Selasa, 24 Desember 2013

Kotak Kosong

Catatan ini ditulis di dalam kepala, dari dalam sebuah kotak besar, panjang, beroda banyak, berisi tangan-tangan kaku, tubuh-tubuh lelah, kaki-kaki pegal, dan mata-mata kosong.

Gambaran orang-orang di dalam kotak ini mampu menjelaskan definisi keanehan. Dunia memang aneh. Hidup memang aneh. Semakin kini semakin aneh.

Di dalam kotak ini, semua orang berkumpul. Pada beberapa waktu, beberapa di antaranya tidak sempurna. Kata orang, cacat. Sesekali, mereka akan diberikan tempat duduk, sementara yang lain berkorban berdiri. Sesekali saja. Itu jika mereka termasuk golongan 'orang biasa'. Jika tidak, penampilan lusuh dan kotor mereka tidak akan sempat diindera oleh orang lain. Tidak ada yang peduli. Tidak ada yang melihat. Tidak ada yang tersentuh kulitnya ketika mereka berdesakan lewat. Tidak ada yang mendengar ketika mereka mengeluarkan suara. Jikapun ada, orang justru akan menampilkan tatapan mengusir. Melalui tatapan jijik. Sisanya yang sempat akan menampilkan tatapan iba. Tatapan sedih. Tatapan yang justru lebih bisa membuat mereka putus asa dibandingkan tatapan lainnya yang sudah terlalu biasa mereka santap.

Di dalam kotak ini, jarak terdekat terpaksa diabaikan. Dekat yang seharusnya didamba manusia sebagai makhluk sosial. Dekat yang maknanya telah kabur ditelan kemajuan zaman. Di antara tubuh-tubuh yang sama sekali tak berjarak dan bahkan berdesak-desakan serta wajah-wajah yang berhadap-hadapan tidak lebih dari dua jengkal, orang-orang bisa mengabaikan semuanya. Bisa mengabaikan keberadaan orang lain yang tak berjarak darinya itu. Dekat yang seharusnya melahirkan interaksi dapat diubah menjadi biasa saja. Tidak ada yang peduli. Manusia semakin hebat membangun dunianya sendiri.

Di dalam kotak ini, segala sesuatu diklasifikasikan. Bukan dikategorikan. Karena segalanya punya kelasnya masing-masing, siapa yang lebih penting dari siapa. Dari klasifikasi itu lahir aturan-aturan. Siapa saja yang harus didahulukan. Siapa yang harus diberi jalan. Siapa yang harus diutamakan mendapat tempat duduk. Siapa yang harus tetap berdiri. Siapa yang harus terpisah dari siapa. Demi keamanan dan keselamatan, katanya. Sayangnya, aturan tak pernah lahir sebagai satu-satunya. Ia pasti terlahir kembar dengan para pembangkang. Kepekaan yang ingin dihadirkan melalui aturan itu membuat beberapa orang sadar untuk mematuhi, dan beberapa sisanya justru sadar bahwa isi yang dilarang di dalam kalimat larangan itu mampu ia lakukan. Maka orang cacat biasa akan diutamakan dan orang cacat yang kumal akan sengaja dibiarkan menderita. Kalau bisa lebih menderita dari orang biasa lainnya yang tidak cacat sekalipun. Maka laki-laki akan tetap mencuri kesempatan untuk melecehkan perempuan. Maka para renta akan tetap dibiarkan berdiri, diabaikan oleh yang tidak renta dengan pura-pura tidur di kursi yang sudah dimenangkan lebih dulu.

Di dalam kotak ini, segala sesuatu menjadi aneh. Kewajaran dijungkir-balikkan. Ketidakwajaran dimaklumi. Orang-orang tidur dalam keadaan berdiri dan terhempas-hempas kecil. Dalam keadaan yang bahkan tidak nyaman dialami saat tidak tidur. Orang-orang yang lelah dan bukannya beristirahat, melainkan justru melarikan diri. Entah dari apa. Mungkin dari diri mereka sendiri.

Di dalam kotak ini, penuh dapat dengan mudah menjelma kosong. Semakin penuh kotak, semakin kosong mata-mata orang di dalamnya. Mata-mata yang pandangannya lebih jauh dari jarak dunia. Karena pandangan-pandangan itu mampu menembus lapisan dunia lain. Dunia yang mereka bangun sendiri, lalu mereka lingkupkan ke sekeliling tubuh mereka sendiri. Mata-mata itu gelap. Tak punya sorot. Meskipun yang mereka pandang adalah tebaran lampu-lampu yang sungguh meriah dari kota yang sungguh ramai dan tak pernah redup. Namun ramai cahaya dari kota itu tak cukup mampu menembus mata mereka dan membantunya ikut bersinar.

Sekian. Halte tujuan sudah tinggal beberapa meter.



Jakarta, 21/12/13
Transjakarta Blok M - Harmoni




Jumat, 13 Desember 2013

Catatan Kepergian Lainnya

Di sinilah saya. Bermain dengan pena dan kertas. Bermain dengan jari dan tuts keyboard laptop. Di sinilah saya, ketika tidak berhasil melisankan isi kepala saya. Bukan isi hati. Lama-kelamaan saya malas membicarakan hati.

Setelah melewati suatu siang yang biasa saja, sore mulai turun dan saya seharusnya menangis sore itu juga. Bukan ketika menuliskan catatan ini, yang juga seharusnya disampaikan sore itu juga.

Di sinilah saya. Akan menceritakan tentang seorang lelaki yang telah datang, dan sayangnya, juga telah pergi.

.....

Tidak mudah bagi saya bekerja dengan tugas yang sederhana; digugat. Ya, pekerjaan saya adalah digugat. Ditempatkan di divisi yang merupakan organ yang bertugas mengayomi seluruh sel lainnya, segala sesuatu yang terjadi di dalam tubuh ini--baik dan buruk--adalah tanggung jawab saya. Apapun yang ada di sistem ini adalah hasil kontribusi pekerjaan saya. Saya bertanggungjawab atas keadaan tubuh ini, meskipun bukan atas aktivitas yang dihasilkan tubuh ini.

Dalam suatu tubuh bayi, pekerjaan saya semakin berat. Tubuh ini masih muda. Kakinya belum kuat berlari kencang. Mulutnya belum mampu berbicara dengan jelas. Matanya masih terlalu peka pada cahaya. Masih banyak yang harus diusahakan agar bayi ini tumbuh dengan sempurna, atau minimal, baik-baik saja.

Di antara lautan gugatan dan usaha membuat tubuh bayi ini tumbuh sehat, saya butuh banyak bimbingan dan penguatan. Saya butuh pimpinan yang baik; atasan yang tegas, teman yang mengerti dan ayah yang membimbing. Beruntungnya, saya punya. Atau sempat punya.

Saya punya satu sosok yang dapat saya andalkan ketika sosok lain dengan espektasi sama hanya bisa membuat saya semakin ingin menyerah ketika keadaan sedang sulit. Saya punya atasan yang tegas sampai sering dianggap tidak menyenangkan oleh orang lain yang memutuskan sebisa mungkin tidak harus berurusan dengannya. Saya punya teman yang bisa mengerti keadaan saya dan menerima saya, lalu pandai memberi jalan keluar sampai saya bisa merasa baik-baik saja ketika sesungguhnya tidak. Saya punya ayah yang mau membimbing agar saya pintar, bukan hanya memerintahkan saya harus pintar.

Saya pernah punya lelaki itu. Lalu setelah melalui suatu siang yang biasa saja, sore mulai turun dan lelaki itu pergi. Dipindahtugaskan oleh kuasa yang lebih besar. Tanpa pengganti, atau dengan satu-satunya calon pengganti yang paling tidak pernah saya harapkan. Satu-satunya orang yang paling saya hindari berurusan dengannya.

Lelaki itu pergi. Atasan yang telah begitu percaya pada saya untuk menanggung tugas ini, setelah sekian penolakan orang lain hanya dengan alasan saya terlalu muda. Teman yang selalu mampu tertawa memaklumi ketika saya melakukan hal aneh, yang sesungguhnya membuat saya sendiri takut jika itu adalah kesalahan. Ayah yang kuat mengayomi setelah sering menuduh saya lari dari rumah, karena saya yang anak satu-satunya namun terus pergi jauh dan enggan pulang, karena saya yang seharusnya manja justru begitu berani dan tak bisa diatur.

Saya kehilangan. Atau mungkin bukan. Mungkin saya hanya ketakutan. Takut hilang arah sebagai seekor anak bebek di dalam rombongan yang ditinggal induknya. Saya takut tidak ada lagi penguat, dan yang tertinggal hanya penekan yang tak pernah bisa membuat sesuatu jadi lebih baik. Saya takut tidak bisa diselamatkan lagi setiap saya akan menyerah.

Namun, atas nama terima kasih besar yang saya punya untuknya, kepercayaan dan kesempatan yang telah ia berikan akan saya jadikan penguat saya. Kepercayaan dan kesempatan bagi saya untuk bisa berada di dalam tubuh yang saya damba-dambakan, di dalam tubuh dengan setiap sel-jaringan-organ-sistem organ yang menyenangkan ini.

Sekali lagi, terima kasih. Semoga kita semua akan baik-baik saja.



Jakarta,
13/12/13
Done at 23.52 WIB

Rabu, 11 Desember 2013

Kau Berjalan Terlalu Jauh

Kau berjalan terlalu jauh
Sampai jalan-jalan menjadi keras
dibalut aspal dan keributan dini hari
orang-orang yang harus meninggalkan
anak istrinya lelap tanpanya
Demi meredam keributan di perut
dini hari mereka
Lalu kau rindu setapak-setapak tanah
yang selalu basah tergenang ketika hujan
Dan tawa-tawa kecilmu dan teman-temanmu
yang jatuh di kaki mungil kalian
yang membercak cokelat

Kau berjalan terlalu jauh
Sampai dataran terlalu tinggi
dan udara terlalu dingin
untuk membekukan air matamu agar tak keluar
Dan mengendap berkerak
di dinding-dinding hatimu
Lalu kau rindu jari-jari paling tabah
yang kerap kali menelusur rambut dan wajahmu
ketika tangismu masih nyaring
Hingga kau terdiam merasakan hangat rahim
yang pernah kau tinggali

Kau berjalan terlalu jauh
Sampai terbangmu sungguh bebas
ke angkasa paling luas
Di mana kau temukan bintang yang bersinar
hanyalah batu yang mati
dan  tak ada lagi selain itu
Maka sayapmu patah
Lalu kau rindu suara berat dan tegas
yang senang mengekang dan mengguruimu
Yang menyimpan ketulusan paling dalam
dari pria manapun
yang mampu mencintaimu dan nanti menyingkirkannya

Kau berjalan terlalu jauh
Sampai kau tak lagi menemukan manusia
kecuali yang penuh dengan amarah
Kecuali yang tak tampak seperti manusia
Yang memenuhi ruang hidupmu hingga sesak
dan enggan membiarkanmu bernapas lega
Lalu kau rindu ruang damai di bawah atap
yang kau kenal sebagai rumah
Tempat di mana adzan Maghrib dari masjid
masih dekat terdengar
Sebagai pengingatmu pulang
dari bermain dengan senja

Kau berjalan terlalu jauh
Sampai kau melewatkan waktu
dan tak mampu lagi mengenalinya
atau dirimu sendiri
Lalu kau rindu bercermin
dan menemukan dirimu di dalam sana

Jakarta
29/10/13

Minggu, 08 Desember 2013

Gerbong Merenung: Sedikit Catatan Dalam Salah Satu Perjalanan Mencari Pulang

Pandai-pandailah bersyukur. Pandai-pandailah bersyukur. Pandai-pandailah bersyukur.

Pertama-tama saya ingin berterima kasih kepada kemampuan sosial saya yang baik. Bukan karena saya supel, melainkan bisa jadi hanya karena saya adalah orang yang suka sok asik.

Setelah menemukan banyak orang dengan banyak cerita, sebagai anak yang tidak pernah berkekurangan sesuatu apapun, saya semakin bisa memahami kalau akan selalu ada orang lain di luar sana yang hidupnya lebih sulit dari saya. Dalam hal apapun itu.

Saya pernah menemui sepasang suami istri di lorong gelap yang selalu saya lewati ketika pulang ke kos, mendorong gerobak jualannya bersama-sama, sambil bercerita dan tertawa. Lalu kenapa kita harus banyak mengeluh dan menuntut waktu bahkan masih dalam status pacaran, ketika hidup yang harus kita jalani dengan pasangan kita justru serba baik-baik saja?

Saya punya teman yang batal menikah ketika semua persiapannya telah sembilan puluh persen selesai, karena pasangannya menjalin hubungan lain dengan teman baiknya. Lalu kenapa kita yang mengalami patah hati lebih dini, ketika belum ada persiapan jauh-jauh menuju pelaminan dilakukan, harus sedemikian putus asa?

Saya juga punya teman yang untuk membiayai kuliahnya harus mengamen ke sana-ke mari, karena ibunya sendiri yang bahkan memintanya untuk berhenti kuliah karena tidak punya cukup uang. Lalu kenapa kita yang bisa kuliah dalam keadaan tenang dan tak perlu mengurusi urusan pembiayaan uang kuliah harus terus-menerus menuntut kepada orang tua kita karena selalu merasa berkekurangan?

Saya punya satu teman lagi yang orang tuanya berpisah dan kemudian menikah lagi dan lagi sampai dia punya begitu banyak saudara. Lalu kenapa kita yang masih selalu bisa berfoto bersama ayah dan ibu kita dengan senyum penuh di depan kamera harus selalu mampu mencari alasan untuk mengeluh?

Beberapa minggu yang lalu saya baru saja melakukan perjalanan pulang ke Jogja. Saya selalu menyebut perjalanan menuju kota itu dengan 'pulang', karena kota itu memang sudah terlalu nyaman untuk tidak dijadikan rumah. Setelah peristiwa membeli tiket kereta api secara impulsif dan spontan di Indomaret dekat kos, saya mempersiapkan segala sesuatu untuk berangkat. Kereta yang saya pilih adalah kereta ekonomi malam jurusan Pasar Senen - Lempuyangan. Ya, ini bukan kereta ekonomi AC yang sudah lebih nyaman dibandingkan kereta bisnis. Ini kereta ekonomi kasta terendah. Hanya satu kasta di atas kereta barang.

Dengan biaya pulang-pergi seratus ribu, dimana sekali perjalanan hanya memakan biaya lima puluh ribu, saya merasa menang banyak. Di Jakarta, ongkos taksi untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lain saja sudah bisa menyamai total biaya perjalanan saya yang sudah bisa sampai di Jogja.

Perjalanan menuju Jogja terasa baik-baik dan biasa-biasa saja, kecuali ketika subuh mulai menjelang dan yang ada di depan mata saya adalah bentangan hijau persawahan dan bentangan jingga langit ketika matahari terbit. Saya merasa pulih. Pulih dari kesakitan yang disebabkan oleh riuhnya Jakarta. Perjalanan kereta malam saya menuju Jogja ditemani oleh dua teman yang saya temui secara kebetulan setelah bolak-balik berpindah gerbong, bertukar-tukar tempat duduk dengan orang-orang yang seenaknya menempati tempat di dalam gerbong. Saya pikir, "selamat datang di kereta ekonomi. Selamat menikmati perilaku penumpangnya." Kereta menuju Jogja itu sepi. Dari Jakarta sampai Jogja, kursi yang seharusnya ditempati lima orang hanya ditempati kami bertiga. Gerbong usang terasa seperti rumah. Tidak ada masalah.

Renungan-renungan panjang mulai dilakukan justru ketika berada di dalam kereta malam dari Jogja kembali ke Jakarta. Segala sesuatu tidak baik-baik saja.

Mulai dari kereta yang dijadwalkan berangkat pukul lima sore dari Jogja terlambat sekitar setengah jam. Selama hidup saya, saya belum pernah mengalami kereta terlambat, suatu hal yang bisa saya banggakan dari sistem yang ada di negara saya ini. Seringnya, saya yang hampir ketinggalan kereta, saking tepat waktunya jadwal kereta api, tidak seperti pesawat terbang. Namun kali ini berberda.

Di dalam kereta, saya tidak menemukan siapa-siapa yang saya kenali di gerbong yang sama. Saya langsung menuju tempat duduk yang tertera di tiket dan menjadi orang kelima yang datang. Artinya, kereta penuh. Tempat duduk untuk lima orang telah terisi empat orang yang semuanya laki-laki sebelum saya datang. Saya tidak peduli. Dengan kemampuan sosial (atau sok asik) saya yang di atas rata-rata, saya bisa langsung menyapa penumpang lainnya dan malah ditawari bertukar tempat di kursi dekat jendela. Senang luar biasa saya menerima tawaran itu.

Malam semakin larut. Mata-mata mulai mengantuk. Satu demi satu penumpang menggelar koran atau alas apapun itu di lantai kereta untuk tidur. Masing-masing mencuri celah sebisa mungkin untuk tidur nyaman. Lorong sisa untuk jalan di dalam gerbong pun penuh sesak. Orang-orang yang harus ke WC harus melompat-lompati tubuh-tubuh yang tidur di lantai, bahkan sampai harus memanjat-manjat kursi penumpang sepanjang lorong agar tidak menginjak yang sedang tidur.

Di antara deretan huruf yang berputar di dalam kepala saya dari buku yang saya baca, yang beruntung, telah menyelamatkan saya, saya membaca stiker peraturan yang menjelaskan larangan untuk menempati lorong-lorong jalan di dalam gerbong, termasuk untuk tidur, agar tidak mengganggu. Stiker itu sudah terkelupas sebagian, membuatnya tidak dianggap. Benar saja, siapa yang mau menaati peraturan yang sudah tinggal terbaca sebagian? Peraturan yang seluruh informasinya dapat ditangkap saja belum tentu ditaati, apalagi yang sisa sebagian? Rasanya seperti yang memberi peraturan saja tidak niat menyampaikannya.

Belum lagi tempelan pengumuman dilarang merokok. Saya hanya tertawa-tawa melihatnya, meskipun itu sudah kesekian kalinya saya membaca peraturan itu. Saya merasa lucu karena teringat salah satu teman saya yang pernah memprotes peraturan tersebut. Katanya, "sudah salah melarang saya merokok, salah pula penulisan kalimat larangan itu secara Bahasa Indonesia." Sekali lagi, siapa yang mau mematuhi peraturan yang penulisannya saja salah? Dan sekali lagi, seolah yang memberi peraturan saja tidak sungguh-sungguh. Pada akhirnya, seperti orang-orang yang tidur di lantai gerbong, peraturan dilarang merokokpun hanya menghasilkan para pencuri kesempatan yang merokok di sambungan-sambungan antargerbong.

Semua itu tidak begitu menjadi masalah bagi saya. Satu hal yang sungguh-sungguh membuat saya kagum adalah banyaknya kecoak di dalam gerbong. Dari setiap sambungan besi, berpuluh-puluh kecoak keluar masuk. Untungnya, mereka tidak mendekati manusia. Tapi tetap saja, melihat ribuan kecoak merayap di dinding-dinding gerbong, keluar-masuk dari celah-celah sambungan besi, dan mengelilingi orang-orang yang tidur, bukan suatu hal yang indah. Saya pikir, masalah kecoak bisa tinggal ditangani dengan pengasapan seluruh gerbong kereta. Tidak perlu waktu lama. Tidak perlu biaya yang terlalu besar. Penumpang bisa lebih nyaman. Perusahaan bisa memperindah nama baik. Tapi kemudian saya pikir, siapa yang peduli? Inilah yang kamu dapatkan dari berapa rupiah yang kamu bayar. Mungkin itu juga yang ada di pikiran Sang Pembuat Peraturan, Sang Perawat Kelayakan Gerbong, dan Sang-sang Lainnya Empunya Hajat.

Ketidaknyamanan saya mulai membuat saya banyak berpikir. Sambil saling bertatapan mesra dan pasrah dengan berekor-ekor kecoak yang sungguh lincah merayap berputar-putar ke sana-ke mari, saya kembali memikirkan konsep bersyukur yang saya ungkit di awal tadi.

Saya duduk di sini karena saya mau. Bukan karena saya tidak punya pilihan. Saya bisa saja memilih alat transportasi lain yang lebih baik dan notabene lebih mahal. Saya duduk di sini hanya karena saya ingin melakukannya. Ingin mengalami pengalaman-pengalaman apapun itu. Saya memang seperti itu. Teman-teman saya sering bilang kalau saya suka nekat dan seperti tidak pernah kehabisan energi. Bagi saya biasa saja. Toh, saya bukan orang yang setiap minggu mendaki puncak-puncak gunung yang berbeda-beda. Ini hanya jalan-jalan biasa. Sendirian bukan hal yang luar biasa juga bagi saya. Memilih kereta ekonomi yang sungguh apa adanya ini juga hanya karena saya adalah orang yang ingin mengalami segala hal mumpung masih hidup. Apapun itu.

Saya duduk di sini tidak seperti orang lain yang mungkin tidak punya pilihan. Manusia-manusia lelah yang mencari rumah dengan cara pulang ataupun pergi. Manusia-manusia yang mencuri celah yang sesungguhnya tak layak untuk tidur, demi menemukan tempat berbaring yang paling baik. Orang-orang yang mungkin tidak pernah bermasalah dengan kecoak, karena biasanya justru bermasalah dengan bukan hanya kecoak.

Belum lagi melihat petugas-petugas stasiun kereta api setiap kami singgah. Di dalam pikiran saya, apa yang ada di dalam pikiran mereka menjalani perkerjaan tersebut? Mereka juga orang-orang yang bekerja dua puluh empat jam seperti orang-orang di tempat saya bekerja; media televisi. Tapi tempat saya bekerja begitu menyenangkan. Sementara mereka? Tidak banyak yang bisa mereka lakukan di antara bangku-bangku tunggu yang kosong dengan bentangan rel yang tak punya ujung di depan mata sambil menanti rangkaian kotak-kotak besi yang telah berkarat menghampiri. Lalu kenapa kita masih bisa terus mengeluh?

Saya sampai di kos ketika toa-toa masjid sudah ramai mengajak orang beribadah. Kereta terlambat tiba satu setengah jam. Saya hanya punya waktu istirahat tiga jam sebelum harus memulai Senin. Tapi saya merasa baik-baik saja dan tidak ada yang perlu dikeluhkan.

Bentang renungan

Setengah-setengah

Dilarang merokok di dalam kereta..........akan diturunkan di stasiun terdekat

Perjalanan mencari pulang

Jumat, 06 Desember 2013

Passion, Idealism or Nothing

Orang yang paling bahagia adalah orang yang menjalani hidup sesuai passion-nya.

Itu kata banyak orang.

Bagi saya, masih ada orang yang lebih bahagia lagi. Orang yang dapat menjalani hidupnya sesuai dengan passion dan idealisme yang dimilikinya.

Lalu, mana yang lebih penting?

Tidak ada yang lebih penting. Bagi saya, kita hanya harus pintar-pintar bersyukur. Sudah paling beruntung orang yang bisa menjalani hidup sesuai passion dan idealismenya. Sudah beruntung orang yang bisa menjalani hidup sesuai salah satu di antara passion atau idealismenya. Sudah cukup beruntung orang yang meskipun tidak bisa menjalani hidup sesuai apapun di antara passion atau idealismenya, tapi sudah mampu memahami apa sebenarnya passion dan/atau idealismenya. Karena sesungguhnya, masih banyak orang di luar sana yang terjebak selama-lamanya dengan rutinitas yang bahkan tak mampu mereka kenali apalagi pahami. Masih banyak orang di luar sana yang bahkan tidak tahu apa passion dan/atau idealisme mereka, atau lebih buruk lagi, tidak tahu apa itu passion dan apa itu idealisme.

Bagi saya, tidak ada yang lebih penting. Kalau memang ingin menjadi orang yang bahagia, living your passion then living your idealism. Passion first, idealism follows.

Kenapa passion lebih dulu?

Bagi saya, passion lebih mudah dipahami. Termasuk pemahaman tentang ukuran apakah suatu passion sudah dijalani atau belum. Sementara idealisme cenderung lebih rumit dan sulit ditemukan.

Passion bagi saya adalah apapun yang jika kamu lakukan, akan selalu membuatmu senang. Banyak yang bilang kalau passion itu apapun yang jika kamu lakukan, kamu tidak akan merasa lelah. Bagi saya itu bukan definisi yang tepat. Kamu pasti lelah, itu permasalahan raga. Tapi kamu akan tetap merasa senang, karena ini masalah jiwa. Lelah masalah lahir, senang masalah batin. Untuk mengukurnya akan lebih mudah. Ada yang bisa bernyanyi sampai suaranya serak, tapi ia tak bisa berhenti bernyanyi karena merasa senang ketika melakukannya. Ada yang bisa menulis sampai ia merasa begitu mengantuk dan punggungnya sakit, tapi ia hanya tidak dapat berhenti. Nantinya ia akan tetap butuh istirahat. Hanya saja, ia telah merasa senang.

Sayangnya, banyak yang masih tidak bisa membedakan mana pekerjaan yang senang dilakukannya karena pekerjaan itu sendiri, dan mana yang senang dilakukannya karena lingkungan kerjanya. Yang kedua ini cukup disebut kenyamanan. Kenyamanan tidak berarti disertai dengan passion, tapi passion sudah pasti disertai dengan kenyamanan.

Lebih rumit lagi masalah idealisme. Sesungguhnya konsep idealisme bagi saya cukup sederhana; melakukan apa yang menurut kamu baik. Idealisme saya tidak muluk-muluk. Hanya ingin lebih banyak menghasilkan manfaat daripada mudharot bagi orang banyak. Menghasilkan lebih banyak kebaikan daripada keburukan bagi orang banyak. Masalahnya, baik menurut setiap orang itu berbeda-beda.

Mengapa konsep idealisme lebih rumit?

Karena nilai baik yang kamu pegang mungkin akan terus berubah-ubah sesuai perubahan apapun yang terjadi di sekelilingmu dan mempengaruhi pola pikir serta pandangmu. Selain itu, karena mungkin tidak ada yang benar-benar baik di dunia ini. Selalu ada yang salah dalam satu kesatuan apapun itu. Itu sebabnya, saya ingin memberi lebih banyak kebaikan daripada keburukan bagi orang banyak, bukannya memberi kebaikan bagi orang banyak. Meskipun tidak secara langsung, namun bagaimana pekerjaan yang saya lakukan itu berkontribusi terhadap berlangsungnya suatu sistem yang lebih banyak memberi kebaikan daripada keburukan bagi orang banyak, sesuai idealisme saya.

Tentang istilah idealis, bagi saya itu hanya menunjukkan sifat bahwa seseorang tahu apa yang dia anggap baik dan gigih memperjuangkan serta mempertahankan apa yang dia anggap baik itu. Istilah ini bukan menunjukkan bahwa seseorang memiliki nilai kebaikan yang paling benar. Bukan berarti orang idealis adalah orang dengan pegangan hidup yang paling baik dari orang-orang lainnya.

Mengapa saya bilang passion dulu, baru idealisme?

Kembali lagi, karena passion lebih mudah dipahami, diukur dan didapatkan daripada idealisme.

Saya bekerja di industri dengan orang-orang yang sebagian besar (seharusnya) menjalani passion-nya. Orang-orang ini berkarya, menciptakan sesuatu; karya seni. Sekecil apapun kontribusi mereka dalam bekerja, mereka berkarya di sini. Dan karya seni butuh hati, butuh batin dan jiwa yang senang dalam mengerjakannya.

Namun, saya bahkan masih banyak menemukan orang-orang yang telah bekerja sesuai passion-nya ini mengeluhkan pekerjaannya. Ada juga yang bahkan tidak betah. Inilah yang bisa disebut sebagai benturan idealisme. Ia bisa senang melakukan pekerjaannya karena sesuai dengan passion-nya, tapi ternyata muara akhir pekerjaannya itu tidak menghasilkan sesuatu yang ia anggap adalah kebaikan. Orang bisa menulis dan senang melakukannya, namun ternyata hasil tulisannya digunakan untuk keburukan. Orang bisa bermusik dan senang melakukannya, namun tujuan bermusiknya berbeda dengan rekan bermusiknya yang lain sampai ia tidak betah, karena apa yang mereka anggap baik dalam apa yang mereka lakukan berbeda. Sekali lagi, baik dan buruk bagi setiap orang itu berbeda-beda.

Sesungguhnya saya pun merasa tidak pantas beropini dan menuliskan opini ini panjang-panjang. Saya belum merasa telah hidup sesuai passion dan idealisme, atau minimal salah satu di antaranya. Saya juga merasa kalau saya belum benar-benar tahu apa passion atau idealisme saya. Saya bahkan merasa kalau pemahaman saya tentang passion dan idealisme yang saya tuliskan di sini masih salah. Paling jauh, saya mungkin hanya telah menemukan kenyamanan kerja. Hanya kenyamanan, dan ini hanya perkara lingkungan, bukan diri saya sendiri.

Jadi sekali lagi, pintar-pintarlah bersyukur. Kamu mungkin tak lebih merugi daripada saya. Ini hanya opini, itu sebabnya saya selalu mengulang-ulang 'bagi saya' dalam tulisan ini.

Long live, happy life!