Selasa, 30 September 2014

Delapan Puluh Tiga Tahun Opa Baik Hati

Pada akhirnya, bekerja bukanlah tentang apa yang kauberikan kepada pekerjaanmu, bukan pula tentang apa yang pekerjaanmu berikan kepadamu, melainkan tentang apa yang kauberikan kepada dirimu sendiri melalui pekerjaanmu.

Pada akhirnya, bekerja bukan tentang dedikasi, bukan pula tentang benefit, tapi tentang idealisme dan nilai yang kauanut sendiri, di dalam dirimu sendiri, dan untuk rasa penuhmu sendiri.

Yogyakarta, 27 September 2014.

Selamat ulang tahun yang ke-83, Opa Jacob. Aku tak habis terkagum-kagum padamu, lalu tak habis bertanya-tanya tentangmu. Terkagum-kagum lagi, lalu bertanya-tanya lagi.

"Apa yang ada di dalam kepala tiga-puluh-sekian-tahun-mu dulu ketika memulai semua ini? Apa alasanmu ketika itu? Apa bayanganmu ke depannya pada saat itu?"

"Apa yang ada di dalam kepala delapan-puluh-sekian-tahun-mu sekarang setelah semuanya sejauh ini?"

Aku bergabung di rumah ini 50 tahun kemudian. Ketika rumah ini sudah besar. Ketika nilai-nilai yang katanya adalah nilai-nilai yang kaupegang kuat-kuat, diagung-agungkan dimana-mana. Karena nilai-nilaimu baik, katanya.

Kau memang orang baik. Sejauh ini kau masih orang baik walaupun manusia memang terbuat dari setumpuk kepentingan. Semoga kepentinganmu memang baik dan akan tetap baik.

Tapi, Opa, tidak semua orang punya nilai yang sama dengan apa yang kaupegang. Lagipula nilai yang baik belum tentu bisa dieksekusi dengan cara yang baik. Banyak anakmu yang (merasa) mengerti, tapi lebih banyak lagi yang tidak mengerti. Bisakah pertanyaanku dijawab? Biar jadi pemahaman bagi kami semua yang (merasa) paham ataupun yang tak paham ini. Atau apalah, biar jadi pemahaman untukku sendiri.

Pada akhirnya, bekerja adalah tentangmu dan dirimu sendiri. Sisihkanlah waktu yang banyak untuk bertanya-tanya, apa sesungguhnya yang ingin kaucari dan dapatkan dari hidupmu. Setelah kautahu jawabannya, bangunlah keyakinan atas jawabanmu itu. Jika keyakinanmu tak sesuai dengan keadaanmu saat ini, menyerahlah. Carilah cara untuk menyesuaikannya tanpa perlu membangun tendensi negatif (ataupun positif) apapun tentang apa yang ada di luar dirimu.

Panjang umur, Opa Jacob. Semoga nilai-nilai yang kaupelihara di dalam dirimu, dipelihara waktu di dalam diri anak-anakmu ini.



Rumah yang Samar dan Persinggahan yang Nyata; Jogja, Jakarta dan Torehan Ingatan Tentangnya

Yogyakarta, 26 September 2014.

Untuk kesekian kalinya saya menginjakkan kaki lagi di Jogja, setelah awal 2013 lalu meninggalkan kota ini sebagai domisili. Kota ini punya tangan yang selamanya akan selalu mampu melambai padamu, mengajak kembali, dan jika kau tetap mengacuhkannya, tangannya akan menguat sampai mampu menggenggam dan menarikmu kembali.

Ada yang mistis memang di kota ini.


Banyak hal telah berubah. Kota semakin ramai. Kemacetan mulai akrab terjadi. Orang-orang telah datang dan telah juga pergi. Ada yang terasa asing di dada. Kota ini bukan lagi milikmu dan tidak lagi memilikimu. Kau lalu sadar, kota ini bukan rumahmu, meski terus-menerus memanggilmu pulang. Kota ini lagi dan lagi hanyalah persinggahan yang lain. Kau tak lagi punya teman di sini. Mereka telah pergi. Setiap sudut kota yang dulu selalu menampung orang yang bisa kauajak bicara, sudah tak ada lagi. Satu-dua orang masih ada, tapi sudah tak sama lagi.

Mungkin bukan orang yang berubah, mungkin keadaan yang berubah. Atau mungkin bukan mereka yang telah pergi, tapi justu kau yang telah pergi. Kau yang telah tak ada. Bukan ragamu, tapi kau dalam bentuk yang lebih samar.

Kota ini tetap mempesona. Jingga lampu jalan di sini selalu terasa berbeda dari jingga lampu jalan di manapun. Ada roh yang ikut keluar dari sinar-sinarnya. Orang-orang di kota ini juga seperti mengeluarkan sesuatu dari pori-pori kulitnya, menguap di udara dan menyatu membentuk suatu senyawa yang melapisi atmosfer. Membuatmu sentimentil karena menghirupnya. Lalu semua kenangan mulai sibuk lalu-lalang di dalam dadamu, dan beragam perasaan mulai mengaduk-aduk isi kepalamu. Aneh memang, tapi benar ada waktu-waktu dimana ingatan justru muncul di dalam dada dan perasaan hadir di dalam kepala.

Lalu kau akan jatuh cinta. Sama seperti yang sudah-sudah terjadi setiap kau ada di kota ini.

Seperti saya, ada baiknya kau pergi melamun sendirian. Berjalan di sepanjang Malioboro. Mencari-cari topi pancing batik titipan teman yang tak pernah ada. Merasa heran karena baru kali ini kau mencari sesuatu di Malioboro, di Mirota Batik, lalu tak menemukannya. Pilihlah satu becak setelah itu. Cari bapak tukang becak yang tak terlalu ramah, tapi tak juga terlalu cuek. Bertanyalah dimana bisa kautemukan topi itu. Dia akan memberikan jawaban yang tak memuaskanmu. Lalu naiklah becaknya, minta dia mengantarmu pulang. Lalu lanjutkan lamunanmu.

Di perjalanan, merokoklah secukupnya kau mampu menenangkan dirimu. Kau akan melihat banyak hal di dalam dirimu sendiri; melihat kau yang dulu tinggal di kota ini, dan bagaimana berbedanya ia dengan dirimu yang sekarang. Kau akan melihat bahwa telah panjang jalan yang kaulalui. Kau akan takjub menyadari apa saja yang sudah kaualami. Tapi perjalanan memang seharusnya panjang dan diisi oleh banyak hal yang pada akhirnya membentukmu sampai di titik ini.

Segala hal berubah. Keadaan berubah. Dan kau adalah bagian dari keadaan itu. Kau berubah.

Semua orang akan pergi. Jika bukan mereka, kaulah yang pergi. Kau bagian dari orang-orang.


Lalu kau rindu Jakarta. Karena kota bajingan itu sesungguhnya juga telah membuatmu kecanduan. Karena serutin apapun kau memaki dan mengeluhkannya, kau menyayanginya.

Ini kali kedua saya merasakan adanya keinginan besar untuk segera pulang ke Jakarta. Kali pertama, ketika sedang mudik ke Ambon. Sampai saya selesai menuliskan tulisan ini, saya juga masih tak habis pikir kenapa saya bisa merindukan Jakarta. Tapi paling tidak, saya punya beberapa alasan yang telah dengan susah payah saya gali dari dalam diri saya sendiri.

Jakarta memang keras. Segala hal di dalamnya memang jahat; dari udara sampai orang-orangnya. Kemudian tanpa sadar, sembari terus memaki dan mengeluh, kota itu telah membentukmu menjadi sekeras dia, tanpa perlu meminta permisi. Kau menjadi semakin kuat. Tubuhmu, mentalmu, hatimu, pikiranmu. Kau menjadi semakin santai menghadapi masalah-masalah. Kau menjadi semakin pintar, semakin cerdas, karena kota ini mengajarkan banyak sekali hal padamu. Lagi-lagi, tanpa permisi. Kau belajar dari apa yang kau alami, apa-apa yang lebih banyak tidak enak, lalu dari apa-apa yang orang lain alami, apa-apa yang memang tidak enak.

Kau jadi mengagumi banyak orang di sana. Karena mereka hebat. Karena mereka kuat. Karena mereka telah dibentuk kota yang keras dan jahat itu. Mereka luar biasa.

Kemudian kau akan menjadi pandai bersyukur. Hal-hal kecil mulai kausyukuri. Satu saja titik bintang di langit. Bulan penuh yang kabur. Penjual makanan di pinggir jalan yang tersenyum padamu. Kendaraan yang memberimu jalan untuk menyeberang. Tukang jamu yang mengingat namamu. Waktu bersama teman-temanmu, meski hanya merokok di kantin atau depan gerbang kantor, meski hanya bermain musik sepanjang malam, meski hanya menumpang tidur karena pulang terlalu malam dan harus bekerja kembali pagi-pagi.

Lalu kau akan sangat bersyukur ketika di tengah rimba yang keras dan jahat itu, kau punya orang-orang tertentu yang mampu memaklumimu dengan jujur. Tak perlu selalu ada. Tak perlu selalu berbaik-baik padamu. Hanya saja mereka selalu mampu mengimbangi kekacauan maupun ketenangan isi kepalamu.

Seharusnya kita memang pandai bersyukur.

Jumat, 19 September 2014

Semesta di Dalam Tubuhku

Aku mau satu saja ruang hampa.
Demi terendap perihal-perihal.
Demi teredam perkara-perkara.
Demi terbaca semesta di dalam tubuhku sendiri.

Tapi ruang ini masih saja ramai.
Meski dua jarum jam telah habis bersetubuh,
di pukul dua belas.
Meski waktu telah mati,
ditikam isi kepala yang tak habis bertanya-tanya.
Meski lampu kota telah semua menjelma kunang-kunang.
Meski kunang-kunang telah semua dimatikan,
oleh remang lampu kamar.

Tapi ruang ini tak mau mengedap.
Maka biar saja kecemasan menelan habis jalan-jalan raya.
Sampai tak ada lagi jalan kemana-mana.
Maka biar saja aku berlari,
di atas tubuh kecemasan itu sendiri.
Dari satu kecemasan,
ke kecemasan lainnya.
Dengan isi kepalaku yang tak mau berhenti bertanya-tanya.
Tentang waktu,
tentang lampu,
tentang kunang-kunang,
tentang jalan-jalan raya,
tentang dimana ada ruang hampa.

Tentang semesta di dalam tubuhku sendiri.



Jakarta,
19.9.14
00.50

Senin, 08 September 2014

Tuhan Menggambarkan Malam dengan Sempurna di Tubuhmu

Malam akan tetap turun.
Kota akan tetap menutup diri dengan kabut tebalnya sendiri.
Mengasingkan matahari.
Menyalakan lampu-lampu di dalam dirinya.
Sebanyak mungkin.
Sesilau mungkin.
Lalu memainkan suara-suara kecemasan keras-keras.
Sampai bising.

Tapi ketika jam dua belas telah lewat,
malam dan kota akan turun.
Ke atas kepalamu.

Mengabur kabut.
Sampai bulan bulat telanjang,
menggantung di ujung-ujung rambut tebalmu.

Mematikan lampu-lampu jalan.
Tinggal kunang-kunang terbang,
dari tiap-tiap jendela yang menyala di ketinggian.
Dan hinggap di alismu.

Mendiamkan suara-suara,
di sepanjang jalanan pukul tiga.
Agar lengang punggungmu.
Agar redam isi kepalaku di sana.
Agar pagi tak perlu datang.



Jakarta,
6/9/14
Dini harimu

Jumat, 05 September 2014

Book Review: The Man Who Mistook His Wife for a Hat


Sesungguhnya ini bukan review. Ini ringkasan suka-suka.

Buku 327 halaman ini berisi tentang dongeng-dongeng dari kisah pasien-pasien penulisnya sendiri, Dr. Oliver Sacks. Mengapa dongeng? Karena kasus-kasus kelainan psikologis klinis atau bisa disebut kelainan neurologi di sini sungguh di luar bayangan. Menakjubkan dan mengerikan dalam satu waktu yang sama. Kasus-kasus yang sepanjang karir Dr. Sacks sebagai neurolog, mampu membuatnya sendiri terus-menerus takjub.

Dr. Sacks menyajikan buku ini dengan baik. Ia menuturkan kasus-kasus pasiennya seperti menuturkan fiksi. Meskipun demikian, buku ini masih tergolong buku yang berat. Selain karena memang adalah buku ilmiah non-fiksi, sekali lagi saya sampaikan, kasus-kasus yang diceritakan Dr. Sacks di dalam buku ini sungguh-sungguh bisa membuat kening berkerut sepanjang membacanya. Kamu akan bertanya-tanya, bagaimana mungkin hal-hal semacam ini dan semacam itu bisa terjadi di dalam diri manusia. Beyond imagination, mungkin adalah ungkapan yang tepat.

Di buku ini, Dr. Sacks juga cenderung tidak berniat untuk menjelaskan setiap kasus secara lengkap. Tidak sampai pada penyelesaian kasus yang dilakukannya, atau sebab yang jelas dari beberapa kasus yang hanya sempat diketahuinya, tanpa ditangani olehnya. Ia lebih banyak menekankan pada bagaimana menakjubkannya kasus-kasus tersebut. Ia menekankan pada nilai-nilai pemahaman tertentu yang dapat dipetik dari kasus-kasus ajaib itu.

Dan memang, banyak yang bisa dipetik dari membaca buku ini. Kamu akan tahu bagaimana seluruh dunia memang hanya ada di dalam kepalamu sendiri. Whole world is just on your mind. Segala sesuatu tergantung bagaimana persepsimu sendiri, tergantung isi kepalamu sendiri. Duniamu ada di dalam kepalamu. Kamu juga akan tahu bagaimana otak manusia adalah ciptaan yang terlalu luar biasa. Beyond everything. Kelecetan kecil di otak, dan seluruh duniamu tidak akan sama dengan dunia yang dipahami orang pada umumnya.

Ada beberapa kasus yang paling membuat saya menganga ketika membacanya.

Pertama, kisah seorang pria yang salah mengira istrinya sebagai topi, kasus yang menjadi judul dari buku ini. Ia mengalami kerusakan di suatu bagian otaknya dan itu merusak kemampuan persepsinya. "Punch line" kasus ini ada pada cerita ketika ia selesai diperiksa, dan diminta memakai kembali sepatunya. Ia hanya menatap kakinya dan terdiam. Baginya, sepatunya telah terpasang. Kakinya adalah sepatunya. Hal luar biasa lainnya dari kasus ini adalah, sebagai musisi, hidupnya dibantu oleh musik yang mengalun sendiri di dalam kepalanya dan sering ia gumamkan setiap saat. Musik itu yang mengarahkannya melakukan aktivitas sehari-hari, seperti mengenakan pakaian. Ketika ada distraksi tiba-tiba seperti bunyi pintu dibanting, musik di dalam kepalanya akan berhenti dan ia akan seketika mematung.

Kedua, kisah seseorang yang mengalami sakit dan berefek ke kerusakan di bagian otak yang bertanggungjawab atas kondisi visualnya. Sejak saat itu, ia menjadi buta. Namun bukan hanya itu, ia juga kehilangan persepsi melihatnya. Jadi, ia kehilangan semua memori visualnya dan menjadi seakan tidak pernah tahu seperti apa yang dinamakan orang dengan melihat. Melihat itu apa? Seperti apa? Bagaimana caranya? Apa rasanya? Maka ia menjadi orang buta yang merasa baik-baik saja dengan kebutaannya, atau kata Dr. Sacks, kebutaan atas kebutaan.

Ketiga, persoalan indera keenam. Setiap manusia memiliki indera keenam yang adalah indera untuk merasakan tubuh kita sendiri. Dengan begitu, tanpa harus melihat tangan kita, kita tahu tangan kita ada di situ, ada di tempatnya, dan mau kita apakan. Begitu juga anggota tubuh kita yang lain. Propriosepsi namanya. Sayangnya, salah satu pasien Dr. Sacks mengalami kerusakan propriosepsinya. Ia kemudian merasa bahwa ia tidak punya tubuh. Untuk bergerak, ia harus menggunakan kelima inderanya yang lain, seperti mata. Ia harus melihat tangannya, baru mengetahui di mana tangannya berada, lalu menggerakkannya, sambil terus dilihat. Ketika ia melepaskan pandangannya, tangannya langsung menghilang dan tidak ada lagi bagi dirinya.

Betapa di luar pemikiran, kasus-kasus yang diceritakan Dr. Sacks di bukunya ini. Dr. Sacks mengkategorisasikan bukunya dengan baik. Ia membahas defisit atau pengurangan fungsi dan kasus-kasus yang diakibatkannya, lalu juga membahas mengenai persoalan-persoalan kelebihan fungsi. Dari sini kamu akan belajar bahwa ketika kamu merasa terlalu sehat, mungkin di saat itulah kamu sesungguhnya sakit.

Dr. Sacks juga mengkategorisasikan satu bab khusus yang membahas "orang-orang sederhana", atau orang-orang yang mengalami gangguan perkembangan. Orang-orang dengan tingkat intelegensi yang jauh di bawah rata-rata, dianggap bodoh, tidak mampu belajar apapun, dan tidak akan mampu bertahan hidup. Karena untuk melakukan aktivitas sehari-hari yang sederhana saja sulit bagi mereka. Namun orang-orang ini punya kelebihan tertentu yang bisa membuat orang lain tak habis pikir. Seperti kasus Si Kembar yang mengalami keterbelakangan mental namun adalah ahli matematika. Mereka hanya memroses hal-hal dengan cara yang tidak sama dengan orang umumnya lakukan. Itu saja.

Seperti itulah Dr. Sacks memaksa kita untuk mengambil makna tersembunyi dari kisah-kisah yang diceritakannya. Ia membuat kita belajar bahwa orang-orang dengan kekurangan di dalam dirinya, sebenarnya sama saja dengan kita. Hanya saja mereka memliki cara yang berbeda dalam memroses dunia dan isinya. Mereka bahkan mungkin lebih dari kita. Atau mereka justru lebih beruntung daripada kita. Seperti pasien-pasien penderita agnosia yang tidak bisa memahami kata-kata, namun sangat peka memahami bahasa non-verbal. Mereka tak bisa dibohongi. Bahkan ketika menonton pidato presiden di televisi, kita mungkin masih bisa terpesona. Tidak dengan mereka.

Sama halnya ketika Dr. Sacks menuturkan cerita penutup bukunya tentang seorang anak penderita autis namun memiliki kemampuan seni rupa yang luar biasa dalam hal menggambar. Seorang anak dengan dunianya sendiri di luar dunia orang-orang lain. Seorang anak yang diistilahkan olehnya, punya pulau sendiri di luar daratan induk. Suatu kutipan dari bukunya kira-kira seperti ini;

"Ini membawa kita ke pertanyaan terakhir: apa ada 'tempat' di dunia bagi orang yang seperti sebuah pulau, yang tidak bisa dibaurkan, dijadikan bagian dari daratan induk? Bisakah 'daratan induk' mengakomodasi, memberi ruang, bagi yang aneh? Apa ada 'tempat' baginya di dunia yang akan menerapkan otonomi bagi mereka, tapi membiarkan mereka tetap utuh?"

Dan saya hampir meneteskan air mata membaca kutipan tulisan itu. Ya, apakah ada? Bukan hanya kita yang baik-baik saja, yang ingin hidup di dunia ini, sehidup-hidupnya, dengan cara yang kita anggap paling hidup. Merekapun demikian.

Kamu tak harus membaca bukunya. Memang berat. Saya menghabiskan hampir sebulan untuk menyelesaikan buku ini. Baca saja catatan ini dan pahami sesuatu.

Kamis, 04 September 2014

Book Review: The Tiny Book of Tiny Stories Vol. 2

  
Buku yang mahal. Dalam pengertiannya secara harfiah maupun tidak.

Saya menemukan buku ini pertama kali di timeline path saya, ketika teman saya memosting gambar-gambar isi buku ini. Buku yang baik pasti ada di tangan orang yang baik. Pada suatu waktu, dia meminjamkannya kepada saya tanpa saya minta dan tanpa pernah saya cari tahu sama sekali kepadanya.

Saya tanya, dimana dia membelinya. Jawabnya, di Periplus. Oke. Pantas saya tidak pernah melihatnya. Selain karena saya lebih senang membaca karya sastra Indonesia, saya lebih banyak menghabiskan waktu untuk mencari buku di toko buku pojokan Taman Ismail Marzuki, atau di kantor saya sendiri ketika Kompas Gramedia Publishing sedang ada hajatan dan mengobral buku besar-besaran.

Saya tanya lagi, berapa harganya. Oke. Jawabannya membuat saya maklum mengapa saya tidak pernah (mau) tahu tentang keberadaan buku ini. Ini adalah buku kedua, dimana ada buku pertama dan buku ketiga selain buku ini. Jika saya yang memilikinya, saya akan gemas untuk memiliki ketiganya. Maka saya semakin tidak mau tahu.

Buku ini memang mahal. Demikian juga setelah saya mulai membuka cover-nya yang tebal. Menarik. Potongan-potongan pikiran dan perasaan dikumpulkan dari berbagai ilustrator dan penulis, dan kemudian ditebar oleh Joseph Gordon-Levitt di setiap lembar demi lembar buku ini. Potongan-potongan kecil. Pendek-pendek. Tapi akan memanjang di dalam kepalamu.

Saya akan bercerita tentang beberapa halaman yang paling mengesankan saya dari semua halaman yang memang mengesankan di buku ini.

Ini bagian dengan tulisan paling bagus bagi saya. Perputaran kata-kata yang cerdas untuk pemaknaan yang dalam. Kiri dan kanan sama halnya dengan salah dan benar, kadang tak benar-benar kiri atau kanan, dan tak benar-benar salah atau benar. Juga tak harus dan tak pasti terus berpasangan.


Ini bagian dengan ilustrasi paling keren bagi saya. Ilustrasi yang mampu menggambarkan segala-galanya sedalam-dalamnya tentang potongan tulisan di sampingnya. Kecemasan memang tumbuh menjadi bunga liar dari dalam kepalamu sendiri. Demikianlah jatuh cinta dan patah hati seringkali berakhir di kursi salon. Buang sial, katanya.


Ini bagian yang paling manis bagi saya. Semanis melihat dua orang berandal yang sedang jatuh cinta dan seketika bertingkah seperti anak kecil di taman bermain. Semanis melihat dua orang dengan isi kepala yang selamanya kacau balau sedang jatuh cinta, lalu tiba-tiba isi kepalanya redam. Semanis... seperti inilah jatuh cinta. Tak buruk tapi tak selamanya baik. Terima saja paketnya.


Dan ini bagian yang paling berhasil memorak-morandakan isi kepala dan dada saya. Seperti melihat cermin, dan tidak menemukan apa-apa di dalam sana. Tidak ada dirimu. Lalu kau rindu pulang, siapa tahu bisa menemukan potongan-potongan dirimu di sana, di bawah tempat tidur, di belakang lemari, di dekat pot tanaman kesayangan mama. Tapi waktu telah berlari meninggalkanmu sebelum kamu sempat mengenalinya.


Secara keseluruhan, buku ini menarik. Menggemaskan. Sangat menggemaskan malah. Jika harus diuraikan satu demi satu tentang tulisan, ilustrasi dan lainnya, masing-masing bagian itu hanya bisa saya beri apresiasi bagus. Tapi ketika mereka disatukan, hasilnya luar biasa dan 'mahal'. Buku sederhana 123 halaman yang dapat kauselesaikan dalam waktu paling lambat 15 menit, tapi mampu membangun rumahnya di dalam kepalamu dan tinggal selamanya di sana.

Senin, 01 September 2014

Kekasih-kekasih Pinggiran Jalan

Kekasih-kekasih pinggiran jalan
Akan sedia menemanimu berbicara
Di trotoar-trotoar sepi pukul larut
Menghabiskan berteguk-teguk kopi
Lalu bir
Lalu kopi lagi
Sampai merkuri-merkuri padam

Kekasih-kekasih pinggiran jalan
Tak akan membawamu pulang
Beristirahat di bawah selimut mimpi
Yang ketika menjadi nyata adalah peluk
Dan senyum
Dan peluk lagi
Sampai merkuri-merkuri menyala





Jakarta, 19 9 13
Dalam perjalanan panjangmu,
dari yang kaukira rumah menuju apa yang kauharap rumah,
merekalah yang ada di pinggiran-pinggiran jalannya.
Dan selamanya hanya di sana.