Minggu, 07 Desember 2014

Sudah, Lalu Apa?

Ada waktu-waktu dimana kau bertanya-tanya pada dirimu sendiri, "apa yang sesungguhnya sudah aku capai dan ingin aku capai dalam hidupku?" "Apakah yang sudah aku capai benar-benar aku inginkan?" "Apa lagi yang harus aku capai setelah ini?" "Apa lagi yang aku inginkan?"

Dulu kau sekolah. Lalu kau ingin lulus dan masuk universitas yang paling baik untukmu. Setelah itu semua tercapai, kau ingin segera lulus kuliah dengan baik dan mendapat pekerjaan yang paling baik untukmu. Lalu setelah semua itu juga tercapai, kau kembali pada pertanyaan awal tulisan ini. Setelah bekerja lalu apa? Apa ini benar pekerjaan terbaik untukku? Apakah aku justru ingin melakukan hal lain?

Dulu kau beranjak remaja. Lalu kau ingin tahu bagaimana rasanya punya pacar. Lalu semuanya tercapai. Bukan satu pacar, tapi banyak orang dekat dengan banyak kisahnya masing-masing. Banyak orang yang hanya dengan modal penanya, datang lalu mencorat-coret cerita mereka masing-masing di dalam bukumu. Lalu mereka pergi. Kalau diberi bonus dari Sang Maha Menentukan, beberapa orang mungkin hanya berubah 'bentuk' di dalam hidupmu, tapi tak kemana-mana. Lalu kau ingin menikah, sembari kembali ke pertanyaan awal tulisan ini. Apakah itu yang benar-benar aku inginkan? Apakah itu benar-benar akan menjadi sesuatu yang membuatku bahagia? Mungkin nantinya setelah menikah, kau akan kembali bertanya tentang apa yang harus kaulakukan dengan keinginan yang telah tercapai itu.

Manusia memang tak akan pernah puas. Sudah demikian desain yang dibuat Si Empunya Dunia atas diri kita.

Dari dulu sampai sekarang, kau mengalami banyak sekali hal. Mimpi-mimpi yang dengan tekun kau susun rapi, lalu kau pertanyakan lagi, lalu kau susun lagi, pertanyakan lagi, dan begitu seterusnya. Kau mengalami proses besar yang terbentuk dari komposisi harapan dan keputusasaan yang seringkali tidak proporsional. Beberapa hal membuatmu begitu bahagia. Beberapa lainnya membuatmu jatuh; tidak seperti mati, melainkah lebih seperti tidur, namun rasanya kau tak ingin bangun seharian, tidak juga membuka tirai jendela sama sekali.

Semakin hari, semakin rajin kau mempertanyakan perihal-perihal. Semakin kau tahu tentang banyak hal, semakin kau tak paham dengan lebih banyak hal lagi. Tentang keinginan-keinginan ketika mereka tercapai; apakah benar ini apa yang aku inginkan? Lalu keinginan-keinginan yang tak juga tergapai; apakah aku sungguh menginginkan hal ini?

Rumput tetangga seringkali lebih hijau. Hanya beberapa orang beruntung yang diberi anugerah untuk pandai merasa cukup dan menganggap rumput di halamannya yang paling hijau. Beberapa lainnya diberi anugerah untuk tidak mengenal warna, tidak ada yang hijau dan yang lebih hijau, tidak ada yang hijau ataupun yang berwarna selain hijau. Beberapa sisanya diberi anugerah kegigihan besar untuk menjadikan rumputnya yang paling hijau.

Di luar mereka adalah orang-orang kebanyakan, yang akan selamanya mempertanyakan banyak hal; seluruh hal baik dan hal buruk.

Pertanyaan-pertanyaan meriuhkan isi kepalamu. Lalu kau pertanyakan lagi keriuhan di dalam kepalamu.

Tak habis-habis.






Jakarta, 7/12/14

Selasa, 11 November 2014

Satu Malam yang Tuhan dan Rumah

Aku akan pulang.
Pada mata bulat sempurnamu,
yang telah juga kumiliki sejak sejarahku dimulai.
Akan kutanggalkan bajuku,
yang berbau asap Kota Kabut Racun.
Agar kecemasanmu ikut tertanggalkan.
Agar kau tahu,
mataku masih sama sempurna bulatnya dengan matamu.

Aku akan pulang.
Pada ombak-ombak di rambutmu,
yang telah juga kumiliki sejak semestaku terbentuk.
Akan kubasuh seluruh tubuhku,
yang berkerak keburukan bagimu.
Agar ketakutanmu turut luruh.
Agar kau tahu,
laut yang tumbuh di atas kepalaku masih seluas milikmu.

Aku akan pulang.
Tidak ke rumahmu,
atau apa yang semakin jauh dari apa yang kuanggap rumahku.
Aku hanya akan pulang,
ke kasar telapak tanganmu yang menyimpan doa,
dan pecah telapak kakimu yang menyimpan surga.

Lalu aku akan pergi lagi.
Mencari rumah milikku sendiri,
yang tak akan pernah kutemukan.

Lalu aku akan hilang lagi.
Dengan baju bau knalpot dan tembakau.
Dengan tubuh berkerak dosa dan gila.
Dengan Tuhan yang kubawa-bawa di dalam kepalaku.
Dengan Tuhan yang tertawa-tawa di dalam dadaku.



Jakarta
21-10-14
00.02

Hari di Selasar Senja

Hari berlari-lari
Saban hari
Mengejar matahari

Hari melompat-lompat
Dari satu atap rumah ke atap rumah lain
Yang ujungnya tajam-tajam
Sampai kaki-kakinya berdarah-darah

Hari duduk-duduk
Di selasar rumah senja
Meringis-ringis karena kakinya sakit
Menangis-nangis karena matahari telah jauh,
menghilang berlari darinya

Hari ketakutan
Rumah senja lebih menakutkan
Dari monster yang sudah ia besarkan di dalam dirinya

Hari ingin pulang
Tapi tak tahu ke bawah atap rumah yang mana
Mungkin yang menoreh luka paling lebar,
di telapak kakinya

Hari diam
Merindukan ibu yang lebih besar dan telah lebih jauh,
dari matahari ketika pintu rumah senja tertutup malam

Hari menghitung-hitung bintang
Dan atap-atap rumah yang akan dilompatinya besok
Lalu bersiap berlari-lari lagi

Selasa, 30 September 2014

Delapan Puluh Tiga Tahun Opa Baik Hati

Pada akhirnya, bekerja bukanlah tentang apa yang kauberikan kepada pekerjaanmu, bukan pula tentang apa yang pekerjaanmu berikan kepadamu, melainkan tentang apa yang kauberikan kepada dirimu sendiri melalui pekerjaanmu.

Pada akhirnya, bekerja bukan tentang dedikasi, bukan pula tentang benefit, tapi tentang idealisme dan nilai yang kauanut sendiri, di dalam dirimu sendiri, dan untuk rasa penuhmu sendiri.

Yogyakarta, 27 September 2014.

Selamat ulang tahun yang ke-83, Opa Jacob. Aku tak habis terkagum-kagum padamu, lalu tak habis bertanya-tanya tentangmu. Terkagum-kagum lagi, lalu bertanya-tanya lagi.

"Apa yang ada di dalam kepala tiga-puluh-sekian-tahun-mu dulu ketika memulai semua ini? Apa alasanmu ketika itu? Apa bayanganmu ke depannya pada saat itu?"

"Apa yang ada di dalam kepala delapan-puluh-sekian-tahun-mu sekarang setelah semuanya sejauh ini?"

Aku bergabung di rumah ini 50 tahun kemudian. Ketika rumah ini sudah besar. Ketika nilai-nilai yang katanya adalah nilai-nilai yang kaupegang kuat-kuat, diagung-agungkan dimana-mana. Karena nilai-nilaimu baik, katanya.

Kau memang orang baik. Sejauh ini kau masih orang baik walaupun manusia memang terbuat dari setumpuk kepentingan. Semoga kepentinganmu memang baik dan akan tetap baik.

Tapi, Opa, tidak semua orang punya nilai yang sama dengan apa yang kaupegang. Lagipula nilai yang baik belum tentu bisa dieksekusi dengan cara yang baik. Banyak anakmu yang (merasa) mengerti, tapi lebih banyak lagi yang tidak mengerti. Bisakah pertanyaanku dijawab? Biar jadi pemahaman bagi kami semua yang (merasa) paham ataupun yang tak paham ini. Atau apalah, biar jadi pemahaman untukku sendiri.

Pada akhirnya, bekerja adalah tentangmu dan dirimu sendiri. Sisihkanlah waktu yang banyak untuk bertanya-tanya, apa sesungguhnya yang ingin kaucari dan dapatkan dari hidupmu. Setelah kautahu jawabannya, bangunlah keyakinan atas jawabanmu itu. Jika keyakinanmu tak sesuai dengan keadaanmu saat ini, menyerahlah. Carilah cara untuk menyesuaikannya tanpa perlu membangun tendensi negatif (ataupun positif) apapun tentang apa yang ada di luar dirimu.

Panjang umur, Opa Jacob. Semoga nilai-nilai yang kaupelihara di dalam dirimu, dipelihara waktu di dalam diri anak-anakmu ini.



Rumah yang Samar dan Persinggahan yang Nyata; Jogja, Jakarta dan Torehan Ingatan Tentangnya

Yogyakarta, 26 September 2014.

Untuk kesekian kalinya saya menginjakkan kaki lagi di Jogja, setelah awal 2013 lalu meninggalkan kota ini sebagai domisili. Kota ini punya tangan yang selamanya akan selalu mampu melambai padamu, mengajak kembali, dan jika kau tetap mengacuhkannya, tangannya akan menguat sampai mampu menggenggam dan menarikmu kembali.

Ada yang mistis memang di kota ini.


Banyak hal telah berubah. Kota semakin ramai. Kemacetan mulai akrab terjadi. Orang-orang telah datang dan telah juga pergi. Ada yang terasa asing di dada. Kota ini bukan lagi milikmu dan tidak lagi memilikimu. Kau lalu sadar, kota ini bukan rumahmu, meski terus-menerus memanggilmu pulang. Kota ini lagi dan lagi hanyalah persinggahan yang lain. Kau tak lagi punya teman di sini. Mereka telah pergi. Setiap sudut kota yang dulu selalu menampung orang yang bisa kauajak bicara, sudah tak ada lagi. Satu-dua orang masih ada, tapi sudah tak sama lagi.

Mungkin bukan orang yang berubah, mungkin keadaan yang berubah. Atau mungkin bukan mereka yang telah pergi, tapi justu kau yang telah pergi. Kau yang telah tak ada. Bukan ragamu, tapi kau dalam bentuk yang lebih samar.

Kota ini tetap mempesona. Jingga lampu jalan di sini selalu terasa berbeda dari jingga lampu jalan di manapun. Ada roh yang ikut keluar dari sinar-sinarnya. Orang-orang di kota ini juga seperti mengeluarkan sesuatu dari pori-pori kulitnya, menguap di udara dan menyatu membentuk suatu senyawa yang melapisi atmosfer. Membuatmu sentimentil karena menghirupnya. Lalu semua kenangan mulai sibuk lalu-lalang di dalam dadamu, dan beragam perasaan mulai mengaduk-aduk isi kepalamu. Aneh memang, tapi benar ada waktu-waktu dimana ingatan justru muncul di dalam dada dan perasaan hadir di dalam kepala.

Lalu kau akan jatuh cinta. Sama seperti yang sudah-sudah terjadi setiap kau ada di kota ini.

Seperti saya, ada baiknya kau pergi melamun sendirian. Berjalan di sepanjang Malioboro. Mencari-cari topi pancing batik titipan teman yang tak pernah ada. Merasa heran karena baru kali ini kau mencari sesuatu di Malioboro, di Mirota Batik, lalu tak menemukannya. Pilihlah satu becak setelah itu. Cari bapak tukang becak yang tak terlalu ramah, tapi tak juga terlalu cuek. Bertanyalah dimana bisa kautemukan topi itu. Dia akan memberikan jawaban yang tak memuaskanmu. Lalu naiklah becaknya, minta dia mengantarmu pulang. Lalu lanjutkan lamunanmu.

Di perjalanan, merokoklah secukupnya kau mampu menenangkan dirimu. Kau akan melihat banyak hal di dalam dirimu sendiri; melihat kau yang dulu tinggal di kota ini, dan bagaimana berbedanya ia dengan dirimu yang sekarang. Kau akan melihat bahwa telah panjang jalan yang kaulalui. Kau akan takjub menyadari apa saja yang sudah kaualami. Tapi perjalanan memang seharusnya panjang dan diisi oleh banyak hal yang pada akhirnya membentukmu sampai di titik ini.

Segala hal berubah. Keadaan berubah. Dan kau adalah bagian dari keadaan itu. Kau berubah.

Semua orang akan pergi. Jika bukan mereka, kaulah yang pergi. Kau bagian dari orang-orang.


Lalu kau rindu Jakarta. Karena kota bajingan itu sesungguhnya juga telah membuatmu kecanduan. Karena serutin apapun kau memaki dan mengeluhkannya, kau menyayanginya.

Ini kali kedua saya merasakan adanya keinginan besar untuk segera pulang ke Jakarta. Kali pertama, ketika sedang mudik ke Ambon. Sampai saya selesai menuliskan tulisan ini, saya juga masih tak habis pikir kenapa saya bisa merindukan Jakarta. Tapi paling tidak, saya punya beberapa alasan yang telah dengan susah payah saya gali dari dalam diri saya sendiri.

Jakarta memang keras. Segala hal di dalamnya memang jahat; dari udara sampai orang-orangnya. Kemudian tanpa sadar, sembari terus memaki dan mengeluh, kota itu telah membentukmu menjadi sekeras dia, tanpa perlu meminta permisi. Kau menjadi semakin kuat. Tubuhmu, mentalmu, hatimu, pikiranmu. Kau menjadi semakin santai menghadapi masalah-masalah. Kau menjadi semakin pintar, semakin cerdas, karena kota ini mengajarkan banyak sekali hal padamu. Lagi-lagi, tanpa permisi. Kau belajar dari apa yang kau alami, apa-apa yang lebih banyak tidak enak, lalu dari apa-apa yang orang lain alami, apa-apa yang memang tidak enak.

Kau jadi mengagumi banyak orang di sana. Karena mereka hebat. Karena mereka kuat. Karena mereka telah dibentuk kota yang keras dan jahat itu. Mereka luar biasa.

Kemudian kau akan menjadi pandai bersyukur. Hal-hal kecil mulai kausyukuri. Satu saja titik bintang di langit. Bulan penuh yang kabur. Penjual makanan di pinggir jalan yang tersenyum padamu. Kendaraan yang memberimu jalan untuk menyeberang. Tukang jamu yang mengingat namamu. Waktu bersama teman-temanmu, meski hanya merokok di kantin atau depan gerbang kantor, meski hanya bermain musik sepanjang malam, meski hanya menumpang tidur karena pulang terlalu malam dan harus bekerja kembali pagi-pagi.

Lalu kau akan sangat bersyukur ketika di tengah rimba yang keras dan jahat itu, kau punya orang-orang tertentu yang mampu memaklumimu dengan jujur. Tak perlu selalu ada. Tak perlu selalu berbaik-baik padamu. Hanya saja mereka selalu mampu mengimbangi kekacauan maupun ketenangan isi kepalamu.

Seharusnya kita memang pandai bersyukur.

Jumat, 19 September 2014

Semesta di Dalam Tubuhku

Aku mau satu saja ruang hampa.
Demi terendap perihal-perihal.
Demi teredam perkara-perkara.
Demi terbaca semesta di dalam tubuhku sendiri.

Tapi ruang ini masih saja ramai.
Meski dua jarum jam telah habis bersetubuh,
di pukul dua belas.
Meski waktu telah mati,
ditikam isi kepala yang tak habis bertanya-tanya.
Meski lampu kota telah semua menjelma kunang-kunang.
Meski kunang-kunang telah semua dimatikan,
oleh remang lampu kamar.

Tapi ruang ini tak mau mengedap.
Maka biar saja kecemasan menelan habis jalan-jalan raya.
Sampai tak ada lagi jalan kemana-mana.
Maka biar saja aku berlari,
di atas tubuh kecemasan itu sendiri.
Dari satu kecemasan,
ke kecemasan lainnya.
Dengan isi kepalaku yang tak mau berhenti bertanya-tanya.
Tentang waktu,
tentang lampu,
tentang kunang-kunang,
tentang jalan-jalan raya,
tentang dimana ada ruang hampa.

Tentang semesta di dalam tubuhku sendiri.



Jakarta,
19.9.14
00.50

Senin, 08 September 2014

Tuhan Menggambarkan Malam dengan Sempurna di Tubuhmu

Malam akan tetap turun.
Kota akan tetap menutup diri dengan kabut tebalnya sendiri.
Mengasingkan matahari.
Menyalakan lampu-lampu di dalam dirinya.
Sebanyak mungkin.
Sesilau mungkin.
Lalu memainkan suara-suara kecemasan keras-keras.
Sampai bising.

Tapi ketika jam dua belas telah lewat,
malam dan kota akan turun.
Ke atas kepalamu.

Mengabur kabut.
Sampai bulan bulat telanjang,
menggantung di ujung-ujung rambut tebalmu.

Mematikan lampu-lampu jalan.
Tinggal kunang-kunang terbang,
dari tiap-tiap jendela yang menyala di ketinggian.
Dan hinggap di alismu.

Mendiamkan suara-suara,
di sepanjang jalanan pukul tiga.
Agar lengang punggungmu.
Agar redam isi kepalaku di sana.
Agar pagi tak perlu datang.



Jakarta,
6/9/14
Dini harimu

Jumat, 05 September 2014

Book Review: The Man Who Mistook His Wife for a Hat


Sesungguhnya ini bukan review. Ini ringkasan suka-suka.

Buku 327 halaman ini berisi tentang dongeng-dongeng dari kisah pasien-pasien penulisnya sendiri, Dr. Oliver Sacks. Mengapa dongeng? Karena kasus-kasus kelainan psikologis klinis atau bisa disebut kelainan neurologi di sini sungguh di luar bayangan. Menakjubkan dan mengerikan dalam satu waktu yang sama. Kasus-kasus yang sepanjang karir Dr. Sacks sebagai neurolog, mampu membuatnya sendiri terus-menerus takjub.

Dr. Sacks menyajikan buku ini dengan baik. Ia menuturkan kasus-kasus pasiennya seperti menuturkan fiksi. Meskipun demikian, buku ini masih tergolong buku yang berat. Selain karena memang adalah buku ilmiah non-fiksi, sekali lagi saya sampaikan, kasus-kasus yang diceritakan Dr. Sacks di dalam buku ini sungguh-sungguh bisa membuat kening berkerut sepanjang membacanya. Kamu akan bertanya-tanya, bagaimana mungkin hal-hal semacam ini dan semacam itu bisa terjadi di dalam diri manusia. Beyond imagination, mungkin adalah ungkapan yang tepat.

Di buku ini, Dr. Sacks juga cenderung tidak berniat untuk menjelaskan setiap kasus secara lengkap. Tidak sampai pada penyelesaian kasus yang dilakukannya, atau sebab yang jelas dari beberapa kasus yang hanya sempat diketahuinya, tanpa ditangani olehnya. Ia lebih banyak menekankan pada bagaimana menakjubkannya kasus-kasus tersebut. Ia menekankan pada nilai-nilai pemahaman tertentu yang dapat dipetik dari kasus-kasus ajaib itu.

Dan memang, banyak yang bisa dipetik dari membaca buku ini. Kamu akan tahu bagaimana seluruh dunia memang hanya ada di dalam kepalamu sendiri. Whole world is just on your mind. Segala sesuatu tergantung bagaimana persepsimu sendiri, tergantung isi kepalamu sendiri. Duniamu ada di dalam kepalamu. Kamu juga akan tahu bagaimana otak manusia adalah ciptaan yang terlalu luar biasa. Beyond everything. Kelecetan kecil di otak, dan seluruh duniamu tidak akan sama dengan dunia yang dipahami orang pada umumnya.

Ada beberapa kasus yang paling membuat saya menganga ketika membacanya.

Pertama, kisah seorang pria yang salah mengira istrinya sebagai topi, kasus yang menjadi judul dari buku ini. Ia mengalami kerusakan di suatu bagian otaknya dan itu merusak kemampuan persepsinya. "Punch line" kasus ini ada pada cerita ketika ia selesai diperiksa, dan diminta memakai kembali sepatunya. Ia hanya menatap kakinya dan terdiam. Baginya, sepatunya telah terpasang. Kakinya adalah sepatunya. Hal luar biasa lainnya dari kasus ini adalah, sebagai musisi, hidupnya dibantu oleh musik yang mengalun sendiri di dalam kepalanya dan sering ia gumamkan setiap saat. Musik itu yang mengarahkannya melakukan aktivitas sehari-hari, seperti mengenakan pakaian. Ketika ada distraksi tiba-tiba seperti bunyi pintu dibanting, musik di dalam kepalanya akan berhenti dan ia akan seketika mematung.

Kedua, kisah seseorang yang mengalami sakit dan berefek ke kerusakan di bagian otak yang bertanggungjawab atas kondisi visualnya. Sejak saat itu, ia menjadi buta. Namun bukan hanya itu, ia juga kehilangan persepsi melihatnya. Jadi, ia kehilangan semua memori visualnya dan menjadi seakan tidak pernah tahu seperti apa yang dinamakan orang dengan melihat. Melihat itu apa? Seperti apa? Bagaimana caranya? Apa rasanya? Maka ia menjadi orang buta yang merasa baik-baik saja dengan kebutaannya, atau kata Dr. Sacks, kebutaan atas kebutaan.

Ketiga, persoalan indera keenam. Setiap manusia memiliki indera keenam yang adalah indera untuk merasakan tubuh kita sendiri. Dengan begitu, tanpa harus melihat tangan kita, kita tahu tangan kita ada di situ, ada di tempatnya, dan mau kita apakan. Begitu juga anggota tubuh kita yang lain. Propriosepsi namanya. Sayangnya, salah satu pasien Dr. Sacks mengalami kerusakan propriosepsinya. Ia kemudian merasa bahwa ia tidak punya tubuh. Untuk bergerak, ia harus menggunakan kelima inderanya yang lain, seperti mata. Ia harus melihat tangannya, baru mengetahui di mana tangannya berada, lalu menggerakkannya, sambil terus dilihat. Ketika ia melepaskan pandangannya, tangannya langsung menghilang dan tidak ada lagi bagi dirinya.

Betapa di luar pemikiran, kasus-kasus yang diceritakan Dr. Sacks di bukunya ini. Dr. Sacks mengkategorisasikan bukunya dengan baik. Ia membahas defisit atau pengurangan fungsi dan kasus-kasus yang diakibatkannya, lalu juga membahas mengenai persoalan-persoalan kelebihan fungsi. Dari sini kamu akan belajar bahwa ketika kamu merasa terlalu sehat, mungkin di saat itulah kamu sesungguhnya sakit.

Dr. Sacks juga mengkategorisasikan satu bab khusus yang membahas "orang-orang sederhana", atau orang-orang yang mengalami gangguan perkembangan. Orang-orang dengan tingkat intelegensi yang jauh di bawah rata-rata, dianggap bodoh, tidak mampu belajar apapun, dan tidak akan mampu bertahan hidup. Karena untuk melakukan aktivitas sehari-hari yang sederhana saja sulit bagi mereka. Namun orang-orang ini punya kelebihan tertentu yang bisa membuat orang lain tak habis pikir. Seperti kasus Si Kembar yang mengalami keterbelakangan mental namun adalah ahli matematika. Mereka hanya memroses hal-hal dengan cara yang tidak sama dengan orang umumnya lakukan. Itu saja.

Seperti itulah Dr. Sacks memaksa kita untuk mengambil makna tersembunyi dari kisah-kisah yang diceritakannya. Ia membuat kita belajar bahwa orang-orang dengan kekurangan di dalam dirinya, sebenarnya sama saja dengan kita. Hanya saja mereka memliki cara yang berbeda dalam memroses dunia dan isinya. Mereka bahkan mungkin lebih dari kita. Atau mereka justru lebih beruntung daripada kita. Seperti pasien-pasien penderita agnosia yang tidak bisa memahami kata-kata, namun sangat peka memahami bahasa non-verbal. Mereka tak bisa dibohongi. Bahkan ketika menonton pidato presiden di televisi, kita mungkin masih bisa terpesona. Tidak dengan mereka.

Sama halnya ketika Dr. Sacks menuturkan cerita penutup bukunya tentang seorang anak penderita autis namun memiliki kemampuan seni rupa yang luar biasa dalam hal menggambar. Seorang anak dengan dunianya sendiri di luar dunia orang-orang lain. Seorang anak yang diistilahkan olehnya, punya pulau sendiri di luar daratan induk. Suatu kutipan dari bukunya kira-kira seperti ini;

"Ini membawa kita ke pertanyaan terakhir: apa ada 'tempat' di dunia bagi orang yang seperti sebuah pulau, yang tidak bisa dibaurkan, dijadikan bagian dari daratan induk? Bisakah 'daratan induk' mengakomodasi, memberi ruang, bagi yang aneh? Apa ada 'tempat' baginya di dunia yang akan menerapkan otonomi bagi mereka, tapi membiarkan mereka tetap utuh?"

Dan saya hampir meneteskan air mata membaca kutipan tulisan itu. Ya, apakah ada? Bukan hanya kita yang baik-baik saja, yang ingin hidup di dunia ini, sehidup-hidupnya, dengan cara yang kita anggap paling hidup. Merekapun demikian.

Kamu tak harus membaca bukunya. Memang berat. Saya menghabiskan hampir sebulan untuk menyelesaikan buku ini. Baca saja catatan ini dan pahami sesuatu.

Kamis, 04 September 2014

Book Review: The Tiny Book of Tiny Stories Vol. 2

  
Buku yang mahal. Dalam pengertiannya secara harfiah maupun tidak.

Saya menemukan buku ini pertama kali di timeline path saya, ketika teman saya memosting gambar-gambar isi buku ini. Buku yang baik pasti ada di tangan orang yang baik. Pada suatu waktu, dia meminjamkannya kepada saya tanpa saya minta dan tanpa pernah saya cari tahu sama sekali kepadanya.

Saya tanya, dimana dia membelinya. Jawabnya, di Periplus. Oke. Pantas saya tidak pernah melihatnya. Selain karena saya lebih senang membaca karya sastra Indonesia, saya lebih banyak menghabiskan waktu untuk mencari buku di toko buku pojokan Taman Ismail Marzuki, atau di kantor saya sendiri ketika Kompas Gramedia Publishing sedang ada hajatan dan mengobral buku besar-besaran.

Saya tanya lagi, berapa harganya. Oke. Jawabannya membuat saya maklum mengapa saya tidak pernah (mau) tahu tentang keberadaan buku ini. Ini adalah buku kedua, dimana ada buku pertama dan buku ketiga selain buku ini. Jika saya yang memilikinya, saya akan gemas untuk memiliki ketiganya. Maka saya semakin tidak mau tahu.

Buku ini memang mahal. Demikian juga setelah saya mulai membuka cover-nya yang tebal. Menarik. Potongan-potongan pikiran dan perasaan dikumpulkan dari berbagai ilustrator dan penulis, dan kemudian ditebar oleh Joseph Gordon-Levitt di setiap lembar demi lembar buku ini. Potongan-potongan kecil. Pendek-pendek. Tapi akan memanjang di dalam kepalamu.

Saya akan bercerita tentang beberapa halaman yang paling mengesankan saya dari semua halaman yang memang mengesankan di buku ini.

Ini bagian dengan tulisan paling bagus bagi saya. Perputaran kata-kata yang cerdas untuk pemaknaan yang dalam. Kiri dan kanan sama halnya dengan salah dan benar, kadang tak benar-benar kiri atau kanan, dan tak benar-benar salah atau benar. Juga tak harus dan tak pasti terus berpasangan.


Ini bagian dengan ilustrasi paling keren bagi saya. Ilustrasi yang mampu menggambarkan segala-galanya sedalam-dalamnya tentang potongan tulisan di sampingnya. Kecemasan memang tumbuh menjadi bunga liar dari dalam kepalamu sendiri. Demikianlah jatuh cinta dan patah hati seringkali berakhir di kursi salon. Buang sial, katanya.


Ini bagian yang paling manis bagi saya. Semanis melihat dua orang berandal yang sedang jatuh cinta dan seketika bertingkah seperti anak kecil di taman bermain. Semanis melihat dua orang dengan isi kepala yang selamanya kacau balau sedang jatuh cinta, lalu tiba-tiba isi kepalanya redam. Semanis... seperti inilah jatuh cinta. Tak buruk tapi tak selamanya baik. Terima saja paketnya.


Dan ini bagian yang paling berhasil memorak-morandakan isi kepala dan dada saya. Seperti melihat cermin, dan tidak menemukan apa-apa di dalam sana. Tidak ada dirimu. Lalu kau rindu pulang, siapa tahu bisa menemukan potongan-potongan dirimu di sana, di bawah tempat tidur, di belakang lemari, di dekat pot tanaman kesayangan mama. Tapi waktu telah berlari meninggalkanmu sebelum kamu sempat mengenalinya.


Secara keseluruhan, buku ini menarik. Menggemaskan. Sangat menggemaskan malah. Jika harus diuraikan satu demi satu tentang tulisan, ilustrasi dan lainnya, masing-masing bagian itu hanya bisa saya beri apresiasi bagus. Tapi ketika mereka disatukan, hasilnya luar biasa dan 'mahal'. Buku sederhana 123 halaman yang dapat kauselesaikan dalam waktu paling lambat 15 menit, tapi mampu membangun rumahnya di dalam kepalamu dan tinggal selamanya di sana.

Senin, 01 September 2014

Kekasih-kekasih Pinggiran Jalan

Kekasih-kekasih pinggiran jalan
Akan sedia menemanimu berbicara
Di trotoar-trotoar sepi pukul larut
Menghabiskan berteguk-teguk kopi
Lalu bir
Lalu kopi lagi
Sampai merkuri-merkuri padam

Kekasih-kekasih pinggiran jalan
Tak akan membawamu pulang
Beristirahat di bawah selimut mimpi
Yang ketika menjadi nyata adalah peluk
Dan senyum
Dan peluk lagi
Sampai merkuri-merkuri menyala





Jakarta, 19 9 13
Dalam perjalanan panjangmu,
dari yang kaukira rumah menuju apa yang kauharap rumah,
merekalah yang ada di pinggiran-pinggiran jalannya.
Dan selamanya hanya di sana.

Selasa, 26 Agustus 2014

Gagak-gagak di Rambut Putihmu

: Mas Vik

Bulan terduduk dan matahari berlari ketika suatu pagi yang biasa turun.
Di suatu sudut dunia, deru mesin-mesin menelan jalanan bulat-bulat.
Orang-orang memakan asap dan meminum kecemasan untuk sarapan.
Sementara tanah dan udara masih sama-sama kelabu.
Dan tak ada yang beterbangan di langit.
Kecuali gagak-gagak yang hinggap manis di rambut putihmu.

Bulan terlelap dan matahari terjaga ketika suatu pagi yang biasa turun.
Di suatu sudut dunia, kokok ayam-ayam menelan setapak bulat-bulat.
Orang-orang memakan raung ternak dan meminum harapan untuk sarapan.
Sementara tanah dan udara berwarna-warni.
Namun tak ada yang beterbangan di langit.
Kecuali gagak-gagak yang hinggap manis di rambut putihmu.

Bulan mati dan matahari merayakannya ketika suatu pagi yang biasa turun.
Di suatu sudut dunia, nyanyi gagak-gagak menelan hidup bulat-bulat.
Tak ada asap, tak ada raung ternak, tak ada kecemasan, tak ada harapan.
Sementara tanah dan udara telah membaur tanpa punya definisi warna.
Dan gagak-gagak di rambut putihmu mulai beranjak beterbangan.
Lalu hinggap di sudut-sudut mata orang-orang selainmu.



Jakarta,
27/08/14
Gagak-gagak senang bermain dengan orang-orang baik

Senin, 18 Agustus 2014

Tuhan, Doa dan Bintang Jatuh

Tuhan tidak menjatuhkan bintang,
lalu menyuruhmu berdoa.

Tuhan menyuruhmu berdoa,
lalu menjelmakan tangannya sebagai sekerlip bintang,
lalu bergerak turun menangkap doamu,
lalu menggenggamnya erat-erat,
lalu menjatuhkan ampasnya.

Itu yang kau lihat sebagai bintang jatuh.





Tepian kota yang langitnya masih berbintang,
30.6.13 - 00.44



Rabu, 13 Agustus 2014

Try Doing Things for Your Own Sake

"Kalo maen kabar-kabarin lah. Biar gue nonton."
"Ah, nggak lah. Blues udah nggak 'in' lagi di Indonesia. Lagian band gue nggak layak tonton."
"Yaelah. Mau maen tinggal maen. Kayak program TV aja lo, harus sesuaiin selera pasar."


-----

Itu adalah kutipan percakapan saya dengan teman saya di suatu media sosial. Percapakan pendek yang kemudian memanjang di dalam kepala saya.

-----

Cobalah lakukan sesuatu untuk dirimu sendiri. Memang untuk dirimu. Dirimu sendiri. Dirimu.

Cobalah.

Saya tidak meminta kamu (dan saya sendiri) untuk melakukannya. Saya hanya meminta mencobanya.

Cobalah.

Meskipun sulit. Meskipun menurut saya sendiri, kemungkinan berhasilnya sangat tipis.

Cobalah.

Cobalah lakukan sesuatu demi dirimu sendiri. Tidak demi orang lain. Tidak demi hal lain.

Cobalah menulis karena itu melegakanmu. Bukan agar orang lain dapat membaca apa yang kautulis. Cobalah bernyanyi karena itu memuaskan rongga dadamu. Bukan agar orang lain tahu seberapa baik kamu bernyanyi. Cobalah berpakaian karena kamu merasa baik ketika mengenakannya. Bukan agar enak dilihat oleh orang lain dengan preferensi minat mereka yang berbeda-beda. Tidakkah itu akan melelahkan? Menyesuaikan diri dengan apa yang orang lain anggap baik, dimana setiap orang akan berbeda-beda pegangannya tentang apa yang dianggap baik. Atau agar sama dengan standar rata-rata orang, agar bisa diterima? Melelahkan.

Cobalah berdiri di depan cermin setiap pagi, dan temukan apa yang kauinginkan dari bayangan yang ada di depanmu itu, lalu wujudkanlah. Bukan menemukan apa yang orang lain inginkan, lalu kauwujudkan. Cobalah bekerja karena kamu merasa apa yang kamu kerjakan adalah benar untuk dirimu sendiri. Bukan untuk bosmu, bukan untuk penilaian tahunanmu, bukan untuk kenaikan gaji atau bonusmu, bukan untuk nama baikmu. Cobalah berjalan-jalan dan berpetualang, demi perasaan luar biasa yang akan kamu rasakan di dalam dirimu sendiri dari pengalaman-pengalaman yang kamu alami selama perjalanan. Bukan agar orang lain tahu kemana saja kamu pernah pergi dan apa saja yang pernah kamu alami. Bagikan pengalaman itu untuk orang lain, tapi demi dirimu sendiri. Demi kelegaan di dalam kepalamu sendiri karena telah membagi kisah untuk orang lain, yang mungkin dapat menjadi suatu pelajaran bagi mereka. Itu terserah mereka, bukan urusanmu lagi. Cobalah bermain musik karena kamu senang melakukannya. Bukan karena apa yang kamu mainkan disenangi oleh orang lain.

Kemudian cobalah mencintai orang lain untuk dirimu sendiri. Karena kamu mencintainya. Karena kamu memang mencintainya dan semuanya adalah tentangmu dan perasaanmu. Bukan karena kamu akan bersamanya. Bukan karena dia juga akan mencintaimu. Bukan karena nilai atau pola apapun yang umumnya dianut oleh semua orang. Biarkan semuanya hanya tentang dirimu. Demi dirimu sendiri. Jangan biarkan rasa memiliki merusak apa-apa yang masih polos, dengan warna-warnanya yang teramat beragam dan pekat.

Cobalah.

Saya yakin semua percobaan ini akan gagal. Karena manusia tidak diciptakan dengan konstruk seperti yang ada di dalam tulisan ini. Ada skema-skema kolektif yang menancap kuat di dalam diri kita, yang akan mengontrol segala apa yang kita lakukan (termasuk perilaku berpikir dan merasa), baik yang dikendalikan oleh kesadaran maupun ketidaksadaran kita. Ada pola-pola yang sepertinya sudah ada sejak kita masih primitif, dan pola-pola itu tidak membiarkan apa yang saya sampaikan di sini untuk dapat diaplikasikan. Dirimu adalah hasil interaksi semua elemen yang ada di dunia sekitarmu, yang berkaitan denganmu. Itu sebabnya dunia tentang dirimu sendiri adalah keniscayaan.

Tapi cobalah.

Mungkin kamu akan bisa lebih berbahagia, berada di bawah apa yang seharusnya bagi dirimu sendiri, bukan di bawah apa yang seharusnya bagi orang atau hal lain.

-----

Jakarta, 13/8/14

Minggu, 13 Juli 2014

Carnival Life


Round 'n round
Carousel
Has got you under it's spell
Moving so fast...but
Going nowhere


Up 'n down
Ferris wheel
Tell me how does it feel
To be so high...
Looking down here


Is it lonely?
Lonely
Lonely


Did the clown
Make you smile
He was only your fool for a while
Now he's gone back home
And left you wandering there


Is it lonely?
Lonely
Lonely 

Carnival Town - Norah Jones



 Saya kembali berkutat mendengarkan lagu ini terus-menerus beberapa minggu belakangan, setelah pada suatu malam teman saya memainkan gitar dan menyanyikannya.



Hidup memang seperti komidi putar; membawamu bergerak begitu cepat, meski kadang tak ke mana-mana.
Hidup memang seperti bianglala; mengantarmu sampai di titik yang tinggi, lalu kembali ke titik yang rendah, dan begitu seterusnya.
Hidup memang seperti badut; mengelilingimu, menghibur sesaat, lalu pergi, meninggalkanmu bertanya-tanya sendirian.

Hidup memang adalah kumpulan wahana yang pada waktunya akan tutup juga;
dan semua hanya tentang kesunyian yang dirayakan dengan begitu meriah.


 

Juli yang Terlalu Riuh


Sembilan Juli Dua Ribu Empat Belas.

Hari ini riuh sekali.

Jerman menghabisi Brazil.
Israel menghabisi Palestina.
Jokowi menghabisi Prabowo.

Sebagai warga negara Indonesia dan bukan Jerman atau Brazil atau Israel atau Palestina, poin ketiga masih menjadi poin yang paling riuh bagi saya.

Saya terbangun di siang hari tanpa ada keinginan untuk menggunakan hak suara saya sama sekali, bahkan jauh sebelum hari ini. Di luar kamar, televisi sudah ramai berkoar-koar tentang perhitungan cepat suara. Maka sisa siang saya dihabiskan dengan menonton berita ini dan itu dengan penuh kecemasan. Menonton berita sudah seperti menonton pertandingan bola atau menonton konser hari ini.

Singkat kata, dua mengalahkan satu. Saya tidak mendukung siapa-siapa. Itu sebabnya hak suara saya disimpan untuk saya sendiri. Bagi saya, apa saja asal bukan kandidat nomor urut satu. Tapi saya juga belum cukup simpatik dengan kandidat nomor urut dua. Di dalam kepala saya, ini dunia yang penuh dengan kongkalikong. Bagaimana jika Si Dua sama saja dengan Si Satu? Bagaimana jika mereka sebenarnya hanya punya satu kepentingan yang sama? Bagaimana jika ini semua hanya eksekusi dari rencana A dan B dan C dan D dan seterusnya milik Si satu ataupun Si Dua yang sebenarnya sama-sama merugikan?

Tapi sekali lagi, bagi saya, apa saja asal bukan Si Satu. Saya tidak perlu menjalani kehidupan berat tahun '98 di Jakarta untuk menolak kekerasan. Toh ketika itu saya baru duduk di bangku kelas tiga SD dan di tahun berikutnya, saya disibukkan dengan kerusuhan Ambon di tanah kampung halaman saya sendiri. Saya tahu apa itu kekerasan. Saya tahu rasanya hidup sulit di tengah pembantaian-pembantaian yang mengatasnamakan agama. Saya juga bisa memahami hal yang sama, yang dilakukan atas nama kekuasaan. Saya hanya tidak mau lagi ada kekerasan di mana-mana, dan saya tidak perlu menjelaskan di sini mengapa atas dasar itu saya begitu takut dengan Si Satu.

Kecemasan saya tidak mereda ketika sampel suara sudah masuk 100% di berbagai media dan sebagian besar dari media-media itu menyatakan Si Dua yang menang. Sebagian kecil media masih ada yang menyatakan Si Satu yang menang. Tanda-tanda kecurangan muncul di mana-mana. Mulai dari kelengkapan sampel suara yang terlalu cepat, jumlah persentase suara yang rancu, kabar tentang hasil perhitungan yang memenangkan pihak satu sudah tersebar bahkan sebelum pemilihan berlangsung, fakta soal lembaga survei yang memenangkan pihak satu adalah milik pihak koalisinya, laporan kesalahan-kesalahan pendataan form C1 di TPS-TPS, typo sajian data angka pemilih yang melenyapkan ribuan suara, isu tentang kekacauan pemilihan di luar negeri yang sengaja diciptakan, dan masih banyak lagi. Tak habis-habis. Tak heran, mengingat Si Satu pernah menyatakan bahwa tidak ada opsi untuk tidak menang bagi dia. Segala hal bisa dihalalkan.

Ini menjadi suatu komedi yang mencemaskan ketika kedua pihak lalu mengklaim menang. Orang lalu bertanya-tanya, "Jadi siapa yang menang?" "Kok malah sekarang presidennya ada dua?" Entah siapa yang mengalami kerusakan otak di sini, mungkin saya sendiri. Dengan semua kejadian yang ada, seharusnya kita dapat menilai sendiri keadaan yang sebenarnya terjadi. Tidak perlu lagi bertanya siapa yang menang. Saya rasa, Si Satu akan tetap (di)menang(kan) tanggal 22 nanti. Selisih suara hanya 5%, dan itu bahkan hanya sebesar persentase margin error. Segala sesuatu bisa diatur dalam rentang waktu seminggu lebih sejak pemilihan sampai pengumuman keputusan KPU.

Drama pilpres kali ini semakin seru ketika Si Satu ngambek kepada para awak media di rumahnya sesaat setelah hasil-hasil quick count bermunculan. Bagi saya, beliau memang tidak seharusnya memunculkan respon seperti itu. Sebagai 'Calon Bapak Sejuta Umat', seharusnya beliau lebih tenang dan tahu bagaimana seharusnya bersikap. Tapi yang paling disesalkan adalah respon beliau ini di-blow up secara berlebihan dan dramatis oleh pihak-pihak yang entah siapa, sampai justru merugikan pihak-pihak media tertentu. Konfirmasi langsung dari salah seorang reporter yang juga 'diambekin' di rumahnya, beliau santai dan baik-baik saja sampai selesai wawancara. Blow up ini hanya sengaja diciptakan untuk semakin memojokkan beliau, semakin mengekspliotasi kekurangan beliau dan semakin mendukung laporan-laporan kecurangan yang telah timses beliau lakukan. Semuanya saling menjatuhkan. Satu menjatuhkan dua, dua menjatuhkan satu, disadari atau tidak, disengaja atau tidak.

Perihal jatuh-menjatuhkan ini akhirnya merugikan, karena membuat media-media yang independen dan tidak memihak pun mulai dipeta-petakan mendukung salah satu pihak. Seribu satu alasan dicari-cari untuk membuktikan pemihakan yang dituduhkan itu. Beberapa media tersebut sampai meningkatkan penjagaan di kantor masing-masing, mungkin untuk mencegah suatu ambekan yang lebih besar. Media mengancam kekuasaan, kekuasaan mengancam media. Tak habis-habis.

Namun komedi mencemaskan yang semakin seru muncul lagi ketika pada suatu hari di masa tunggu pilpres ini, Si Dua melakukan kunjungan ke media-media, terutama media-media yang tidak memihak dan independen tersebut. Bagaimana mempertahankan ketidakberpihakan kalau beliau malah berkunjung dan menciptakan citra keberpihakan yang semakin kuat. Seharusnya dalam keadaan seperti ini, kunjungan itu ditolak saja.

Ini masa yang terlalu riuh. Yang baik dijadikan tidak baik, yang tidak baik dijadikan semakin tidak baik. Setelah ini masih ada masa tunggu yang panjang dan mencekam menjelang pengumuman resmi. Setelah itu, pasti masih akan ada keriuhan lain yang terjadi, siapapun yang diputuskan menang. Lalu setelah itu, masih ada lima tahun yang panjang untuk bertahan menikmati kepemimpinan siapapun itu.

And I'm still dreaming of one world where everybody's only need is just to sing along the whole life.



Jakarta, 12 Juli 2014

Senin, 23 Juni 2014

Tak Habis

Setelah kau lelah berjalan
Kau akan duduk dan berbincang
Dengan tepian jalan raya
Dengan remang cahaya lampunya
Lalu kau akan kembali lelah
Kau akan berpulang dan berbicara
Dengan tembok kamar
Dengan coretan ingatan di sisi-sisinya
Lalu kau akan kembali lelah
Kau akan terbenam di balik selimut
Bercerita dengan Tuhan dalam lelapmu
Meminta agar kau tak lagi diberi mimpi
Lalu kau akan kembali lelah
Kau akan terjaga dan mulai berjalan
Sampai kau kembali lelah
Dan tulisan ini tak akan selesai

Rabu, 04 Juni 2014

Lalu Ia Pindah

Aku mengenal seorang gadis.

Dia tinggal di sisi jalan setapak
yang dari selokannya,
cacing-cacing raksasa buruk rupa
akan segera muncul dan mengamuk.

Dulu tubuhnya taman.
Matanya kembang
yang kelopaknya terbuka setiap fajar,
sorotnya mekar di siang hari
dan kedipnya semerbak matang mewangi
menjelang senja.

Dulu ia bersahabat dengan hujan.
Kaki telanjangnya senang menari
dengan rumput-rumput basah.
Kini mereka asam dan tajam,
senang menusuk-nusuk ubun-ubun kepala.

Kini ia hanya bisa menyelupkan
telapak kaki telanjangnya
ke dalam genangan kenangan
di tengah jalan setapak yang gelap
dan tidak bersahabat.

Dulu tubuhnya taman.

Lalu ia pindah.

Kini matanya layu.



Jakarta, 1 5 13

Senin, 02 Juni 2014

Tiga Matahari Tenggelam di Punggungmu

Matahari kecil berlari-lari.
Di kaki-kaki gunung.
Di ujung garis bentang savana.
Di balik terbang burung-burung.
Sampai lelah bermain-main.
Lalu pulang.
Ke lengkung punggungmu.

Matahari tua duduk-duduk.
Di gerbong-gerbong kereta.
Di sepanjang bentang rel sepulau penuh.
Di balik kaca-kaca retak.
Sampai bosan menjadi bijak.
Lalu pulang.
Ke lengkung punggungmu.

Maka matahari ketiga terbit di dalam kepalaku.
Bernyanyi-nyanyi.
Di sudut bibirmu.
Di balik matamu.
Di rangkul lenganmu.
Sampai puas tersenyum.
Lalu pulang.
Ke lengkung punggungmu.





Baluran, 29 5 14
Pukul ketika matahari hampir habis ditelan ujung bumi

Warna yang Tak Dapat Dijelaskan

Ada warna yang tak dapat dijelaskan.

Warna yang seperti jingga.
Atau mungkin nila.
Atau mungkin marun.
Atau mungkin kemuning.

Warna yang penjelasannya tak terpantul cermin.
Tak juga terekam mata.
Tak juga terbias cahaya.
Tak juga terbaca kata.

Warna seperti yang terlukis di langit fajar atau senja.
Dari balik gunung.
Dari sela mega-mega.
Dari kota yang rumah.

Warna seperti yang menetap di dalam kepalamu.
Yang masih redam dalam lelap matamu.

Warna seperti yang hidup di dalam hatiku.
Yang selamanya telah rebah di bibirku.

Warna yang tak dapat dijelaskan.
Yang hanya saja kautahu ia ada.





KA Progo Jkt-Yk
27 5 14
Pukul ketika matahari menyerahkan mimpinya kepada pagi

Selasa, 20 Mei 2014

Sepasang Mata Kabut

Sepasang milikku bernama kenangan
Kerap mencari-cari ikhlas
Dengan menatap sepasang milikmu
yang berwarna ingatan
Dan acap mencari-cari lupa

Sepasang milikku adalah pelaut
Dengan perahu harapan,
mengarungi laut air matamu
Bermimpi menemui sosokku
Di sepasang milikmu

Namun sepasang milikku kehilangan arah
Lalu hilang di dalam kabut sepasang milikmu
Bersama sosokku yang bukan tertutup kabut,
melainkan memang tak pernah ada

Kini sepasang milikku hanyut
Ke danau air matanya sendiri
Dan bercermin di permukaan
Masih mencari-cari sosoknya

Tapi masih tetap tak menemukan apapun
Karena matanya mulai tertutup kabut miliknya sendiri



Jakarta,
19 6 13
00.00

Jumat, 28 Maret 2014

Pantai di Dalam Kepalaku dan Gunung di Dalam Kepalamu

Kita akan hilang.
Bersama-sama.

Kita akan naik di atas atap rumahku,
atau rumahmu.
Berbaring masing-masing.
Bersisian.

Aku dengan pantai di dalam kepalaku.
Kau dengan gunung di dalam kepalamu.

Kita akan bersama-sama mendongengkan hikayat tentang bintang,
untuk satu sama lain.
Sembari bernyanyi.
Sembari menari.
Sembari berpelukan.

Lalu langit akan menurunkan tangannya untuk mengambil kita.
Dalam wujud pohon kacang polong raksasa,
yang tak ada orang dapat melihatnya selain kita.
Dan kita akan mulai memanjatinya.

Sampai tiba di angkasa luas di atas sana.
Tempat di mana tebar bintang bukan lagi sekadar hikayat.

Lalu tangan langit hilang.
Menyusut.
Dan kita tak pernah bisa kembali,
dari tersesat pada kebahagiaan.



Jakarta,
30 12 13

Sabtu, 22 Maret 2014

Bintang Terbang

Bintang tidak jatuh di sini, Sayang
Ia tahu persis tak akan ada yang mau menangkapnya

Bahkan langit malam hilang ingatan

Sampai lupa warna diri sendiri
Ia terus membenturkan kepalanya ke tembok petir
Sampai darah keluar melalui hujan
Lalu ia bercermin di wajah tanah
Yang juga terus menangis sesenggukan

Tapi kau harus mengangkat dagumu, Sayang
Mendongakkan kepala menatap wajah langit
Yang hitam dan muram
Akan kau temukan cahaya bergerak pelan sekali
Bukan jatuh, tapi terbang
Ketika itu kau berkenalan dengan harapan

"Kalau tidak ada bintang jatuh,
tetaplah menatap langit
Akan ada pesawat terbang
Cahayanya bergerak lebih lama,
maka kamu bisa melafalkan
doa yang lebih panjang"



Satu dari sekian keluhan tentang Jakarta
Jakarta, 18/6/13, dini hari

Kosong

Gelisah-gelisah serupa kawan lama
Akrab dan terasa tak pernah ke mana-mana

Kelelahan-kelelahan serupa rumah
Berdiri di ujung jalan yang tak pernah habis ditapaki

Cemas-cemas serupa tembok kamar
Yang terakhir ada ketika tak ada lagi apa-apa

Ketiadaan-ketiadaan serupa malam
Muara pencarian setelah sepanjang hari bersinar



Jakarta,
4/10/13
Dua lewat sekian dini hari

Lagi

Malam lagi
Dengan kesepian-kesepian yang sungguh setia berkawan agar perasaannya tak sendirian
Dengan luka-luka yang bersikeras enggan sembuh dan enggan tampak sekaligus

Pulang lagi
Melewati lorong-lorong gelap yang meski riuh, tapi tak sudi berjabat tangan
Melewati suara-suara teriakan dari sudut entah, sudut tergelap di dalam diri

Kesakitan lagi
Ada dosa-dosa yang berkenan dilepaskan ke langit tempat hukuman dijatuhkan
Ada kesalahan-kesalahan yang perlu tumbal untuk dapat dibenarkan

Kematian lagi
Kabar-kabar dari pengantar jasad yang juga hidup menunggu jasadnya diantar
Kabar-kabar yang merayakan dirinya dengan suara-suara rendah kesedihan



Jakarta,
15/5/13

Jumat, 17 Januari 2014

Yang Mengisahkan Padamu

Ini bukan perjalanan untuk pulang.

Ini perjalanan untuk bernapas.

Perjalanan meniti milyaran potongan besi berkarat yang mengisahkan padamu bahwa menuju apa yang kaukira bahagia adalah tidak sederhana, dan tidak lebih sederhana melarikan diri dari apa yang kaukira kesedihan.

Ini perjalanan untuk bernapas.

Perjalanan menonton gelap dari baris-baris jendela gerbong yang hampir retak dimakan usia, yang mengisahkan padamu bahwa selalu ada satu-dua titik cahaya yang tampak dan cukup mampu menyilaukan, meski terus-menerus berlalu meninggalkanmu atau ditinggalkan olehmu, dan kau tak pernah berhasil membedakannya.

Ini perjalanan untuk bernapas.

Perjalanan mengiringi lelap jiwa-jiwa yang lelahnya lebih kosong dari apa yang tubuhmu rasakan, yang mengisahkan padamu bahwa menemukan sesungguhnya tempat berbaring tak pernah mudah, namun kau takkan mati tertidur di kursi kereta hanya karena rumah tak kunjung sampai.

Ini perjalanan untuk bernapas.

Perjalanan menyambut bentangan jingga di atas hijau yang mengisahkan padamu bahwa pagi akan selalu datang menjemput malam, suka atau tidak suka, serupa orang-orang yang suka atau tidak suka diciptakan dan ditempatkan di dalam hidupmu untuk menjemput sepi, meski serupa satu-dua titik cahaya dalam gelap di luar jendela, mereka akan berlalu.

Ini perjalanan untuk bernapas.

Perjalanan menemukan setapak demi setapak kejutan yang menuntunmu pada puncak di mana kau mencoba mengeja semesta, yang mengisahkan padamu bahwa hidup tidak terbuat dari jalan raya beraspal dengan deretan lampu jalan yang menenangkan dan sementara.

Ini perjalanan untuk bernapas.

Perjalanan menyusuri tepian pantai, melantunkan debur ombak dan merayakan cahaya bintang-bintang yang berenang di atas kepala, yang mengisahkan padamu bahwa setiap langkah yang kauambil akan mendekapmu kembali ke titik nol, karena seperti bentang laut dan bentang langit, awal dan akhir hanyalah perkara letak titik di dalam lingkaran.



Suatu dini hari yang sesak di dalam kepala
Dari yang ternyata bukan rumah, ke yang memang bukan rumah
Gaya Baru Malam, Yogyakarta - Jakarta
24 November 2013

Selasa, 07 Januari 2014

Kau dan Galaksi di Dalam Kepalamu

Aku jatuh cinta pada melihatmu,
dan memperhatikan galaksi di dalam kepalamu sendiri,
dan gelembung dunia yang meliputi tubuhmu sendiri,
dan rimba raya di puncak malammu sendiri,
dan luar angkasa dalam sorot tatapmu sendiri.

Maka aku dan galaksi di dalam kepalaku sendiri,
dan gelembung dunia yang meliputi tubuhku sendiri,
dan rimba raya di puncak malamku sendiri,
begitu ingin bermuara kepadamu,
dan merangkai rasi kita sendiri.

Kamis, 02 Januari 2014

Matahari Terbenam Di Punggungmu Lalu Kembang Api Pecah Di Dadaku

Bintang telah lalai bersinar di langitku sejak malam. Atau sejak aku tak lagi mengenal waktu. Aku lupa. Hanya menorehkan hitam membentang serupa ingatan buruk. Maka aku telah mulai melukiskan sendiri angkasa luas di dalam kepalaku. Lalu menambahkan padanya titik-titik putih yang tak punya cukup nyala dan tak punya cukup nyata.

Hujan telah turun di dalam kepalaku sejak pagi. Atau sejak aku tak lagi mengenal waktu. Aku lupa. Hanya menyisakan genang-genang keruh serupa yang kerap bersarang tertahan di sudut-sudut mata. Maka aku telah mulai menyulam sendiri awan di sepanjang batas pandangku. Lalu mendung dapat terjadi selamanya asal tak ada yang menetes darinya.

Matahari telah hilang dari batas pandangku sejak sore. Atau sejak aku tak lagi mengenal waktu. Aku lupa. Hanya meninggalkan ruang maha luas yang hampa serupa yang terletak di dalam dada. Maka aku telah mulai mewarnai sendiri senja di langitku. Lalu selaksa jingga dapat hadir mengenyangkan cakrawala yang akan melumatnya sampai habis dan gelap.

Tapi bintang baru saja kembali bersinar di ujung bibirmu. Hujan baru saja reda di dalam matamu. Dan matahari baru saja terbenam di lengkung punggungmu. Maka ada kembang api yang pecah di rongga dadaku; bercahaya, hangat dan tiba-tiba.




Jakarta Dini Hari, 1 Januari 2014

Angka yang Hilang dan Tubuh yang Tak Kunjung Pulang

Selaksa bahagia redam
Di relung awan pekat dan bulan temaram
Jejak telapak takdir melekat
Pada dada yang yang sesak dan pikiran yang sesat

Sumbu-sumbu mulai menyala
Meledakkan petasan memori di dalam kepala
Warna-warni pecah
Melupakan bentangan malam gundah

Jarum jam senantiasa bergeming
Mencemooh sepi yang setia mengiring
Riuh doa perlahan merayap
Di sela harapan yang kian senyap

Angka-angka tegas berganti
Mengacuhkan rasa yang ingin kembali
Dan kosong yang butuh terengkuh
Atau ego yang bosan mengeluh

Serpihan cahaya hilang
Dan aku masih dalam perjalanan yang tak kunjung pulang



Malang Dini Hari, 1 Januari 2013