Jumat, 10 April 2015

Apa yang Ada di Dalam Kepala Mereka?

Berkutat dengan isi kepala sendiri, mencoba menguraikan apa yang terjadi di dalam isi kepala orang lain, memang pada banyak waktu adalah pekerjaan yang sangat menyenangkan.

Apa yang ada di dalam kepala Aram Saroyan ketika membuat puisi berjudul A Poster-Poem? Puisi satu huruf yang kini lebih banyak, atau lebih nyaman dikenal sebagai jenis visual poetry. Jenis puisi yang ada sejumlah populasi di dunia ini mengguggatnya dan menganggapnya bukanlah puisi. Mengapa harus bentuk huruf 'm' yang ditambah satu kaki lagi? Apa makna di baliknya? Mengapa makna itu direpresentasikan dengan bentuk huruf 'm' yang ditambah satu kaki lagi? Apa yang sedang terjadi di dalam diri Aram ketika terpikirkan membuat karya itu?




Apa juga yang ada di pikiran The White Stripes ketika membuat the shortest concert in history? Alasannya mungkin bisa sesederhana karena di dunia ini ada puisi terpendek, maka tidak masalah ada konser tersingkat. Tapi mungkin juga tidak sesederhana itu. Lalu mengapa? Bagaimana mereka punya ide membuat konser di Newfoundland menjadi seperti itu? Apa makna permainan drum dan gitar yang hanya berisi satu nada itu? Mengapa itu mereka pilih untuk menjadi penanda berakhirnya tur mereka ketika itu?




Lalu apa yang yang ada di dalam kepala John Denver ketika membuat komposisi musik berjudul The Ballad of Richard Nixon? Komposisi sepuluh detik yang hanya berisi keheningan. Benar-benar hanya berisi keheningan. Seperti Aram Saroyan, John Denver pasti punya sejumlah populasi di dunia ini yang menggugatnya dan karyanya. Tapi kembali lagi, apa yang ada di pikirannya ketika menciptakan komposisi yang judulnya mencantumkan nama salah satu Presiden USA itu? Mengapa harus Richard Nixon? Mengapa harus direpresentasikan dengan keheningan? Mengapa harus hening dan mengapa ia anggap keheningan adalah suatu komposisi? Meski demikian karya ini menjadi valid jika Denver menjadikan pemikiran Mozart sebagai referensi.


Wolfgang Amadeus Mozart


Manusia dan segala sesuatu yang terjadi di dalam dirinya memang menarik. Isi kepalanya menarik. Proses berpikirnya menarik. Tapi kau tak akan khatam mempelajari dan mencari tahu tentangnya; apa yang terjadi dan apa yang mampu dihasilkan.



(Reference: What is The Shortest Poem?)

Rabu, 08 April 2015

Surat Tentang Ombak dan Kaki Bukit

Bapak, semalam aku bermimpi tentang ombak. Garisnya persis seperti rambut putih di atas kepalamu. Aku telah pandai membaca dalam laut di atas kepalamu. Tapi aku tak cukup pandai menghitung musim, bahwa sekarang telah penghujan. Bahwa badai kerap terjadi dan ombak-ombak itu kerap meninggi.

Ibu, semalam aku bermimpi tentang setapak-setapak di kaki bukit. Liuknya persis seperti kerut di sudut-sudut matamu. Aku telah cukup pandai menghitung batu di sepanjang jalan pulang. Tapi aku tak cukup pandai menerka kabut, bahwa sekarang malam telah turun. Bahwa setapak-setapak itu tak lagi terlihat.

Bapak, semalam aku bermimpi duduk bersamamu, di teras rumah, menghadap pantai. Kau bercerita padaku perihal masa lalumu, perihal kebun cengkeh yang kaupanen dan singkong rebus yang kaulahap setelahnya. Aku bilang itu dongeng. Kau bersikeras itu nyata. Aku bercerita padamu perihal masa kiniku, perihal langit malam yang merah dan bintang yang telah punah. Kau bilang itu dongeng. Aku bersikeras itu nyata.

Ibu, semalam aku bermimpi berbaring bersamamu, di atap rumah, menghadap bulan purnama. Kau bercerita padaku perihal masa lalumu, perihal rambut yang kau pelihara panjang-panjang dan nenek yang rutin menyisirnya. Aku bilang itu dongeng. Kau bersikeras itu nyata. Aku bercerita padamu perihal masa kiniku, perihal isi kepala manusia-manusia yang rutin meledak dan kabut racun yang menyesakinya. Kau bilang itu dongeng. Aku bersikeras itu nyata.

Bapak, aku bermimpi kau berpesan kepadaku. Katamu, jika langit memang sudah kosong, aku bahkan tak perlu merisaukan petir.

Ibu, aku bermimpi kau berpesan kepadaku. Katamu, jika udara memang sudah tak menghidupi, aku bahkan tak perlu mengkhawatirkan tanah dan apa-apa yang terjadi di atasnya.

Kamis, 02 April 2015

Here Comes The Sun And It's Alright




Here comes the sun.
And it's alright.



"Kenapa naik gunung?"

Biar kau bisa istirahat. Dari apa yang lebih melelahkan dibandingkan bersusah payah berjalan jauh menanjak dan menurun dalam napas yang tersengal-sengal; apa yang adalah keseharianmu yang tampaknya baik-baik saja, dalam langkah yang baik-baik saja dari kau bangun sampai kau tidur lagi, dalam napas yang kaupikir baik-baik saja padahal telah meracunimu sampai sekarat.

Biar kau tahu bahwa kau kecil. Bahwa apa yang besar di hadapan matamu bahkan masih jauh lebih kecil dari apa yang menciptakan kalian. Bahwa kau tak punya kuasa apa-apa di dalam genggaman apa yang menguasai hidup dan matimu. Bahwa kau harus tahu bagaimana caranya merendahkan dagumu jika cara meninggikan dirimu saja kau tahu.

Biar kau belajar. Membaca matahari; ia akan datang juga, meski sepanjang sore mendung, sepanjang malam hujan dan sepanjang pagi berkabut. Ia akan datang juga, menghangatkanmu tepat pada titik dimana kau tak tahu lagi bagaimana menyiasati kedinginan. Dan semua akan baik-baik saja.

Dan begitulah hidup.