canggung, tapi paling tidak aku nyaman membuang-buang pikiranku disini daripada di kamarku sendiri. malam ini akan aneh jika aku hanya duduk bersama Alex sepanjang malam tanpa Doni dan lainnya. malam ini juga akan tetap sepi jika Alex memilih tidur dan meninggalkan aku melamun sendiri. tapi paling tidak aku nyaman.

"lo masih laper ga, Ndra?" Alex bertanya padaku.

"ga kok. emang lo laper lagi?" aku balik bertanya.

"ga sih. yaudah gue mandi dulu ya. sumuk. lo kalo mau makan coba buka kulkas atau telepon delivery aja. kalo mau mandi atau apa juga terserahlah. anggap rumah sendiri."

"iya gampang..."

"emang rumah sendiri ya? lo sama anak-anak kan udah cukup ga tau diri banget kalo pada maen di sini."

"nah itu lo tau."

aku merebahkan diriku setengah terlentang di atas sofa di depan televisi sesaat setelah Alex masuk kamarnya. aku menggonta-ganti channel televisi tanpa benar-benar memperhatikan apa yang ada di dalamnya dan apa yang akan kupilih untuk kutonton. aku akhirnya menghentikan kegiatan menggonta-ganti channel-ku setelah layar televisi menyajikan scene-scene familiar dari sebuah film drama hollywood yang aku rasa pernah kutonton.

lebih dari satu jam aku menonton televisi. Alex diam di kamarnya membaca sebuah buku yang aku tak tahu apa, dengan pintu kamar dibuka. aku rasa dia hanya memberi tanda kalau dia belum tidur. film yang kutonton hampir selesai dan aku mulai menggonta-ganti channel kembali saat Alex tiba-tiba datang dan menjatuhkan dirinya di atas sofa dengan keras, tepat disampingku.

"lo kenapa sih?"

Alex mulai menatapku. dalam hati aku terus bertanya sampai kapan dia harus sesantai ini dan tidak menyadari bahwa ada sesuatu di antara kita. ya, paling tidak ada sesuatu tentangnya di dalam diriku.

"ga kenapa-kenapa. males aja." aku memjawab pertanyaannya tanpa berhenti menggonta-ganti channel.

"males ama gue? males ama kerjaan? males ama anak-anak? males ama Rino? males apaan?"

"males ama semuanya. males lo gangguin gue lagi nonton gini."

"yeee, rumah rumah gue."

"iya deh iya."

"eh, emang apa kabar Rino? lo masih ga sih ama dia? perasaan anteng bener pacaran."

"namanya juga LDR. paling BBM-an sih, telponan juga udah jarang banget."

"bosen kan lo lima tahun mikirin orang yang sama? mending ganti objek pikiran deh. lagian saling percaya banget sih lo berdua sampe telepon aja udah jarang-jarang. selingkuh tuh, selingkuh."

"iya, gue ganti kok objek pikiran gue. elo." aku tak tahu teori psikologi apapun yang harus menjelaskan aktivitas psikologisku yang sedang terjadi sampai aku mengucapkan hal itu.

"hahahahaha... udah, ganti lagi kalo gitu biar ga jatuh cinta beneran ama gue."

"gue serius dan emang gue udah jatuh cinta beneran... sejak setahun lebih yang lalu."

aku semakin tak mengenal diriku dan Alex malah menatap mataku semakin dalam. entah ingin menyampaikan pertanyaannya langsung ke dalam mataku. entah untuk mencari jawaban pertanyaannya di dalam mataku sekaligus.

"lo denger gue. lo jangan bercandain gue. kalo ga gue jatuh cinta beneran ama lo juga. dan kalo gue jatuh cinta, gue akan jatohin lo ke gue lebih dalam lagi." Alex telah menggenggam tanganku dan tangan lainnya menyentuh pipiku, mengarahkan wajahku agar balik menatapnya dan berhenti mengalihkan pandangan.

"gue ga bercand..."

tak sampai habis aku menyelesaikan kalimtaku, aku merasa masuk ke dalam dunia lain yang... entahlah, aku rasa aku bahagia. aku merasa nyaman. bibir alex telah menyentuh bibirku. dan beberapa detik setelah aku merumuskan perasaanku itu, aku merasa semuanya berhenti. aku tak tahu apa yang tejadi, apa yang aku rasakan, atau apapun. aku merasa lebih dari sekedar bingung.

sampai setelah bibir kami telah menjauh, aku masih tak mampu menjalankan fungsi fisiologis dan psikologisku secara normal. aku teridam. satu-satunya yang aku sadari adalah tangan ALex masih menggenggam tanganku. entah aku telah menjadi iblis pengkhianat besar saat ini bagi Rino yang bahkan tak pernah berbuat salah padaku, atau paling tidak aku tak tahu jika dia berbuat salah.

"gue sayang sama lo. selama ini. entah sejak kapan. oke, gue emang ga seperhitungan lo buat nginget atau ngitung. gue cuma ga mau jadi bajingan yang ngerebut pacar orang atau bajingan yang mau ngerusak persahabannya. tapi kalo ada bajingan yang menghampiri gue duluan, why not?"

"gue..."

"...yang perlu lo pahamin dari ucapan gue barusan adalah kalo gue sayang ama lo. udah, itu aja."

aku langsung menghamburkan pelukan ke tubuh Alex. beberapa tetes air mata jatuh ke pipiku. aku tak tahu apakah itu air mata menyesal dan takut atau air mata lega dan bahagia. aku hanya tak bisa melepaskan pelukan ini. tembokku roboh. aku hanya berharap masih bisa berenang untuk mempertahankan diri.

"these feelings i can't shake no more, these feelings are running out the door, and i can feel it falling down, and i'm not coming back around..." Avril Lavigne - Remember When


..........


Alex

lampu merah pertigaan bodoh ini memang tidak sampai 100 detik, tapi aku merasa seperti sudah seharian berada di sini. sepanjang waktu di sini aku mempertimbangkan jalan mana yang harus kutempuh. sepanjang waktu aku diam di lampu merah ini aku merasakan perasaan paling kuat bahwa aku memang akan pulang ke rumah. aku tidak akan kemana-mana lagi. tidak untuk waktu dekat-dekat ini.

aku bosan diam di sini. mendung dan kilat-kilat di langit yang dari tadi membayangi telah menjelma menjadi tetesan-tetesan air. aku melanjutkan lamunanku dengan pandangan kosong ke arah jendela di kananku yang dikaburkan oleh tetes-tetes air hujan. aku rasa perasaanku sekarang seperti tetes-tetes air itu. banyak dan tidak jelas. tapi mereka indah. aku memilih jalan lurus setelah pertigaan ini. jalan yang akan membawaku secepatnya ke rumah. tak lebih dari lima detik menuju lampu hijau dan aku akan melaju kencang.


..........


Sandra

aku masih merasa benar-benar bingung. ini lampu merah yang aku bisa bayangkan justru seperti lampu kuning di dalam hatiku dan pikiranku. tapi lampu kuning itu menandakan aku harus harus berhenti. tidak pernah ada lampu kuning sebelum lampu hijau. aku tidak lagi mau memejamkan mata. aku hanya akan melakukan apa yang aku akan lakukan meskipun aku tak tahu apa itu. aku tak mau lagi memanggil sunyi untuk berbicara atau menyuruh riuh diam dan meninggalkan satu suara untuk bicara.

beberapa detik lagi lampu merah ini akan menjadi hijau. tapi aku juga tidak peduli. yang bisa kusadari saat ini hanyalah aku merasa lebih senang, tenang, lega, dan nyaman meskipun dipermainkan tiga warna lampu yang membingungkan. lampu-lampu ini jauh lebih baik daripada diam dan terombang-ambing menunggu di parkiran. lagipula, lampu-lampu ini akan tetap hijau pada akhirnya.


..........


Alex

"nanti aku jemput abis kerja. kamu juga biar siap-siap dulu abis kerja. kan mau fancy dinner. aku ganteng begini kamu harus cantik banget juga."

begitulah rentetan BBM yang aku kirimkan kepada Sandra. sudah tiga bulan lebih aku ber-kekasih-kan dirinya sejak kejadian Sandra menginap di apartemenku. sejak bersamanya juga aku berhenti berhubungan dengan perempuan lain. walaupun dengan Nora yang selama ini kukejar dan terus menggantung diriku, meskipun di samping mengejarnya pun aku terus berhubungan dengan beberapa wanita lain yang terus kugonta-ganti sesuai kemauanku.

aku menghentikan semuanya. memang tidak sengaja, tapi semuanya terjadi begitu saja. aku seperti menemukan rumah di diri Sandra. aku memang menyayanginya sejak lama, tapi aku bahkan tak tahu dia akan menghentikan persinggahan-persinggahanku dan membuatku melabuhkan diri padanya.

"iya baby. aku emang udah cantik begini harus diapain lagi? bingung beneran jadinya."

aku tersenyum menatap layar Blackberry-ku saat membaca balasan dari Sandra. satu-satunya masalah yang sering membuat sunggingan semyumku menyusut adalah bahwa Sandra belum putus dengan Rino. tapi hal itu bahkan tak pernah membuatku merasa menyesal atau memikirkan ini dan itu yang tak penting. aku percaya semuanya akan berpihak kepadaku. tubuh Sandra di sini, untukku. dan jika itu terdengar terlalu bejat, yang aku maksud adalah aku percaya waktu akan mengalahkan jarak.

aku sudah membunuh waktu begitu banyak dengan menghabiskannya bersama Sandra. Rino akan kalah. aku sudah sedekat ini dengan Sandra, itu berarti aku telah jauh memenangkan hatinya dari Rino. Sandra hanya terlalu baik dan hanya menunggu untuk diputuskan. ya, aku paham Sandra tidak seperti Tira yang bisa sangat bersikap self-centred dan egois karena memutuskan mantannya begitu saja karena memang sudah tidak nyaman dan demi cintanya pada pacarnya yang sekarang ini.

aku tahu aku sudah menang.

"ya udah. nanti pake baju tidur aja sama sendal jepit. i love you."


"what would you think of me now, so lucky so strong so proud, i never said thank you for that..." Jimmy Eat World - Hear You Me


..........


Alex

lampu hijau itu akhirnya menyala. seberapa menjengkelkan pun lampu kuning dan lampu merah yang membingungkan dan membosankan itu, paling tidak sekarang sudah lampu hijau. sudah jelas lampu ini memberitahu padaku bahwa aku diperintahkan untuk berjalan maju. bahwa aku boleh menginjak gas tanpa lagi ragu. bahwa aku sudah dibukakan jalan dan diperbolehkan untuk melanjutkan perjalanan. perjalanan ke rumah untuk beristirahat dari perjalanan panjang dan sekian persinggahan-persinggahan yang melelahkan.


..........


Sandra

lampu hijau itu akhirnya menyala. seberapa melelahkan pun kebingungan yang diberikan lampu kuning dan keyakinan yang dipertanyakan lampu merah sepanjang ia mernyala atas keputusanku, paling tidak ini lampu hijau. aku sudah jauh mengambil keputusan. lampu hijau sudah menyala dan menyuruhku melanjutkan perjalanan yang mungkin malah menjadi perjalanan terindah. aku tak pernah tahu. tapi perjalanan ini jauh lebih baik daripada terparkir diam di lahan lapang yang sepi tanpa ada sesuatu pun yang terjadi kecuali sepi menahun.

Selasa, 06 Maret 2012

Mencintai Pagi


Aku mencintai pagi.

Aku mencintai pagi seperti aku mencintaimu. Seperti mencintai hangatnya jingga maha indah yang meraung-raung dari timur. Seperti mencintai cahaya maha hebat yang pertama menyanyikan lagu kehidupan. Seperti mencintai silauan maha terang yang merangkak naik perlahan dari batas langit. Aku mencintaimu, seperti hatiku yang akan selalu mempertahankan hangat dan cahayanya demi napasmu agar tetap berhembus dan senyummu agar tetap tergaris di sketsa wajahmu.

Aku mencintai pagi.

Aku mencintai pagi seperti aku mencintaimu. Seperti mencintai gumpalan udara yang mulai memadat dan membeku. Seperti mencintai benderang yang mulai bertopengkan kabut. Seperti mencintai dingin yang menjilati pori sampai tunduk di bawah lindungan lembaran busa. Seperti mencintai kristal-kristal yang mengecup ujung bibir dedaunan. Aku mencintaimu, seperti hatiku yang akan selalu memberimu beku agar kau kembali untuk kudekap.

Aku mencintai pagi.

Aku mencintai pagi seperti aku mencintaimu. Seperti berdusta tentang kasih terhadap hitam dan gelap malam gulita yang membelai lembut. Seperti berkhianat dengan gemerlap bintang yang menari memaksa untuk berfoya-foya. Seperti berbohong tentang detak detik jam dinding yang sunyi dan mengikatku pada jarum-jarum penjelajah karpet angka. Aku mencintaimu, seperti hatiku yang kutenggelamkan di laut malam karena mendamba fajarmu untuk menyelamatkanku.


..........


Lebih dari itu, hatiku mampu melihatmu ada di dalam dirinya lebih jelas di pagi hari. Dengan sinar matahari, dengan dingin udara subuh, dengan genggaman erat malam yang kulepas.