Kamis, 28 Februari 2013

Tidak Ke Luar Tempat Tidur

"Permisi, di sini ada orangnya?" Seorang perempuan sekitar umur 27 tahun, cantik, kulit sawo matang, rambut hitam ikal hampir sepinggang dijepit setengah acak-acakan, dengan tinggi sekitar 160 cm mengampiri mejaku.

Waktu itu pukul 5 lewat 14 menit sore hari. Di luar langit masih mendung, meninggalkan tetesan-tetesan gerimis yang tersisa dari hujan deras sepanjang siang tadi. Aku masih bergumul dengan laptopku, entah apa yang kulakukan, menunggu hujan benar-benar reda mungkin. Baru saja aku meeting dengan orang dari event organizer yang akan mengatur pelaksanaan pameran lukisan tunggalku.

Aku datang lebih dulu di cafe ini, menunggu sendiri, bertemu kolega, lalu ditinggal pulang dan akhirnya sendiri lagi. Cafe ini memang tempat di mana aku biasanya menghabiskan waktu melamunku selain di studio lukisku sendiri. Kegiatan itu aku lakukan lagi hari ini, sampai wanita di depanku datang dan menginterupsi lamunanku. Ia mengenakan kemeja satin berwarna cokelat dan rok span hitam selutut. Ia juga mengenakan sepatu hak rendah berwarna cokelat serta tas kulit berwarna krem. Sepertinya wanita kantoran.

"Oh, ga ada kok." Aku menjawab pertanyaannya dengan maksud mempersilakannya menggunakan kursi di depanku. Wanita itu ternyata tidak menghampiri untuk meminjam kursi di depanku yang kosong. Ia justru duduk di depanku, satu meja denganku.

"Maaf ya. Nggak ada meja yang kosong lagi. Boleh kan aku duduk di sini?" Katanya.

"Oh iya, nggak apa-apa." Balasku. Kemeja cokelatnya sedikit basah. Mungkin ia baru pulang dari kantor dan kehujanan. Wanita ini sangat menarik, tapi seperti biasa, aku tidak tertarik untuk banyak bicara.

"Eh, aku Armen." Dia langsung menjulurkan tangannya ke hadapanku.

"Oh, iya. Aku Tian." Aku menjabat tangannya sekilas.

"Maaf banget loh mengganggu. Aku nungguin temenku mau jemput. Baru balik kantor nih. Tuh di depan." Jelasnya sambil menunjuk satu gedung yang tampak dari jendela cafe.

"Iya, ga ganggu kok. Oh, penerbitan itu ya? Editor?" Jawabku dengan rentetan pertanyaan.

"Iya, kok bisa tau?"

"Kira-kira aja."

Langit yang mendung tak berubah terang. Malam justru menjelang. Gerimis-gerimis di luar sudah sepenuhnya reda dan lampu-lampu jalan mulai dinyalakan. Wanita di hadapanku ini akhirnya diam dan tiba-tiba sibuk dengan dunianya sendiri. Bagaimanapun juga, aku akhirnya lega. Aku seniman yang lebih nyaman menyendiri dan sering merasa terancam berada di dalam suatu interaksi sosial, terutama dengan orang asing. Ia memainkan handphone-nya beberapa lama lalu beralih merogoh tasnya. Ia lalu mengeluarkan sebuah buku dan mulai membuka-buka halaman, mencari bagian yang telah ia beri tanda untuk melanjutkan membaca.

Di sampul depan buku itu tertulis 'DEAR THEO' dengan ukuran huruf yang besar dan mudah dibaca. Sesuatu yang sangat familiar bagiku, buku Autobiografi dari Vincent Van Gogh. Sebagai pekerja seni, aku memang tidak suka membaca buku. Aku lebih percaya dengan internalisasi kebatinan, bahwa kita hanya butuh hati untuk menghasilkan karya. Hal itu lebih utama dibandingkan menempa keterampilan teknis lewat membaca buku. Namun, sebagai pelukis hasil didikan Fine Arts Major, University of Pennsylvania, aku sudah pasti tahu buku itu. Wanita ini menjadi semakin menarik di mataku.

"Dear Theo?" Tanyaku pada wanita itu.

"Iya. Kamu tahu?"

"Bahkan paham semuanya."

"Suka seni rupa?"

"Seharusnya aku yang bertanya begitu karena kamu itu editor. Suka seni rupa? Atau justru karena suka sejarah?"

"Hahahaha... Memang suka seni rupa."

"Kok bisa?"

"Nggak tahu. Suka aja. Kakekku dulu suka melukis. Dulu dia sering sekali menyebut-nyebut Van Gogh entah menceritakan apa, aku masih sangat kecil. Kamu..."

"Aku memang pelukis." Aku memotong kalimatnya.

"Serius? Aku mau liat lukisan-lukisanmu!"

"Bulan depan aku ada pameran tunggal. Tapi kamu bisa ke studio sekarang juga kalau kamu mau."

_____________________________________________________


Akhirnya langit terang juga setelah seharian kemarin hampir tak sempat membagi kehangatan sama sekali. Fajar sudah pergi beberapa jam yang lalu. Ini hari sabtu dan tak ada yang perlu diburu di pagi yang tenang ini.

Sekilas mataku menangkap angka yang tampak di jam dinding kamarku. Pukul 10 pagi. Kamarku berantakan seperti biasanya. Hanya saja ada beberapa potong lebih banyak pakaian yang berhamburan di lantai. Pakaian yang bukan milikku. Televisi menyala sepanjang malam. Beberapa botol bir berserakan di dekat tempat tidur. Aku tidak terbangun sendirian. Di sampingku ada tubuh seorang wanita yang masih telanjang. Sama telanjangnya dengan tubuhku. Ya, itu Armen.

Sesederhana itu. Aku menemukannya memiliki ketertarikan yang sangat besar terhadap karya seni rupa. Penampilannya yang memang sudah menarik semakin luar biasa di mataku karena kesamaan yang kita miliki. Atau mungkin aku hanya terkesan dengan pujian-pujiannya terhadapku. Semua orang punya kebutuhan untuk disanjung, bukan?

Sesederhana itu. Aku menawarinya berkunjung ke studio yang memang ada di rumahku sendiri dan tanpa berpikir panjang ia langsung membatalkan rencana dengan temannya yang akan menjemput di cafe tadi malam. Dengan campur tangan beberapa botol bir dan obrolan-obrolan yang sungguh menarik, aku terbagun di pagi ini dalam keadaan seperti ini.

"Selamat pagi." Armen terbangun dan menyapaku.

"Pagi. Kopi?" Aku tersenyum padanya. Tanpa menunggu jawabannya aku melangkahkan kakiku menuju dapur. Aku tahu, ini tak mungkin hanya sampai di sini.

_____________________________________________________


"Lima belas menit lagi baru sampai. Lama nungguin Fella." Aku menerima pesan singkat dari Armen.

"Oke. Hati-hati." Aku membalas pesannya.

Malam ini acara pameran tunggalku. Sudah hampir satu jam yang lalu acaranya dimulai dan aku telah menyampaikan pidato singkatku di hadapan para pengunjung. Akhirnya aku sampai pada pencapaian ini. Sebagai pelukis yang belum punya nama besar dan masih lebih suka sibuk berkarya atas alasan kecintaan terhadap seni, ajang pamer dan komersil ini cukup berhasil.

Beberapa lukisanku telah ditawar oleh pengunjung. Beberapa lainnya bahkan sudah deal harga. Dari kejauhan aku melihat Armen melangkah memasuki ruang pameran. Ia bersama Fella, teman kantornya. Ia tidak menghampiriku, melainkan langsung berkeliling mengamati karya-karyaku di sepanjang dinding ruangan. Karya-karya lukisan yang sebagian besarnya justru telah ia lihat di rumahku. Ia sibuk bercerita dengan Fella dan menyapa orang-orang yang mungkin dia kenal atau yang mengajak berdiskusi tentang lukisanku. Sampai saat acara akan ditutup, Armen dan Fella baru datang menghampiriku untuk sekedar basa-basi memberi selamat atas pameran tunggalku.

"Selamat, Bro!" Nino, salah satu teman yang sudah sering membantuku selama ini datang menghampiri, menjabat tanganku erat dan memberiku selamat.

"Yoi. Thanks ya, No." Aku langsung menatap matanya seakan menyampaikan terima kasihku lebih dalam dan langsung memeluknya. Ada beberapa hal yang memang tidak mudah dijelaskan tentang keakrabanku dengan Nino.

Acara yang cukup megah bagiku itu selesai. Aku masih berbincang dengan beberapa teman yang sudah membantuku untuk menyelenggarakan acara ini. Handphone di sakuku bergetar.

"Otw dari tempat Fella ke rumah." Pesan singkat dari Armen. Aku lalu berpamitan dan keluar menuju parkiran.

Aku mengemudikan mobilku menuju rumah dengan mata yang sudah sangat lelah. Tapi aku tahu, pasti ada seseorang yang sudah menantiku di sana. Hal itu entah mengapa membuatku senang dan bersemangat.

Akhirnya aku sampai di rumah setelah melalui jalanan Jakarta yang masih cukup padat di jam 11 malam seperti ini. Pintu rumah tidak terkunci, atau lebih tepatnya telah dibuka oleh orang lain. Orang itu tidak lain adalah Armen. Dia sudah berbaring di atas tempat tidurku sambil fokus menonton televisi. Ini memang bukan lagi kali pertama atau kedua. Aku bahkan sudah mampu membangun perasaan terbiasa dan tergantung pada kebersamaanku dengannya, meskipun hal ini juga tidak kami lakukan setiap hari.

Seperti inilah kami membangun kebersamaan. Berlaku seperti dua orang yang tidak begitu saling mengenal di luar sana tapi selalu beradu peluh di dalam sini. Tidak ada yang lebih. Kami juga tidak mengikat diri dengan apapun, walau dengan perhatian rutin atau kata-kata mesra sekalipun. Seperti inilah kebersamaan kami yang baru berlangsung sekitar sebulan ini. Anggap saja kami adalah dua manusia yang dalam dua kehidupan berbeda yang tak pernah sempat menyatu. Dua manusia dengan urusan masing-masing yang tak perlu saling mengusik. Karena memang tak ada sesuatu apapun tentang kami yang tertulis di luar sana. Sementara di sini, hanya di atas tempat tidur ini, kami tertulis sebagai sebuah penyatuan.

_____________________________________________________


Aku duduk di cafe tempat pertama kali aku bertemu dengan Armen. Semalam dia menghubungiku dan meminta untuk bertemu. Katanya ada sesuatu yang harus ia bicarakan. Hari ini sudah 4 bulan lebih sejak kami pertama bertemu di tempat yang sama.

Secangkir kopi hitam tersaji di hadapanku. Aku belum meneguknya sama sekali dan hanya menghirup aromanya yang menguap. Mood-ku kurang baik sore ini. Mungkin karena di luar hujan lagi. Mungkin karena jalanan Jakarta yang bagiku terlalu macet sore ini. Mungkin karena 14 menit sejak aku duduk menunggu kedatangan Armen terasa seperti seharian untukku yang terlalu khawatir tentang apa yang akan ia bicarakan.

Dari pintu masuk cafe terlihat seorang wanita masuk dengan baju yang sedikit basah. Wanita itu langsung berjalan menuju ke arah mejaku, menarik kursi di depanku dan duduk dengan raut muka yang tegang. Ia lalu memanggil pelayan dan memesan secangkir kopi hitam. Dia Armen.

Sampai kopi hitam yang dipesan Armen datang dan kurasa sudah mulai mendingin sekarang ini, kami masih saling terdiam.

"Ada apa?" Aku memulai percakapan.

"Entahlah."

"Ada yang salah menurut perasaanmu?"

"Sepertinya begitu."

"Beritahu aku."

"....."

Armen terdiam lagi. Ia menyeruput kopi dari cangkirnya, menopang dagu, lalu menatap ke luar jendela cafe. Ia membalikkan wajahnya setelah beberapa menit dan menyeruput kopinya sekali lagi kemudian menatapku. Tepat di mataku.

"Aku mencintaimu." Kalimat yang selama ini kami hindari akhirnya terucap mulus dari bibir Armen.

"....." Aku terdiam. Aku masih menatapnya tajam, hanya saja tak mengeluarkan sepatah katapun. Apa yang aku khawatirkan benar terjadi.

"Katakan sesuatu." Katanya mendesak.

"Kamu mau aku bilang apa?"

"Kamu tahu apa yang sebenarnya aku mau."

"Aku nggak bisa."

"Kenapa? Kamu nggak negrasain hal yang sama?"

"Nggak gitu..."

"Terus?"

"Aku gay. Aku biseks."

Armen terdiam. Raut mukanya yang sudah begitu tegang sejak memasuki cafe terlihat jauh semakin tegang. Aku tahu dia kaget tanpa harus melihat warna kulit wajahnya yang semakin memutih. Matanya masih lurus menatap mataku tanpa berkedip. Bukan tatapan yang mengintimidasi, justru menurutku itu adalah tatapan paling pasrah yang ia punya. Di dalam tatapan itu ada kebingungan dan ketidaktahuan besar tentang apa yang harus ia lakukan.

"Kamu tahu kenapa kita seperti orang yang tidak saling mengenal di dunia luar?" Lanjutku.

"....." Armen tak menjawab apa-apa.

"Bukan karena aku hanya memanfaatkanmu atau tidak mencintaimu..."

"....."

"...Aku hanya mencintaimu di atas tempat tidur. Aku hanya mencintai semua orang yang pernah bersamaku di atas tempat tidur."

"....."

"Tak ada perasaan yang bisa dibawa keluar dari tempat tidur untuk orang-orang sepertiku."

"....."

Armen masih terdiam. Perlahan ia melepaskan tatapannya dari mataku dan memejamkan matanya beberapa saat. Ia lalu menunduk dan menyeruput kopinya sekali lagi setelah menghembuskan napas panjang. Tarikan napas paling pasrah yang pernah kudengar darinya.

Di luar masih hujan dan wanita di depanku itu masih tak mengatakan apapun.



Rabu, 27 Februari 2013

Senjang

Kesenjanganmu tidak selamanya terjadi ketika apa yang kautuju tidak sesuai dengan apa yang kautemui.

Kesenjanganmu dapat berupa jarak waktu antara wajah yang kaudongakkan ke langit hingga dagumu terangkat angkuh, dan wajah yang kauhadapkan ke tanah hingga dahimu tunduk tersentuh.

Rabu, 20 Februari 2013

Music Speaks


Saya membuat tulisan ini setelah saya baru saja selesai membaca buku kumpulan cerita 'Memoritmo'. Buku ini adalah proyek yang digagas oleh Maradilla Syachridar dan melibatkan tiga belas musisi -- atau walaupun bukan musisi secara langsung, mereka adalah orang-orang yang kesehariannya berkecimpung dekat dengan dunia musik -- lainnya. Buku ini berisi cerita-cerita para penulis tentang bagaimana sebuah lagu mempengaruhi keseluruhan kehidupan mereka, bagaimana ia melekat di kepala dan dengan mudah memanggil kembali berbagai memori khusus yang ikut serta di dalam lagu tersebut. Selain foto dan tulisan, lagu memang salah satu benda mati yang mampu menjelma menjadi mesin waktu. Ia dapat memanggil kembali berbagai ingatan dan membuat kita merasakan berbagai sensasi yang sama persis ketika kejadian di dalam ingatan itu terjadi.

Saya termasuk pecinta musik, atau paling tidak, demikianlah saya sering mengaku. Lahir dari keluarga yang bukan musisi dan tidak begitu mengerti musik, saya justru orang yang tidak mampu lepas dari musik. Sampai sekarang, satu-satunya majalah yang sudi saya beli cetakannya dan tidak mengharapkan versi online-nya hanyalah majalah RollingStone. Saya adalah orang Ambon yang meskipun katanya pasti memiliki darah yang sudah tercampur unsur musik di dalamnya, lahir dari ayah yang tidak bisa bermain alat musik, bahkan gitar. Itu membuat saya harus membeli buku-buku tutorial belajar bermain gitar untuk sekadar memanfaatkan sebuah gitar milik kakak sepupu yang ada di rumah dengan menghafal letak di mana saja jari harus ditempatkan di atas senar untuk paling tidak mengiringi saya bernyanyi, tidak perlu menjadi ahli dalam bermain gitar.

Saya besar dengan album-album The Beatles dan Ebiet G Ade milik mama mengiring setiap saya akan tidur siang. Itu membuat saya mampu mengenali setiap lagu yang dimainkan Opa Peter dengan gitar dan harmonikanya setiap ia mengamen, meskipun tidak benar-benar hafal dan tepat ketika menebak judulnya. Sedikit tentang Opa Peter, begitulah saya biasa memanggilnya. Ia seorang pengamen yang biasa beraksi di sekitar Jalan Kaliurang Km 5, Yogyakarta. Potongan rambutnya seperti anggota The Beatles dan dia hanya memainkan lagu-lagu band legendaris itu dengan gitar dan harmonikanya, tanpa vokal.

Saya mulai mengenal musik secara mandiri mungkin ketika sekolah dasar. Membeli album-album Westlife yang saya hafal semua lagunya meskipun belum paham apa arti liriknya. Mulai mendengar Sheila On 7 dan dengan bangga menyanyikan Just For My Mom dengan pemahaman akan lirik yang sudah cukup. Lalu dicekoki Nirvana oleh kakak sepupu laki-laki saya, sampai-sampai saya mampu mencintai Foo Fighters dan band apapun yang dijadikan payung oleh Dave Grohl. Tapi tidak seperti Eross Chandra di Memoritmo, saya tidak akan mengulas salah satu lagu The Beatles untuk dijadikan lagu yang paling mempengaruhi hidup saya. Setelah membaca habis Memoritmo, saya menyalakan playlist di handphone saya dan secara random sampai pada Don't Go Away milik Oasis. Pikiran saya yang masih sibuk melamunkan isi buku itu langsung berpindah pada suatu momen lain di dalam ingatan saya ketika lagu itu diputar.

Don't Go Away adalah lagu yang ditulis oleh lead guitar Oasis, Noel Gallagher. Rilis pada Februari 1998 bersama album ketiga Oasis, Be Here Now, dan direkam sepanjang akhir 1996 sampai pertengahan 1997. Ada satu memori yang sangat melekat dengan lagu ini bagi saya. Ada sesuatu adegan yang saya lihat dan saya susun di dalam kepala saya dan sensasinya bisa ditangkap oleh semua indera saya. Lagu ini mengingatkan saya tentang salah satu sahabat saya. Tulisan setelah ini mungkin akan terlihat lebih fiksi. Tapi, seperti inilah potongan kejadian yang saya lihat di dalam kepala saya dan seperti inilah perasaan yang mengikutinya.

Kami adalah sepasang sahabat. Di sekitar kami, ada beberapa orang-orang terbaik lain yang pernah kami temukan di dalam hidup kami. Semuanya baik-baik saja bagi kami semua, berbagi berbagai hal, saling mengenal sampai inci-inci diri terdalam, membunuh waktu bersama, melafalkan mimpi-mimpi sesering mungkin, dan hal wajar lain yang biasa sekelompok sahabat lakukan. Semuanya baik-baik saja bagi saya dan dia, sampai akhirnya ada perasaan-perasaan liar muncul di dalam hati saya. Semuanya baik-baik saja bagi saya dan dia, sampai saya punya harapan besar untuk dapat diselamatkan oleh pelukannya, bukan hanya oleh bantal dan selimut yang selama ini ia relakan untuk dibasahi oleh air mata dan ingus saya ketika saya sedang tidak dalam keadaan baik.

Entah bagaimana lagu ini bisa membuat saya begitu mengingatnya, di antara lagu-lagu lain dengan lirik yang mungkin lebih pas menceritakaan kisah kami, atau dari sekian banyak lagu yang biasa kami nyanyikan bersama, atau juga dari sekian banyak lagu yang sedang saya suka dengarkan ketika saya jatuh cinta padanya. Pikiran saya sering sampai pada adegan di mana kami berdua sedang duduk di kamarnya, sewajarnya melakukan apa yang biasa kami lakukan, dan Don't Go Away melantun dari speaker komputer miliknya. Lalu kami akan sama-sama menyanyikannya seakan saling memberi pesan yang tidak dapat kami sampaikan langsung lewat kalimat-kalimat yang normal.

So don't go away say what you say 
But say that you'll stay 
Forever and a day in the time of my life 
'Cause I need more time, yes I need more time 
Just to make things right

Kami sama-sama manusia biasa yang pasti hidup dengan beberapa hal yang acak-acakan, misalnya saja masa lalu. Kami seperti sama-sama tidak siap untuk keluar dari satu titik aman untuk menuju ke satu titik nyaman meskipun kami tahu kami butuh melakukan hal itu. Mungkin ini hanya harapan saya, atau ini memang terjadi, saya tidak tahu karena tidak pernah sempat ada diam yang benar-benar lenyap di antara kami. Ingatan bukan hanya tentang kejadian, tapi juga perasaan dan harapan yang mengikutinya, bukan? Kami terus bernyanyi bersama tentang meminta waktu lebih untuk merapikan semua yang acak-acakan agar menjadi benar-benar siap, sampai akhirnya semua waktu yang disediakan semesta untuk kami berdua habis tak bersisa. Tak ada yang tertinggal, kecuali kesempatan yang telah terlewat.

Hanya sebatas itulah memori yang ada dan mengalir keluar lewat lagu ini. Lebih dari itu, hanya bagian lirik "cold and frosty morning, there's not a lot to say about the things caught in my mind..." yang sering membawa saya ke sebuah pantai ketika kami semua sedang mengejar matahari terbit. Ketika itu pagi mulai menjelang setelah semalaman kami semua menghabiskan sekian banyak lagu di bawah langit yang bintangnya sangat banyak dan terang. Ketika itu salah satu teman saya memainkan gitarnya dan menyanyikan lagu ini di tengah udara pagi yang memang cold dan frosty.  Dan ketika itu saya dan dia masih saja ada di dalam diam tanpa tahu apa yang harus dikatakan kepada satu sama lain.

Semua memang akan baik-baik saja. Kami semua sekarang baik-baik saja seperti biasa. Kami berdua pun demikian. Yang ada hanya beberapa lagu yang senang menjahili saya untuk mengingat kembali berbagai ingatan. Ingatan tentang apapun yang terselip di alam sadar maupun bawah sadar saya tentang potongan sekian banyak memori yang pernah manjadi bagian dari pengalaman yang pernah saya alami sepanjang hidup saya yang baru dua puluh satu tahun ini. Saya masih percaya bahwa hal buruk yang paling menyakitkan sekalipun akan mencapai waktu di mana kita hanya akan tertawa ketika mengingatnya. Maka lagu dapat membuat saya tertawa-tawa sendiri di tengah nyanyian atau lamunan saya seiring saya mendengarkannya.

Memilih satu saja lagu yang paling mempengaruhi hidup atau satu saja lagu yang memiliki memori paling kuat melekat padanya memang sulit. Sangat sulit malah. Semua orang punya banyak tabungan lagu yang masing-masing memuat memori-memori tertentu yang mungkin sama kuat melekatnya satu dengan yang lain. Dan saya mengulas lagu ini hanya karena kebetulan sedang saya dengarkan, dan lagu ini memang membawa saya membuka lembar ingatan tertentu. Yes, music speaks. Ia mengungkapkan kepada orang lain apa yang tidak bisa kita ungkapkan langsung, atau paling tidak, ia senang berbicara pada diri kita sendiri.

Kamis, 14 Februari 2013

Kepala Besar

Ada perihal-perihal besar yang hanya bisa dikendalikan oleh Yang Maha Besar.

Seberapa besarpun kamu yakin atas besarnya usaha-usaha yang telah kamu upayakan, kamu akan kalah oleh kebesaran-Nya.


Karena kamu takkan pernah lebih besar dari apa yang menciptakan kebesaranmu.


Kepala besarmu bukan apa-apa di dalam tangan besar-Nya.

Senin, 11 Februari 2013

Pasar Malam

Katamu, kamu jatuh cinta

Seketika dunia menjelma karnaval
Riuh suara selalu meriah dari dasar hati
Seramai teriakan-teriakan di atas perahu besar
Yang mengayun di udara
Desiran rupa-rupa hormon yang mulai tak mau diatur

Cerita dikisahkan dalam gerbong-gerbong kereta hias
Mengalir lewat tawa di bibir mungil anak-anak kecil
Di atas kapal asa yang digiring arus rasa
Percikan bahagia diledakkan kembang api
Pecahnya jatuh di sudut mata

Tapi cinta seringkali berusia singkat
Seperti arum manis yang kaubeli di bawah bianglala
Manis, lengket dan merah muda
Lidahmu satu-satunya saksi
Atas susut dan lumatnya nikmat dalam waktu singkat

Cinta memang selalu riuh dan seringkali singkat

Rabu, 06 Februari 2013

Sepasang Mata Yang Hujan

Berdampingan mereka bertengger
Di pohon tubuh yang meliukkan rupa janin
Cabang lututnya menekuk di depan dada
Dahan lengan lemasnya mendekap dirinya sendiri
Daun bahagianya kering dan gemetar oleh angin
Gugur dari pundak batang yang terlalu banyak membungkuk

Ujung-ujung jarimu mata kapak
Genggammu menciptakan gema rintih yang sahut-menyahut
Dari perih luka kulit hatinya yang kelupas
Atau dari asamu sendiri yang terpaksa patah
Atau dari tebangan perkara-perkara yang kalian tak saling aku

Matanyalah hujan
Genangnya telah menyerupai bah
Bulan-bulan basah terbit dari sorotnya yang kilat
Sungainya tak kenal gersang
Arusnya hanya kenal muara yang tak mungkin sampai
Sebab tubuhnya telah menggugurkan seluruh daun bahagia
Dan ujung jarimu telah merobohkan batang pundaknya

Matanyalah hujan
Kerap bermimpi melihat matahari tiba agar ia reda
Agar pucuk-pucuknya yang kering kuncup kembali