Senin, 20 Mei 2013

Aku Ingin Menjadikanmu Asing

Aku ingin menjadikanmu asing
Agar kita bisa terus saling bertanya
Tentang buku yang kaubaca dan kutuliskan
Tentang musik yang kudengar dan kaumainkan
Lalu kita akan terus menjatuhkan cinta
Berulang-ulang kali setiap hari

Aku ingin menjadikanmu asing
Agar matamu senantiasa adalah tamu,
yang kutunggu hadirnya dalam jangkau penglihatanku
Agar punggungmu senantiasa adalah atap,
yang meneduhkan sorot mataku
Agar tak ada lengan-lengan yang terlalu erat memeluk
Dan membuat kita sulit bernapas

Aku ingin menjadikanmu asing
Agar kepalaku penuh dengan keinginan,
untuk mengajakmu bermain di bawah hujan lebat
Agar kepalaku tak malah sibuk membaca awan,
dan mengira-ngira mendung di dalam kepalamu,
banjir di sudut mata-mataku,
atau terik yang membakar kita sampai jadi abu

Aku ingin menjadikanmu asing
Agar aku sibuk menanam bunga di atas ubun-ubun
Lalu sibuk mengkhayalkan masa depan
Tentang bagaimana mereka mekar,
dan bagaimana kita bersama-sama memetiknya
Bukannya mengkhawatirkan suara masa lalu,
yang terus mengingatkan,
bahwa merasa memiliki adalah jalan terdekat,
untuk menjauhkan dua orang yang saling memiliki

Aku ingin menjadikanmu asing
Agar bisa terus-menerus bertanya-tanya tentangmu
Tanpa pernah cukup tahu apa-apa
Agar tak pernah lengkap menyatukan potongan-potongan kesempurnaanmu
Karena aku takut pada kesempurnaan
Dan selalu memilih untuk melarikan diri

Aku ingin menjadikanmu asing
Agar kita bisa terus duduk di kayu ayunan kita masing-masing
Bergandengan tangan dan menyanyikan satu lagu yang sama
Karena dua akan selamanya lebih baik dari satu,
maka aku tak ingin kita menyatu

Aku ingin menjadikanmu asing
Agar mengingat aroma napasmu,
membuatku menutup mata dan menghirup napas dalam-dalam
Lalu tersenyum tanpa pernah mau menjadi alasan,
untukmu menghembuskan napas yang panjang dan berat
Agar mendamba tatapmu, 
membuatku takkan pernah mau menjadi alasannya meredup

Aku ingin menjadikanmu asing
Karena aku mencintaimu dengan bahagia yang asing
Tidak serupa luka-luka yang akrab

Maka aku ingin menjadikanmu asing

Sabtu, 11 Mei 2013

Delusi Kehilangan

Duniaku wajar. Ada satu matahari di siang hari yang masih terbit dari timur dan tenggelam di barat. Sesekali matahari itu tak tampak karena tertutup mendung. Ada satu bulan di malam hari yang masih selalu berdampingan di satu bentangan langit yang sama bersama matahari, setiap fajar dan senja. Bulan itu kadang tak tampak karena tertutup mendung. Kadang bintang-bintang terlalu cantik dan membuat perhatian bumi kepada bulan teralih. Di duniaku, gelombang yang pecah di garis pantai masih putih.

Duniaku homogen. Ia hanya punya satu musim, yaitu musim gugur. Angin sepoi-sepoi berhembus sepanjang tahun. Udara tidak terlalu panas dan tidak terlalu dingin. Tanah dan kursi-kursi taman dipenuhi warna merah bata dan cokelat dari daun-daun yang menyerah bergelantungan di dahan pohon-pohon.

Duniaku sederhana. Isinya tidak ramai, hanya beirsi beberapa orang yang memang adalah segalanya bagiku. Hanya merekalah yang mengisi penglihatanku di segala penjuru kehidupan yang aku miliki. Mereka sering membisikkan hal-hal ajaib yang selalu mampu menuntunku melakukan apa yang aku tidak tahu harus aku lakukan. Suara-suara lembut mereka mengisi seluruh atmosfer dan menjadi energi bagiku untuk melangkah dalam hal apapun itu.

"Tutuplah matamu dan tersenyumlah, karena aku mencintaimu."

Itu kalimat yang sering dibisikkan oleh Lila, salah satu orang yang ada di dalam duniaku. Dia kekasihku. Dialah yang hampir selalu menemaniku. Rambutnya panjang hampir mencapai pinggang. Hitam dan ikal bagian bawahnya. Matanya besar dan bulu matanya lentik sejak ia lahir. Telapak tangannya lembut, namun genggamannya jauh lebih lembut. Di atas semua itu, pelukannya-lah yang paling lembut.

"Teruslah berjalan, Nak. Ibu dan Tissa menunggumu pulang."

Itu suara ibuku yang sering ia perdengarkan di telingaku. Ibu dan adikku, Tissa, adalah dua orang lain yang mengisi duniaku. Dua orang yang mencintaku dengan segala kehidupannya. Dua orang yang lebih aku cintai daripada kehidupanku sendiri. Mereka adalah rumah paling mewah yang akan kujadikan tujuan selamanya, dan jangan tanyakan tentang ayahku. Aku tak tahu apa-apa tentangnya.

"Melompatlah dalam kebahagiaan. Kami ada di atas sana bersama mimpi-mimpimu dan kami siap menangkapmu."

Itu suara bisikan teman-temanku. Jumlah mereka tak banyak. Kami seringkali berenam. Aku tak perlu menjelaskan nama mereka satu demi satu, karena arti keberadaan mereka lebih dari sekadar nama yang mampu selalu diingat sepanjang hayat. Mereka saudara-saudara tempatku berpulang selama bertahun-tahun terakhir. Mereka pelarian ternyaman dari semua kerumitan hidup yang aku alami. Hampir semua waktuku aku habiskan bersama mereka, bahkan ketika aku sedang bersama Lila.

"Kak, tertawalah. Kami senang bersamamu."

Itu kalimat yang keluar dari bibir-bibir mungil sekelompok anak kecil yang tak mau berhenti bermain. Mereka ada sembilan orang. Semuanya berumur tak lebih dari lima tahun. Mereka tak lelah memamerkan deretan gigi mereka yang belum lengkap dan tak lelah memperebutkan bagian tubuhku untuk dipeluk. Setiap saat aku mendapati kebahagiaan ditodongkan kepadaku oleh mereka.

____________________________________________


Sore ini aku duduk di pinggir jalan raya. Matahari hampir menyerah pada garis cakrawala. Sebentar lagi adzan Maghrib berkumandang. Rasanya sore ini sepi sekali. Tak ada siapapun terlihat olehku. Tidak satupun dari penghuni duniaku. Kendaraan dengan berbagai jumlah roda lalu-lalang di depanku. Ribut sekali suara mesin kendaraan, tapi tak ada satupun bisikan merdu orang-orang terbaikku terdengar di telingaku. Aku tak tahu harus melakukan apa. Semuanya seakan kosong. Asap knalpot kendaraan-kendaraan itu menyesakkan. Kepalaku terasa agak berat, dan sepertinya sore ini bukan musim gugur. Ini bukan duniaku.

Tiba-tiba kepalaku terasa berkabut. Ada sekelebat bayangan tentang berbagai macam hal yang bercampur aduk tidak karuan di dalam pikiranku. Aku seperti sedang menonton sebuah film. Rekaman potongan-potongan gambar itu diputar dengan kecepatan tinggi dan membuatku pusing. Namun aku masih bisa melihat dengan baik semua isi gambar yang diputar.

Di film dalam pikiranku itu, aku melihat diriku. Aku adalah mahasiswa tingkat akhir yang telah memasuki tahun keempat kuliah. Aku sedang menyelesaikan tugas akhirku. Aku memilih mengisi waktu luang kuliahku dengan mengajar di sebuah PAUD sebagai tenaga bantu. Anak didik yang aku tangani ada sembilan orang dan umur mereka tak lebih dari lima tahun. Aku sangat bahagia menjalaninya.

Di gambar lain dalam film itu, aku melihat Lila, kekasihku. Dia sedang duduk bersamaku, saling menggenggam tangan. Aku juga melihat kelima teman dekatku yang semuanya laki-laki. Kami sedang berkumpul dan berbagi canda seperti bagaimana kami biasa membunuh waktu. Lalu tiba-tiba gambar itu berubah menjadi sebuah kecelakaan hebat. Aku dan kelima temanku beserta Lila sedang di dalam perjalanan liburan. Kami mengendarai mobil ke luar kota. Ketika malam mulai melarut dan jalanan semakin sepi, mobil kami yang melaju entah pada kecepatan berapa itu tiba-tiba kehilangan kendali. Dewa, salah satu temanku yang memegang kemudi tak sadarkan diri. Mobil kami masuk ke sebuah jurang dan mengalami hantaman keras serta terguling hebat. Semua orang di dalam mobil itu meninggal di tempat, kecuali aku.

Di dalam film itu, aku melihat diriku begitu tertekan. Orang-orang terdekatku hilang dari sisiku dalam satu malam yang sama, untuk selamanya. Aku sempat mengurung diri selama sebulan dan tak mau melakukan apapun. Keseharianku hanya diisi dengan mengajar, karena bertemu anak-anak kecil itulah satu-satunya caraku berbahagia dan mengobati diri. Meskipun begitu, ternyata aku tak pernah bisa benar-benar sembuh. Rasanya tak akan ada yang mampu membuatku lebih tertekan lagi.

Ternyata aku salah. Ada yang mampu membuatku lebih tertekan. Di film itu, aku melihat gambar yang lebih menyakitkan. Dalam waktu satu bulan setelah kecelakaan maut yang aku alami, aku mendapat kabar dari kampung halamanku. Bukan kabar dari ibu dan adikku, melainkan kabar tentang ibu dan adikku. Kabar buruk. Aku diberitahu bahwa ibu dan adikku meninggal. Aku segera pulang dengan berderai-derai air mata sepanjang perjalanan. Sampai di rumah aku malah menemukan kabar yang lebih buruk. Kata tetanggaku, semalam rumahmu dibobol maling keji. Ia memperkosa ibuku lalu membunuhnya beserta adikku yang sedang menangis meraung-raung di sampingnya. Mataku sepertinya akan segera mengeluarkan darah. Hati dan pikiranku dipenuhi dendam dan makian. Aku tak mampu mengontrol diriku. Aku mengamuk sejadi-jadinya.

Gambar film selanjutnya yang kulihat adalah diriku sendiri dalam keadaan yang paling menyedihkan. Aku tak mau melakukan apapun sampai mungkin sekitar dua tahun. Kemarahan, kesedihan dan kehilangan terlalu pekat menyelimuti diriku. Aku hanya diam di rumah sendirian dan sebatang kara. Aku sering kehilangan kesadaran karena terlalu banyak melamun dan memaksa berpasrah diri menerima segalanya. Aku tidak sempat lagi memikirkan kuliahku atau apapun tentang diriku. Aku jarang keluar rumah, menyalakan lampu ketika malam, atau bahkan mandi dan makan sekalipun. Aku tidak peduli lagi.

Tiba-tiba suara klakson mobil yang lewat di depanku menyadarkanku dari lamunan-lamunan tentang masa laluku. Film yang berputar cepat di kepalaku itu berhenti. Akhirnya aku melihat Lila datang menujuku dari kejauhan. Ia tersenyum. Namun tubuhku telah diseret paksa beberapa petugas yang membawaku entah ke mana.

____________________________________________


Musim gugur lagi. Bangku-bangku taman dipenuhi daun-daun merah bata atau cokelat yang tak lagi bertahan di dahannya. Aku melihat semua penghuni duniaku ada di sekitarku. Di salah satu sudut halaman, sembilan anak didikku sedang sibuk bermain dan tertawa. Mereka tak pernah berhenti bermain. Di bangku taman di sudut lain halaman, Ibuku dan Tissa sedang mengobrol. Sekali-kali ibu merangkul Tissa dan ia tersenyum bahagia. Di pondokan di sudut halaman yang lain lagi, lima temanku sedang saling berbagi canda dan tawa. Bercengkrama khas sekumpulan laki-laki.

Aku menemukan diriku duduk di atas kursi roda. Padahal tidak ada yang salah dengan kakiku atau anggota tubuh manapun dari diriku. Aku mengenakan pakaian berwarna biru muda polos, sama baju dan celananya. Aku mengenakan sandal seperti sandal hotel. Di belakangku ada Lila. Dia yang mendorong kursi rodaku mengelilingi halaman sore ini. Sesekali dia berhenti, lalu kami tertawa-tawa melihat tingkah orang-orang lain, ibuku, adikku, anak-anak didikku, dan teman-temanku. Ketika dia menghentikan kursi rodaku, dia selalu memelukku dari belakang.

"Mas, ayo diminum dulu obatnya. Sudah waktunya minum obat."

Seorang perempuan lain berseragam terusan selutut warna putih menghampiriku. Seketika duniaku yang musimnya selalu gugur hilang. Orang-orang terbaik penghuni duniaku lenyap dari pandanganku. Aku masih duduk di atas kursi roda dengan pakaian biru muda baju dan celananya. Hari masih sore. Di sekelilingku, aku melihat banyak orang dengan bermacam-macam perilaku yang aneh dan lucu.

Aku lalu meminum obatku.



Pecahan Ego

Ini tentang kita
Dan ego dirimu

Di depanku adalah kaca
Ada aku di salah satu sisinya
Ada kamu di sisi lainnya
Dari sini, aku menatapmu
Dalam dan khidmat
Dari sana, kau bemain hujan
Tak benar tahu tentang adanya aku

Di depanmu adalah cermin
Ada kamu di salah satu sisinya
Ada kamu pula di sisi lainnya
Dari sini, kau menatap dirimu sendiri
Dalam dan khidmat
Dari sana, aku tak pernah ada
Tak benar berwujud

Hanya saja semuanya akan sama-sama pecah
Di titik takdir akhir kita

Di Dalam Surgaku

Di dalam kepalaku
Senja menorehkan merah di rupa langit
Menabur kemilau emas di telapak cakrawala
Kaki-kaki telanjangku menapak gentar
Bertanya-tanya tentang asamu
Akankah ia luruh dan meredup,
selayak senja di surgaku?

Di dalam hatiku
Hujan menggugurkan rinai dari gulung-gulung awan
Menebar percik-percik perak ke muka bumi
Bibir pucatku gigil gemetar
Mengira-ngira tentang matamu
Akankah ia senantiasa menjatuhkan rintiknya,
selayak hujan di atas sini?
Di surgaku yang kerap kau mimpikan
Hingga terjaga dalam geletar

Di dalam surgaku
Aku sering melihatmu bermain badik
Menikam-nikam ingatan
Menyayat-nyayat kenangan
Kaupakaikan sayap di punggung mereka yang telah koyak
Agar mereka terbang
Menyusuri arah hembusan ikhlas
Sementara kau menyongsong senja,
dan menari di bawah kelebat hujan
Agar asamu tak luruh dan meredup,
dan matamu tak menjatuhkan rinainya
Sehingga senyumku merekah

Di dalam surgaku