Selasa, 20 Januari 2015

Sesuatu Tentang Malaikat, Kematian atau Keduanya

Ada malaikat kecil yang senang melompat-lompati kepala manusia.
Dari satu kepala ke kepala lainnya.
Sampai semua ubun-ubun tersentuh ujung jari-jari kaki telanjangnya yang mungil.

"Kenapa kau melompati kepala-kepala kami?" Tanyaku.
"Karena kepala kalian rindang, tempat tumbuh subur pikiran-pikiran. Rasanya seperti rumput taman yang basah sehabis hujan." Katanya.
"Kenapa kau tak pakai sepatu?" Tanyaku.
"Karena aku ingin merasakan rumput taman itu sedalam-dalamnya. Karena aku ingin mengenal isi kepala-kepala itu sebaik-baiknya." Katanya.

Malaikat itu manis.
Gadis kecil yang manis.
Ada pita hitam di rambutnya yang hitam.
Ada pita hitam di gaunnya yang hitam.
Ia selalu bernyanyi sembari melompati kepala-kepala.
Ia selalu menenteng kantong-kantong hadiah.
Ada pita hitam di kantongnya yang hitam.

"Kenapa kau selalu membawa kantong-kantong hadiah?" Tanyaku.
"Karena aku harus memberikan sesuatu kepada orang yang aku ajak pergi denganku." Katanya.
"Apa isi kantong hadiah itu?" Tanyaku.
"Bahagia. Hanya saja bahagia di dalam kantong ini tak punya definisi bagi orang yang belum ikut denganku." Katanya.

Malaikat itu punya kantong hadiah yang sangat banyak.
Kantong-kantongnya terayun ketika ia melompat-lompat.
Setiap hari ia berangkat dengan banyak kantong.
Lalu pulang tanpa kantong.
Semuanya habis.
Keesokan harinya, ia berangkat lagi dengan banyak kantong.
Lalu pulang lagi tanpa kantong sama sekali.
Semuanya habis.
Begitu terus setiap hari.

Tapi kau tak akan pernah bisa melihat semua kantong yang ia bawa seharian.
Hanya akan ada beberapa kantong yang terlihat.
Bahkan kadang, tak ada kantong yang terlihat.
Hanya kantong untuk orang-orang yang kau kenal saja yang bisa terlihat olehmu.

"Kau bawa berapa kantong hari ini?" Tanyaku.
"Banyak sekali. Aku tak sempat menghitung. Biar itu jadi tugas mereka yang kehilangan." Katanya.
"Apa ada kantong untukku hari ini?" Tanyaku.
"Tak ada kantong yang dapat kau lihat siang ini, tapi ada 3 kantong yang akan kutunjukkan padamu nanti malam." Katanya.




Jakarta 21/1/15 00.06
Satu catatan turut berduka cita, untuk rentetan kabar kehilangan tiga anggota keluarga sahabat-sahabat, dalam rentang waktu dua jam yang sama.

Kamis, 15 Januari 2015

Tentang Waktu; Duduklah yang Manis di Dalam Gerbong

Kadang hidup bisa kauringkas ke dalam satu perjalanan kereta api.

Duduklah yang manis di dalam gerbong. Tak perlu khawatir. Semua akan baik-baik saja dan kau akan sampai juga di stasiun yang kautuju.

Meskipun di luar jendela, segala sesuatu berlalu darimu. Pohon-pohon. Sawah-sawah. Gunung-gunung. Tiang-tiang listrik. Orang-orang. Waktu.

Kadang keretamu akan melambat. Kau punya waktu yang lebih lama. Dengan orang-orang. Dengan gunung-gunung. Dengan tiang-tiang listrik.

Kadang ia akan kembali melaju cepat. Kau tak punya waktu yang cukup. Semua berlalu lebih cepat dari yang dapat kausadari. Sampai samar. Sampai bentuknya belum sempat kaukenali. Semuanya. Orang-orang. Pohon-pohon. Sawah-sawah. Hujan dan terik matahari.

Tapi kau juga tak akan habis menemui hal baru di depanmu. Meski berlalu lagi. Kau temui lagi. Berlalu lagi. Orang. Orang-orang. Sekelompok orang. Atau banyak sekali orang. Datang satu per satu. Atau beramai-ramai sekaligus. Pergi satu per satu. Atau beramai-ramai sekaligus.

Duduklah yang manis di dalam gerbong. Kau tak akan kenapa-kenapa. Walaupun pinggangmu pegal. Walaupun kau mengantuk tapi tak bisa tidur. Walaupun bukumu telah habis kaubaca dan perjalanan masih panjang. Meski kau bosan dengan lagu-lagu yang keluar dari headset-mu. Walaupun orang di sebelahmu mengorok terlalu keras. Meski kau ingin buang air tapi kamar kecilnya kotor. Meski banyak kecoak berkeliaran keluar-masuk sambungan-sambungan besi. Walau rokokmu habis dan merokok sudah dilarang dan kau tetap melanggar.

Kau akan baik-baik saja. Meski semua melaju. Meski kau melaju. Meski waktu melaju. Meski semua berubah bentuk. Semua yang kau pahami dengan baik atau yang bahkan tak sempat matamu tangkap.

Kau akan sampai juga di suatu ujung. Keluar dan menghirup udara segar. Melurus-luruskan badan yang pegal. Lega.

Suatu ujung yang tak pernah kau bayangkan seperti apa ia sebagai titik berhenti segala sesuatu yang bergerak dalam hidupmu. Duniamu dan dirimu sendiri. Suatu titik cukup. Dimana segala sesuatu kau cukupkan. Suatu titik dimana waktu tidak lagi relevan. Suatu titik dimana dunia membeku diam.

Duduklah yang manis di dalam gerbong. Kau akan baik-baik saja.



Jakarta, 15/1/15 23.39