Sabtu, 11 Juli 2015

Mencukupkan Diri

Pada akhirnya berpasangan adalah perkara mencukupkan diri.

Kau bisa hidup untuk dirimu sendiri. Percayalah. Kita ini makhluk egosentris. Kita ini diciptakan lebih dulu sebagai individual, barulah setelah melalui berbagai proses belajar, kita mulai menumbuhkan kebutuhan sosial kita sampai matang, lalu menjadi makhluk sosial dan individual secara bersamaan.

Kita tak terlalu perlu berpasangan. Percayalah, kau tak perlu terlibat di dalam ruang penuh pertimbangan, karena harus menghitung segala sesuatunya untuk dua orang. Kau harus menjaga perasaan dua orang, kau dan pasanganmu. Kau harus menghitung kepantasan dengan proporsional, apakah sesuatu itu pantas bagimu dan bagi pasanganmu. Kau harus bertanggungjawab, atas dirimu dan atas pasanganmu.

Kau tak perlu melakukan itu. Kau bisa bebas. Kau bisa melakukan apa saja sesuka hatimu. Cukup memikirkan dirimu sendiri, cukup berbuat apapun untuk dirimu sendiri. Kau akan baik-baik saja. Kau bisa flirting dengan sebanyak-banyaknya lawan jenis dalam sebanyak-banyaknya waktu. Kau bisa bersama dengan siapa saja di waktu kapan saja. Hidupmu akan baik-baik saja.

Kau bisa menatap wajah pasanganmu dalam-dalam, dan bertanya-tanya, “kenapa harus dia?” Kau tahu yang lebih keren pasti banyak di luar sana. Entah arti keren itu yang pintar, yang tampan, yang artsy, apapun –terserah padamu-, ada banyak di luar sana. Tak akan habis. Lalu kau akan menjawab sendiri, “karena semua ini sudah cukup.”

Kau tak akan pernah bisa memenuhi semua yang kau inginkan. Kesempurnaan itu kau karang di dalam kepalamu dan memang tempatnya hanya di dalam kepalamu. Tidak ada di dunia nyata. Tidak ada yang selamanya akan menye-menye, semua akan mengalami kepudaran interaksi. Tidak ada yang akan selama excited pada apapun tentangmu, semua akan mengalami kepudaran ekspresi.

Kau akan bertanya lagi kepada dirimu sendiri, apa yang sesungguhnya kau butuhkan. Kebutuhan-kebutuhan itu saja yang perlu kau penuhi. Saya butuh teman hidup. Maka saya akan mencukupkan diri saya dengan seorang pasangan yang seperti teman saya. Teman, tapi dengan kualitas paling baik di antara teman-teman saya yang lain. Seseorang yang menemani dan mengimbangi saya ketika saya hanya membaca buku atau menulis dalam diam, berteriak-teriak di gunung, pantai, atau konser, menangis-nangis sesenggukan demi hormon bulanan, atau sekadar mendiskusikan film atau manusia yang sekarang sudah jarang tampak seperti manusia seharusnya. Seseorang yang untuk bercerita saja harus selalu berebutan dengan saya -tak mau kalah-, terus mengomentari apa yang saya lakukan, dan pastinya punya dunia dan hidupnya sendiri yang tak perlu terlalu saya acuhkan sampai kelewat batas. Seperti itulah teman. Itulah yang saya butuhkan.

Pada akhirnya kau mencukupkan diri. Kau cukupi kebebasan dalam hidupmu yang tak elak memang sangat menyenangkan. Kau cukupi keinginanmu yang muluk-muluk, lalu fokus kepada kebutuhanmu. Kau cukupi perjalanan-perjalananmu yang selama ini membuatmu berlari kencang sampai kau sesak napas, lalu memilih berjalan kaki pelan-pelan dan damai agar kau tak melewatkan lagi pemandangan di sekelilingmu.

Begitulah konsep berpasangan. Pada akhirnya kau butuh penakar hidup. Agar kau tak terbang terlalu tinggi. Tidak semua burung cocok berada di semua level ketinggian, dan kau perlu sesuatu untuk menahanmu agar tidak kemudian sesak napas kekurangan oksigen di sela-sela awan dan lalu terkapar gagal menyesuaikan diri dengan tekanan udara yang asing.

Perihal Si Keren dan Si Kotor

Saya pernah me-retweet suatu tweet yang jika diartikan kembali kira-kira berbunyi seperti ini:

“Cuma karena punya vagina, kami harus susah-susah was-was berjalan sendirian di malam hari? Thanks society.”

Rasanya saya ingin me-repost tweet ini setiap bulan. Selain karena saking sukanya saya dengan tweet ini, juga karena saya ingin terus membuat reminder bagi semua orang.

Saya sering sekali merasa terganggu dengan kalimat yang berbunyi, “kamu itu cuma dimanfaatin sama dia!” Kalimat ini jika dipakai untuk mengungkapkan konteks selain seks, bisa dipakai oleh perempuan maupun laki-laki. Konteks harta misalnya. Sang tertuduh yang memanfaatkan bisa saja Si Perempuan ataupun Si Laki-laki. Namun konteks ini jika digunakan dalam konteks seks, sebagian besar tertuduh pastilah laki-laki.

Mengapa harus laki-laki yang memanfaatkan perempuan? Memangnya yang merasa enak hanya si laki-laki sehingga hanya mereka yang mendapatkan manfaat? Jika hubungan seks itu memang dilakukan dengan persetujuan kedua pihak, tidak ada paksaan dan sama-sama mau, coba tanyakan ke perempuan-perempuan itu, apakah mereka juga merasa enak atau tidak. Tempeleng saja sekalian jika mereka menjawab tidak.

Lalu mengapa harus laki-laki yang memanfaatkan perempuan? Kenapa tidak pernah terpikirkan bahwa mungkin justru si perempuan yang sedang memanfaatkan si laki-laki? Jawabannya; konstruk sosial, atau kesadaran kolektif atau apapun orang suka menyebutnya. Konstruk sosial yang sudah terbentuk sejak purba. Bahwa perempuan pasti lebih lemah dari laki-laki. Bahwa di Mesir dulu, laki-lakilah yang menyusun batu sampai jadi Piramida dan perempuan cukup menyiapkan bergalon-galon bir untuk para laki-laki itu. Konstruk nilai yang diamini selama berabad-abad pergantian peradaban manusia. Sampai pada peradaban ini, tidak ada yang akan mempertanyakannya lagi. Pokoknya ya begitu.

Konstruk ini bahkan sebenarnya sudah kurang valid digunakan di masa sekarang. Sudah banyak perempuan yang menjadi kuli, buruh kasar pembangunan. Lagipula tidak ada lagi yang butuh-butuh banget menata batu sampai tinggi untuk punya tempat tinggal. Kami cukup punya uang, lalu beli apartemen. Untuk punya uang kami hanya perlu punya karir sukses. Di titik mana lagi laki-laki dibutuhkan kalau begitu? Tidak punya pasangan selamanya juga hidup mungkin akan baik-baik saja. Kalau butuh kasih sayang, tinggal punya affair di sana-sini tanpa perlu ada attachment berlebihan. Kalau butuh seks, ada di mana-mana.

Saya juga sering sekali merasa terganggu dengan konsep; laki-laki yang pernah ‘mencicipi’ banyak perempuan itu keren, tapi kalau perempuan yang pernah ‘dicicipi’ banyak laki-laki -mengapa harus dalam kata kerja pasif?- itu rendah dan kotor. Kita sama-sama punya organ reproduksi yang hanya saja bentuknya berbeda. Sudah. Selain itu apalagi yang perlu dibedakan? Silakan dibayangkan saja bagaimana laki-laki melakukan hubungan seks dengan banyak perempuan, seperti apa motivasi dan perasaannya di setiap hubungan yang terjadi. Mereka melakukannya mungkin ada yang karena sayang, ada yang karena iseng, ada yang karena khilaf saja. Tidak semuanya berarti dan harus dibaperin. Ya seperti itulah juga kami. Sama saja.

Seks menempati bagian paling dasar dan besar dalam Hirarki Kebutuhan Manusia menurut teori psikologi Maslow. Kebutuhan yang juga ditempatkan di situ adalah kebutuhan kita untuk makan. Begitulah manusia punya insting untuk bertahan hidup; makan dan bereproduksi. Sudah seperti itu kita diciptakan, baik yang perempuan maupun yang laki-laki.

Seks itu sesederhana ‘gue sange ya gue ngewe trus gue seneng ya udah gitu aja’. Itu basic instinct. Tanpa perlu rumit-rumit mencampur adonannya dengan sekian gram nilai-nilai sosial yang berlaku soal mana yang pantas dan mana yang tidak. Soal mana yang lebih pantas dan mana yang kurang pantas.  Soal perempuan tidak pantas begini dan laki-laki bebas begitu.

Kebutuhan ini sudah ditanamkan ke diri kita sejak orok. Bukan hanya orok si laki-laki, tapi juga orok si perempuan. Bukan hanya laki-laki yang boleh terangsang di dunia ini, perempuan juga. Bukan hanya laki-laki yang harus mengontrol perilakunya ketika terangsang, ya perempuan juga. Seharusnya begitu. Jika begitu, tidak harus kami yang was-was berjalan malam-malam sendirian. Tidak juga yang punya penis. Seharusnya kita semua aman dan baik-baik saja. Tidak perlu juga seorang pria bule memungut sembarangan cabe-cabean yang bahkan ‘tidak enak dilihat’ di jalan untuk memproduksi Asian Sex Diary, saking ‘rendah’ dan ‘tak punya arti’ kami. Lalu saya juga tidak perlu bertanya-tanya kenapa bukan terong-terongan saja yang dipungut sembarangan di jalan oleh seorang wanita bule, karena kalaupun iya, jarang untuk dieksploitasi.

Dalam suatu malam, saya pernah terjebak –untuk kesekian kalinya- dalam diskusi meja makan yang membahas perihal-perihal rumit –dan melelahkan karena tak akan ada habisnya- bersama teman-teman saya. Mulai dari Tuhan, agama, dosa, pahala, dan hal-hal yang sangat menarik dibahas, hanya saja obrolan rumit seperti ini memang butuh mood. Dari berbagai referensi yang mendasari pendapat masing-masing, salah satu teman saya bilang begini;

“Gue pernah baca di salah satu kitab, dosa itu berakar dari mencuri. Membunuh itu mencuri hak hidup orang lain. Korupsi itu mencuri harta orang lain. Lalu kalau ngewe, siapa nyolong apa dari siapa, kalau sama-sama mau, sama-sama senang?”

Iya. Kita memang sama saja. Si Perempuan tidak berdosa atau mencuri apapun dari siapapun. Si Laki-laki juga tidak. Saya bukan feminis radikal KW super yang mau menuntut persamaan hak dan kewajiban antara perempuan dan laki-laki sampai pada taraf perempuan harus boleh jadi imam masjid raya dan laki-laki harus boleh mendapat cuti sampai tiga bulan seperti jika perempuan sedang cuti melahirkan. Saya hanya membahas ini dalam konteks seks; merekonstruksi nilai yang menghasilkan pandangan tentang siapa bisa menjadi orang yang keren dan siapa bisa menjadi orang yang kotor.

Seharusnya tidak ada yang kotor. Seharusnya tidak ada juga yang keren. Biasa saja. Seks hanya urusan insting dasar manusia dan otoritas atas tubuh masing-masing.

Rabu, 13 Mei 2015

Recent Favorite: Soko



She's just.. She's just an impulsively assertive cute little baby. No, she's not little and she's not a baby. She's just a super-sweet weirdo.

______________________________

Bukan. Bukan saya baru menemukan dia. Saya pernah mendengar musiknya. Hanya saja, saya baru menaruh perhatian lebih pada perempuan bernama asli Stephanie Sokolinski ini. Dia..

..Aneh.

Dimulai dari playlist teman baik saya (teman yang baik sekali malah), saya kembali berkutat mendengarkan album-album Soko beberapa waktu belakangan ini. Terutama album EP pertamanya, Not Sokute (2007).

Album yang aneh karena dibuat oleh seorang perempuan yang memang aneh. Ini album yang paling sederhana dan jujur bila dibandingkan dengan album-album Soko berikutnya. Dia terlalu jujur dengan dirinya sendiri memang. Dia tidak perlu peduli bagaimana caranya jujur kepada orang lain, tapi dia menguasai cara terbaik untuk jujur kepada dirinya sendiri, jujur terhadap emosi dan pikiran yang berlangsung di dalam dirinya.

Seperti membaca catatan harian pribadi seorang gadis polos, dia hanya mengalirkan semua emosi dan pikirannya apa adanya. Dia bisa jatuh cinta dengan apa adanya, lalu mengungkapkannya juga dengan apa adanya, tanpa banyak mengolah apa yang dialaminya ketika akan disajikan dalam musik. Tanpa banyak intervensi, dia bisa menulis lirik yang sangat sederhana.

And you kiss me more and more
And I kiss you too
And I kiss you too!


- Take My Heart

Dia memang tampak berantakan. Kau bisa melihatnya dari penampilan dan perilakunya. Dia semacam seorang asertif yang pandai mengungkapkan dirinya, namun seringkali impulsif dan tidak dapat mengontrol apa yang dilakukannya. Tapi bagi saya dia hanya terlalu jujur.

Its raining outside, I'm crying inside
Its raining outside, I'm crying inside


Its raining outside, I'm crying out loud
Its raining outside, I'm crying out loud


Come on don´t be mad I told you I need you
Come on don´t be sad I, I´m still in love with you 


- It's Raining Outside

Sederhana. Sederhana dan manis. Dia bisa menjadi gadis yang lemah dan ketakutan karena merasa kalah. Tidak hanya jujur terhadap perasaan yang menyenangkan, dia juga jujur dengan kecemasan yang dirasakannya.

Because you're very cute tonight
And I feel shy and sad and I look at you
And I think I love you
But you don't want me
And that is very clear


- The Dandy Cowboys

Sungguh seperti mempresentasikan isi kepalanya kepada dunia sama persis seperti apa adanya. Ya, seperti membaca catatan harian pribadi seorang gadis polos.

Hanya saja dia bukan gadis yang polos. She's a piece of shit. She's a rebel. Pergi dari rumah di usia 16 tahun, meninggalkan sekolah formal dan masuk ke sekolah acting namun hanya bertahan sekitar satu tahun karena bosan. Lalu masuk lagi ke sekolah formal lain dan meninggalkannya lagi. Tidak suka mengenakan bra, tidak tahu berapa ukuran payudaranya karena tidak pernah membeli bra. Terbuka sebagai biseksual, namun pada interview terakhirnya di salah satu channel Youtube, she stated that she's much more likely to be with the girls. Boys have too much drama and girls are easier, she said. Girls are as easy as 'I like you,' 'I like you too,' 'cool,' 'let's be together."

Lalu dia bisa begitu marah dengan rumit, tapi mampu menguraikan alasan kemarahannya secara mendasar. Dia mampu mengungkapkan hal-hal sederhana yang mendasari sebuah perasaan. Alasan-alasan yang sering luput karena perasaan yang dirasakan sudah terlalu rumit. Dia bisa membenci pacar baru mantannya dan ingin membunuhnya, hanya dengan alasan karena dia menyesali, jika saja wanita itu tidak pernah ada dan mereka masih bersama, mereka sudah bisa punya Tom dan Susan. Lalu dia menyanyikan lagunya nyaris seperti hanya bercerita. Some sort of a cute form of anger.

I would have met your friends
We would have had a drink or two
They would have liked me
'Cause sometimes I'm funny


I would have met your dad
I would have met your mom
She would have said
Please can you make some beautiful babies?

So we would have had a boy called Tom
And a girl called Susan born in Japan


- I'll Kill Her

Bukan hanya soal lirik, musiknya pun sederhana. Lagunya penuh nada-nada sederhana dengan aransemen setiap instrumen yang juga sederhana. Sederhana.. dan jujur.

Di album-album berikutnya Soko masih tetap jujur, hanya saja proses berpikir dan proses mengungkapkan pikirannya ke dalam karya sudah semakin kompleks. Batas imajinasinya antara semakin kabur atau justru semakin tajam, sehingga tidak begitu sederhana lagi. Dia sudah mencapai imajinasi tentang hubungan interaksinya dengan alien, dan pikiran-pikiran kompleks lainnya.

Untuk itu, album Not Sokute masih menjadi kesayangan. Keanehan yang manis dan kejujuran yang kasar milik Soko masih sangat kental di album ini. A super-sweet weirdo. A human being who's just acting like a human being.

I hate myself today
I don't know what's happening to me
I hate my face today
I think I look so shitty
I have some spot everywhere
And I'm not even shaved
My hair are greasy
I look disgusting
My eyes are glued
And my lips are shaped
My legs are prickling
And plus I'm stinking today

 
How can I date someone
With a face like that
I know you're gonna dump me again
And i am gonna cry

'Cause you want a perfect girl
And I'm not what you expect
You want a perfect girl
And I look shitty today

 
Maybe I should put some make up
And find some crazy outfits
But I am very tired today
And I don't care if I'm not pretty

I should be like these girls
Skinny and great all the time
And I'm still wearing my slippers
And eat all the candy's at home
I should sleep more
And stop going out every day
I should focus more
And stop complaining today


- Shitty Day

______________________________





Senin, 04 Mei 2015

You Tell People What Your Ego Wants to Hear

Sudah sering saya pikirkan, mempelajari manusia memang sangat menyenangkan. Menghadapinya saja yang tidak.

_________________________


Kita adalah makhluk pembohong. Kita mulai berbohong bahkan ketika usia kita baru berkisar 2 tahun. Ini valid dan berdasar pada penelitian resmi yang tak sengaja saya tonton di suatu stasiun TV yang gemar menayangkan program dokumenter. We survive and we're good at it, that's why we lie. That's natural, that's instinct and that's okay. Jangan terburu-buru merasa buruk.

Jika tidak sedang berbohong, kita pandai memanipulasi percakapan. Kita hampir tidak pernah menyampaikan fakta dengan sempurna ketika berbicara sehari-hari dengan orang lain. Apapun yang keluar dari mulut kita, secara keseluruhan kemasannya, pasti mengandung tendensi untuk melakukan pembenaran atas diri kita sendiri. Mungkin ada fakta di dalamnya, tapi sekali lagi, keseluruhan kemasan percakapan yang kita sampaikan kepada orang lain pasti bertujuan untuk memberitahu bahwa kita benar. Tidak peduli apakah pihak lain salah, yang penting kita benar. Tidak peduli juga siapa lawan bicara kita dan apakah dia berkaitan dengan apa yang kita sampaikan, yang penting dunia di luar diri kita tahu kita benar.

Tak perlu merasa buruk. Semua orang melakukannya dan hampir selalu melakukannya. Secara sadar, maupun lebih sering secara tidak sadar.

Lucu ketika kau berada di antara dua teman yang sedang terlibat konflik. Apapun yang disampaikan oleh pihak satu pasti akan bertentangan dengan apa yang disampaikan oleh pihak lainnya. Lebih lucu lagi ketika kau sebenarnya tidak peduli dengan konflik yang ada di antara mereka. Tanpa ada judgement sama sekali, kau akhirnya hanya mendengarkan apapun dari manapun. Segala sesuatu terdengar benar. Tak ada yang salah sama sekali. Hanya saja kau menjadi sadar, begitulah manusia, sepeti itulah pola perilakunya. Apa yang terjadi akan semakin lucu ketika kau sering mengalaminya.

Manusia memang lucu. Kau pun lucu karena kau juga pasti melakukan hal yang sama, sadar atau tidak.

Dalam keseharian kita, kita hampir hanya berkomunikasi dengan dua pola. Pertama, you tell people what they want to hear. Ini karena kita mempertahankan kedudukan sosial kita agar tetap 'aman' di tengah-tengah orang lain. Itu sebabnya kita menyenangkan orang lain. Ini terjadi pada waktu-waktu seperti ketika temanmu patah hati lalu datang kepadamu dan meminta saran. Meski kau memberi saran paling menyakitkan untuknya, secara tidak sadar kau sudah menghitung sedemikian rupa bahwa apa yang kau sarankan itu akan menyenangkannya. Atau paling tidak, membuat ia semakin senang berteman denganmu.

Kedua, you tell people what your ego wants to hear. Sederhana; melakukan pembenaran terhadap diri sendiri. Kita membungkus sedemikian rupa kebohongan maupun kebenaran, namun dengan kemasan yang sebisa mungkin akan menyelamatkan diri kita dari kesalahan.

Kita memang adalah makhluk yang aneh. Semakin dipikirkan semakin ajaib. Take the positives and everything is fun anyhow.

Well, wait... what? What's positive and what's negative anyway?

_________________________


I'm funny. You're funny. We're funny.
We're human.
Human is funny.

Jumat, 10 April 2015

Apa yang Ada di Dalam Kepala Mereka?

Berkutat dengan isi kepala sendiri, mencoba menguraikan apa yang terjadi di dalam isi kepala orang lain, memang pada banyak waktu adalah pekerjaan yang sangat menyenangkan.

Apa yang ada di dalam kepala Aram Saroyan ketika membuat puisi berjudul A Poster-Poem? Puisi satu huruf yang kini lebih banyak, atau lebih nyaman dikenal sebagai jenis visual poetry. Jenis puisi yang ada sejumlah populasi di dunia ini mengguggatnya dan menganggapnya bukanlah puisi. Mengapa harus bentuk huruf 'm' yang ditambah satu kaki lagi? Apa makna di baliknya? Mengapa makna itu direpresentasikan dengan bentuk huruf 'm' yang ditambah satu kaki lagi? Apa yang sedang terjadi di dalam diri Aram ketika terpikirkan membuat karya itu?




Apa juga yang ada di pikiran The White Stripes ketika membuat the shortest concert in history? Alasannya mungkin bisa sesederhana karena di dunia ini ada puisi terpendek, maka tidak masalah ada konser tersingkat. Tapi mungkin juga tidak sesederhana itu. Lalu mengapa? Bagaimana mereka punya ide membuat konser di Newfoundland menjadi seperti itu? Apa makna permainan drum dan gitar yang hanya berisi satu nada itu? Mengapa itu mereka pilih untuk menjadi penanda berakhirnya tur mereka ketika itu?




Lalu apa yang yang ada di dalam kepala John Denver ketika membuat komposisi musik berjudul The Ballad of Richard Nixon? Komposisi sepuluh detik yang hanya berisi keheningan. Benar-benar hanya berisi keheningan. Seperti Aram Saroyan, John Denver pasti punya sejumlah populasi di dunia ini yang menggugatnya dan karyanya. Tapi kembali lagi, apa yang ada di pikirannya ketika menciptakan komposisi yang judulnya mencantumkan nama salah satu Presiden USA itu? Mengapa harus Richard Nixon? Mengapa harus direpresentasikan dengan keheningan? Mengapa harus hening dan mengapa ia anggap keheningan adalah suatu komposisi? Meski demikian karya ini menjadi valid jika Denver menjadikan pemikiran Mozart sebagai referensi.


Wolfgang Amadeus Mozart


Manusia dan segala sesuatu yang terjadi di dalam dirinya memang menarik. Isi kepalanya menarik. Proses berpikirnya menarik. Tapi kau tak akan khatam mempelajari dan mencari tahu tentangnya; apa yang terjadi dan apa yang mampu dihasilkan.



(Reference: What is The Shortest Poem?)

Rabu, 08 April 2015

Surat Tentang Ombak dan Kaki Bukit

Bapak, semalam aku bermimpi tentang ombak. Garisnya persis seperti rambut putih di atas kepalamu. Aku telah pandai membaca dalam laut di atas kepalamu. Tapi aku tak cukup pandai menghitung musim, bahwa sekarang telah penghujan. Bahwa badai kerap terjadi dan ombak-ombak itu kerap meninggi.

Ibu, semalam aku bermimpi tentang setapak-setapak di kaki bukit. Liuknya persis seperti kerut di sudut-sudut matamu. Aku telah cukup pandai menghitung batu di sepanjang jalan pulang. Tapi aku tak cukup pandai menerka kabut, bahwa sekarang malam telah turun. Bahwa setapak-setapak itu tak lagi terlihat.

Bapak, semalam aku bermimpi duduk bersamamu, di teras rumah, menghadap pantai. Kau bercerita padaku perihal masa lalumu, perihal kebun cengkeh yang kaupanen dan singkong rebus yang kaulahap setelahnya. Aku bilang itu dongeng. Kau bersikeras itu nyata. Aku bercerita padamu perihal masa kiniku, perihal langit malam yang merah dan bintang yang telah punah. Kau bilang itu dongeng. Aku bersikeras itu nyata.

Ibu, semalam aku bermimpi berbaring bersamamu, di atap rumah, menghadap bulan purnama. Kau bercerita padaku perihal masa lalumu, perihal rambut yang kau pelihara panjang-panjang dan nenek yang rutin menyisirnya. Aku bilang itu dongeng. Kau bersikeras itu nyata. Aku bercerita padamu perihal masa kiniku, perihal isi kepala manusia-manusia yang rutin meledak dan kabut racun yang menyesakinya. Kau bilang itu dongeng. Aku bersikeras itu nyata.

Bapak, aku bermimpi kau berpesan kepadaku. Katamu, jika langit memang sudah kosong, aku bahkan tak perlu merisaukan petir.

Ibu, aku bermimpi kau berpesan kepadaku. Katamu, jika udara memang sudah tak menghidupi, aku bahkan tak perlu mengkhawatirkan tanah dan apa-apa yang terjadi di atasnya.

Kamis, 02 April 2015

Here Comes The Sun And It's Alright




Here comes the sun.
And it's alright.



"Kenapa naik gunung?"

Biar kau bisa istirahat. Dari apa yang lebih melelahkan dibandingkan bersusah payah berjalan jauh menanjak dan menurun dalam napas yang tersengal-sengal; apa yang adalah keseharianmu yang tampaknya baik-baik saja, dalam langkah yang baik-baik saja dari kau bangun sampai kau tidur lagi, dalam napas yang kaupikir baik-baik saja padahal telah meracunimu sampai sekarat.

Biar kau tahu bahwa kau kecil. Bahwa apa yang besar di hadapan matamu bahkan masih jauh lebih kecil dari apa yang menciptakan kalian. Bahwa kau tak punya kuasa apa-apa di dalam genggaman apa yang menguasai hidup dan matimu. Bahwa kau harus tahu bagaimana caranya merendahkan dagumu jika cara meninggikan dirimu saja kau tahu.

Biar kau belajar. Membaca matahari; ia akan datang juga, meski sepanjang sore mendung, sepanjang malam hujan dan sepanjang pagi berkabut. Ia akan datang juga, menghangatkanmu tepat pada titik dimana kau tak tahu lagi bagaimana menyiasati kedinginan. Dan semua akan baik-baik saja.

Dan begitulah hidup.

Selasa, 20 Januari 2015

Sesuatu Tentang Malaikat, Kematian atau Keduanya

Ada malaikat kecil yang senang melompat-lompati kepala manusia.
Dari satu kepala ke kepala lainnya.
Sampai semua ubun-ubun tersentuh ujung jari-jari kaki telanjangnya yang mungil.

"Kenapa kau melompati kepala-kepala kami?" Tanyaku.
"Karena kepala kalian rindang, tempat tumbuh subur pikiran-pikiran. Rasanya seperti rumput taman yang basah sehabis hujan." Katanya.
"Kenapa kau tak pakai sepatu?" Tanyaku.
"Karena aku ingin merasakan rumput taman itu sedalam-dalamnya. Karena aku ingin mengenal isi kepala-kepala itu sebaik-baiknya." Katanya.

Malaikat itu manis.
Gadis kecil yang manis.
Ada pita hitam di rambutnya yang hitam.
Ada pita hitam di gaunnya yang hitam.
Ia selalu bernyanyi sembari melompati kepala-kepala.
Ia selalu menenteng kantong-kantong hadiah.
Ada pita hitam di kantongnya yang hitam.

"Kenapa kau selalu membawa kantong-kantong hadiah?" Tanyaku.
"Karena aku harus memberikan sesuatu kepada orang yang aku ajak pergi denganku." Katanya.
"Apa isi kantong hadiah itu?" Tanyaku.
"Bahagia. Hanya saja bahagia di dalam kantong ini tak punya definisi bagi orang yang belum ikut denganku." Katanya.

Malaikat itu punya kantong hadiah yang sangat banyak.
Kantong-kantongnya terayun ketika ia melompat-lompat.
Setiap hari ia berangkat dengan banyak kantong.
Lalu pulang tanpa kantong.
Semuanya habis.
Keesokan harinya, ia berangkat lagi dengan banyak kantong.
Lalu pulang lagi tanpa kantong sama sekali.
Semuanya habis.
Begitu terus setiap hari.

Tapi kau tak akan pernah bisa melihat semua kantong yang ia bawa seharian.
Hanya akan ada beberapa kantong yang terlihat.
Bahkan kadang, tak ada kantong yang terlihat.
Hanya kantong untuk orang-orang yang kau kenal saja yang bisa terlihat olehmu.

"Kau bawa berapa kantong hari ini?" Tanyaku.
"Banyak sekali. Aku tak sempat menghitung. Biar itu jadi tugas mereka yang kehilangan." Katanya.
"Apa ada kantong untukku hari ini?" Tanyaku.
"Tak ada kantong yang dapat kau lihat siang ini, tapi ada 3 kantong yang akan kutunjukkan padamu nanti malam." Katanya.




Jakarta 21/1/15 00.06
Satu catatan turut berduka cita, untuk rentetan kabar kehilangan tiga anggota keluarga sahabat-sahabat, dalam rentang waktu dua jam yang sama.

Kamis, 15 Januari 2015

Tentang Waktu; Duduklah yang Manis di Dalam Gerbong

Kadang hidup bisa kauringkas ke dalam satu perjalanan kereta api.

Duduklah yang manis di dalam gerbong. Tak perlu khawatir. Semua akan baik-baik saja dan kau akan sampai juga di stasiun yang kautuju.

Meskipun di luar jendela, segala sesuatu berlalu darimu. Pohon-pohon. Sawah-sawah. Gunung-gunung. Tiang-tiang listrik. Orang-orang. Waktu.

Kadang keretamu akan melambat. Kau punya waktu yang lebih lama. Dengan orang-orang. Dengan gunung-gunung. Dengan tiang-tiang listrik.

Kadang ia akan kembali melaju cepat. Kau tak punya waktu yang cukup. Semua berlalu lebih cepat dari yang dapat kausadari. Sampai samar. Sampai bentuknya belum sempat kaukenali. Semuanya. Orang-orang. Pohon-pohon. Sawah-sawah. Hujan dan terik matahari.

Tapi kau juga tak akan habis menemui hal baru di depanmu. Meski berlalu lagi. Kau temui lagi. Berlalu lagi. Orang. Orang-orang. Sekelompok orang. Atau banyak sekali orang. Datang satu per satu. Atau beramai-ramai sekaligus. Pergi satu per satu. Atau beramai-ramai sekaligus.

Duduklah yang manis di dalam gerbong. Kau tak akan kenapa-kenapa. Walaupun pinggangmu pegal. Walaupun kau mengantuk tapi tak bisa tidur. Walaupun bukumu telah habis kaubaca dan perjalanan masih panjang. Meski kau bosan dengan lagu-lagu yang keluar dari headset-mu. Walaupun orang di sebelahmu mengorok terlalu keras. Meski kau ingin buang air tapi kamar kecilnya kotor. Meski banyak kecoak berkeliaran keluar-masuk sambungan-sambungan besi. Walau rokokmu habis dan merokok sudah dilarang dan kau tetap melanggar.

Kau akan baik-baik saja. Meski semua melaju. Meski kau melaju. Meski waktu melaju. Meski semua berubah bentuk. Semua yang kau pahami dengan baik atau yang bahkan tak sempat matamu tangkap.

Kau akan sampai juga di suatu ujung. Keluar dan menghirup udara segar. Melurus-luruskan badan yang pegal. Lega.

Suatu ujung yang tak pernah kau bayangkan seperti apa ia sebagai titik berhenti segala sesuatu yang bergerak dalam hidupmu. Duniamu dan dirimu sendiri. Suatu titik cukup. Dimana segala sesuatu kau cukupkan. Suatu titik dimana waktu tidak lagi relevan. Suatu titik dimana dunia membeku diam.

Duduklah yang manis di dalam gerbong. Kau akan baik-baik saja.



Jakarta, 15/1/15 23.39

Minggu, 07 Desember 2014

Sudah, Lalu Apa?

Ada waktu-waktu dimana kau bertanya-tanya pada dirimu sendiri, "apa yang sesungguhnya sudah aku capai dan ingin aku capai dalam hidupku?" "Apakah yang sudah aku capai benar-benar aku inginkan?" "Apa lagi yang harus aku capai setelah ini?" "Apa lagi yang aku inginkan?"

Dulu kau sekolah. Lalu kau ingin lulus dan masuk universitas yang paling baik untukmu. Setelah itu semua tercapai, kau ingin segera lulus kuliah dengan baik dan mendapat pekerjaan yang paling baik untukmu. Lalu setelah semua itu juga tercapai, kau kembali pada pertanyaan awal tulisan ini. Setelah bekerja lalu apa? Apa ini benar pekerjaan terbaik untukku? Apakah aku justru ingin melakukan hal lain?

Dulu kau beranjak remaja. Lalu kau ingin tahu bagaimana rasanya punya pacar. Lalu semuanya tercapai. Bukan satu pacar, tapi banyak orang dekat dengan banyak kisahnya masing-masing. Banyak orang yang hanya dengan modal penanya, datang lalu mencorat-coret cerita mereka masing-masing di dalam bukumu. Lalu mereka pergi. Kalau diberi bonus dari Sang Maha Menentukan, beberapa orang mungkin hanya berubah 'bentuk' di dalam hidupmu, tapi tak kemana-mana. Lalu kau ingin menikah, sembari kembali ke pertanyaan awal tulisan ini. Apakah itu yang benar-benar aku inginkan? Apakah itu benar-benar akan menjadi sesuatu yang membuatku bahagia? Mungkin nantinya setelah menikah, kau akan kembali bertanya tentang apa yang harus kaulakukan dengan keinginan yang telah tercapai itu.

Manusia memang tak akan pernah puas. Sudah demikian desain yang dibuat Si Empunya Dunia atas diri kita.

Dari dulu sampai sekarang, kau mengalami banyak sekali hal. Mimpi-mimpi yang dengan tekun kau susun rapi, lalu kau pertanyakan lagi, lalu kau susun lagi, pertanyakan lagi, dan begitu seterusnya. Kau mengalami proses besar yang terbentuk dari komposisi harapan dan keputusasaan yang seringkali tidak proporsional. Beberapa hal membuatmu begitu bahagia. Beberapa lainnya membuatmu jatuh; tidak seperti mati, melainkah lebih seperti tidur, namun rasanya kau tak ingin bangun seharian, tidak juga membuka tirai jendela sama sekali.

Semakin hari, semakin rajin kau mempertanyakan perihal-perihal. Semakin kau tahu tentang banyak hal, semakin kau tak paham dengan lebih banyak hal lagi. Tentang keinginan-keinginan ketika mereka tercapai; apakah benar ini apa yang aku inginkan? Lalu keinginan-keinginan yang tak juga tergapai; apakah aku sungguh menginginkan hal ini?

Rumput tetangga seringkali lebih hijau. Hanya beberapa orang beruntung yang diberi anugerah untuk pandai merasa cukup dan menganggap rumput di halamannya yang paling hijau. Beberapa lainnya diberi anugerah untuk tidak mengenal warna, tidak ada yang hijau dan yang lebih hijau, tidak ada yang hijau ataupun yang berwarna selain hijau. Beberapa sisanya diberi anugerah kegigihan besar untuk menjadikan rumputnya yang paling hijau.

Di luar mereka adalah orang-orang kebanyakan, yang akan selamanya mempertanyakan banyak hal; seluruh hal baik dan hal buruk.

Pertanyaan-pertanyaan meriuhkan isi kepalamu. Lalu kau pertanyakan lagi keriuhan di dalam kepalamu.

Tak habis-habis.






Jakarta, 7/12/14