Rabu, 08 April 2015

Surat Tentang Ombak dan Kaki Bukit

Bapak, semalam aku bermimpi tentang ombak. Garisnya persis seperti rambut putih di atas kepalamu. Aku telah pandai membaca dalam laut di atas kepalamu. Tapi aku tak cukup pandai menghitung musim, bahwa sekarang telah penghujan. Bahwa badai kerap terjadi dan ombak-ombak itu kerap meninggi.

Ibu, semalam aku bermimpi tentang setapak-setapak di kaki bukit. Liuknya persis seperti kerut di sudut-sudut matamu. Aku telah cukup pandai menghitung batu di sepanjang jalan pulang. Tapi aku tak cukup pandai menerka kabut, bahwa sekarang malam telah turun. Bahwa setapak-setapak itu tak lagi terlihat.

Bapak, semalam aku bermimpi duduk bersamamu, di teras rumah, menghadap pantai. Kau bercerita padaku perihal masa lalumu, perihal kebun cengkeh yang kaupanen dan singkong rebus yang kaulahap setelahnya. Aku bilang itu dongeng. Kau bersikeras itu nyata. Aku bercerita padamu perihal masa kiniku, perihal langit malam yang merah dan bintang yang telah punah. Kau bilang itu dongeng. Aku bersikeras itu nyata.

Ibu, semalam aku bermimpi berbaring bersamamu, di atap rumah, menghadap bulan purnama. Kau bercerita padaku perihal masa lalumu, perihal rambut yang kau pelihara panjang-panjang dan nenek yang rutin menyisirnya. Aku bilang itu dongeng. Kau bersikeras itu nyata. Aku bercerita padamu perihal masa kiniku, perihal isi kepala manusia-manusia yang rutin meledak dan kabut racun yang menyesakinya. Kau bilang itu dongeng. Aku bersikeras itu nyata.

Bapak, aku bermimpi kau berpesan kepadaku. Katamu, jika langit memang sudah kosong, aku bahkan tak perlu merisaukan petir.

Ibu, aku bermimpi kau berpesan kepadaku. Katamu, jika udara memang sudah tak menghidupi, aku bahkan tak perlu mengkhawatirkan tanah dan apa-apa yang terjadi di atasnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar