Selasa, 11 September 2012

Menyeduh Dua Cangkir Kopi




Dulu, aku hanya butuh dua cangkir kopi diseduh untuk menemani kita menjemput pagi.

.....


Pada malam yang semakin larut, kita menyerahkan diri untuk bersandar di sebuah sofa panjang di ruang tengah rumahku. Ruang tengah mungil di dalam sebuah rumah yang juga mungil, namun dengan sofa besar dan panjang yang selalu mampu membuat kita tenggelam ke dalam kenyamanan. Di depan sofa abu-abu itu, ada sebuah karpet yang sering kamu duduki agar lebih dekat dengan asbak rokok. Di depannya lagi ada sebuah televisi yang lebih sering menonton kita berbagi cerita sampai matahari pagi menjelang mengusir makhluk-makhluk halus penghuni rumah yang mungkin saja ikut mengintip.

Kamu keluar dari dapur, membawa secangkir kopi hitam yang tampaknya malam ini lebih kental dari biasanya. Kesepuluh jarimu membentuk formasi lingkaran sempurna mengelilingi cangkir, menyalurkan kehangatan dari seduhan kopi menuju tubuhmu yang mungkin sedang membeku. Kamu terus meniup-niup permukaan cangkir, memudahkan proses penguapan aroma yang sengaja ingin kamu hirup dalam-dalam wanginya. Kamu lalu bersandar lega di atas sofa, di sampingku yang sudah lebih dulu menyeduh kopi dan duduk memberikan pandangan kosong pada televisi di depanku, lalu meletakkan cangkir kopimu di dekat asbak di atas karpet.

"Tadi Rara sms aku."
"Bilang apa?"
"Minta maaf panjang lebar terus ngajak ketemu."
"Terus gimana ketemuannya?"
"Aku ga ketemu dia. Aku bilang ada bimbingan di rumah pak Doni."
"Oooh."
"..."
"Gimana perasaan kamu?"
"Hahahahahaha..."
"Kenapa ketawa?"
"Kamu selalu tahu pertanyaan-pertanyaan tepat yang membuat orang bisa bercerita dengan lepas. Paling ga ya... Aku."
"Hahahahaha... Ya, lalu bagaimana perasaanmu?"
"Marah. Rasa keselnya muncul lagi. Tapi ya mau bagaimana? Aku bahkan udah ga punya hak buat marah-marah dan menuntut pertanggung jawaban dia atas sakit hatiku kan?"
"Ya sudah. Lupain aja lagi. Seperti biasa."
"Memang begitu."

Aroma kopi panas dari dua buah cangkir hitam polos yang baru saja diseduh dan bahkan belum sempat diminum lebih dari dua teguk sudah mampu membuat kita yang menghirupnya merajut sehelai cerita pertama. Malam akan menjadi panjang, lagi dan lagi. Waktu akan menyerah dari pelariannya, beristirahat mengambil napas sambil berjalan pelan dan membiarkan dua orang sahabat berbagi cerita lebih lama dari yang seharusnya. Akan ada banyak cerita yang meluap malam ini, lagi dan lagi. Gudang kata dalam diri masing-masing kita akan membukakan pintunya dan melepas isinya menuju telinga sampai ruangan gudang itu kosong.

Kamu selalu datang ke rumahku, setiap saat kamu butuh atau aku butuh. Entah apa wujud kebutuhan itu. Kebutuhan akan teman untuk menyediakan kebersamaankah, kebutuhan akan bahu yang bersedia disandarkankah, kebutuhan akan telinga yang mampu menampung kisah-kisah membosankan dan menyakitkan dengan tetap membekap egois mulutkah, atau sekedar kebutuhan akan dua cangkir kopi panas yang kita seduh sendiri-sendiri untuk menemani masing-masing jiwa yang kedinginan sampai matahari lahir esok hari? Kita hanya tahu bahwa seperti inilah kita menggapai cita akan kenyamanan dan kedamaian.

Seperti inilah kita selalu mampu membunuh waktu. Menikamnya dalam-dalam agar tak lagi menghalangi kebersamaan yang begitu kita nikmati. Seperti inilah kita selalu mampu menerbangkan kisah. Menyelipkan sayap di punggung setiap cerita agar mereka berputar di langit-langit ruang tengah ini, mengisi setiap jeda udara yang kita hirup. Kita adalah perenung-perenung yang banyak bicara. Kita selalu diam dan merenungi setiap jengkal kejadian yang kita alami dan bahkan mendramatisirnya. Lalu kita akan berbicara begitu banyak ketika dunia hanya diisi dua manusia yang sibuk menghirup aroma kopi di sebuah sofa abu-abu.

Kamu suka berbicara tentang ibumu yang kesepian setelah ayah yang sedari kecil kamu jadikan panutan pergi seenaknya meninggalkanmu demi sesosok wanita yang lebih semok dari ibumu. Kamu suka berbicara tentang dendam yang tak pernah mampu kamu bakar habis dan hanya berakhir terselip di sela ruang hati karena kejatuhanmu yang pernah disebabkan oleh seorang kekasih yang begitu kamu cintai. Kamu suka berbicara tentang cita-citamu yang selalu menghadirkan kerusuhan antara apa yang senang kamu lakukan dan apa yang kata orang harus kamu lakukan. Aku suka berbicara tentang keluargaku yang tak habis-habisnya berpindah tempat tinggal dan bagaimana aku mendambakan sebuah kampung untukku pulang. Aku suka berbicara tentang lelaki yang tak habis kutumpahi dayaku sampai hampir kosong dan lalu menyerah, namun selalu kembali untuk meminta luka padanya. Aku suka berbicara tentang mimpi-mimpiku yang selalu menjadi kenyataan dalam bentuk yang tidak sempurna.

"Sudah subuh."
"Aku mau ngeluarin sampah ke depan rumah biar diangkut tukang sampah."
"Iya..."

Aku lalu kembali ke ruang tengah setelah membuang sampah dan menemukanmu tertidur di atas karpet dengan gitar yang masih berada di dalam pelukanmu.

.....

Sekarang adalah malam kesekian kita berlari menuju pagi bersama beratus-ratus cerita, berpuluh-puluh batang rokok dan dua gelas kopi yang mengantar. Aku rasa ini sudah malam ke-sekian-ratus kita menjalankan ritual ini. Di dalam ratusan malam yang lenyap ditelan pagi itulah, kita diam-diam menanam benih harapan yang pada akhirnya tumbuh membesar dan memaksa untuk dipetik buahnya. Aku bahkan tak sadar kapan aku mulai senang memperhatikan relief garis yang terbentuk dari bagian depan tengkorakmu, setiap aku mengamati dari samping lekuk wajahmu yang terbaring tenang di atas sofa, karpet atau kasurku.

Di sorot matamu, aku dapati kedalaman perasaanku tenggelam dan tak mampu menyelamatkan diri. Di helai rambutmu, aku dapati lembut belaian mimpi yang kubentuk dengan sempurna menyusurinya. Di lapang bahumu, aku dapati aroma terbaik yang dikeluarkan tubuh manusia mengunciku sampai tak bergerak. Di kedua lenganku, kamu dapati pelukan paling tulus yang selalu berhasil meredam panas di kepalamu. Di basah bibirku, kamu dapati kata-kata yang paling ingin telingamu nikahi. Di sudut senyumanku, kamu dapati tembok empuk untukmu meminta sandaran bagi jiwa lelahmu.

"Besok papa sama mama sampai. Mau ikut jemput?"
"Ga ah. Igo di mana?"
"Ada, dia ikut jemput juga."
"Oh. Lamarannya lusa kan?"
"Iya..."
"Akhirnya kamu behenti jadi pacar tukang nangisnya Igo."
"Ya, mungkin malah jadi istri tukang nangis gara-gara Igo."
"Percaya saja dia memang sudah berubah."

Kamu langsung menarikku masuk ke dalam pelukanmu sambil tersenyum yang kutahu kamu paksakan. Kamu lalu mengusap kepalaku dan mengalirkan hantaran listrik paling kuat yang pernah aku rasakan. Rasanya usapan itu menyetrum langsung di hatiku. Rasanya setruman itu menjalarkan panas di sekujur tubuhku. Rasanya panas itu mendidih di mataku. Rasanya melalui didihan itu kita berbicara.

Air mata tak sanggup lagi aku halangi kejatuhannya. Aku menumpahkan seisi kelenjar di sekitar mata dan kelopak mataku seperti hujan pertama setelah musim kemarau. Aku membasahi dadamu dengan hujan yang pecah setelah sekian lama seakan digantung mendung yang tebal dan angin yang kencang namun tak kunjung turun. Kamu mempererat dekapanmu. Telingaku di dadamu membuatku mendengar langsung detak jantungmu yang mengiramakan kata yang selama ini tak pernah sempat kamu ucapkan. Telingamu di kepalaku membuatmu mendengar langsung serangkaian huruf yang tak pernah mampu kususun rapi dan kukeluarkan dari brankas otakku. Irama jantungmu bersama lirik dari kata di kepalaku ternyata menyanyikan sebuah lagu cinta.

Aku tak pernah paham apa kelemahan dari aroma kopi yang bahkan sebelum diteguk sudah mampu membuat kita menyulam kain panjang cerita tentang apapun. Aku tak pernah mengerti apa kekurangan hangat larutan kaffein yang selalu mampu mencairkan beku yang masing-masing kita miliki. Aku tak pernah mengetahui sudut bagian mana dari gudang kata kita yang  meninggalkan beberapa isinya tersangkut tak keluar meski pintu telah dibuka lebar. Aku tak pernah menyangka kita mampu memendam asa besar yang baru saja mampu kita baca lewat sebentuk komunikasi tak kasat mata.

Dan semuanya telah terlanjur terjadi terlalu jauh untuk kita ubah agar sesuai dengan asa yang kita rajut diam-diam.

.....


Aku duduk di bangku pojok sebuah cafe, memesan secangkir kopi, sendirian menunggu Igo menjemputku. Sore sudah hampir kehilangan cahayanya dan diculik malam. Rintik hujan masih deras di luar sana. Lampu-lampu kendaraan yang mulai dinyalakan di jalan raya membiaskan warna-warni buram di setiap titik-titik air yang menempel terpercik di kaca jendela cafe. Aku meneguk kopi di dalam cangkirku. Hanya sebuah cangkir kopi yang habis terseduh terletak di atas meja. Tidak cukup hangat menjalari lapisan kaca cangkir, juga tidak cukup wangi untuk melayangkan cerita ke seluruh penjuru ruangan. Aku bahkan tak lagi punya cukup kekuatan untuk menyeduh secangkir kopi untukku sendiri.

.....


Sekarang, aku juga butuh kamu lebih dari dua cangkir kopi yang diseduh. Ternyata, dan terlambat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar