Selasa, 25 Juni 2013

Adakah Di Sini

Adakah di sini, trotoar yang ramah dan mau diajak bicara?

Biasanya aku mampu menuturkan dongeng-dongeng sepanjang belasan kilometer jalan raya, agar lukaku bisa tertidur pulas.

Biasanya aku berdansa di bawah lampu-lampu jalan yang nyalanya redam, seperti bola mata yang aku sembunyikan dengan memejam kelopaknya.

Di sini aku hanya bisa bernyanyi di dalam hati sepanjang jalan pulang, menuju rumah yang tak pernah sampai, dengan betis-betis yang terbalut lelah dan isi kepala yang diselimuti mendung.

Di lorong-lorong yang tak punya cahaya redam sekalipun, aku tak punya bayangan, kecuali sepi dan rindu.

Rindu bahu-bahu tabah yang senantiasa rela menjadi muara air mataku.

Rindu lengan-lengan hangat yang senantiasa mempertahankan kewarasanku.

Adakah di sini, cangkir-cangkir kopi yang sedia berkelahi dengan kabut menjelang subuh, yang mau diajak berteman?

Sementara mencari trotoar yang bersahabat saja sulit, bagaimana mungkin mencari rumah yang lengan-lengannya lapang?

Senin, 24 Juni 2013

Here I Am


"Here I am." Tiga kata yang mampu menjadikan ingat dan menjadikan lupa, atau keduanya sekaligus.

Katakanlah, here I am. Lalu apa? Bagi saya, hadirnya kalimat itu di pikiran saya akan diikuti dengan pembagian dua zona waktu di dalam kepala. Bagian kepala yang menyimpan memori.

Zona waktu pertama yang hadir akan merupakan lupa. Bagian kepala berisi memori saya akan lebih dulu kehilangan kemampuan akses datanya. Lalu saya akan lupa atau lebih tepatnya menolak untuk mengingat secara tidak sadar berbagai ingatan-ingatan yang ada di dalam brankas memori saya. Setelah itu perasaan yang akan muncul pada zona waktu ini adalah perasaan kosong. Apa yang saya lihat adalah bentangan hitam polos yang panjang dengan ujung sebuah titik cahaya putih di mana saya sedang berdiri di sana dalam keadaan hidup saya yang sekarang. Entah apa, bagaimana, mengapa, kapan, siapa, dan pertanyaan apapun yang berkaitan dengan proses tidak akan mampu saya jawab. Saya hanya akan mampu menyadari bahwa seperti inilah saya sekarang, entah bagaimana sejarahnya. Here I am.

Zona waktu kedua yang hadir akan merupakan ingat. Bagian kepala berisi memori saya selanjutnya akan mengembalikan kemampuannya mengakses data ingatan. Lalu saya akan melihat berbagai macam warna dan bentuk di dalam jutaan gambar-gambar yang secara serentak menghampiri benak saya. Gambar-gambar berisi berbagai momen yang pernah terjadi sampai pada detail-detailnya yang paling sederhana sekalipun. Semuanya akan tampak di mata saya dalam waktu yang sangat singkat, sepersekain detik. Setelah itu saya akan mengalirkan air mata untuk membebaskan diri, merendam gambar-gambar yang diputar di dalam kepala agar menjadi kabur dan berkenan untuk berhenti berputar. Pikiran saya akan mulai menanyakan bagaimana bisa saya pernah mengalami hal-hal tersebut. Ya, sekadar menanyakan, bukan menyesali atau mengutuk sama sekali, karena sudah seharusnya seperti itu agar saya bisa sampai di titik ini. Here I am.

Saya menuliskan ini hanya karena akhir-akhir ini kepala saya sedang sering dipenuhi oleh kalimat judul tulisan ini. Saya mampu terus-menerus merasa tidak menyangka akan berada di titik di mana saya berada sekarang ini, meskipun telah berulang-ulang kali mengalami pemikiran yang sama persis.

Hidup memang penuh kejutan. Meskipun sekadar kejutan yang sederhana. Sesederhana bagaimana isi kepalamu berlari sepanjang jalan ingatan dan membangunkanmu di tempatmu berada sekarang.

Kamis, 13 Juni 2013

Lengan Kata di Punggung Diam

Isi kepalamu rimba raya paling senyap,
yang tak mengenal kata-kata
Lolong serigala maupun decit gagak,
terbungkus rapi daun-daun,
yang lambat laun kering dan gugur
Terbawa arus sungai,
yang tak bermuara di bibirmu sama sekali

Punggungmu gigir paling curam,
yang tak membiarkan satu liuk lenganpun selamat
Tidak liuk lingkar paling melata,
serupa lenganku sekalipun
Maka aku jatuh di liang paling diam,
bersama lenganku yang adalah kata-kata,
yang tak bersayap,
dan tak mampu terbang kembali ke bibir jurang

Isi kepalamu rimba raya paling senyap,
yang tak mengenal kata-kata
Lenganku kata-kata yang terjatuh,
di liang jurang paling diam



Tertinggal di suatu ruang
milik bibir-bibir paling diam
dengan kepala-hati paling ramai

Jakarta, 8 Juni 2013 - 19.05

Selasa, 11 Juni 2013

Cerita Tentang Sebuah Kota yang Langit Malamnya Jingga



Aku akan menceritakan padamu tentang sebuah kota. Kota itu seukuran sekotak jendela yang besar dari sebuah kamar yang letaknya cukup tinggi. Kota itu seukuran dua buah bola mata yang senang memerhatikannya sepanjang malam.

Kota itu terbentuk dari balok-balok kayu yang berdiri tegak menggapai langit dan sungai-sungai kecil yang menyusur sepanjang jalan-jalan besar sampai setapak-setapak kecil yang kumuh dan gelap. Di dalam balok-balok kayu itu, manusia-manusia tinggal. Seperti rayap, mereka bisa memakan dan menghancurkan balok kayu tempat tinggalnya. Sementara sungai-sungai di kota itu serupa selokan yang ada di kota-kota lain. Hanya saja sungai-sungai itu sungguh dalam. Warnanya hitam. Persis harapan manusia-manusia yang tinggal di dalamnya. Dalam dan hitam. Di dasar sungai-sungai itu tertidur lelap banyak sekali binatang yang buruk rupa dan keji. Untungnya, mereka semua tertidur dan tertutup pekat harapan-harapan hitam manusianya.

Kota itu persegi panjang, namun ada lapisan kabut berbentuk bola yang menyelimutinya. Mungkin sama dengan bola udara raksasa yang menyelimuti Atlantis sampai kota itu tetap hidup di dalam samudera. Semacam gelembung sabun raksasa, dan kota itu ada di dalamnya. Lapisan kabut itu membuat langit malam kota tidak berwarna hitam seperti sungai-sungainya, melainkan jingga. Seakan sore hari terjadi lama sekali dalam sehari. Langit malam itu jingga, seakan terbuat dari amarah-amarah manusia penghuninya yang senantiasa kehilangan kesabaran terhadap apapun dan kapanpun dalam kesehariannya. Manusia-manusia yang tak kenal keramahan dan tak mudah diluluhkan hatinya dengan seulas senyum. Langit itu jingga ketika malam, ketika pertahanan diri manusia-manusianya terhadap kegilaan mulai luruh dan beristirahat. Maka ketika itu kewarasan mulai memejam dan amarah meledak dalam diam, lalu menguap ke angkasa.

Langit malam jingga kota itu adalah ibu yang baik untuk melahirkan petir yang menyilaukan. Petir-petir itu serupa teriakan-teriakan manusianya yang tertahan dan terbungkam oleh waktu yang semakin lama semakin kuat meredam suara-suara hati yang seharusnya disampaikan. Ketika petir sudah mulai bermunculan, guntur yang menggema dan menggetarkan kaca-kaca jendela akan segera menyusul hadir. Getarannya serupa jantung yang berdetak terlalu cepat karena kaki-kaki dari tubuh tempat jantung itu bertengger selalu tergesa-gesa melangkah. Seakan ada monster yang mengejarnya dari ramai jalan utama sampai sepi pojok gang yang paling tersembunyi.

Biasanya, hujan akan segera jatuh setelah itu. Warnanya merah dan kental. Mungkin karena memang berasal dari langit berwarna jingga yang menggumpal dan menjadi pekat. Atau mungkin karena berasal dari jiwa-jiwa manusianya yang tertoreh banyak luka. Lukanya sungguh dalam namun tak dapat dilihat. Tak ada darah yang tampak. Mungkin itulah sebabnya hujan di kota itu berwarna merah kental. Itu adalah darah dari luka-luka yang tak tampak dan keluar mengucur melalui langit.

Tapi kota itu masih indah. Ketika hari sudah menjelang subuh, langit akan mulai berubah warna. Dari jingga menjadi ungu muda, halus dan tenteram. Petir, guntur dan hujan berhenti. Kewarasan bangun. Begitu juga manusia-manusianya. Lalu hari berjalan lagi. Manusia-manusia bekerja sepanjang siang, mengumpulkan bahan hujan badai untuk malam harinya. Begitu seterusnya. Hembusan napas merekalah yang menyumbang jingga untuk langit malamnya.

Jumat, 07 Juni 2013

Pemilih

Beberapa isi kepala adalah pemilih
Mereka lebih suka mengantri
Di antara ribuan kendaraan yang tak bergerak
Pada pukul ketika orang-orang bersepatu pantofel begitu merindu kasur
Atau pelukan yang menunggu seharian

Beberapa isi hati adalah pemilih
Mereka lebih suka berpeluh
Oleh udara kota yang enggan bertiup
Yang panasnya membebani langit dan mampu menumpahkan bah
Sampai air mata menggenang semata kaki

Beberapa tubuh adalah pemilih
Mereka lebih suka melarikan diri
Dari genang-remas masa lalu yang pincang dan buruk rupa
Namun kuat berlari mengikuti dan membayangi
Meski peluk jalan dan udaranya hangat dan menyenangkan