Minggu, 08 April 2012

Sudut


Perempuan itu duduk diam di sudutnya. Sudut miliknya. Kerajaan terbesarnya. Bukan satu pojokan konstan di sebuah cafe biasa yang sering ia datangi. Hanya saja sebuah sudut yang cukup memiliki jarak dengan laki-laki yang selalu diobservasinya dari jauh. Kerajaan itu terletak di bagian manapun dari cafe itu selama ia memiliki cukup jarak untuk terus menatap laki-laki itu. Jarak yang cukup untuk membangun dinding tak terlihat untuk membuat dirinya tak terlihat, tapi bisa melihat semuanya.

Perempuan itu terus bersembunyi. Menyembunyikan arti berbeda dari tatapan yang biasa ia berikan pada laki-laki itu pada keadaan biasa, keadaan dimana mereka sering bercengkrama sebagai seorang teman, sahabat atau keluarga. Menyembunyikan bentuk lain dari hati yang biasa ia tunjukkan dalam keadaan biasa saat ia tidak berada di sudut kerajaannya. Menyembunyikan semuanya, di balik lembaran-lembaran cetakan tulisan berbau sastra yang memang ia cintai, dan pada banyak waktu ia gunakan sebagai tameng pelindung rasanya. Menyembunyikan semuanya, di balik asap yang terus ia hisap dalam-dalam dan hembuskan, yang selalu menjadi semakin pekat seiring larutnya malam dan menjamurnya rasa yang semakin menjadi.

Perempuan itu tak melepas pandangannya. Terus menerus memperhatikan laki-laki itu. Tidak secaranya nyata karena ia lebih sering berpura-pura tertawa, berbicara dengan teman lain, membaca, atau apapun. Mengagumi laki-laki yang dalam keadaan biasa sudah cukup melekat dengan dirinya. Menyisipkan arti lain kebersamaannya dengan laki-laki itu dalam setiap pengamatannya. Mencari-cari alasan lebih dari timbunan alasan yang sebenarnya telah ia miliki untuk mengagumi dan mendekatkan diri dengan laki-laki itu. Ia terus memperhatikan, meskipun dengan ekor mata pada setiap detik ia berpura-pura melakukan aktivitas lain.

Perempuan itu akan selalu diam di sudut kerajaannya. Mengagung-agungkan laki-laki yang terus berlari dari dunianya dengan tertawa terbahak-bahak atau melakukan hal lainnya yang menyenangkan dengan teman-temannya. Mengagung-agungkan laki-laki yang lebih senang ia perhatikan saat sedang diam dan larut sendiri di balik lembaran-lembaran buku penuh gambarnya sambil menghisap rokok tak habis-habis. Mengagung-agungkan langkah laki-laki yang akan selalu memberi beban beberapa kilo lebih berat dalam hatinya yang sudah cukup berat, saat mulai melangkahkan kaki untuk memilih pulang meninggalkannya. Ia terus diam bersama arti lebih laki-laki itu bagi dirinya yang masih saja tak bisa ia ubah keadaannya.

..........

Perempuan itu akan terus diam di sudut kerajaannya. Dengan tatapannya. Di balik asap dan bukunya. Bersama arti lebih kebersamaan yang terus dia jaga. Ia tak cukup berani untuk kembali mengacaukan semuanya yang telah cukup baik dimilikinya, seperti yang biasa ia sering lakukan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar