Selasa, 11 Juni 2013

Cerita Tentang Sebuah Kota yang Langit Malamnya Jingga



Aku akan menceritakan padamu tentang sebuah kota. Kota itu seukuran sekotak jendela yang besar dari sebuah kamar yang letaknya cukup tinggi. Kota itu seukuran dua buah bola mata yang senang memerhatikannya sepanjang malam.

Kota itu terbentuk dari balok-balok kayu yang berdiri tegak menggapai langit dan sungai-sungai kecil yang menyusur sepanjang jalan-jalan besar sampai setapak-setapak kecil yang kumuh dan gelap. Di dalam balok-balok kayu itu, manusia-manusia tinggal. Seperti rayap, mereka bisa memakan dan menghancurkan balok kayu tempat tinggalnya. Sementara sungai-sungai di kota itu serupa selokan yang ada di kota-kota lain. Hanya saja sungai-sungai itu sungguh dalam. Warnanya hitam. Persis harapan manusia-manusia yang tinggal di dalamnya. Dalam dan hitam. Di dasar sungai-sungai itu tertidur lelap banyak sekali binatang yang buruk rupa dan keji. Untungnya, mereka semua tertidur dan tertutup pekat harapan-harapan hitam manusianya.

Kota itu persegi panjang, namun ada lapisan kabut berbentuk bola yang menyelimutinya. Mungkin sama dengan bola udara raksasa yang menyelimuti Atlantis sampai kota itu tetap hidup di dalam samudera. Semacam gelembung sabun raksasa, dan kota itu ada di dalamnya. Lapisan kabut itu membuat langit malam kota tidak berwarna hitam seperti sungai-sungainya, melainkan jingga. Seakan sore hari terjadi lama sekali dalam sehari. Langit malam itu jingga, seakan terbuat dari amarah-amarah manusia penghuninya yang senantiasa kehilangan kesabaran terhadap apapun dan kapanpun dalam kesehariannya. Manusia-manusia yang tak kenal keramahan dan tak mudah diluluhkan hatinya dengan seulas senyum. Langit itu jingga ketika malam, ketika pertahanan diri manusia-manusianya terhadap kegilaan mulai luruh dan beristirahat. Maka ketika itu kewarasan mulai memejam dan amarah meledak dalam diam, lalu menguap ke angkasa.

Langit malam jingga kota itu adalah ibu yang baik untuk melahirkan petir yang menyilaukan. Petir-petir itu serupa teriakan-teriakan manusianya yang tertahan dan terbungkam oleh waktu yang semakin lama semakin kuat meredam suara-suara hati yang seharusnya disampaikan. Ketika petir sudah mulai bermunculan, guntur yang menggema dan menggetarkan kaca-kaca jendela akan segera menyusul hadir. Getarannya serupa jantung yang berdetak terlalu cepat karena kaki-kaki dari tubuh tempat jantung itu bertengger selalu tergesa-gesa melangkah. Seakan ada monster yang mengejarnya dari ramai jalan utama sampai sepi pojok gang yang paling tersembunyi.

Biasanya, hujan akan segera jatuh setelah itu. Warnanya merah dan kental. Mungkin karena memang berasal dari langit berwarna jingga yang menggumpal dan menjadi pekat. Atau mungkin karena berasal dari jiwa-jiwa manusianya yang tertoreh banyak luka. Lukanya sungguh dalam namun tak dapat dilihat. Tak ada darah yang tampak. Mungkin itulah sebabnya hujan di kota itu berwarna merah kental. Itu adalah darah dari luka-luka yang tak tampak dan keluar mengucur melalui langit.

Tapi kota itu masih indah. Ketika hari sudah menjelang subuh, langit akan mulai berubah warna. Dari jingga menjadi ungu muda, halus dan tenteram. Petir, guntur dan hujan berhenti. Kewarasan bangun. Begitu juga manusia-manusianya. Lalu hari berjalan lagi. Manusia-manusia bekerja sepanjang siang, mengumpulkan bahan hujan badai untuk malam harinya. Begitu seterusnya. Hembusan napas merekalah yang menyumbang jingga untuk langit malamnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar