Sabtu, 23 Maret 2013

Seharusnya Kita

Seharusnya kita berpulang ke pelukan satu sama lain
Bukan kepada gelisah dan percakapan-percakapan yang tak menyelamatkan
Di dalam kepala-kepala egois kita,
kita lebih memilih memeluk buih-buih bir dari botol masing-masing

Seharusnya kita bercerita dari satu bibir ke bibir yang lain
Bukan kepada asap rokok yang membentuk wajah-wajah masa lalu
Di dasar hati kita yang perlahan jatuh,
kita lebih memilih berbicara pada tetes-tetes hujan

Jari-jari kita semakin keriput oleh lembab,
semakin gemetar oleh dingin
Lidah kita semakin pahit oleh tegukan bir,
semakin kelu oleh rasa yang tak terungkap

Tapi kita masih bersikeras tak menyerah
Memilih meneteskan air mata di antara tetesan air,
bekas kebekuan sebotol bir di lantai yang dingin,
Daripada menyuarakan perasaan dan berpasrah pada tubuh satu sama lain
Hanya suara lenguhan yang sudi kita nyanyikan
Melalui kata-kata yang semakin rumit teruntai mesra

Seharusnya kita bercinta dengan sajak yang diam-diam kita tulis
Bukan dengan suara-suara keramaian yang dengan sedikit sengaja kita redam,
agar hanya sunyi yang kita kecap
Di antara rasa-rasa yang semakin bergejolak disendawakan di udara,
kita masih memilih memeluk buih-buih bir dan berbicara pada tetes-tetes hujan

Kamis, 14 Maret 2013

Menyederhanakan Doa

Tuhan,

aku mau menyederhanakan doaku.

Aku minta hanya kesedihan yang datang kepadaku,

apa saja asal bukan kebencian.

Aku tahu tak ada yang lebih melelahkan dari membenci,

tidak merasa sedih sekalipun.

Aku juga merasa,

mungkin aku tak cukup pantas untuk berdoa meminta hanya hal baik.

Maka demikianlah aku menyederhanakannya.

Minggu, 10 Maret 2013

Sepi Tak Punya Definisi

Sepi tak punya definisi
Ia adalah beranda berdinding warna cerah
Lili dan tulip menempatinya
Beranda rumah yang sesungguhnya menyimpan keranda
Ketika satu pintunya mampu kaubuka

Sepi tak punya definisi
Ia adalah langit mendung yang berkawan awan pekat
Kilat ramai bersahutan di dalamnya
Awan pekat yang sesungguhnya memayungi gadis kecil
Tersenyum lebar sembari menari di antara genangan

Jumat, 08 Maret 2013

Narasi Sebuah Pertemuan

Aku akan menceritakan satu narasi tentang sebuah pertemuan.

Saat itu, malam hari di suatu rabu yang malas. Aku duduk di sebuah cafe yang cukup ramai, di bagian tengah kota yang sudah mulai sepi. Jam tangan kulitku menunjukkan pukul sebelas lewat tiga belas menit.

Berjam-jam sudah aku mematikan waktu dengan melumat obrolan-obrolan ringan bersama teman-temanku. Di hadapan piring-piring bekas pisang bakar dan nasi goreng, kami telah menandaskan terlalu banyak tawa. Menit-menit terakhir perjamuan itu akhirnya tenggelam dalam diam pada bibir-bibir kami. Tinggal gelas berisi tak sampai setengah sisa cokelat panas yang menemaniku menatapmu lekat.

Melalui sebuah jendela yang terpajang tepat di depanku, aku memperhatikanmu sibuk bermain dengan asap-asap yang kauhirup dan kauhembuskan. Jendela itu tinggi dan besar. Daun-daunnya dicat putih dan dibuka selebar-lebarnya. Entah kapan kamu dan teman-temanmu masuk dan duduk di sana. Aku hanya sadar sudah duduk di sana, di ruang sebelah dari tempatku duduk, dengan segenggam perekat di wajahmu yang menahan mataku agar tak lepas menatap.

Aku tak sadarkan diri. Mataku lekat menatap sepasang mata sayu yang sorotnya sungguh tajam. Mataku lekat menatap sebuah hidung mancung yang garis tulangnya sungguh tegas. Mataku lekat menatap bibir basah yang ronanya sungguh merah. Kamu larut di antara ramainya tawa dan asap, dan bagiku, seluruh isi dunia mulai menghilang perlahan-lahan dan meninggalkanmu di dalam tatapanku.

Sampai akhirnya pintu paling depan dari cafe itu menyambut kedatangan sesosok perempuan cantik. Dia berjalan dengan begitu anggun menuju mejamu yang sedari tadi kursinya hanya diisi beberapa pria. Dia menghampirimu dan duduk di kursi sebelahmu. Dia langsung merentangkan lengannya yang tak dibalut apapun dan merangkulmu, mendekatkan wajanya ke jawahmu dan menatapmu mesra. Kalian lalu dibawa pergi sepotong-dua potong obrolan kecil yang intim. Tak sampai semenit berlalu dan kamu mengecup bibirnya sepenuh cinta di tengah keramaian suara-suara yang bersama kepulan asap-asap padat mengisi lapisan udara.

Tatapanku lepas. Aku menutup kelopak mataku beberapa detik dan menunduk beberapa menit. Isi dunia mulai kembali satu per satu ke tampat di mana mereka seharusnya berada. Aku mulai sadarkan diri. Aku tersadar di antara ajakan pulang teman-temanku yang sudah ingin menyerah pada kasur mereka masing-masing. Kami keluar cafe, melewati meja tempatmu duduk tanpa aku menengok sedikitpun.

Aku meninggalkan cafe itu dengan perjalanan pulang yang penuh gerimis. Waktu menunjukkan pukul satu lewat tiga puluh empat menit ketika aku membuka pintu kamarku. Aku langsung merebahkan tubuhku di atas tempat tidur dan mumulai lamunanku yang lain. Banyak lamunan yang aku punya di dalam kepalaku setiap harinya. Saat ini, entah yang mana yang kupilih untuk kulamunkan. Aku tidak sadar.

Satu-satunya yang membuatku tersadar setelah sekitar satu jam membiarkan pikiranku beterbangan di langit-langit kamar adalah ketukan di pintu kamarku. Aku masih terjaga. Langkahku bangkit dari tempat tidur agak berat. Aku membuka pintu kamarku dan kamu sudah ada di hadapanku. Kamu mengambil dua langkah maju mendekatiku dan langsung memeluk tubuhku lalu mencium bibirku tanpa merasa asing sama sekali. Pintu kamarku lalu kaututup dan kamu masih memelukku yang hanya terdiam.

Aku lupa kamu punya janji bertemu dengan pacarmu tadi malam di cafe itu. Aku lupa mengabarimu ketika aku diajak bertemu teman-temanku di cafe itu. Aku juga lupa malam ini kamu berjanji akan pulang ke rumahku dan menemaniku. Pikiranku tercecer, berhamburan tak teratur di atas lantai kamar dan aku masih belum mampu mengendalikannya.

Aku tak butuh kamu meninggalkan pacarmu dan menjadikanku yang sah. Aku rasa aku hanya butuh mengingat hal-hal kecil lebih baik.