Rabu, 05 Desember 2012

Jangan Ketuk Pintu Itu

Masih ada yang tersisa tentang kita.
Sisa kisah berbentuk sebercak dua bercak noda,
yang telah menua dan berubah cokelat di tembok kamarku.
Noda yang mudanya begitu merah dan segar,
kontras dengan cat putih dinding tempatnya bersarang.
Noda yang terlukis melalui kuas kepalan tanganmu yang menghantam kanvas beton,
ketika kita sedang tak lagi punya cara lain untuk berbicara.

Lalu, luka apa lagi yang masih sanggup kau elak?
Kesakitan mana lagi yang masih berusaha tak kausetujui?
Aku membaringkan kepalaku setiap malam,
tepat di sebelah lembaran ingatan itu.
Ingatan yang dituliskan dengan darah,
di tembok yang tepat bersisian dengan kasurku.

Kau tahu seperti apa rasanya?
Rasanya asin seperti air mata yang jatuh mencuri muara ke tepian bibir.
Rasanya cemas seperti mimpi buruk yang rutin bertamu.
Rasanya kosong seperti mulut yang menganga,
ketika lelap menggerogoti badan yang kelelahan.

Dan kamu,
apapun tarikan yang bumi jelmakan alasan kepadamu untuk melangkah kembali menujuku,
urungkanlah niatmu untuk mengetuk pintu kamarku.
Ingatlah tentang sebercak darah yang masih tertinggal,
di dalam ruangan yang pintunya ingin kau ketuk itu.
Ingatlah tentang ingatan buruk yang terlukis di sana.

Lalu berbaliklah.
Pulanglah ke dunia yang kau pakai untuk melarikan diri dari monster yang keluar dari tubuhku.
Tak ada tempat lagi untuk lukisan luka yang lain di dalam sini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar