Selasa, 07 Agustus 2012

Kereta Lilin



Aku duduk diam menopang dagu di sebuah kursi deret ketiga lajur bagian kanan di dalam gerbong kelima sebuah kereta. Pandanganku menerawang ke luar jendela menyaksikan gambar-gambar yang diputar dengan kecepatan yang terlalu tinggi yang tak benar-benar kuamati. Pikiranku melayang begitu jauh, lebih jauh dari jarak perjalanan yang telah kutempuh dengan kereta ini.

Sudah semalaman aku duduk di dalam gerbong ini. Sesekali aku berdiri dan menuju ke kamar kecil atau ke bagian sambungan antargerbong, menghisap rokok atau sekedar pindah tempat untuk melamun. Kereta ini akan membawaku menuju Yogyakarta. Kota yang sangat sesak dipenuhi memori-memori tentang tahun-tahun terbaik yang pernah kumiliki ketika aku tinggal dan menempuh pendidikan di sebuah perguruan tinggi di sana. Kota yang telah mempertemukanku dengan saudara-saudara terbaik yang selalu siap menjadi tembok penopang diriku.

Malam ini, genap tiga tahun setelah aku meninggalkan kota ramah itu dan menetap di Jakarta demi pundi-pundi yang harus aku timbun demi seorang wanita hebat yang akan membangun kerajaan kecil bersamaku yang aku sendiri belum tahu siapa dia. Malam ini ulang tahunku. Tiga tahun lalu, ketika aku baru saja menyelesaikan studi yang telah kutempuh selama empat tahun, aku diterima bekerja di sebuah perusahaan yang cukup menjanjikan masa depanku di Jakarta. Tepat saat ulang tahunku juga, aku menumpangi sebuah kereta yang membawaku pergi dari Yogya.

Kereta, Yogya dan ulang tahunku sepertinya sudah menjadi suatu komposisi pas yang harus terus kukonsumsi setiap tahun. Ada satu lagi kehilangan, kepergian atau sekedar perubahan, entah apalah hal itu biasa disebut, yang juga kualami yang berkaitan dengan tiga komposisi di atas. Satu-satunya wanita yang masih menguasai hatiku sejak sekitar sembilan tahun yang lalu resmi meninggalkanku ketika berada di dalam kereta setelah liburannya di Yogya. Dia resmi melepas pelukannya dari tubuhku dan berlabuh ke dalam pelukan lelaki lain tepat saat ulang tahunku.

.....

Pikiranku terus terbang jauh sampai akhirnya tiba pada sebuah masa. Pada sebuah waktu yang terisi akan sebuah kejadian yang terus kuingat dengan detil. Aku sampai pada hidupku enam tahun yang lalu. Ketika itu aku telah memasuki tahun ketiga hubunganku dengan Hesti. Saat itu masih tahun pertama aku menetap di Yogya sebagai mahasiswa, yang berarti aku telah menjalin hubungan dengannya sejak masih duduk di bangku sekolah menengah atas di Bekasi.

Hesti adalah salah satu siswi populer di sekolah yang banyak dikejar oleh laki-laki. Sedangkan aku, seorang siswa biasa dan tidak populer yang terlalu cuek dan tidak peduli pada apa-apa yang terjadi di sekitarnya. Sampai pada suatu hari sahabatku, Vino yang sekelas dengan Hesti, menangkap Hesti yang sedang heboh menceritakan tentang ketertarikannya padaku di hadapan teman-temannya dan kemudian memberitahukannya padaku. Dari situlah aku mulai mengikis ketidakpedulianku dan mendekati Hesti.

Semuanya baik-baik saja aku rasa, sampai pada waktunya, jarak harus memberi sebuah pemberitahuan akan adanya bahaya dalam cerita indah yang telah kita tulis bersama. Aku memutuskan melanjutkan kuliah di Jogja, sedangkan Hesti di Bandung. Memang benar, pada akhirnya cinta saja tidak cukup. Banyak hal lain yang perlu hadir dalam porsinya yang seimbang dan proporsional agar sebuah hubungan dapat berjalan dengan baik.

"Ada kakak angkatanku di kampus yang deketin aku."
"Siapa?"
"Namanya Rino."
"Terus?"
"Dia suka ngajak aku makan di luar atau jalan-jalan nonton gitu tapi aku ga mau terus."
"Udah sejak kapan?"
"Dua mingguan."
"Hmmm..."
"Paling kalo ketemu di kantin aja biasanya terus makan bareng."
"Iya yaudah. Kamu jadi pergi cari buku?"
"Iya nih, Dino udah jemput."
"Yaudah ati-ati ya."
"Iya, aku sayang kamu."
"Aku juga."

Paling tidak dia jujur. Dia selalu jujur, dan untuk itu aku selalu menghargainya dan semakin mencintainya. Percakapan lewat pesan singkat itu berkahir setelah dia pergi dengan Dino, yang aku kenal sebagai teman laki-laki terdekatnya di antara teman-temannya yang lain yang sering bersamanya. Sering aku merasa khawatir. Aku tahu, kadang rasa yang kuat sekalipun dapat dikalahkan oleh kebersamaan yang intens. Dan untuk itu aku sudah kalah dari Rino maupun Dino.

Teori-teoriku tentang hubungan kutemui benar. Belakangan ini hubunganku merenggang dengan Hesti. Banyak pertengkaran-pertengkaran kecil yang lebih sering berakhir besar menemani kita. Dia memang sudah tidak lagi didekati oleh Rino, tapi selalu saja ada hal tidak penting yang bisa menjadi pemicu perang. Aku mulai lelah. Aku tahu dia juga. Dia menjadi lebih fokus dengan teman-temannya. Sampai akhirnya aku memutuskan untuk break demi memberi waktu bagi diri masing-masing agar dapat memperbaiki diri.

Beberapa minggu setelah keputusan untuk mengistirahatkan hati kita ambil, Hesti menghubungiku.

"Aku mau ke Yogya."
"Kapan?"
"Jumat ini. Rame-rame sama temen-temenku."
"Sampai hari apa di sini?"
"Sampai ulang tahun kamu."
"Iya, nanti kalian kujemput ama kucariin penginapan."
"Makasih ya."

Aku tersenyum di dalam hati. Aku pikir Hesti masih sangat mempedulikanku sampai ingin berlibur ke Yogya dan mengambil kesempatan ketika hari ulang tahunku. Ya, hari minggu ini aku ulang tahun dan Hesti, walaupun dengan teman-temannya, akan datang hari jumat. Sekilas aku merasa penasaran akankah ada Dino di antara gerombolan teman-temannya itu. Entah mengapa, kali ini aku merasa tidak suka.

Aku mendapati pikiran-pikiranku yang menyenangkan itu ternyata salah. Aku hanya sempat bertemu dengan Hesti saat menjemput mereka di stasiun dan mengantarkan mereka ke penginapan. Dia terus bersama teman-temannya dan menolak setiap ajakanku untuk bertemu dengan alasan tidak enak hati jika harus memisahkan diri dari teman-temannya. Aku masih tenang dan mengharapkan dia akan meluangkan waktunya pada hari ulang tahunku. Perasaanku sebelumnya bahwa aku senang Hesti datang ke Yogya semakin salah ketika mereka ternyata memutuskan untuk kembali ke Bandung hari minggu, tepat saat ulang tahunku.

Entah apa yang harus aku rasakan dan kupikirkan. Hanya kepasrahan dan kerelaan yang setengah mati aku bentuk yang menyelimuti perasaanku. Dalam perjalanan pulangnya ke Bandung di dalam kereta, Hesti meneleponku.

"Selamat ulang tahun ya."
"Iya, terima kasih."
"Semoga panjang umur dan semakin baik."
"Amin."
"Oh iya, ini Dino mau bicara."

Aku terdiam. Rasanya was-was. Aku menangkap ada hal buruk yang akan terjadi setelah ini.

"Halo."
"Eh iya, halo."
"Dim, ini Dino."
"Iya, No. Gimana?"
"Selamat ulang tahun ya, Dim. Panjang umur sehat selalu."
"Amin. Makasih ya, No."
"Oh iya, gue pengen ngomong jujur sama lo."
"Ngomong jujur? Ada apaan sih?"
"Sebenernya gue deket sama Hesti. Gue tempat dia ngadu semuanya. Masalah dia sama lo, sama cowo lain yang deketin dia, atau masalah sama temennya dan yang lain-lain lah pokoknya."
"Iya, makasih udah ada buat Hesti. Lo kan emang temen deket dia."
"Nah untuk itu gue mau jujur."
"Hm..."
"Kedekatan gue sama Hesti udah mengarah ke hal lain. Gue sayang sama dia bukan cuma sebagai teman dan gue tau dia sayang sama gue..."
"..."
"...dan kita udah jadian."
"....."

Aku hanya diam dan langsung menutup telepon. Belum pernah aku menyaksikan cerita lain yang lebih tragis dengan klimaks cerita sedemikian menyedihkan. Aku tidak bisa memikirkan dan merasakan apa-apa.

.....

Sudah enam tahun sejak satu-satunya wanita yang masih menguasai hatiku sejak sekitar sembilan tahun yang lalu resmi meninggalkanku. Resmi melepas pelukannya dari tubuhku dan berlabuh ke dalam pelukan lelaki lain. Sejak ia meninggalkanku, belum ada perempuan lain yang bisa dengan sempurna duduk di singgasana hatiku. Sisa-sisa tahunku di kampus kuhabiskan dengan menjalin berbagai hubungan singkat dan tidak berkualitas dengan berbagai macam wanita. Setiap saat menjelang ulang tahunku, aku merasa ada kebencian yang menyusupi aliran darahku. Tiga tahun terkahir selama empat tahun aku berkuliah di Yogya, aku begitu membenci hari ulang tahunku.

Kini setelah tiga tahun aku meninggalkan Yogya, aku justru selalu mengambil cuti di hari ulang tahunku. Kalau tidak bisa, aku akan bolos kantor. Hari libur setiap ulang tahunku itu pasti kugunakan untuk menaiki kereta menuju Yogya dan kembali lagi ke Jakarta. Sudah tiga tahun belakangan ini aku sengaja menyeduh kenanganku sendiri di dalam kereta menuju atau dari Yogya, tepat saat hari ulang tahunku. Aku merasa memiliki kebutuhan untuk meneguk kenanganku sendiri sedikit demi sedikit sampai gelas memori itu kosong. Aku suka menyeduh kenanganku itu sampai kental dan pekat.

Tiga tahun belakangan ini aku merayakan ulang tahunku bersama kenangan-kenangan terbaik yang pernah aku miliki, sekaligus bersama kenangan-kenangan paling menyedihkan yang pernah aku alami. Entah kenapa aku sengaja melakukan ritual ini setiap tahun. Aku tahu ini menyikasku, tapi aku juga membutuhkannya untuk menenangkanku dan menghilangkan dahagaku akan sosok Hesti yang telah hilang sekian lama.

Sudah tiga tahun ini aku merayakan ulang tahunku di kereta. Sudah tiga tahun aku menyalakan lilin ulang tahun di dalam kereta. Lilin itu tidak pernah kutiup. Lilin itu berisi kenangan-kenangan yang paling mempengaruhi keseluruhan hidupku. Lilin itu dibuat dari tumpukan momen-momen yang paling berarti di dalam hidupku. Lilin itu kubakar sesaat setelah aku naik di kereta, lalu membiarkannya sampai kereta berhenti di tempat yang kutuju. Lilin itu tidak kutiup, hanya kunikmati aroma api yang membakar kenanganku sampai meleleh habis.

Sayangnya, aku ketergantungan dengan aroma itu.

.....

2 komentar:

  1. Dibikin novel dong :)
    Cerita2mu jujur dan ga penuh gombal ataupun melebih-lebihkan. Suka bnget...

    BalasHapus
  2. duh!
    amin amin amin
    doain aja suatu saat nanti aku bisa pede
    makasih udah baca :')

    BalasHapus