Rabu, 03 April 2013

Kenapa Ingin Kembali Ke Masa Kecil?


Berapa banyak anak kecil yang berharap bisa segera tumbuh besar? Sepertinya semuanya. Ingin segera mengenakan sepatu hak tinggi dan lipstik merah menyala seperti ibu serta memakai jas dan dasi dengan rapi seperti ayah. Ketika kecil, hal itu tampak luar biasa. Meskipun kadang saya menyesali keinginan anak-anak, termasuk saya dulu, untuk segera tumbuh besar. Bukan apa-apa, tapi seharusnya dulu saya tahu bahwa berharap untuk segera dewasa akan menjadi doa yang lebih baik daripada sekadar berharap untuk segera besar.

Lalu berapa banyak orang yang telah pantas mengenakan sepatu hak tinggi, lipstik, jas, dan dasi yang berharap bisa kembali menjadi anak-anak? Sepertinya juga semuanya. Ingin kembali pada keadaan ketika semua hal bisa dibuat menjadi menyenangkan. Ingin kembali berlari menuju hujan dan bermain di bawahnya, bukan berlari dari hujan karena takut jas dan sepatunya rusak. Ingin kembali hidup tanpa beban karena segala sesuatu masih di dalam genggaman orang tua, bukan harus menanggung segala hal sendirian. Ingin kembali menangis hanya karena tidak dibelikan mainan, bukan karena sakit hati dan kecewa yang lebih mengakar. Ingin kembali pada pilihan-pilihan sederhana semacam menu makanan, bukan dihadapkan oleh keputusan yang harus diambil dengan berpuluh-puluh pertimbangan mengikutinya. Alasan-alasan yang jujur, dan baik adanya.

Tapi berapa banyak orang yang ingin kembali menjadi anak kecil dengan alasan bahwa ketika kecil, kita tidak merasa lebih tahu dari orang tua kita? Saya rasa tidak banyak. Semakin hari perasaan dan pikiran bahwa kita lebih tahu atau bahkan lebih pintar dari orang tua membuat kita lebih mudah bertindak menentang. Atau kita semakin mudah menaikkan suara ketika berbicara dengan mereka. Atau kita semakin mudah tidak peduli pada ucapan mereka. Kita menjadi semakin mudah menyakiti mereka karena sudah bisa merasa lebih tahu, sesuatu yang tidak mampu dan tidak pernah kita lakukan ketika kecil.

Maka demikianlah alasan saya ingin kembali ke masa kecil. Saya ingin kembali menjadi polos dan tidak tahu apa-apa di hadapan mereka.

Idealisme dan Usianya di Tubuh Kita


Gambar di atas adalah hasil capture tweet salah seorang teman -- kakak angkatan semasa kuliah tepatnya -- pada suatu malam. Secara sederhana tweet itu membuat saya berpikir, berpikir yang dalam, sampai ke dalam hati. Meskipun saya tahu, berpikir seharusnya dengan otak. Dua tweet itu menceritakan banyak sekali hal tentang idealisme. Bagaimana dia, dengan pekerjaan yang dimilikinya saat ini, sesungguhnya melakukan kegiatan -- dan bahkan lebih serius lagi, rutinitas -- yang sudah melenceng jauh dari idealisme yang dimilikinya. Hanya dengan dua tweet itu, ada sebuah kisah panjang yang dituturkan, tentang bagaimana ketika muda dan masih kuliah, dia memiliki begitu banyak mimpi yang pada akhirnya sekarang terenggut begitu saja oleh realita.

Hasil pemikiran mendalam yang saya lakukan setelah membaca dua tweetnya tadi adalah gelisah. Ada beberapa pemikiran yang sudah sempat mondar-mandir di kepala saya namun mungkin secara tidak sadar saya repress, akhirnya terkuak. Sederhananya, saya setuju dengan dia. Saya merasakan hal yang sama, atau lebih tepatnya sedang sangat ketakutan akan merasakan hal yang sama.

Saya sudah sarjana, sudah sejak setahun lalu. Sekarang saya magang di konsultan psikologi yang sehari-hari merekrut calon karyawan -- meskipun lebih tepatnya pekerjaan ini disebut freelance, karena tidak wajib ke kantor setiap hari melainkan menunggu 'proyekan' -- dan memiliki status resmi sebagai pencari kerja. Status ganda, sebagai yang biasa merekrut sekaligus yang direkrut. Surat lamaran, CV, pas foto, fotokopi atau scan ijazah dan transkrip nilai saya sepertinya sudah tersebar di mana-mana. Saya dan teman-teman saya di posisi yang sama terbagi menjadi beberapa kelompok. Ada kelompok yang langsung menikah, ada kelompok yang sekolah lagi dan ada kelompok pencari kerja. Kelompok pencari kerja pun terbagi atas kelompok kerja-apa-aja-deh-yang-penting-cepetan-kerja dan kelompok belagu-lo-kerja-aja-milih-milih. Dan meskipun berkas lamaran saya sudah tersebar di mana-mana, saya ada di kelompok terakhir yang disebut.

Kembali ke pembahasan di awal, saya pemilih karena mungkin punya idealisme. Walaupun sebenarnya istilah itu terlalu keren untuk dilekat-lekatkan kepada saya. Saya ingin bekerja di industri media. Biasanya ketika wawancara dan ditanyai tentang alasan passion saya itu, saya menjawab dengan "...karena saya suka lingkungan dan budaya kerja media. media itu isinya orang-orang kreatif, dinamis dan inovatif yang selalu berkarya. mereka menciptakan sesuatu, bukan hanya menjalankan tugas yang ada. saya akan bisa mengembangkan diri saya dengan baik di lingkungan seperti itu." Alasan sebenarnya adalah saya merasa pekerjaan media itu begitu mulia. Fungsi dan peran dasar media adalah mencerdaskan masyarakat, dengan menyampaikan berbagai informasi sehingga mereka yang tidak tahu menjadi tahu. Ah, mulia sekali. Meskipun sekarang sudah sangat sulit menemukan media dengan fungsi dan peran pure seperti itu, karena sudah terlalu banyak perkara kepentingan yang mengkontaminasi. Selain media, saya juga begitu ingin bekerja di bidang yang berkaitan dengan literasi. Sebut saja misalnya penerbitan. Dalam wawancara, saya biasa menjawab "...karena saya cukup suka membaca dan menulis." Padahal sesungguhnya karena menurut saya betapa mulianya mereka yang bekerja untuk menghasilkan berbagai buku bacaan agar isi kepala orang-orang semakin kaya.

Akhirnya saya sempat diterima di salah satu perusahaan media baru di Jakarta sebagai reporter news dan saya menolak penandatanganan kontrak. Alasan bodoh saya waktu itu hanyalah perasaan sia-sia sebagai sarjana psikologi dengan prestasi kelulusan yang baik, jika harus banting setir bidang ilmu ketika bekerja. Begitulah sikap'belagu' saya, atau paling tidak, seperti itulah yang biasa orang di sekitar saya katakan. Kadang saya khilaf dan memasukkan lamaran ke mana saja, meskipun ketika diproses, saya akan memilih-milih lagi sehingga seringkali tidak hadir tes. Saya selalu berpikir, kenapa saya harus melamar di perusahaan otomotif sementara setiap hari saya mengeluh tentang asap knalpot dan jumlah kendaraan yang terus memadat? Kenapa saya harus melamar di perusahaan tambang sementara setiap hari saya mengeluh tentang udara yang panas, pohon yang tinggal sedikit dan polusi udara?

Kadang saya justru berpikir, kenapa tidak masuk LSM saja, entah yang bergerak di bidang lingkungan, sosial, pendidikan, atau apapun itu, selama saya bisa lebih banyak memberi manfaat kepada orang lain daripada menghasilkan mudharat? Atau kenapa tidak jadi pengajar saja yang bahkan punya gelar pahlawan? Atau kenapa tidak sekalian masuk wilayah pemerintahan dan menorehkan sedikit jasa tak terlihat demi negara tercinta ini, selama tidak justru terbawa arus kebobrokan? Untuk pilihan terakhir itu, saya mendapat dukungan penuh dari ayah saya. Latar belakang orang tua saya memang pemerintahan. Dan entah kenapa, selain terus menyarankan saya untuk sekolah lagi, dari semua sektor pemerintahan yang ada, ayah saya bersemangat sekali ketika merekomendasikan BPK kepada saya. Mungkin idealisme beliau jauh lebih tinggi lagi, ingin anaknya berkontribusi membela kebenaran di tengah ladang kesalahan yang sudah sangat membudaya; korupsi.

Pada akhirnya, beberapa orang menyerahkan mimpi dan idealismenya sebagai tumbal kepada realitas tuntutan kehidupan. Tidak perlu muluk disebut idealisme, keinginan saya sederhana saja. Saya mau memberi lebih banyak manfaat daripada mudharat kepada orang banyak. Meskipun kadang, apa yang pada hakekatnya memberi manfaat pun sudah banyak berubah memberi kerugian, dan sistem yang ada sudah terlalu mengakar untuk diubah kembali.

Saya pernah bercerita kepada salah satu rekan di kantor, tentang salah seorang teman yang begitu mencintai musik dan puisi, dan punya kegigihan yang begitu tinggi untuk terus berkarya. Lalu dia hanya tersenyum tulus. Katanya, "pertahankanlah idealismemu sekuat mungkin sebelum terlambat dan tua dimakan realita."

Jadi, seberapa lama kamu bisa menjaga idealisme agar tetap hidup di dalam dirimu? Semoga selamanya.