Kamis, 27 September 2012

yang kamu lewatkan


kamu suka menunggu pagi bukan?

kamu suka menyaksikan sendiri dengan mata kepalamu matahari dari timur merangkak naik ke singgasana langit.
kamu suka merasakan sendiri dengan pori-pori tubuhmu udara menghangat sehingga kau bisa melepaskan selimutmu.
kamu suka mendengar sendiri dengan daun telingamu jam alarm mulai bersahutan dan toa masjid mengajak bersujud.

mengapa malam ini kamu tertidur?

kamu melewatkan bagaimana cahaya menyilaukan di mataku yang menyorotkan cinta terbit.
kamu melewatkan bagaimana hembusan nafasku yang rindu membelai sekujur permukaan kulitmu.
kamu melewatkan suara lirih yang kubisikkan padamu tentang rasa yang meronta keluar.

.....

kamu akan membiarkanku terjaga seraya terpaku memandangimu yang sedang tenggelam dalam gelombang theta otakmu.
lalu ketika kamu terbangun, aku telah beranjak menjauh dan membiarkanmu sendirian menunggu pagi berikutnya yang mendung dan senyap.
pagi berikutnya tanpa ada matahari yang merangkak naik, udara yang menghangat dan suara-suara riuh pengingat waktu.

Selasa, 25 September 2012

Maukah Kamu?

Adakah tempat lain yang bisa kita huni selain di dalam hatiku, pikiranmu dan tulisan ini?

Maukah kamu berusaha menemukan tempat itu demi mimpiku, perasaanmu atau kita?

Rabu, 19 September 2012

Dua Bingkai Kaca

Kau bersusah-payah menumpu energi besar di tempurung lututmu,
menjaga telapak kakimu agar tak melangkah ke arahku.

Kau bersusah-payah menampung panas suhu tubuh di sudut sikumu,
menghalangi jari-jarimu agar tak menggapai genggaman tanganku dengan hangat.

Kau bersusah-payah menebalkan dinding jantungmu,
melindungi detakmu yang menguat tanpa terkendali agar tak terasa oleh dadaku.

Kau bersusah-payah menciptakan asap tebal dengan rokokmu,
menghadang aroma tubuhku agar tak terhirup hidungmu dan terekam sempurna di kepalamu.

Kau bersusah-payah membasahi segenap lekuk bibirmu,
menyibukkannya agar tak sempat menyunggingkan senyum yang akan membius sadarku.

"Kau selalu menggantung di sudut mataku, tapi kau takkan mampu masuk dan menyelam ke dalamnya." Katamu.

"Kau mengatasnamai sebentuk tatap di dalam mataku, tapi kau takkan mampu mendapatinya." Sambungmu.

Kau bersusah-payah mempertahankan selaksa binar di balik kacamatamu,
membentengi sorotnya agar tak tertangkap olehku sebagai cinta.


Selasa, 11 September 2012

Menyeduh Dua Cangkir Kopi




Dulu, aku hanya butuh dua cangkir kopi diseduh untuk menemani kita menjemput pagi.

.....


Pada malam yang semakin larut, kita menyerahkan diri untuk bersandar di sebuah sofa panjang di ruang tengah rumahku. Ruang tengah mungil di dalam sebuah rumah yang juga mungil, namun dengan sofa besar dan panjang yang selalu mampu membuat kita tenggelam ke dalam kenyamanan. Di depan sofa abu-abu itu, ada sebuah karpet yang sering kamu duduki agar lebih dekat dengan asbak rokok. Di depannya lagi ada sebuah televisi yang lebih sering menonton kita berbagi cerita sampai matahari pagi menjelang mengusir makhluk-makhluk halus penghuni rumah yang mungkin saja ikut mengintip.

Kamu keluar dari dapur, membawa secangkir kopi hitam yang tampaknya malam ini lebih kental dari biasanya. Kesepuluh jarimu membentuk formasi lingkaran sempurna mengelilingi cangkir, menyalurkan kehangatan dari seduhan kopi menuju tubuhmu yang mungkin sedang membeku. Kamu terus meniup-niup permukaan cangkir, memudahkan proses penguapan aroma yang sengaja ingin kamu hirup dalam-dalam wanginya. Kamu lalu bersandar lega di atas sofa, di sampingku yang sudah lebih dulu menyeduh kopi dan duduk memberikan pandangan kosong pada televisi di depanku, lalu meletakkan cangkir kopimu di dekat asbak di atas karpet.

"Tadi Rara sms aku."
"Bilang apa?"
"Minta maaf panjang lebar terus ngajak ketemu."
"Terus gimana ketemuannya?"
"Aku ga ketemu dia. Aku bilang ada bimbingan di rumah pak Doni."
"Oooh."
"..."
"Gimana perasaan kamu?"
"Hahahahahaha..."
"Kenapa ketawa?"
"Kamu selalu tahu pertanyaan-pertanyaan tepat yang membuat orang bisa bercerita dengan lepas. Paling ga ya... Aku."
"Hahahahaha... Ya, lalu bagaimana perasaanmu?"
"Marah. Rasa keselnya muncul lagi. Tapi ya mau bagaimana? Aku bahkan udah ga punya hak buat marah-marah dan menuntut pertanggung jawaban dia atas sakit hatiku kan?"
"Ya sudah. Lupain aja lagi. Seperti biasa."
"Memang begitu."

Aroma kopi panas dari dua buah cangkir hitam polos yang baru saja diseduh dan bahkan belum sempat diminum lebih dari dua teguk sudah mampu membuat kita yang menghirupnya merajut sehelai cerita pertama. Malam akan menjadi panjang, lagi dan lagi. Waktu akan menyerah dari pelariannya, beristirahat mengambil napas sambil berjalan pelan dan membiarkan dua orang sahabat berbagi cerita lebih lama dari yang seharusnya. Akan ada banyak cerita yang meluap malam ini, lagi dan lagi. Gudang kata dalam diri masing-masing kita akan membukakan pintunya dan melepas isinya menuju telinga sampai ruangan gudang itu kosong.

Kamu selalu datang ke rumahku, setiap saat kamu butuh atau aku butuh. Entah apa wujud kebutuhan itu. Kebutuhan akan teman untuk menyediakan kebersamaankah, kebutuhan akan bahu yang bersedia disandarkankah, kebutuhan akan telinga yang mampu menampung kisah-kisah membosankan dan menyakitkan dengan tetap membekap egois mulutkah, atau sekedar kebutuhan akan dua cangkir kopi panas yang kita seduh sendiri-sendiri untuk menemani masing-masing jiwa yang kedinginan sampai matahari lahir esok hari? Kita hanya tahu bahwa seperti inilah kita menggapai cita akan kenyamanan dan kedamaian.

Seperti inilah kita selalu mampu membunuh waktu. Menikamnya dalam-dalam agar tak lagi menghalangi kebersamaan yang begitu kita nikmati. Seperti inilah kita selalu mampu menerbangkan kisah. Menyelipkan sayap di punggung setiap cerita agar mereka berputar di langit-langit ruang tengah ini, mengisi setiap jeda udara yang kita hirup. Kita adalah perenung-perenung yang banyak bicara. Kita selalu diam dan merenungi setiap jengkal kejadian yang kita alami dan bahkan mendramatisirnya. Lalu kita akan berbicara begitu banyak ketika dunia hanya diisi dua manusia yang sibuk menghirup aroma kopi di sebuah sofa abu-abu.

Kamu suka berbicara tentang ibumu yang kesepian setelah ayah yang sedari kecil kamu jadikan panutan pergi seenaknya meninggalkanmu demi sesosok wanita yang lebih semok dari ibumu. Kamu suka berbicara tentang dendam yang tak pernah mampu kamu bakar habis dan hanya berakhir terselip di sela ruang hati karena kejatuhanmu yang pernah disebabkan oleh seorang kekasih yang begitu kamu cintai. Kamu suka berbicara tentang cita-citamu yang selalu menghadirkan kerusuhan antara apa yang senang kamu lakukan dan apa yang kata orang harus kamu lakukan. Aku suka berbicara tentang keluargaku yang tak habis-habisnya berpindah tempat tinggal dan bagaimana aku mendambakan sebuah kampung untukku pulang. Aku suka berbicara tentang lelaki yang tak habis kutumpahi dayaku sampai hampir kosong dan lalu menyerah, namun selalu kembali untuk meminta luka padanya. Aku suka berbicara tentang mimpi-mimpiku yang selalu menjadi kenyataan dalam bentuk yang tidak sempurna.

"Sudah subuh."
"Aku mau ngeluarin sampah ke depan rumah biar diangkut tukang sampah."
"Iya..."

Aku lalu kembali ke ruang tengah setelah membuang sampah dan menemukanmu tertidur di atas karpet dengan gitar yang masih berada di dalam pelukanmu.

.....

Sekarang adalah malam kesekian kita berlari menuju pagi bersama beratus-ratus cerita, berpuluh-puluh batang rokok dan dua gelas kopi yang mengantar. Aku rasa ini sudah malam ke-sekian-ratus kita menjalankan ritual ini. Di dalam ratusan malam yang lenyap ditelan pagi itulah, kita diam-diam menanam benih harapan yang pada akhirnya tumbuh membesar dan memaksa untuk dipetik buahnya. Aku bahkan tak sadar kapan aku mulai senang memperhatikan relief garis yang terbentuk dari bagian depan tengkorakmu, setiap aku mengamati dari samping lekuk wajahmu yang terbaring tenang di atas sofa, karpet atau kasurku.

Di sorot matamu, aku dapati kedalaman perasaanku tenggelam dan tak mampu menyelamatkan diri. Di helai rambutmu, aku dapati lembut belaian mimpi yang kubentuk dengan sempurna menyusurinya. Di lapang bahumu, aku dapati aroma terbaik yang dikeluarkan tubuh manusia mengunciku sampai tak bergerak. Di kedua lenganku, kamu dapati pelukan paling tulus yang selalu berhasil meredam panas di kepalamu. Di basah bibirku, kamu dapati kata-kata yang paling ingin telingamu nikahi. Di sudut senyumanku, kamu dapati tembok empuk untukmu meminta sandaran bagi jiwa lelahmu.

"Besok papa sama mama sampai. Mau ikut jemput?"
"Ga ah. Igo di mana?"
"Ada, dia ikut jemput juga."
"Oh. Lamarannya lusa kan?"
"Iya..."
"Akhirnya kamu behenti jadi pacar tukang nangisnya Igo."
"Ya, mungkin malah jadi istri tukang nangis gara-gara Igo."
"Percaya saja dia memang sudah berubah."

Kamu langsung menarikku masuk ke dalam pelukanmu sambil tersenyum yang kutahu kamu paksakan. Kamu lalu mengusap kepalaku dan mengalirkan hantaran listrik paling kuat yang pernah aku rasakan. Rasanya usapan itu menyetrum langsung di hatiku. Rasanya setruman itu menjalarkan panas di sekujur tubuhku. Rasanya panas itu mendidih di mataku. Rasanya melalui didihan itu kita berbicara.

Air mata tak sanggup lagi aku halangi kejatuhannya. Aku menumpahkan seisi kelenjar di sekitar mata dan kelopak mataku seperti hujan pertama setelah musim kemarau. Aku membasahi dadamu dengan hujan yang pecah setelah sekian lama seakan digantung mendung yang tebal dan angin yang kencang namun tak kunjung turun. Kamu mempererat dekapanmu. Telingaku di dadamu membuatku mendengar langsung detak jantungmu yang mengiramakan kata yang selama ini tak pernah sempat kamu ucapkan. Telingamu di kepalaku membuatmu mendengar langsung serangkaian huruf yang tak pernah mampu kususun rapi dan kukeluarkan dari brankas otakku. Irama jantungmu bersama lirik dari kata di kepalaku ternyata menyanyikan sebuah lagu cinta.

Aku tak pernah paham apa kelemahan dari aroma kopi yang bahkan sebelum diteguk sudah mampu membuat kita menyulam kain panjang cerita tentang apapun. Aku tak pernah mengerti apa kekurangan hangat larutan kaffein yang selalu mampu mencairkan beku yang masing-masing kita miliki. Aku tak pernah mengetahui sudut bagian mana dari gudang kata kita yang  meninggalkan beberapa isinya tersangkut tak keluar meski pintu telah dibuka lebar. Aku tak pernah menyangka kita mampu memendam asa besar yang baru saja mampu kita baca lewat sebentuk komunikasi tak kasat mata.

Dan semuanya telah terlanjur terjadi terlalu jauh untuk kita ubah agar sesuai dengan asa yang kita rajut diam-diam.

.....


Aku duduk di bangku pojok sebuah cafe, memesan secangkir kopi, sendirian menunggu Igo menjemputku. Sore sudah hampir kehilangan cahayanya dan diculik malam. Rintik hujan masih deras di luar sana. Lampu-lampu kendaraan yang mulai dinyalakan di jalan raya membiaskan warna-warni buram di setiap titik-titik air yang menempel terpercik di kaca jendela cafe. Aku meneguk kopi di dalam cangkirku. Hanya sebuah cangkir kopi yang habis terseduh terletak di atas meja. Tidak cukup hangat menjalari lapisan kaca cangkir, juga tidak cukup wangi untuk melayangkan cerita ke seluruh penjuru ruangan. Aku bahkan tak lagi punya cukup kekuatan untuk menyeduh secangkir kopi untukku sendiri.

.....


Sekarang, aku juga butuh kamu lebih dari dua cangkir kopi yang diseduh. Ternyata, dan terlambat.

Kamis, 06 September 2012

sajak-sajak dari malam yang berair

ketika tubuhku sudah sebagian mati terinjak botol kaca yang hampir pecah, akankah kau memungut sebagian yang masih berdetak agar tak sampai berdarah tersayat belingnya?
_____________

cuka yang sedang kumakan ini tak cukup asam untuk menuang perih bagi luka yang sudah lama terbengkalai, jika saja kau masih mampu membiarkanku mengecap manis dari aroma bahumu yang mendekapku.
_____________

bukankah kamu tak pernah membiarkanku mabuk? jangan biarkan aku terlalu banyak meneguk pahit lagu-lagu patah hati yang kau nyanyikan karena isi perutku sedang tak bisa kumuntahkan.
_____________

kamu tahu telingaku tak sanggup. aku terhimpit berat suaramu yang meneriakkan sajak-sajak kehilangan dengan nada-nada minor yang kau hembuskan lirih di tengkuk leherku.
_____________

mataku tak lagi mampu berair. sudah terlalu banyak air yang kutelan malam ini. ada asa kecil agar kau mampu menyeka asa besarku terhadapmu atau jika saja air mata itu akhirnya menyerah jatuh.
_____________

aku butuh tatapan matamu sekarang juga tertembak langsung ke dalam mataku tajam dan dalam, sehingga menarikku dari tatapanku yang akan segera menyandingkan sorotnya di mata orang lain.
_____________

jangan biarkan lengan itu merenggutku yang sedang tak sadarkan diri. aku masih berlari ke arahmu, berharap punggungmu mengisi segenap sadarku bersama sisa tubuhmu yang lain.
_____________

masih bayangmu yang membara, bertransformasi ke dalam asap-asap pekat menjadi dirimu yang sempurna. jangan biarkan terbakar habis menjadi abu yang berserakan di tepi rindu.
_____________

Selasa, 04 September 2012

Rintik Hitam


Sayang,
Dini hari telah menghisap habis sinar merah yang menyala dari dalam diriku.
Di antara bintang dan bulan, aku terhimpit sebagai hitam yang membentang di angkasa.
Bahkan jingga pagi yang menghangat sekarang mampu membakarku sampai hampir menjadi abu.
Tanganku tak lagi cukup panjang untuk menggapaimu.
Kakiku sudah keram untuk berjalan menghampirimu.
Tubuhku terlalu lelah untuk memelukmu.
Andai ada selimut yang bisa kau rapatkan ke tubuhku karena aku telah dilumat malam.
Aku telah dicerna gelap karena asaku padamu yang menajam sepanjang malam.

Sayang,
Awan kelabu yang semakin pekat telah menghapus warna-warni dalam auraku.
Di antara rintik yang menerjang, aku tergeletak di tanah yang basah bermandikan lumpur.
Bahkan air yang tergenang tipis di permukaan bumi sekarang mampu menenggelamkanku.
Ada serpihan hati berserakan yang harus lebih dulu kubersihkan sendirian.
Ada bekas-bekas sayatan pisau yang harus lebih dulu kuobati sendirian.
Ada coretan-coretan yang harus lebih dulu kuwarnai polos sendirian.
Andai ada payung yang bisa kau sediakan sebagai atap untukku atau sekedar pelukan bagi kuyup tubuhku.
Karena dingin ini telah merasuk masuk bersama mimpiku membelai rambutmu.

Senin, 03 September 2012

Catatan (Telapak) Kaki


Rumah ini terlalu besar untuk kita bertiga. Aku kesepian. Entah apa yang kalian berdua rasakan ketika bahkan rumah ini hanya dihuni kalian berdua tanpa diriku. Entah bagaimana sepi yang menyeruak bagi kalian berdua jika bertiga saja aku merasa begitu senyap. Banyak ruang kosong yang pasti sering terlewat bagi kalian untuk sekedar menginjakkan kaki di dalamnya. Di lantai atas cuma ada aku. Jika bukan untuk mencuci dan menjemur pakaian, merawat tanaman di teras atas, menyalakan lampu setiap magrib, dan sesekali duduk mencari angin malam yang damai di beranda atas rumah, kapan lagi kalian ke lantai atas? Kamarku bahkan terlalu besar untukku sendiri. Kita bertiga muat tidur di sini setiap malam tanpa harus merasa sesak sedikitpun.

Dunia kecil milik kita bertiga ini terlalu pribadi untuk dibagi dengan orang-orang baru atau ditinggalkan oleh salah satu di antara kita karena sebuah tuntutan perubahan yang entah apa. Dunia ini ekslusif untuk kita. Dengan siapa lagi aku bermain sejak kecil sampai sekarang jika tidak dengan kalian berdua? Dengan siapa lagi aku bercanda dan tertawa jika tidak bersama kalian? Aku tak punya saudara atau sepupu seusia yang sering bersamaku dan berada di antara kita. Dunia ini hanya milik kita bertiga, diisi dengan segala sesuatu apapun tanpa terlewat yang kita lakukan bertiga. Aku tak akan pernah terbiasa, dan bahkan tak pernah terpikirkan, jika ada orang lain yang memasuki dunia kita, juga tidak jika ada salah satu di antara kita yang berubah berpindah tempat meninggalkan dunia ajaib ciptaan kita.

Tanggung jawab ini terlalu berat untuk kuemban sendiri. Aku tak pernah benar-benar tahu bahwa ada kekurangan menjadi seorang anak tunggal. Setahuku dengan menjadi anak tunggal, aku tinggal bersenang-senang karena semua keinginan yang hampir selalu terpenuhi tanpa syarat bisa kunikmati sendiri tanpa perlu bersaing dengan siapapun. Setahuku, dengan menjadi anak tunggal aku tinggal menjadi ratu yang semua kepentingannya sudah dibereskan oleh kalian berdua. Pada akhirnya aku sampai pada waktu dimana aku sudah harus bergantian mengerjakan tugas dengan kalian. Sekarang sudah harus aku yang memperhatikan kalian. Aku mulai keberatan ketika menyadari bahwa akulah satu-satunya yang kalian miliki dan satu-satunya yang menggenggam kesempatan untuk membahagiakan kalian.

Usiaku ini terlalu muda untuk mengkhawatirkan semuanya seperti ini. Aku tak pernah bermasalah dengan usiaku yang selalu terlalu muda di dalam lingkungan-lingkungan yang aku hadapi. Aku bahkan selalu berprestasi di sekolah meskipun aku yang paling muda. Aku masih terus berhasil sampai aku mengenakan toga yang dengan bangga kalian berdua pajang foto-fotonya di seluruh sudut rumah karena aku mengenakannya tepat waktu, bergelar dengan pujian dan sebagai lulusan termuda. Sekarang aku kebingungan. Apa aku harus menyamai orang lain seusiaku yang masih banyak bersantai dan diurusi oleh kalian? Atau aku sudah harus bertanggung jawab atas diriku sendiri dan bahkan atas kalian berdua? Aku tak pernah tahu untuk menjadi karbitan harus serumit ini.

Doa ini terlalu singkat untuk dapat mengungkapkan seluruh pengharapanku atas kalian. Aku ingin terus menjadi ratu kecil dan mungil yang polos di dalam dunia ajaib milik kita bertiga. Aku ingin berjalan kemanapun dengan selalu memboyong kalian di sisiku. Aku ingin menjadi yang mampu mengaminkan segala keinginan kalian terhadapku tanpa mengurangi sedikitpun impianku. Tapi aku hanya bisa memanjatkan harapan agar kalian selalu sehat dan bahagia, dan semoga bahagia itu juga berasal dari diriku. Aku bukan saja mencintai kalian lebih dari yang kalian tahu. Aku juga ingin melakukan yang terbaik untuk kalian lebih dari yang kalian kira.

Minggu, 02 September 2012

Maaf dan Doa

Ada sepantasnya maaf yang tak kuasa tersampaikan, dituliskan di sepucuk kertas yang terlipat dan tersimpan rapi di ruangan terbawah lemari hati.

Namun ada setulusnya doa yang dihembuskan lirih oleh nafas, ditiupkan ke dalam sebuah botol usang dan dihanyutkan ke lautan angkasa.

Maaf telah meremukkan yang kokoh demi menggenggam yang rapuh, doa terbaik atas segala yang terbaik selalu ada untukmu.