Kamis, 04 September 2014

Book Review: The Tiny Book of Tiny Stories Vol. 2

  
Buku yang mahal. Dalam pengertiannya secara harfiah maupun tidak.

Saya menemukan buku ini pertama kali di timeline path saya, ketika teman saya memosting gambar-gambar isi buku ini. Buku yang baik pasti ada di tangan orang yang baik. Pada suatu waktu, dia meminjamkannya kepada saya tanpa saya minta dan tanpa pernah saya cari tahu sama sekali kepadanya.

Saya tanya, dimana dia membelinya. Jawabnya, di Periplus. Oke. Pantas saya tidak pernah melihatnya. Selain karena saya lebih senang membaca karya sastra Indonesia, saya lebih banyak menghabiskan waktu untuk mencari buku di toko buku pojokan Taman Ismail Marzuki, atau di kantor saya sendiri ketika Kompas Gramedia Publishing sedang ada hajatan dan mengobral buku besar-besaran.

Saya tanya lagi, berapa harganya. Oke. Jawabannya membuat saya maklum mengapa saya tidak pernah (mau) tahu tentang keberadaan buku ini. Ini adalah buku kedua, dimana ada buku pertama dan buku ketiga selain buku ini. Jika saya yang memilikinya, saya akan gemas untuk memiliki ketiganya. Maka saya semakin tidak mau tahu.

Buku ini memang mahal. Demikian juga setelah saya mulai membuka cover-nya yang tebal. Menarik. Potongan-potongan pikiran dan perasaan dikumpulkan dari berbagai ilustrator dan penulis, dan kemudian ditebar oleh Joseph Gordon-Levitt di setiap lembar demi lembar buku ini. Potongan-potongan kecil. Pendek-pendek. Tapi akan memanjang di dalam kepalamu.

Saya akan bercerita tentang beberapa halaman yang paling mengesankan saya dari semua halaman yang memang mengesankan di buku ini.

Ini bagian dengan tulisan paling bagus bagi saya. Perputaran kata-kata yang cerdas untuk pemaknaan yang dalam. Kiri dan kanan sama halnya dengan salah dan benar, kadang tak benar-benar kiri atau kanan, dan tak benar-benar salah atau benar. Juga tak harus dan tak pasti terus berpasangan.


Ini bagian dengan ilustrasi paling keren bagi saya. Ilustrasi yang mampu menggambarkan segala-galanya sedalam-dalamnya tentang potongan tulisan di sampingnya. Kecemasan memang tumbuh menjadi bunga liar dari dalam kepalamu sendiri. Demikianlah jatuh cinta dan patah hati seringkali berakhir di kursi salon. Buang sial, katanya.


Ini bagian yang paling manis bagi saya. Semanis melihat dua orang berandal yang sedang jatuh cinta dan seketika bertingkah seperti anak kecil di taman bermain. Semanis melihat dua orang dengan isi kepala yang selamanya kacau balau sedang jatuh cinta, lalu tiba-tiba isi kepalanya redam. Semanis... seperti inilah jatuh cinta. Tak buruk tapi tak selamanya baik. Terima saja paketnya.


Dan ini bagian yang paling berhasil memorak-morandakan isi kepala dan dada saya. Seperti melihat cermin, dan tidak menemukan apa-apa di dalam sana. Tidak ada dirimu. Lalu kau rindu pulang, siapa tahu bisa menemukan potongan-potongan dirimu di sana, di bawah tempat tidur, di belakang lemari, di dekat pot tanaman kesayangan mama. Tapi waktu telah berlari meninggalkanmu sebelum kamu sempat mengenalinya.


Secara keseluruhan, buku ini menarik. Menggemaskan. Sangat menggemaskan malah. Jika harus diuraikan satu demi satu tentang tulisan, ilustrasi dan lainnya, masing-masing bagian itu hanya bisa saya beri apresiasi bagus. Tapi ketika mereka disatukan, hasilnya luar biasa dan 'mahal'. Buku sederhana 123 halaman yang dapat kauselesaikan dalam waktu paling lambat 15 menit, tapi mampu membangun rumahnya di dalam kepalamu dan tinggal selamanya di sana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar