Rabu, 18 April 2012

di balik dinding



Di balik dingin dan sepi belasan kilometer jalanan dini hari yang kulewati, bersembunyi dirimu. Bersembunyi tubuh kurus tinggi berbalut sweater hitam tebal, celana pendek, dan sendal jepit. Di balik itu, kita bercerita tentang tawa, tentang teman, tentang lelucon-lelucon negatif, dan tentang hal standar yang bahkan tidak unik untuk diceritakan tentang harimu dan hariku. Bercerita tentang galon air minum yang belum sempat dipasang di dispenser. Lalu aku begitu ingin memelukmu.

Di balik jalan lurus panjang yang lembab di pusat kota sehabis hujan sesorean, bersembunyi dirimu. Bersembunyi tatap mata yang bahkan tidak begitu tajam dan dalam, namun terus didamba untuk membalas tatap kagum yang kuberikan. Di balik itu, kita bercerita tentang tugas akhir dan tetek bengeknya yang menjemukan dan tak kunjung terselesaikan. Bercerita tentang keraguan menghubungi dosen pembimbing dan buletin jurnal yang lupa dibeli. Lalu aku begitu ingin melingkarkan lenganku pada lenganmu.

Di balik deretan lampu-lampu jingga jalan raya yang tampak bergerak-gerak seperti kunang-kunang, bersembunyi dirimu. Bersembunyi wangi tubuh yang semakin melekat mesra di dalam isi kepalaku. Di balik itu, kita bercerita tentang sepak bola, tentang liga entah apalah, tentang tim-tim dan pemain-pemain hebat, dan taruhan-taruhan bodoh. Bercerita tentang keseruan permaianan scrabble sepanjang malam dan jam berapa bisa tidur. Lalu aku begitu ingin merebahkan kepalaku ke bahu atau bahkan dadamu.

Di balik botol-botol bir dan berpuluh-puluh puntung rokok yang kita habiskan di pinggir jalan, bersembunyi dirimu. Bersembunyi sesosok lelaki tak acuh dan tampak terlalu mencintai diri dan hidupnya serta seluruh kenyamanan yang ia miliki. Di balik itu, kita bercerita tentang musik, tentang playlist yang selalu kita ributkan, tentang band-band metal, tentang musisi-musisi hebat, dan mulai bernyanyi bersama. Bercerita tentang wanita-wanita personil girlband korea yang cantik dan seksi. Lalu aku begitu ingin mengisi sela-sela jariku dengan jarimu.

Di balik perjalanan bodoh di atas motor tanpa tujuan jelas dengan beberapa pekerja malam yang terus lalu lalang, bersembunyi dirimu. Bersembunyi sebuah bibir yang selalu basah dan merah meski tak habis-habisnya dilewati tarikan dan hembusan asap nikotin. Di balik itu, kita bercerita tentang keluarga, masa kecil, kisah semasa sekolah, dan sedikit menyinggung masa depan yang terpaksa cepat dihentikan karena kebingungan yang sama mulai menggerogoti diri kita. Bercerita tentang nasi-ayam-sayur enak dengan harga hanya lima ribu lima ratus rupiah. Lalu aku begitu ingin menciummu.

.....

Di balik matahari yang awalnya menemani dari jauh di dalam hitam pekat langit malam lalu mulai menampakkan diri malu-malu diselimuti tirai jingga dari timur sampai akhirnya berdiri tegak dengan silaunya di atas kepala, bersembunyi dirimu. Bersembunyi sesosok lelaki yang tertidur pulas dan tak peduli tentang aku dan berbatang-batang rokok yang kuhabiskan untuk menunggu. Di balik itu, kita tak pernah bercerita tentang hidup dalam filosofi dan pemahaman yang rumit atau tentang diri yang mencapai bagian dasar gunung es kepribadian kita. Tak pernah bercerita tentang cinta, hati, dan perasaan. Lalu aku begitu ingin menghancurkan dinding tamengmu yang selalu membuatku memiliki tak cukup otoritas untuk mendefinisikan dirimu.

.....

Besok aku akan kembali. Menemuimu. Di balik sisi bagian luar dinding tamengmu. Seperti biasa.

Minggu, 08 April 2012

Sudut


Perempuan itu duduk diam di sudutnya. Sudut miliknya. Kerajaan terbesarnya. Bukan satu pojokan konstan di sebuah cafe biasa yang sering ia datangi. Hanya saja sebuah sudut yang cukup memiliki jarak dengan laki-laki yang selalu diobservasinya dari jauh. Kerajaan itu terletak di bagian manapun dari cafe itu selama ia memiliki cukup jarak untuk terus menatap laki-laki itu. Jarak yang cukup untuk membangun dinding tak terlihat untuk membuat dirinya tak terlihat, tapi bisa melihat semuanya.

Perempuan itu terus bersembunyi. Menyembunyikan arti berbeda dari tatapan yang biasa ia berikan pada laki-laki itu pada keadaan biasa, keadaan dimana mereka sering bercengkrama sebagai seorang teman, sahabat atau keluarga. Menyembunyikan bentuk lain dari hati yang biasa ia tunjukkan dalam keadaan biasa saat ia tidak berada di sudut kerajaannya. Menyembunyikan semuanya, di balik lembaran-lembaran cetakan tulisan berbau sastra yang memang ia cintai, dan pada banyak waktu ia gunakan sebagai tameng pelindung rasanya. Menyembunyikan semuanya, di balik asap yang terus ia hisap dalam-dalam dan hembuskan, yang selalu menjadi semakin pekat seiring larutnya malam dan menjamurnya rasa yang semakin menjadi.

Perempuan itu tak melepas pandangannya. Terus menerus memperhatikan laki-laki itu. Tidak secaranya nyata karena ia lebih sering berpura-pura tertawa, berbicara dengan teman lain, membaca, atau apapun. Mengagumi laki-laki yang dalam keadaan biasa sudah cukup melekat dengan dirinya. Menyisipkan arti lain kebersamaannya dengan laki-laki itu dalam setiap pengamatannya. Mencari-cari alasan lebih dari timbunan alasan yang sebenarnya telah ia miliki untuk mengagumi dan mendekatkan diri dengan laki-laki itu. Ia terus memperhatikan, meskipun dengan ekor mata pada setiap detik ia berpura-pura melakukan aktivitas lain.

Perempuan itu akan selalu diam di sudut kerajaannya. Mengagung-agungkan laki-laki yang terus berlari dari dunianya dengan tertawa terbahak-bahak atau melakukan hal lainnya yang menyenangkan dengan teman-temannya. Mengagung-agungkan laki-laki yang lebih senang ia perhatikan saat sedang diam dan larut sendiri di balik lembaran-lembaran buku penuh gambarnya sambil menghisap rokok tak habis-habis. Mengagung-agungkan langkah laki-laki yang akan selalu memberi beban beberapa kilo lebih berat dalam hatinya yang sudah cukup berat, saat mulai melangkahkan kaki untuk memilih pulang meninggalkannya. Ia terus diam bersama arti lebih laki-laki itu bagi dirinya yang masih saja tak bisa ia ubah keadaannya.

..........

Perempuan itu akan terus diam di sudut kerajaannya. Dengan tatapannya. Di balik asap dan bukunya. Bersama arti lebih kebersamaan yang terus dia jaga. Ia tak cukup berani untuk kembali mengacaukan semuanya yang telah cukup baik dimilikinya, seperti yang biasa ia sering lakukan.