Selasa, 11 November 2014

Satu Malam yang Tuhan dan Rumah

Aku akan pulang.
Pada mata bulat sempurnamu,
yang telah juga kumiliki sejak sejarahku dimulai.
Akan kutanggalkan bajuku,
yang berbau asap Kota Kabut Racun.
Agar kecemasanmu ikut tertanggalkan.
Agar kau tahu,
mataku masih sama sempurna bulatnya dengan matamu.

Aku akan pulang.
Pada ombak-ombak di rambutmu,
yang telah juga kumiliki sejak semestaku terbentuk.
Akan kubasuh seluruh tubuhku,
yang berkerak keburukan bagimu.
Agar ketakutanmu turut luruh.
Agar kau tahu,
laut yang tumbuh di atas kepalaku masih seluas milikmu.

Aku akan pulang.
Tidak ke rumahmu,
atau apa yang semakin jauh dari apa yang kuanggap rumahku.
Aku hanya akan pulang,
ke kasar telapak tanganmu yang menyimpan doa,
dan pecah telapak kakimu yang menyimpan surga.

Lalu aku akan pergi lagi.
Mencari rumah milikku sendiri,
yang tak akan pernah kutemukan.

Lalu aku akan hilang lagi.
Dengan baju bau knalpot dan tembakau.
Dengan tubuh berkerak dosa dan gila.
Dengan Tuhan yang kubawa-bawa di dalam kepalaku.
Dengan Tuhan yang tertawa-tawa di dalam dadaku.



Jakarta
21-10-14
00.02

Hari di Selasar Senja

Hari berlari-lari
Saban hari
Mengejar matahari

Hari melompat-lompat
Dari satu atap rumah ke atap rumah lain
Yang ujungnya tajam-tajam
Sampai kaki-kakinya berdarah-darah

Hari duduk-duduk
Di selasar rumah senja
Meringis-ringis karena kakinya sakit
Menangis-nangis karena matahari telah jauh,
menghilang berlari darinya

Hari ketakutan
Rumah senja lebih menakutkan
Dari monster yang sudah ia besarkan di dalam dirinya

Hari ingin pulang
Tapi tak tahu ke bawah atap rumah yang mana
Mungkin yang menoreh luka paling lebar,
di telapak kakinya

Hari diam
Merindukan ibu yang lebih besar dan telah lebih jauh,
dari matahari ketika pintu rumah senja tertutup malam

Hari menghitung-hitung bintang
Dan atap-atap rumah yang akan dilompatinya besok
Lalu bersiap berlari-lari lagi