Kamis, 30 Agustus 2012

hujan, fajar, dan surat untuk mimpi


"It goes to show, i hope that you know that you are what my dreams are made of..."
-Sleeping With Sirens

Kamu tahu tidak? Kamu memang adalah sebentuk mimpi yang paling kompleks yang pernah aku ciptakan. Kamu memang adalah sebingkai mimpi yang aku susun dari potongan-potongan harapan, keinginan dan kebutuhan yang dengan sungguh aku miliki.

.....

Sudah semalaman aku duduk di balik jendela kamarku. Langit malam yang gelap semakin hitam karena hujan gerimis yang turun. Dengan begitu aku semakin merindukanmu. Aku melihat penggalan-penggalan gambar kebersamaan kita di hari terakhir sebelum masing-masing dari kita menanggalkan kaki pergi dari kota yang mesra itu. Aku ingat dengan detil raut wajahmu ketika kamu menyandarkan pipimu mesra di bahuku saat kita berbaring di kasur yang sama. Aku ingat dengan detil ritme nafasmu ketika kamu tertidur pulas di sampingku. Aku ingat dengan detil sorot matamu yang jarang terlihat begitu lembut di hari  dimana kamu dengan baik hati meruntuhkan paling tidak setengah tembok dirimu di hadapanku.

Kamu mungkin tahu, sejak dulu, aku selalu tak mampu mendefinisikanmu. Kamu pasti menjadikannya sebuah bahan lelucon kalau aku bilang aku menyukaimu. Kamu pasti tidak tertarik jika aku bilang aku menyayangimu karena kita toh telah bersahabat sekian lama dan sudah pasti saling menyayangi. Kamu pasti belum punya cukup keberanian untuk mempercayaiku kalau aku bilang aku mencintaimu. Tapi yang paling tidak harus kamu dekap dalam otak dan hatimu dengan baik adalah bahwa aku membutuhkanmu, karena itu hal yang paling benar yang aku yakini.

Aku membutuhkanmu. Dini hari ini hujan deras bergantian dengan gerimis halus tak henti-hentinya mengiringi malam dan aku mengerti aku membutuhkanmu untuk memayungiku. Jika kamu juga tak punya payung, aku membutuhkanmu untuk berbasah-kuyup bersamaku dan menggenggam tanganku erat di bawah langit yang sedang muntah-muntah itu. Aku membutuhkanmu untuk menjadi yang benar yang dapat menyudahi semua keputusan-keputusan kecil yang pernah kubuat dan mengarahkanku ke berbagai kesalahan besar. Aku membutuhkanmu untuk menjadi yang tepat yang terkena panah dewi cinta dan menghapus bekas-bekas panah lainnya yang selama ini hanya meleset dan tidak menancap sempurna. Aku membutuhkanmu untuk menjadi yang sederhana dan mengakhiri perkara-perkara berlebihan yang selama ini kulakoni.

Ada sebuah puisi rekayasa yang aku buat karena teringat akan sebuah puisi lawas yang mungkin juga sering kamu dengar ketika pelajaran Bahasa Indonesia dulu di bangku sekolah. Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, seperti puisi yang tak sempat dibacakan awan kepada hujan yang menjadikannya tergenang. Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, seperti nada yang tak sempat dinyanyikan malam kepada fajar yang menjadikannya terang. Kamu ingin tahu kenapa puisi itu berbicara tentang hujan dan subuh? Karena bayanganmu di sisiku tampak begitu jelas ketika hujan turun dan pagi menjelang.

.....

Sudah semalaman aku duduk di balik jendela kamarku. Sebentar lagi matahari akan menampakkan diri meski di balik awan tebal yang semakin berat. Aku selalu merasa kita mulai saling menggenggam tangan satu sama lain ketika senja dan mulai saling memeluk tubuh satu sama lain ketika fajar, dan untuk itu aku mencintaimu sepanjang malam.

.....

Awan pecah lagi, sayang. Dan kamu berhamburan ke mana-mana.



Selasa, 07 Agustus 2012

Kereta Lilin



Aku duduk diam menopang dagu di sebuah kursi deret ketiga lajur bagian kanan di dalam gerbong kelima sebuah kereta. Pandanganku menerawang ke luar jendela menyaksikan gambar-gambar yang diputar dengan kecepatan yang terlalu tinggi yang tak benar-benar kuamati. Pikiranku melayang begitu jauh, lebih jauh dari jarak perjalanan yang telah kutempuh dengan kereta ini.

Sudah semalaman aku duduk di dalam gerbong ini. Sesekali aku berdiri dan menuju ke kamar kecil atau ke bagian sambungan antargerbong, menghisap rokok atau sekedar pindah tempat untuk melamun. Kereta ini akan membawaku menuju Yogyakarta. Kota yang sangat sesak dipenuhi memori-memori tentang tahun-tahun terbaik yang pernah kumiliki ketika aku tinggal dan menempuh pendidikan di sebuah perguruan tinggi di sana. Kota yang telah mempertemukanku dengan saudara-saudara terbaik yang selalu siap menjadi tembok penopang diriku.

Malam ini, genap tiga tahun setelah aku meninggalkan kota ramah itu dan menetap di Jakarta demi pundi-pundi yang harus aku timbun demi seorang wanita hebat yang akan membangun kerajaan kecil bersamaku yang aku sendiri belum tahu siapa dia. Malam ini ulang tahunku. Tiga tahun lalu, ketika aku baru saja menyelesaikan studi yang telah kutempuh selama empat tahun, aku diterima bekerja di sebuah perusahaan yang cukup menjanjikan masa depanku di Jakarta. Tepat saat ulang tahunku juga, aku menumpangi sebuah kereta yang membawaku pergi dari Yogya.

Kereta, Yogya dan ulang tahunku sepertinya sudah menjadi suatu komposisi pas yang harus terus kukonsumsi setiap tahun. Ada satu lagi kehilangan, kepergian atau sekedar perubahan, entah apalah hal itu biasa disebut, yang juga kualami yang berkaitan dengan tiga komposisi di atas. Satu-satunya wanita yang masih menguasai hatiku sejak sekitar sembilan tahun yang lalu resmi meninggalkanku ketika berada di dalam kereta setelah liburannya di Yogya. Dia resmi melepas pelukannya dari tubuhku dan berlabuh ke dalam pelukan lelaki lain tepat saat ulang tahunku.

.....

Pikiranku terus terbang jauh sampai akhirnya tiba pada sebuah masa. Pada sebuah waktu yang terisi akan sebuah kejadian yang terus kuingat dengan detil. Aku sampai pada hidupku enam tahun yang lalu. Ketika itu aku telah memasuki tahun ketiga hubunganku dengan Hesti. Saat itu masih tahun pertama aku menetap di Yogya sebagai mahasiswa, yang berarti aku telah menjalin hubungan dengannya sejak masih duduk di bangku sekolah menengah atas di Bekasi.

Hesti adalah salah satu siswi populer di sekolah yang banyak dikejar oleh laki-laki. Sedangkan aku, seorang siswa biasa dan tidak populer yang terlalu cuek dan tidak peduli pada apa-apa yang terjadi di sekitarnya. Sampai pada suatu hari sahabatku, Vino yang sekelas dengan Hesti, menangkap Hesti yang sedang heboh menceritakan tentang ketertarikannya padaku di hadapan teman-temannya dan kemudian memberitahukannya padaku. Dari situlah aku mulai mengikis ketidakpedulianku dan mendekati Hesti.

Semuanya baik-baik saja aku rasa, sampai pada waktunya, jarak harus memberi sebuah pemberitahuan akan adanya bahaya dalam cerita indah yang telah kita tulis bersama. Aku memutuskan melanjutkan kuliah di Jogja, sedangkan Hesti di Bandung. Memang benar, pada akhirnya cinta saja tidak cukup. Banyak hal lain yang perlu hadir dalam porsinya yang seimbang dan proporsional agar sebuah hubungan dapat berjalan dengan baik.

"Ada kakak angkatanku di kampus yang deketin aku."
"Siapa?"
"Namanya Rino."
"Terus?"
"Dia suka ngajak aku makan di luar atau jalan-jalan nonton gitu tapi aku ga mau terus."
"Udah sejak kapan?"
"Dua mingguan."
"Hmmm..."
"Paling kalo ketemu di kantin aja biasanya terus makan bareng."
"Iya yaudah. Kamu jadi pergi cari buku?"
"Iya nih, Dino udah jemput."
"Yaudah ati-ati ya."
"Iya, aku sayang kamu."
"Aku juga."

Paling tidak dia jujur. Dia selalu jujur, dan untuk itu aku selalu menghargainya dan semakin mencintainya. Percakapan lewat pesan singkat itu berkahir setelah dia pergi dengan Dino, yang aku kenal sebagai teman laki-laki terdekatnya di antara teman-temannya yang lain yang sering bersamanya. Sering aku merasa khawatir. Aku tahu, kadang rasa yang kuat sekalipun dapat dikalahkan oleh kebersamaan yang intens. Dan untuk itu aku sudah kalah dari Rino maupun Dino.

Teori-teoriku tentang hubungan kutemui benar. Belakangan ini hubunganku merenggang dengan Hesti. Banyak pertengkaran-pertengkaran kecil yang lebih sering berakhir besar menemani kita. Dia memang sudah tidak lagi didekati oleh Rino, tapi selalu saja ada hal tidak penting yang bisa menjadi pemicu perang. Aku mulai lelah. Aku tahu dia juga. Dia menjadi lebih fokus dengan teman-temannya. Sampai akhirnya aku memutuskan untuk break demi memberi waktu bagi diri masing-masing agar dapat memperbaiki diri.

Beberapa minggu setelah keputusan untuk mengistirahatkan hati kita ambil, Hesti menghubungiku.

"Aku mau ke Yogya."
"Kapan?"
"Jumat ini. Rame-rame sama temen-temenku."
"Sampai hari apa di sini?"
"Sampai ulang tahun kamu."
"Iya, nanti kalian kujemput ama kucariin penginapan."
"Makasih ya."

Aku tersenyum di dalam hati. Aku pikir Hesti masih sangat mempedulikanku sampai ingin berlibur ke Yogya dan mengambil kesempatan ketika hari ulang tahunku. Ya, hari minggu ini aku ulang tahun dan Hesti, walaupun dengan teman-temannya, akan datang hari jumat. Sekilas aku merasa penasaran akankah ada Dino di antara gerombolan teman-temannya itu. Entah mengapa, kali ini aku merasa tidak suka.

Aku mendapati pikiran-pikiranku yang menyenangkan itu ternyata salah. Aku hanya sempat bertemu dengan Hesti saat menjemput mereka di stasiun dan mengantarkan mereka ke penginapan. Dia terus bersama teman-temannya dan menolak setiap ajakanku untuk bertemu dengan alasan tidak enak hati jika harus memisahkan diri dari teman-temannya. Aku masih tenang dan mengharapkan dia akan meluangkan waktunya pada hari ulang tahunku. Perasaanku sebelumnya bahwa aku senang Hesti datang ke Yogya semakin salah ketika mereka ternyata memutuskan untuk kembali ke Bandung hari minggu, tepat saat ulang tahunku.

Entah apa yang harus aku rasakan dan kupikirkan. Hanya kepasrahan dan kerelaan yang setengah mati aku bentuk yang menyelimuti perasaanku. Dalam perjalanan pulangnya ke Bandung di dalam kereta, Hesti meneleponku.

"Selamat ulang tahun ya."
"Iya, terima kasih."
"Semoga panjang umur dan semakin baik."
"Amin."
"Oh iya, ini Dino mau bicara."

Aku terdiam. Rasanya was-was. Aku menangkap ada hal buruk yang akan terjadi setelah ini.

"Halo."
"Eh iya, halo."
"Dim, ini Dino."
"Iya, No. Gimana?"
"Selamat ulang tahun ya, Dim. Panjang umur sehat selalu."
"Amin. Makasih ya, No."
"Oh iya, gue pengen ngomong jujur sama lo."
"Ngomong jujur? Ada apaan sih?"
"Sebenernya gue deket sama Hesti. Gue tempat dia ngadu semuanya. Masalah dia sama lo, sama cowo lain yang deketin dia, atau masalah sama temennya dan yang lain-lain lah pokoknya."
"Iya, makasih udah ada buat Hesti. Lo kan emang temen deket dia."
"Nah untuk itu gue mau jujur."
"Hm..."
"Kedekatan gue sama Hesti udah mengarah ke hal lain. Gue sayang sama dia bukan cuma sebagai teman dan gue tau dia sayang sama gue..."
"..."
"...dan kita udah jadian."
"....."

Aku hanya diam dan langsung menutup telepon. Belum pernah aku menyaksikan cerita lain yang lebih tragis dengan klimaks cerita sedemikian menyedihkan. Aku tidak bisa memikirkan dan merasakan apa-apa.

.....

Sudah enam tahun sejak satu-satunya wanita yang masih menguasai hatiku sejak sekitar sembilan tahun yang lalu resmi meninggalkanku. Resmi melepas pelukannya dari tubuhku dan berlabuh ke dalam pelukan lelaki lain. Sejak ia meninggalkanku, belum ada perempuan lain yang bisa dengan sempurna duduk di singgasana hatiku. Sisa-sisa tahunku di kampus kuhabiskan dengan menjalin berbagai hubungan singkat dan tidak berkualitas dengan berbagai macam wanita. Setiap saat menjelang ulang tahunku, aku merasa ada kebencian yang menyusupi aliran darahku. Tiga tahun terkahir selama empat tahun aku berkuliah di Yogya, aku begitu membenci hari ulang tahunku.

Kini setelah tiga tahun aku meninggalkan Yogya, aku justru selalu mengambil cuti di hari ulang tahunku. Kalau tidak bisa, aku akan bolos kantor. Hari libur setiap ulang tahunku itu pasti kugunakan untuk menaiki kereta menuju Yogya dan kembali lagi ke Jakarta. Sudah tiga tahun belakangan ini aku sengaja menyeduh kenanganku sendiri di dalam kereta menuju atau dari Yogya, tepat saat hari ulang tahunku. Aku merasa memiliki kebutuhan untuk meneguk kenanganku sendiri sedikit demi sedikit sampai gelas memori itu kosong. Aku suka menyeduh kenanganku itu sampai kental dan pekat.

Tiga tahun belakangan ini aku merayakan ulang tahunku bersama kenangan-kenangan terbaik yang pernah aku miliki, sekaligus bersama kenangan-kenangan paling menyedihkan yang pernah aku alami. Entah kenapa aku sengaja melakukan ritual ini setiap tahun. Aku tahu ini menyikasku, tapi aku juga membutuhkannya untuk menenangkanku dan menghilangkan dahagaku akan sosok Hesti yang telah hilang sekian lama.

Sudah tiga tahun ini aku merayakan ulang tahunku di kereta. Sudah tiga tahun aku menyalakan lilin ulang tahun di dalam kereta. Lilin itu tidak pernah kutiup. Lilin itu berisi kenangan-kenangan yang paling mempengaruhi keseluruhan hidupku. Lilin itu dibuat dari tumpukan momen-momen yang paling berarti di dalam hidupku. Lilin itu kubakar sesaat setelah aku naik di kereta, lalu membiarkannya sampai kereta berhenti di tempat yang kutuju. Lilin itu tidak kutiup, hanya kunikmati aroma api yang membakar kenanganku sampai meleleh habis.

Sayangnya, aku ketergantungan dengan aroma itu.

.....

Senin, 06 Agustus 2012

I have a story you don't want to hear; I love you.

aku tidak kapok, Tuhan.

"Tuhan, aku menyerah.
Di mana 'yang terbaik' yang aku mohonkan
pada-Mu dua tahun belakangan ini?"

Kalimat itu sudah pernah menggantung beratus-ratus kali di kepalaku, di pangkal pikiranku. Beratus-ratus kali juga aku mampu mengelabuinya, pikiranku itu.

Aku pernah berada pada suatu masa dimana aku terus-menerus memohon pada Tuhan untuk memberikan bagiku yang terbaik, dan bahkan sampai saat ini, saat ketika masa yang kumaksud di atas sepertinya telah menemui akhirnya, aku masih tidak tahu apakah telah yang terbaik yang kudapatkan.


Aku pernah berada pada suatu masa dimana aku terus menerus memohon pada Tuhan untuk memberikan bagiku yang terbaik, sampai aku berkali-kali hampir sampai pada suatu titik dimana aku tidak lagi memiliki minat untuk meminta pertolongan melalui doa karena aku tidak merasakan ada apa-apa yang menjadi lebih baik.


Tapi aku tidak kapok. Sekali lagi Tuhan, aku mohonkan yang terbaik untuk-Mu berikan kepadaku. Aku mohon.

Sabtu, 04 Agustus 2012

Tentang Telah Habis Waktu


here i am waiting
i'll have to leave soon
why am i holding on
we knew this day would come
we knew it all along
how did it come so fast
this is our last night but it's late
and i'm trying not to sleep
cause i know when i wake
i will have to slip away

Tak banyak hal besar yang kusadari telah terjadi sampai satu hal kecil menunjukkan diri dan menyampaikan pesan bahwa hal-hal besar itu tak akan lagi terjadi setelah ini. Aku tersadar dari lamunanku dan kemudian menatap kursi kosong di depanku. Lama. Aku melihat sekilas tubuh kurus tinggimu yang menggunakan sweater hitam dengan hoodie yang selalu mampu membuatku setengah mati menahan histeris atas ketertarikanku padamu sedang duduk di hadapanku. Sekilas di antara bayanganmu itu aku mendengar tawa-tawa ringan sampai lepas yang kamu tampakkan setiap kita sedang sibuk berbagai cerita.

Aku melihatmu sedang makan dengan lahap dan sesekali mencuri kesempatan mengambil makananku lalu kemudian tertawa-tawa puas melihat aku yang marah-marah. Aku melihatmu duduk di hadapanku menemaniku makan malam ini. Aku membakar sebatang rokok dan menghisapnya dalam-dalam. Sesekali aku melihat jari-jarimu yang juga sedang mengapit sebatang rokok bertemu dengan jari-jariku ketika kita membuang abu rokok pada satu asbak pada saat bersamaan. Aku rindu bagaimana kita berbagi rokok lalu kembali bercerita sampai matahari ataupun bulan tak mampu lagi kita bedakan.

.....

"Lusa aku pulang."
"Iya. Kapan balik ke sini lagi?"
"Belum pasti. Mungkin ga balik lagi kalau papa mama suruh tinggal."
"Oh. Salam ya nanti buat papa sama mama."

Memang benar tak ada yang abadi. Aku telah meyakini bahwa semua kebersamaan akan ada batasnya. Aku paham bahwa segala sesutau akan berubah, bahkan diriku sendiri. Sejak awal kebersamaan ini kujalani, aku sudah memulai perhitungan mundurku. Perhitungan mundur yang beberapa bulan belakangan semakin nyaring menyuarakan detik-detik berkurangnya waktuku dan dia. Aku lalu bersikeras memanfaatkan waktu yang kumiliki untuk bersama dengannya. Sengaja memanfaatkan waktu sejak detik pertama aku tahu aku punya kesempatan untuk melakukan segala hal baik yang mampu aku lakukan untuknya.

Aku hanya tak paham bahwa semuanya harus menjadi seberat ini. Aku merasa telah menyiapkan diri dengan semua peralatan secanggih mungkin untuk membentuk tameng bagi hatiku. Aku merasa telah memahami di luar kepala skenario yang akan terjadi. Aku hanya tak paham mengapa aku masih harus merasa keberatan menjalani skenario itu. Aku merasa telah memaksimalkan waktu yang aku miliki untuk memeluknya dan berada di dalam pelukannya. Aku hanya tak paham mengapa pelukan-pelukan itu masih saja tak cukup.


here i am staring
at your perfection
in my arms so beautiful
the sky is getting back
the stars are burning out
somebody slow it down
this is way too hard cause i know
when the sun comes up i will leave
this is my last glance
that will soon be memory

.....

Sepanjang hari itu langit begitu ramah dan bersahaja. Sama seperti kota ini. Kota yang akan membuat siapapun tergoda untuk tidak mau lagi melepaskan diri darinya. Kota yang pada akhirnya hanya bisa membuatnya tak bisa melepaskan sebatas memori, karena ia pada akhirnya harus tetap pergi.

"Mau kemana lagi kita?"
"Terserah."
"Kamu maunya kemana?"
"Terserah. Asal ga usah pulang."
"Kan kamu besok pagi..."
"Besok pagi langsung berangkat belum tidur juga ga apa-apa."

Potongan-potongan senyumnya terus-menerus kumainkan di kepalaku. Kemudian aku menonton adegan ketika ia merangkul bahuku sepanjang jalan selama seharian kita menghabiskan sisa-sisa menit yang tertinggal. Hari itu ia memakai sendal jepit seperti biasanya. Mengenakan celana pendek, kaos oblong dan jaket hitam yang selalu mampu membuatku ingat bahwa aku begitu mencintainya. Adegan-adengan itu begitu tampak seperti sebuah film. Film yang aku tahu pasti akan ada akhirnya. Lalu beberapa nada musik yang melantunpun menjadi alarm berakhirnya film itu.


and when the daylight comes
i'll have to go
but tonight i'm gonna hold you so close
cause in the daylight
we'll be on our own
but tonight i need to hold you so close

.....

Pada akhirnya aku terjebak di dalam sebuah kamar gelap dengan ribuan memori tentangmu mengelilingiku dan menciptakan sesak di antara rasa kehilangan dan kesepian diiringi puluhan lagu yang senang kamu dengarkan. Dan aku tetap tahu bahwa semuanya akan berubah, begitu pula dengan diriku sendiri. Lalu semua akan baik-baik saja.

.....

Story Soundtrack : Daylight - Maroon 5