Jumat, 28 Desember 2012

Catatan-catatan Kenangan

Kau lelaki yang senantiasa membaca kenangan
Di bola matamu, selaput demi selaput mengelupas
Menguak catatan-catatan tentang cinta yang pernah menetap di sana
Di antara selaput demi selaput bola matamu

Kau lelaki yang tak sadar menjadi penulis kenangan
Di sudut bibirku, ciuman demi ciuman kaukecupkan
Meninggalkan jejak-jejak kata tentang cinta yang bertahan kusuarakan di sana
Di antara ciuman demi ciuman di sudut bibirku

Aku perempuan yang tubuhnya kaupeluk
Mengemis hangat yang kauharap dapat membakar seluruh kenanganmu kelak

Aku perempuan yang menjaga tubuhnya tetap kaupeluk
Menyimpan dingin yang kuharap dapat membekukan seluruh kenangan yang terlanjur kautulis sampai kelak

Senin, 17 Desember 2012

Skenario Kematian

Nanti aku akan mati di tengah nyanyianmu.

Di sebuah ladang ilalang.
Yang pucuk-pucuknya menyuarakan kosong rongga dadamu.
Di sudut taman pohon kamboja.
Yang dahan-dahannya patah menjatuhkan puing-puing hatimu.
Di sepetak tanah basah.
Yang di langitnya beterbangan gagak-gagak hitam serupa masa lalumu.

Tarikan napasmu yang akan menusukku.
Berlumur darah di detik napas itu berhembus.

Nanti kau akan dengan jijik menatapku.
Mencium amis mayatku.
Lalu akan kau lantunkan sebuah lagu kematian.
Dengan nada dan hati yang riang.
Ketika itu aku akan mati semakin dalam.

Malam ini masih riuh mesin di jalanan yang membekapku.
Di antara sesak aku menyusun skenario kematianku.
Paru-paruku semakin mengerut tertindih bayangmu.
Yang memetik nada-nada minor dan mengantarkanku sekarat.
Bintang harapan diselimuti kabut kenangan.
Aku menggigil oleh merdu ucapanmu yang meniupkan beku.

Lorong gelap masih panjang untuk kulalui.
Di ujungnya yang menyilaukan, sosokmu berdiri gagah.
Dalam perjalanan itu doa-doa menggema di pelupuk mataku.
Aku memohonkan satu untaian sapamu.
Sebagai suara terakhir yang akan mengirimkanku kedamaian.

Karena aku tahu, nanti aku akan mati di tengah nyanyianmu.

Sabtu, 15 Desember 2012

Merah Yang Memudar Jingga



Aula besar tempat acara dilaksanakan di dalam sana ramai sekali. Manusia-manusia berbalut gaun dan jas rapi begitu cantik dan tampan berkeliaran di sana-sini. Wajah-wajah mereka bahagia. Ada juga beberapa yang  yang mengenakan wajah gelisah, menunggu giliran untuk menyampaikan perasaan terpendamnya kepada sesosok manusia istimewa yang sudah bertahun-tahun dipuja.

Malam ini, di sebuah gedung yang aulanya kami sewa di pusat kota, aku dan sekelompok temanku membuat sebuah acara angkatan. Acara semacam prom night kesiangan karena kami bukan lagi rombongan anak SMA yang baru lulus ujian akhir, melainkan sekumpulan mahasiswa tingkat akhir yang sedang terluntang-lantung dikerjai tugas akhir. Acara ini kami buat mengingat satu-persatu teman seperjuangan yang telah memenangkan perangnya dengan sesosok musuh bernama skripsi sudah mulai lulus satu-persatu dan akan segera memulai kehidupannya yang baru. Sekedar menciptakan momen yang dapat diingat, acara ini menjadi penggenap satu acara dengan konsep sama yang pernah kami buat di awal kuliah untuk lebih menyatukan teman-teman seangkatan dari gab kelompok pergaulan masing-masing.

Ruangan semakin pengap. Riuh suara-suara yang meledek setiap orang yang sedang maju ke atas panggung dan menyatakan perasaan terpendamnya selama bertahun-tahun semakin menggema. Ya, ini salah satu konsep yang secara tidak sengaja dilaksanakan dalam acara. Dimulai dari salah satu temanku yang memberanikan diri menyampaikan perasaannya kepada perempuan yang sudah bertahun-tahun dia puja diam-diam, pengakuan-pengakuan lainnya segera mengantri untuk mengaliri ruangan. Ternyata banyak cinta yang tersimpan di antara kami selama ini.

Aku melangkah keluar ruangan sambil tersenyum-senyum melihat perilaku teman-temanku. Aku sempat begitu menyukai salah satu teman baikku, tapi rasanya aku tidak mememuhi persyaratan untuk ikut menghebohkan bagian acara tersebut. Rata-rata orang yang sedang berdiri mengaku di atas panggung sudah menyimpan perasaannya lebih dari dua tahun.

"Mau ke mana, Dil?"
"Ke depan bentar, sumpek."
"Eh, lagi seru gini juga."
"Hahahaha... Iya, ya udah biarin aja mereka."
"Kan siapa tahu tiba-tiba ada yang ngaku ke kamu, Dila."
"Yah, kalo ada suruh teriak yang kenceng biar kedengeran dari luar ya."
"Sial. Hahahaha..."

Aku melangkah meninggalkan Sela yang tadi menyapaku. Gedung ini berada di pinggir salah satu jalan raya utama kota. Aku duduk sendirian di pojok teras depan gedung, menghadap jalan raya. Rok yang kukenakan tak kupedulikan lagi jika harus kotor terkena sesuatu. Aku mengeluarkan rokok dan korek api dari dalam tas pestaku dan membakar sebatang.

Dibandingkan mengingat salah satu teman dekatku yang pernah aku hujani rasa suka, aku justru terjebak dalam rasa sakitku yang bekasnya masih berwujud ruam di seluruh permukaan hatiku. Melepaskan apa yang sudah begitu dimiliki memang bukan hal mudah, toh melepaskan perasaan dari sesuatu yang tak pernah dimiliki saja seringkali sulit untuk dilakukan.

Aku pernah begitu memiliki seseorang, paling tidak begitulah menurutku. Aku rasa, ketika itu kami bahkan terlalu memiliki dan melewati batas. Aku merasa aku punya hak apapun atasnya, dan begitupun sebaliknya. Tak perlu momen-momen bahagia untuk membuat kami terus terikat, keburukan-keburukan yang telah kami ciptakan berdua justru menjadi alasan untuk tak pernah mampu melepaskan diri dari satu sama lain. Bertahun-tahun hal itu terjadi di antara skala-skala waktu yang tak pernah kami pahami dan tak mampu kami taklukkan.

Sekarang dia telah sadar. Dia lebih dulu mengambil keputusan untuk menebalkan pertahanannya dan meninggalkanku. Setelah dari dulu kami tahu bahwa tak akan ada yang membaik, tanpa mampu bergerak meninggalkan, sekarang dia menguatkan kakinya lebih dulu untuk melangkah pergi dan menyelamatkan kami. Aku tak bisa melakukan apa-apa. Seharusnya aku sedang menjadi gila dan memohon-mohon kepadanya, seperti bagaimana dia dulu pernah lakukan kepadaku, tapi aku juga sadar bahwa aku harus membantu memutuskan lingkaran karma tempat kami bermain selama ini.

Aku tahu aku akan baik-baik saja. Aku hanya sedikit suka untuk duduk lebih bungkuk dari biasanya. Sepertinya ada beban yang setengah mati aku keluarkan dari dalam hatiku dan kutumpu di atas bahuku. Beban itu berwujud sosoknya. Sosok yang sudah terbang dan berbahagia dia langitnya sendiri. Seharusnya karena dia telah terbang, bahuku semakin lega. Mungkin seperti inilah definisi dari baik-baik saja; hati yang masih berbekas ruam dan kepala yang keberatan mengingat.

"Ngapain lo?"
"Eh, Dim. Ga ngapa-ngapain. Sumpek aja di dalam. Mau ngerokok."
"Bagi rokok dong."

Sejurus kemudian aku menyodorkannya sebungkus rokok yang kupunya dan meminjamkannya korek api. Kami lalu duduk berdua di pojok teras depan gedung yang menghadap jalan raya. Dalam diam, kami sibuk dengan pikiran masing-masing yang melayang di antara bintang yang kebetulan begitu terang malam ini. Kami hanya terdiam mengamati asap rokok yang mengaburkan cahaya dari deretan lampu jalan yang jingganya tampak selalu sendu.

Namanya Dimas. Temanku semenjak aku baru masuk perguruan tinggi. Anggap saja dia teman dengan multiperan. Biasanya dia adalah teman tidur siang, lebih tepatnya teman yang kasur di kamar kosnya aku rebut secara membabi buta setiap aku butuh tempat untuk merebahkan kelelahan fisik maupun batinku. Dia teman bercerita tentang segala hal yang pernah eksis di muka bumi atau di dalam pikiran manusia. Dia abangku. Dia pacarku ketika beberapa momen menuntut dan memaksa manusia untuk harus berpasangan, momen malam minggu misalnya. Dia lawan debatku. Sampai-sampai peran teman curhat sudah tidak begitu signifikan lagi. Aku bahkan tak perlu mencurahkan apa-apa dan dia sudah tahu dengan sendirinya. Dia teman yang sempat aku curahi perasaan suka namun aku genangi di dalam hatiku sendiri. Kebersamaan kami sudah membuat perasaan itu tidak menjadi suatu hal luar biasa lagi. Lagipula, aku tak yakin banyaknya peran yang dia lakoni denganku selama ini bersedia ia rangkum hanya menjadi satu peran -- pacarku.

"Udah sih, sedih mulu. Malesin."
"Dih! Tau apa lo?"
"Semuanya."
"Iya deh, iya..."
"Punya beberapa menit buat dengerin gue ga?"
"Kalo sampe 10 menit, ga punya."
"Anggap aja lo itu merah. Kalo lo ngerasa lo udah pudar, gue mau kasi tau lo kalo jingga juga cantik kok. Walopun menurut gue, lo masih tetep merah."
"....."
"Ga sampe dua menit kan?"
"....."

Aku hanya menatap wajahnya dalam-dalam. Dia merangkulku dan aku memeluknya. Setelah itu dia langsung mematikan rokoknya dan bergegas masuk ke dalam ruangan. Suara-suara dari dalam masih sangat riuh. Aku kembali menerka-nerka langit sendirian. Aku mcasih tak ingin bergumul dengan kerumunan manusia yang sedang uforia.

Tiba-tiba saja Sela berlari ke arahku dari dalam ruangan sambil meneriakkan namaku dengan heboh. Dia langsung menarikku sekuat tenaga tanpa mau tahu dengan keadaanku dan membawaku ke depan panggung. Ramai sekali. Semua orang menyorakiku sambil tertawa-tawa menggodaku. Aku kebingungan. Berisik sekali. Satu-satunya hal yang masih sempat kucerna di dalam otakku adalah aku melihat Dimas ada di atas panggung.....

.....

Aku memang adalah merah yang sempat memudar dan berubah menjadi jingga. Dengan sorot mata dan jari-jarimu yang menggenggam tanganku, kamu tawarkan kepadaku dua pilihan untuk aku yakini; aku masih merah, atau jingga tetap cantik. Entah apa yang waktu itu kupilih. Yang aku tahu sekarang, aku adalah merah.

Minggu, 09 Desember 2012

Sudah Tanggal Sepuluh

Sudut matamu telah mengering.
Hujan yang senantiasa dijatuhkan oleh lukamu,
kau biarkan menggenang di dalam hati.
Memar di tubuhmu tak lagi biru.
Kau telah mengubahnya menjadi kelabu,
dan membenamkannya di dasar kepalamu.

Aku menemukanmu duduk di sudut beranda,
menanti yang entah apa.
Jari-jari yang dulu sering kaupakai untuk melukai dirimu sendiri telah tiada.
Bibir yang dulu senang menyuarakan kekecewaan telah menghilang.
Kau kini lebih memilih untuk memetik gitar dan melagukan ingatan.

Desember yang selalu mendung tak pernah tahu,
tentang awan pekat yang setia memayungimu.
Desember yang selalu basah tak pernah tahu,
tentang sembab kenanganmu.
Desember yang selalu dingin tak pernah tahu,
tentang beku kesepianmu.

Sudah tanggal sepuluh.
Di bulan yang langit malamnya begitu segan menabur cahaya.
Aku menemukanmu duduk di sudut beranda,
masih terus menanti.
Menanti sepetak tanah yang kaugali sebagai kubur segera terisi,
oleh kekasihmu yang tinggal berupa bayangan.
Menanti sayap yang kautanamkan di punggung kekasihmu,
segera berkembang dan membawa yang tersisa darinya terbang.

Sudah tanggal sepuluh.
Di bulan yang tanahnya tak pernah lebih berair,
dibandingkan matamu pada waktu-waktu yang lalu.
Di bulan ke-sekian-belas dari saat terakhir,
semenjak kau mengetahui keadaanmu baik-baik saja.
Kuburan itu belum tergali cukup dalam.
Sayap itu masih tak tampak akan segera tumbuh.
Katamu, kau hanya akan terus memetik gitar dan melagukan ingatan.

Rabu, 05 Desember 2012

Jangan Ketuk Pintu Itu

Masih ada yang tersisa tentang kita.
Sisa kisah berbentuk sebercak dua bercak noda,
yang telah menua dan berubah cokelat di tembok kamarku.
Noda yang mudanya begitu merah dan segar,
kontras dengan cat putih dinding tempatnya bersarang.
Noda yang terlukis melalui kuas kepalan tanganmu yang menghantam kanvas beton,
ketika kita sedang tak lagi punya cara lain untuk berbicara.

Lalu, luka apa lagi yang masih sanggup kau elak?
Kesakitan mana lagi yang masih berusaha tak kausetujui?
Aku membaringkan kepalaku setiap malam,
tepat di sebelah lembaran ingatan itu.
Ingatan yang dituliskan dengan darah,
di tembok yang tepat bersisian dengan kasurku.

Kau tahu seperti apa rasanya?
Rasanya asin seperti air mata yang jatuh mencuri muara ke tepian bibir.
Rasanya cemas seperti mimpi buruk yang rutin bertamu.
Rasanya kosong seperti mulut yang menganga,
ketika lelap menggerogoti badan yang kelelahan.

Dan kamu,
apapun tarikan yang bumi jelmakan alasan kepadamu untuk melangkah kembali menujuku,
urungkanlah niatmu untuk mengetuk pintu kamarku.
Ingatlah tentang sebercak darah yang masih tertinggal,
di dalam ruangan yang pintunya ingin kau ketuk itu.
Ingatlah tentang ingatan buruk yang terlukis di sana.

Lalu berbaliklah.
Pulanglah ke dunia yang kau pakai untuk melarikan diri dari monster yang keluar dari tubuhku.
Tak ada tempat lagi untuk lukisan luka yang lain di dalam sini.

Minggu, 02 Desember 2012

Pengkhianat Takdir


Kita memang adalah pendosa.
Ketika takdir menuliskan cerita perpisahan untuk kita berdua,
kita memaksa diri untuk terus berjalan bersisian.
Ketika Tuhan membisikkan wahyu di telinga kita untuk berhenti mencintai,
kita berkhianat dan terus berpelukan.
Ketika luka mengetuk hati dan membawa kabar kesakitan,
kita mengebalkan ego dan tak mau menyerah.

Dulu aku mencintaimu dan seharusnya aku masih mencintaimu.
Meski demi mempertahankan kewarasanku, aku membencimu.

Aku selalu suka bercerita.
Tentang bagaimana aku begitu mencintaimu.
Aku selalu suka menuliskan ribuan deretan kata.
Tentang bagaimana aku hanya mencintaimu.

Tapi aku memang adalah pendosa.
Di depanmu, hanya pelupuk mata berairku yang bercerita,
atau suara-suara tinggi yang menulis.
Tentang cerita yang masih sama,
bagaimana aku begitu mencintaimu dan bagaimana aku hanya mencintaimu.

Sekarang kau telah tuli karena cerita-ceritaku,
telah buta karena tulisan-tulisanku.
Maka aku setuju untuk diam.
Aku setuju untuk menaati tulisan takdir, bisikan Tuhan dan kabar sang luka.
Aku akan duduk diam di bawah kolong tangga sebuah rumah,
tempatmu menumpuk kenangan yang terpaksa kausimpan.