Selasa, 30 September 2014

Rumah yang Samar dan Persinggahan yang Nyata; Jogja, Jakarta dan Torehan Ingatan Tentangnya

Yogyakarta, 26 September 2014.

Untuk kesekian kalinya saya menginjakkan kaki lagi di Jogja, setelah awal 2013 lalu meninggalkan kota ini sebagai domisili. Kota ini punya tangan yang selamanya akan selalu mampu melambai padamu, mengajak kembali, dan jika kau tetap mengacuhkannya, tangannya akan menguat sampai mampu menggenggam dan menarikmu kembali.

Ada yang mistis memang di kota ini.


Banyak hal telah berubah. Kota semakin ramai. Kemacetan mulai akrab terjadi. Orang-orang telah datang dan telah juga pergi. Ada yang terasa asing di dada. Kota ini bukan lagi milikmu dan tidak lagi memilikimu. Kau lalu sadar, kota ini bukan rumahmu, meski terus-menerus memanggilmu pulang. Kota ini lagi dan lagi hanyalah persinggahan yang lain. Kau tak lagi punya teman di sini. Mereka telah pergi. Setiap sudut kota yang dulu selalu menampung orang yang bisa kauajak bicara, sudah tak ada lagi. Satu-dua orang masih ada, tapi sudah tak sama lagi.

Mungkin bukan orang yang berubah, mungkin keadaan yang berubah. Atau mungkin bukan mereka yang telah pergi, tapi justu kau yang telah pergi. Kau yang telah tak ada. Bukan ragamu, tapi kau dalam bentuk yang lebih samar.

Kota ini tetap mempesona. Jingga lampu jalan di sini selalu terasa berbeda dari jingga lampu jalan di manapun. Ada roh yang ikut keluar dari sinar-sinarnya. Orang-orang di kota ini juga seperti mengeluarkan sesuatu dari pori-pori kulitnya, menguap di udara dan menyatu membentuk suatu senyawa yang melapisi atmosfer. Membuatmu sentimentil karena menghirupnya. Lalu semua kenangan mulai sibuk lalu-lalang di dalam dadamu, dan beragam perasaan mulai mengaduk-aduk isi kepalamu. Aneh memang, tapi benar ada waktu-waktu dimana ingatan justru muncul di dalam dada dan perasaan hadir di dalam kepala.

Lalu kau akan jatuh cinta. Sama seperti yang sudah-sudah terjadi setiap kau ada di kota ini.

Seperti saya, ada baiknya kau pergi melamun sendirian. Berjalan di sepanjang Malioboro. Mencari-cari topi pancing batik titipan teman yang tak pernah ada. Merasa heran karena baru kali ini kau mencari sesuatu di Malioboro, di Mirota Batik, lalu tak menemukannya. Pilihlah satu becak setelah itu. Cari bapak tukang becak yang tak terlalu ramah, tapi tak juga terlalu cuek. Bertanyalah dimana bisa kautemukan topi itu. Dia akan memberikan jawaban yang tak memuaskanmu. Lalu naiklah becaknya, minta dia mengantarmu pulang. Lalu lanjutkan lamunanmu.

Di perjalanan, merokoklah secukupnya kau mampu menenangkan dirimu. Kau akan melihat banyak hal di dalam dirimu sendiri; melihat kau yang dulu tinggal di kota ini, dan bagaimana berbedanya ia dengan dirimu yang sekarang. Kau akan melihat bahwa telah panjang jalan yang kaulalui. Kau akan takjub menyadari apa saja yang sudah kaualami. Tapi perjalanan memang seharusnya panjang dan diisi oleh banyak hal yang pada akhirnya membentukmu sampai di titik ini.

Segala hal berubah. Keadaan berubah. Dan kau adalah bagian dari keadaan itu. Kau berubah.

Semua orang akan pergi. Jika bukan mereka, kaulah yang pergi. Kau bagian dari orang-orang.


Lalu kau rindu Jakarta. Karena kota bajingan itu sesungguhnya juga telah membuatmu kecanduan. Karena serutin apapun kau memaki dan mengeluhkannya, kau menyayanginya.

Ini kali kedua saya merasakan adanya keinginan besar untuk segera pulang ke Jakarta. Kali pertama, ketika sedang mudik ke Ambon. Sampai saya selesai menuliskan tulisan ini, saya juga masih tak habis pikir kenapa saya bisa merindukan Jakarta. Tapi paling tidak, saya punya beberapa alasan yang telah dengan susah payah saya gali dari dalam diri saya sendiri.

Jakarta memang keras. Segala hal di dalamnya memang jahat; dari udara sampai orang-orangnya. Kemudian tanpa sadar, sembari terus memaki dan mengeluh, kota itu telah membentukmu menjadi sekeras dia, tanpa perlu meminta permisi. Kau menjadi semakin kuat. Tubuhmu, mentalmu, hatimu, pikiranmu. Kau menjadi semakin santai menghadapi masalah-masalah. Kau menjadi semakin pintar, semakin cerdas, karena kota ini mengajarkan banyak sekali hal padamu. Lagi-lagi, tanpa permisi. Kau belajar dari apa yang kau alami, apa-apa yang lebih banyak tidak enak, lalu dari apa-apa yang orang lain alami, apa-apa yang memang tidak enak.

Kau jadi mengagumi banyak orang di sana. Karena mereka hebat. Karena mereka kuat. Karena mereka telah dibentuk kota yang keras dan jahat itu. Mereka luar biasa.

Kemudian kau akan menjadi pandai bersyukur. Hal-hal kecil mulai kausyukuri. Satu saja titik bintang di langit. Bulan penuh yang kabur. Penjual makanan di pinggir jalan yang tersenyum padamu. Kendaraan yang memberimu jalan untuk menyeberang. Tukang jamu yang mengingat namamu. Waktu bersama teman-temanmu, meski hanya merokok di kantin atau depan gerbang kantor, meski hanya bermain musik sepanjang malam, meski hanya menumpang tidur karena pulang terlalu malam dan harus bekerja kembali pagi-pagi.

Lalu kau akan sangat bersyukur ketika di tengah rimba yang keras dan jahat itu, kau punya orang-orang tertentu yang mampu memaklumimu dengan jujur. Tak perlu selalu ada. Tak perlu selalu berbaik-baik padamu. Hanya saja mereka selalu mampu mengimbangi kekacauan maupun ketenangan isi kepalamu.

Seharusnya kita memang pandai bersyukur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar