Minggu, 13 Juli 2014

Carnival Life


Round 'n round
Carousel
Has got you under it's spell
Moving so fast...but
Going nowhere


Up 'n down
Ferris wheel
Tell me how does it feel
To be so high...
Looking down here


Is it lonely?
Lonely
Lonely


Did the clown
Make you smile
He was only your fool for a while
Now he's gone back home
And left you wandering there


Is it lonely?
Lonely
Lonely 

Carnival Town - Norah Jones



 Saya kembali berkutat mendengarkan lagu ini terus-menerus beberapa minggu belakangan, setelah pada suatu malam teman saya memainkan gitar dan menyanyikannya.



Hidup memang seperti komidi putar; membawamu bergerak begitu cepat, meski kadang tak ke mana-mana.
Hidup memang seperti bianglala; mengantarmu sampai di titik yang tinggi, lalu kembali ke titik yang rendah, dan begitu seterusnya.
Hidup memang seperti badut; mengelilingimu, menghibur sesaat, lalu pergi, meninggalkanmu bertanya-tanya sendirian.

Hidup memang adalah kumpulan wahana yang pada waktunya akan tutup juga;
dan semua hanya tentang kesunyian yang dirayakan dengan begitu meriah.


 

Juli yang Terlalu Riuh


Sembilan Juli Dua Ribu Empat Belas.

Hari ini riuh sekali.

Jerman menghabisi Brazil.
Israel menghabisi Palestina.
Jokowi menghabisi Prabowo.

Sebagai warga negara Indonesia dan bukan Jerman atau Brazil atau Israel atau Palestina, poin ketiga masih menjadi poin yang paling riuh bagi saya.

Saya terbangun di siang hari tanpa ada keinginan untuk menggunakan hak suara saya sama sekali, bahkan jauh sebelum hari ini. Di luar kamar, televisi sudah ramai berkoar-koar tentang perhitungan cepat suara. Maka sisa siang saya dihabiskan dengan menonton berita ini dan itu dengan penuh kecemasan. Menonton berita sudah seperti menonton pertandingan bola atau menonton konser hari ini.

Singkat kata, dua mengalahkan satu. Saya tidak mendukung siapa-siapa. Itu sebabnya hak suara saya disimpan untuk saya sendiri. Bagi saya, apa saja asal bukan kandidat nomor urut satu. Tapi saya juga belum cukup simpatik dengan kandidat nomor urut dua. Di dalam kepala saya, ini dunia yang penuh dengan kongkalikong. Bagaimana jika Si Dua sama saja dengan Si Satu? Bagaimana jika mereka sebenarnya hanya punya satu kepentingan yang sama? Bagaimana jika ini semua hanya eksekusi dari rencana A dan B dan C dan D dan seterusnya milik Si satu ataupun Si Dua yang sebenarnya sama-sama merugikan?

Tapi sekali lagi, bagi saya, apa saja asal bukan Si Satu. Saya tidak perlu menjalani kehidupan berat tahun '98 di Jakarta untuk menolak kekerasan. Toh ketika itu saya baru duduk di bangku kelas tiga SD dan di tahun berikutnya, saya disibukkan dengan kerusuhan Ambon di tanah kampung halaman saya sendiri. Saya tahu apa itu kekerasan. Saya tahu rasanya hidup sulit di tengah pembantaian-pembantaian yang mengatasnamakan agama. Saya juga bisa memahami hal yang sama, yang dilakukan atas nama kekuasaan. Saya hanya tidak mau lagi ada kekerasan di mana-mana, dan saya tidak perlu menjelaskan di sini mengapa atas dasar itu saya begitu takut dengan Si Satu.

Kecemasan saya tidak mereda ketika sampel suara sudah masuk 100% di berbagai media dan sebagian besar dari media-media itu menyatakan Si Dua yang menang. Sebagian kecil media masih ada yang menyatakan Si Satu yang menang. Tanda-tanda kecurangan muncul di mana-mana. Mulai dari kelengkapan sampel suara yang terlalu cepat, jumlah persentase suara yang rancu, kabar tentang hasil perhitungan yang memenangkan pihak satu sudah tersebar bahkan sebelum pemilihan berlangsung, fakta soal lembaga survei yang memenangkan pihak satu adalah milik pihak koalisinya, laporan kesalahan-kesalahan pendataan form C1 di TPS-TPS, typo sajian data angka pemilih yang melenyapkan ribuan suara, isu tentang kekacauan pemilihan di luar negeri yang sengaja diciptakan, dan masih banyak lagi. Tak habis-habis. Tak heran, mengingat Si Satu pernah menyatakan bahwa tidak ada opsi untuk tidak menang bagi dia. Segala hal bisa dihalalkan.

Ini menjadi suatu komedi yang mencemaskan ketika kedua pihak lalu mengklaim menang. Orang lalu bertanya-tanya, "Jadi siapa yang menang?" "Kok malah sekarang presidennya ada dua?" Entah siapa yang mengalami kerusakan otak di sini, mungkin saya sendiri. Dengan semua kejadian yang ada, seharusnya kita dapat menilai sendiri keadaan yang sebenarnya terjadi. Tidak perlu lagi bertanya siapa yang menang. Saya rasa, Si Satu akan tetap (di)menang(kan) tanggal 22 nanti. Selisih suara hanya 5%, dan itu bahkan hanya sebesar persentase margin error. Segala sesuatu bisa diatur dalam rentang waktu seminggu lebih sejak pemilihan sampai pengumuman keputusan KPU.

Drama pilpres kali ini semakin seru ketika Si Satu ngambek kepada para awak media di rumahnya sesaat setelah hasil-hasil quick count bermunculan. Bagi saya, beliau memang tidak seharusnya memunculkan respon seperti itu. Sebagai 'Calon Bapak Sejuta Umat', seharusnya beliau lebih tenang dan tahu bagaimana seharusnya bersikap. Tapi yang paling disesalkan adalah respon beliau ini di-blow up secara berlebihan dan dramatis oleh pihak-pihak yang entah siapa, sampai justru merugikan pihak-pihak media tertentu. Konfirmasi langsung dari salah seorang reporter yang juga 'diambekin' di rumahnya, beliau santai dan baik-baik saja sampai selesai wawancara. Blow up ini hanya sengaja diciptakan untuk semakin memojokkan beliau, semakin mengekspliotasi kekurangan beliau dan semakin mendukung laporan-laporan kecurangan yang telah timses beliau lakukan. Semuanya saling menjatuhkan. Satu menjatuhkan dua, dua menjatuhkan satu, disadari atau tidak, disengaja atau tidak.

Perihal jatuh-menjatuhkan ini akhirnya merugikan, karena membuat media-media yang independen dan tidak memihak pun mulai dipeta-petakan mendukung salah satu pihak. Seribu satu alasan dicari-cari untuk membuktikan pemihakan yang dituduhkan itu. Beberapa media tersebut sampai meningkatkan penjagaan di kantor masing-masing, mungkin untuk mencegah suatu ambekan yang lebih besar. Media mengancam kekuasaan, kekuasaan mengancam media. Tak habis-habis.

Namun komedi mencemaskan yang semakin seru muncul lagi ketika pada suatu hari di masa tunggu pilpres ini, Si Dua melakukan kunjungan ke media-media, terutama media-media yang tidak memihak dan independen tersebut. Bagaimana mempertahankan ketidakberpihakan kalau beliau malah berkunjung dan menciptakan citra keberpihakan yang semakin kuat. Seharusnya dalam keadaan seperti ini, kunjungan itu ditolak saja.

Ini masa yang terlalu riuh. Yang baik dijadikan tidak baik, yang tidak baik dijadikan semakin tidak baik. Setelah ini masih ada masa tunggu yang panjang dan mencekam menjelang pengumuman resmi. Setelah itu, pasti masih akan ada keriuhan lain yang terjadi, siapapun yang diputuskan menang. Lalu setelah itu, masih ada lima tahun yang panjang untuk bertahan menikmati kepemimpinan siapapun itu.

And I'm still dreaming of one world where everybody's only need is just to sing along the whole life.



Jakarta, 12 Juli 2014