Minggu, 09 Desember 2012

Sudah Tanggal Sepuluh

Sudut matamu telah mengering.
Hujan yang senantiasa dijatuhkan oleh lukamu,
kau biarkan menggenang di dalam hati.
Memar di tubuhmu tak lagi biru.
Kau telah mengubahnya menjadi kelabu,
dan membenamkannya di dasar kepalamu.

Aku menemukanmu duduk di sudut beranda,
menanti yang entah apa.
Jari-jari yang dulu sering kaupakai untuk melukai dirimu sendiri telah tiada.
Bibir yang dulu senang menyuarakan kekecewaan telah menghilang.
Kau kini lebih memilih untuk memetik gitar dan melagukan ingatan.

Desember yang selalu mendung tak pernah tahu,
tentang awan pekat yang setia memayungimu.
Desember yang selalu basah tak pernah tahu,
tentang sembab kenanganmu.
Desember yang selalu dingin tak pernah tahu,
tentang beku kesepianmu.

Sudah tanggal sepuluh.
Di bulan yang langit malamnya begitu segan menabur cahaya.
Aku menemukanmu duduk di sudut beranda,
masih terus menanti.
Menanti sepetak tanah yang kaugali sebagai kubur segera terisi,
oleh kekasihmu yang tinggal berupa bayangan.
Menanti sayap yang kautanamkan di punggung kekasihmu,
segera berkembang dan membawa yang tersisa darinya terbang.

Sudah tanggal sepuluh.
Di bulan yang tanahnya tak pernah lebih berair,
dibandingkan matamu pada waktu-waktu yang lalu.
Di bulan ke-sekian-belas dari saat terakhir,
semenjak kau mengetahui keadaanmu baik-baik saja.
Kuburan itu belum tergali cukup dalam.
Sayap itu masih tak tampak akan segera tumbuh.
Katamu, kau hanya akan terus memetik gitar dan melagukan ingatan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar