Kamis, 08 Juli 2010

cerpen : KADO


“Selamat siang.”
“Selamat siang. Ini bisa tolong dibungkuskan mbak? Pakai kertas ini aja.”
“Oh, bisa Bu. Mau pakai hiasan lain?”
“Hmm… Apa ya?”
“Kalau boleh tau ini untuk siapa Bu?”
“Untuk anak perempuan saya.”
“Oh, kalau pita ini bagaimana Bu? Warna ini cocok.”
“Wah, bagus. Atur aja mbak.”

Wajah perempuan itu tertunduk terpaku ke atas meja, berkutat dengan ketas, selotip, lem, pita, dan sebuah dress santai yang begitu anggun berwarna ungu. Matanya masih tetap berbinar sama seperti saat tepat ia tersenyum manis kepada ibu yang ada di hadapannya. Mata itu memang selalu berbinar dan senyum itu pun memang selalu manis.

Tak kalah sempurna dengan senyum dan mata berbinarnya, ada sepasang mata dan senyum yang selalu menjadi sangat berarti baginya. Senyum dan mata itu yang sesungguhnya membentuk manis senyum dan binar matanya. Dan itu adalah mata dan senyum setiap pelanggan yang berdiri di hadapannya setelah ia mengangkat wajahnya dari menit-menit sibuknya dengan sekumpulan benda monoton itu. Mata dan senyum orang yang ada di hadapnnya setelah bermenit-menit memandang takjub keterampilan tangannya membungkus bingkisan yang akan selalu menjadi sangat berarti. Bingkisan yang dibawa masuk tokonya dengan sejuta emosi bahagia dan harapan yang akan mengklimaks setelah terbungkus sempurna.

***

“Selamat sore.”
“Sore. Hmmm…”
“Ada yang bisa saya bantu?”
“Hmm… Gini mbak, saya mau kasi agenda ini ke pacar saya. Ini agenda yang udah kesisi penuh tulisan-tulisan yang paling berarti bagiku dan hubungan kita. Ada foto-foto dan lainnya juga. Nih, bagus kan mbak?”
“Wah, iya bagus.”
“Nah, tapi agendanya mau saya sampul. Ini polosan jelek banget. Diapain ya mbak?”
“Pacarnya suka warna apa mbak?”
“Hijau mbak.”
“Coba kalau kertas hijau yang itu. Itu manis tapi nggak feminin. Nanti ditambahkan payet-payet ini. Cocok aja kok buat cowok.”
“Iya iya mbak. Bagus kayaknya. Dibikin aja mbak.”

Ia mulai berkutat lagi dengan barang-barang monoton itu. Wajah bahagia didepannya memandangnya dengan penuh harapan. Harapan agar benda berarti itu bisa disulap menjadi semakin luar biasa dan akan membuat buku usang itu menjadi semakin berarti bagi pemilik baru yang akan dihadiahi nanti, jauh lebih berarti dari arti yang dimiliki si pemberi.

Semua orang punya satu teori standar tentang kado. Kado itu barang yang mungkin bukan apa-apa yang diberikan si pemberi, yang mungkin akan berarti sangat banyak bagi yang diberi. Tapi itu terlalu klise bagi seorang penikmat detil sepertinya. Ia sering memaknai dengan sempurna hal-hal kecil yang padahal selalu terlewatkan bagi orang lain. Baginya, kado itu bingkisan penuh harapan, yang sejak dibeli isinya, sang pemberi telah memiliki suatu emosi bahagia luar biasa, dan semakin bahagia setelah barang itu terbungkus manis. Kebahagiaan itu berasal dari harapan itu sendiri. Harapan akan respon sempurna dari orang yang ditujukan untuk diberikan bingkisan itu. Hanya ia yang tau, kado-kado itu kadang jauh lebih berarti saat si pemberi mempersiapkannya, jauh lebih berarti dari saat kado itu sampai ditangan yang dituju.

Mata dan senyum mereka menampakkannya. Menampakkan kebahagiaan itu. Menampakkan sejak mendorong pintu masuk toko kadonya, dan kemudian mulai bediri berdiskusi di depannya, serta semakin sempurna saat ia mengangkat wajahnya dari atas meja setelah menyelesaikan pembungkusan. Mata dan senyum itu yang juga berarti baginya. Membuatnya masih mampu tersenyum dan matanya masih mampu berbinar sampai saat ini.

Pekerjaan yang sangat dicintainya ini yang membuatnya akhirnya bisa sedikit bahagia. Pekerjaan yang bisa membuatnya mengamati kebahagiaan orang lain. Meskipun mata dan senyumnya tak akan pernah lagi sesempurna 2 tahun lalu. 2 tahun semenjak harapan dan kebahagiaannya dihancurkan keadaan. Keadaan yang bahkan takkan sanggup dikutuknya, karena sudah kehendak Pemilik Segala Keadaan. Tomi, sang pemilik kebahagiaanya mengalami kecelakaan tragis tepat saat di satu tempat berbeda ia sedang mengepas pakaian pengantin yang akan dipakainya dalam sandingan Tomi. Lebih tragisnya lagi, Tomi berada di mobil bersama ibunya, dan tak ada yang selamat. Sebagai anak tunggal ia akhirnya sebatang kara dan menjadi pemilik toko rintisan keluarganya ini. Pemilik yang selalu ikut bekerja karena kecintaannya.

***

“Cit!”
“Hei Ben. Darimana kamu?”
“Dari kantor. Janjian ama klien tapi dia nunda ampe jam makan siang. Udah sarapan? Sarapan yuk.”
“Udah. Udah kenyang.”
“Ah, gag asik. Makan aja lagi yuk, biar tulangmu berkembang dikit.”
“Manja. Sarapan aja minta ditemenin.”
“Hahahaha… Tuh ngerti. Ayo cepetan!”
“Iyaaa… Mit, titip toko bentar ya.”
“Iya mbak. Lama juga nggak apa-apa.”

Cuma aku dan Pemilik Segala Keadaan yang tau kalau waktu-waktu seperti ini yang sangat kucintai. Waktu saat aku bisa menatap senyum dan mata Cita sepuasnya. Mata dan senyum perempuan yang paling kucintai setelah ibuku sendiri. Wanita dengan mata dan senyum yang paling sempurna menyempurnakan hariku. Hariku sejak 3 tahun lalu. Ya, aku, Putra Benindra Setiawan. Sahabat paling tidak tau diri bagi seorang Tomi. Aku tak pernah mengkhianati. Aku tak pernah bersikap lebih sedikitpun kepada Cita. Aku berlaku sama dihadapan mereka berdua, sama saat kita bertiga mulai bersahabat, aku mulai mencintai Cita, Cita dan Tomi mulai saling mencintai, atau apapun itu. Aku tetap sama. Aku bahkan tak pernah berani menulis atau mengakui sesuatu untuk diriku sendiri. Aku menyimpan semuanya sempurna rapi. Rapi dan manis seperti kado-kado yang memenuhi toko Cita.

Satu hal yang aku tau, aku mencintai saat bersamanya. Karena akupun tidak pernah mampu dengan tegas menyatakan bagi diriku sendiri bahwa aku mencintainya. Begitu rapi hal ini kusimpan sampai bahkan perasaan bahagiaku yang berbeda saat bersamanya pun tak mampu di maknai oleh sang penikmat detil itu. Ia tak mampu mengamatinya. Karena aku masih sama. Sama bahkan saat aku tau aku punya kesempatan sejak kematian Tomi. Pokoknya, aku suka melihat mata dan senyumnya sepuasnya. Mata dan senyum yang sepengamatanku sama seperti lebih dari 2 tahun lalu. Mata dan senyum yang tidak tersimpan kepedihan yang mendalam. Mata dan senyum yang menurutku hanya muncul saat ia bersamaku, sejak 2 tahun belakangan ini.

***

“Malam Cit.”
“Beni? Pulang kantor?”
“Iya.”

Aku berkeliling toko itu dan mengamati setiap inci rak-rak yang berisi kotak-kotak kado. Ada berbagai macam warna hitam. Hitam yang mendekati biru, hitam yang agak keunguan, hitam yang terlihat hijau. Aku berkeliling lama. Mengamati lebih lama lagi. Sampai akhirnya kutemukan warna hitam yang benar-benar hitam. Yah, agak bersinar keperakan kalau terkena sinar lampu, tapi paling tidak itu menedekati hitam dan abu-abu. Aku selalu suka hitam. Bagiku hitam itu unik dan elegan. Menarik. Eksotik.

"Aku beli ini ya? Tutup kotaknya dipitain ya?”
“Pakai apa? Kertas apa pita?”
“Hmm… Yang kertas gag ada yang keperakan tapi kan?”
“Iya. Adanya perak atau abu-abu ya pita. Pita ada yang silver.”
“Pakai pita aja. Yang silver yang lebar tuh. Yang itu!”

Sejenak mata Cita tertegun menatap mataku lebih lama. Ia terlihat memperhatikan wajahku saat memilih bungkusan sempurna untuk bingkisanku nanti. Ia mengamati senyumku yang seakan sedang membanyangkan isi kado yang sepertinya akan sangat sempurna dengan bungkusan yang akan dikenakannya. Hatiku berdegup lebih kencang. Ada ketakutan yang kurasakan. Tapi itu juga yang kuharapkan.

“Iya, Iya. Isinya mana?”
“Tutupnya aja pitain. Ntar isinya aku yang urus.”
“Iyaaaa… Eh, buat siapa ni?”
“Udah, pitain aja! Brisik deh.”
“Tumben pelit amat. Buat siapa sih? Isinya apa nih?”
“Ehh… Melanggar kode etik pekerjaan, memaksa ingin tau urusan pelanggan.”
“Lagian biasanya nggak dipaksa juga kamu yang konsultasi sendiri kado-kadomu ke aku.”
“Ehh… Suka-suka pelanggan ya mbak.”
“Hmm…”

***

Hari yang panjang. Besok valentine dan tokonya ramai minta ampun. Ia bahkan tak pernah paham kenapa valentine selalu dibesar-besarkan kalau setiap hari bisa dibuat menjadi hari valentine. Ia baru tiba jam 11 malam di rumahnya. Sekarang jam 12 tepat. Ia baru selesai mandi dan bersiap tidur ketika pintu rumahnya kembali menyuarakan ketukan. Ia menengok ke luar dan mendapati sosok pak Agus berdiri di depan pintu. Pak Agus adalah pegawai lama di tokonya. Ia telah bekerja sejak Cita masih kecil. Ia bekerja untuk ayah ibu Cita dan sampai saat ini ia bekerja untuk Cita.

“Pak Agus? Ada apa malam-malam Pak? Bapak dari kantor?”
“Nggak kok mbak. Kan mbak udah bolehin saya pulang dari sore tadi.”
“Oh iya pak. Ada apa pak?”
“Ini ada titipan. Udah dititipin ke saya dari malam tadi, tapi saya pikir saya mau antar jam 12 saja. Maaf ganggu mbak.”
“Wah, nggak apa-apa pak. Saya juga baru saja sampai rumah.”
“Ya udah mbak, saya pulang dulu ya?”
“Iya pak. Terima kasih banyak.”

Cita kembali ke kamar. Ia duduk di atas tempat tidurnya dan membuka kotak titipan pak Agus perlahan. Sejenak ia merasa aneh dengan kotak itu. Banyaknya pelanggan hari ini membuat ia hanya mampu sedikit merasa bahwa kotak ini adalah kotak yang dihiasnya. Ia menangkap beberapa tangkai mawar putih yang indah di dalam kotak itu. Kotak hitam pekat bersinar keperakan, pita silver, dan mawar putih. Degradasi luar biasa dalam sepaket bingkisan sehingga kado itu menjadi begitu mempesona. Ia kemudian membuka sebuah kartu hitam bertinta perak dan mulai membaca.

Maaf semua warnanya sesuai warna kesukaanku
Ini memang tentang aku dan keegoisanku
Ini tentang aku yang berusaha selamanya tak melibatkanmu
Tapi akhirnya tak mampu
Semoga kau sendiri mampu memaknai detil yang bahkan tak tampak ini
_Beni _

Ia tertegun. Berbagai ekspresi, senyum, tatapan mata Beni tadi malam berputar didalam otaknya seperti film yang diputar di dvd player yang rusak dan tak bisa dihentikan karena tombol pause dan stop yang rusak. Si penikmat detil akhirnya menemukan detil yang tak sanggup di maknainya selama ini. Emosi bahagia dan harapan setinggi-tingginya dari pelanggannya tadi yang bernama Beni dirasakannya saat ini. Sekarang ia professional sebagai seorang pemakna detil yang selalu terabaikan. Ia bahkan merasakan perasaan si pemberi bingkisan sebagai si penerima bingkisan.

Ia bahkan tersadar. Ada 1 hal yang sering tidak masuk dalam list emosi yang sering diamatinya. Cinta. Baginya bagaimana harapan si pemberi atas kadonya sudah menampakkan emosi kebahagiaan dan kepuasan yang luar biasa. Namun kini ia menyadari betul bagaimana emosi dan perasaan cinta orang dapat dipahaminya lewat kado yang diberikan dan cara orang itu memilih bungkusannya dan memadupadankan dengan isi kadonya di kepalanya. Sekarang ia benar-benar memahami detil yang dimiliki Beni kepadanya. Detil yang sempat beberapa detik tadi ditangkapnya hanya dengan melihat bagaimana cara Beni memilih-milih bungkusan kado. Ia sama sekali tak menyangka karena beberapa detik tadi pun secara tidak sengaja di tolak alam bawah sadarnya untuk diproses. Ia meng-eject detil yang tadi sempat ditangkapnya dari Beni. Dan sekarang ia benar-benar paham.

Handphone Cita berbunyi. Ada pesan masuk.
Beni:
“selamat hari setiap hari…”

***