Sabtu, 15 Desember 2012

Merah Yang Memudar Jingga



Aula besar tempat acara dilaksanakan di dalam sana ramai sekali. Manusia-manusia berbalut gaun dan jas rapi begitu cantik dan tampan berkeliaran di sana-sini. Wajah-wajah mereka bahagia. Ada juga beberapa yang  yang mengenakan wajah gelisah, menunggu giliran untuk menyampaikan perasaan terpendamnya kepada sesosok manusia istimewa yang sudah bertahun-tahun dipuja.

Malam ini, di sebuah gedung yang aulanya kami sewa di pusat kota, aku dan sekelompok temanku membuat sebuah acara angkatan. Acara semacam prom night kesiangan karena kami bukan lagi rombongan anak SMA yang baru lulus ujian akhir, melainkan sekumpulan mahasiswa tingkat akhir yang sedang terluntang-lantung dikerjai tugas akhir. Acara ini kami buat mengingat satu-persatu teman seperjuangan yang telah memenangkan perangnya dengan sesosok musuh bernama skripsi sudah mulai lulus satu-persatu dan akan segera memulai kehidupannya yang baru. Sekedar menciptakan momen yang dapat diingat, acara ini menjadi penggenap satu acara dengan konsep sama yang pernah kami buat di awal kuliah untuk lebih menyatukan teman-teman seangkatan dari gab kelompok pergaulan masing-masing.

Ruangan semakin pengap. Riuh suara-suara yang meledek setiap orang yang sedang maju ke atas panggung dan menyatakan perasaan terpendamnya selama bertahun-tahun semakin menggema. Ya, ini salah satu konsep yang secara tidak sengaja dilaksanakan dalam acara. Dimulai dari salah satu temanku yang memberanikan diri menyampaikan perasaannya kepada perempuan yang sudah bertahun-tahun dia puja diam-diam, pengakuan-pengakuan lainnya segera mengantri untuk mengaliri ruangan. Ternyata banyak cinta yang tersimpan di antara kami selama ini.

Aku melangkah keluar ruangan sambil tersenyum-senyum melihat perilaku teman-temanku. Aku sempat begitu menyukai salah satu teman baikku, tapi rasanya aku tidak mememuhi persyaratan untuk ikut menghebohkan bagian acara tersebut. Rata-rata orang yang sedang berdiri mengaku di atas panggung sudah menyimpan perasaannya lebih dari dua tahun.

"Mau ke mana, Dil?"
"Ke depan bentar, sumpek."
"Eh, lagi seru gini juga."
"Hahahaha... Iya, ya udah biarin aja mereka."
"Kan siapa tahu tiba-tiba ada yang ngaku ke kamu, Dila."
"Yah, kalo ada suruh teriak yang kenceng biar kedengeran dari luar ya."
"Sial. Hahahaha..."

Aku melangkah meninggalkan Sela yang tadi menyapaku. Gedung ini berada di pinggir salah satu jalan raya utama kota. Aku duduk sendirian di pojok teras depan gedung, menghadap jalan raya. Rok yang kukenakan tak kupedulikan lagi jika harus kotor terkena sesuatu. Aku mengeluarkan rokok dan korek api dari dalam tas pestaku dan membakar sebatang.

Dibandingkan mengingat salah satu teman dekatku yang pernah aku hujani rasa suka, aku justru terjebak dalam rasa sakitku yang bekasnya masih berwujud ruam di seluruh permukaan hatiku. Melepaskan apa yang sudah begitu dimiliki memang bukan hal mudah, toh melepaskan perasaan dari sesuatu yang tak pernah dimiliki saja seringkali sulit untuk dilakukan.

Aku pernah begitu memiliki seseorang, paling tidak begitulah menurutku. Aku rasa, ketika itu kami bahkan terlalu memiliki dan melewati batas. Aku merasa aku punya hak apapun atasnya, dan begitupun sebaliknya. Tak perlu momen-momen bahagia untuk membuat kami terus terikat, keburukan-keburukan yang telah kami ciptakan berdua justru menjadi alasan untuk tak pernah mampu melepaskan diri dari satu sama lain. Bertahun-tahun hal itu terjadi di antara skala-skala waktu yang tak pernah kami pahami dan tak mampu kami taklukkan.

Sekarang dia telah sadar. Dia lebih dulu mengambil keputusan untuk menebalkan pertahanannya dan meninggalkanku. Setelah dari dulu kami tahu bahwa tak akan ada yang membaik, tanpa mampu bergerak meninggalkan, sekarang dia menguatkan kakinya lebih dulu untuk melangkah pergi dan menyelamatkan kami. Aku tak bisa melakukan apa-apa. Seharusnya aku sedang menjadi gila dan memohon-mohon kepadanya, seperti bagaimana dia dulu pernah lakukan kepadaku, tapi aku juga sadar bahwa aku harus membantu memutuskan lingkaran karma tempat kami bermain selama ini.

Aku tahu aku akan baik-baik saja. Aku hanya sedikit suka untuk duduk lebih bungkuk dari biasanya. Sepertinya ada beban yang setengah mati aku keluarkan dari dalam hatiku dan kutumpu di atas bahuku. Beban itu berwujud sosoknya. Sosok yang sudah terbang dan berbahagia dia langitnya sendiri. Seharusnya karena dia telah terbang, bahuku semakin lega. Mungkin seperti inilah definisi dari baik-baik saja; hati yang masih berbekas ruam dan kepala yang keberatan mengingat.

"Ngapain lo?"
"Eh, Dim. Ga ngapa-ngapain. Sumpek aja di dalam. Mau ngerokok."
"Bagi rokok dong."

Sejurus kemudian aku menyodorkannya sebungkus rokok yang kupunya dan meminjamkannya korek api. Kami lalu duduk berdua di pojok teras depan gedung yang menghadap jalan raya. Dalam diam, kami sibuk dengan pikiran masing-masing yang melayang di antara bintang yang kebetulan begitu terang malam ini. Kami hanya terdiam mengamati asap rokok yang mengaburkan cahaya dari deretan lampu jalan yang jingganya tampak selalu sendu.

Namanya Dimas. Temanku semenjak aku baru masuk perguruan tinggi. Anggap saja dia teman dengan multiperan. Biasanya dia adalah teman tidur siang, lebih tepatnya teman yang kasur di kamar kosnya aku rebut secara membabi buta setiap aku butuh tempat untuk merebahkan kelelahan fisik maupun batinku. Dia teman bercerita tentang segala hal yang pernah eksis di muka bumi atau di dalam pikiran manusia. Dia abangku. Dia pacarku ketika beberapa momen menuntut dan memaksa manusia untuk harus berpasangan, momen malam minggu misalnya. Dia lawan debatku. Sampai-sampai peran teman curhat sudah tidak begitu signifikan lagi. Aku bahkan tak perlu mencurahkan apa-apa dan dia sudah tahu dengan sendirinya. Dia teman yang sempat aku curahi perasaan suka namun aku genangi di dalam hatiku sendiri. Kebersamaan kami sudah membuat perasaan itu tidak menjadi suatu hal luar biasa lagi. Lagipula, aku tak yakin banyaknya peran yang dia lakoni denganku selama ini bersedia ia rangkum hanya menjadi satu peran -- pacarku.

"Udah sih, sedih mulu. Malesin."
"Dih! Tau apa lo?"
"Semuanya."
"Iya deh, iya..."
"Punya beberapa menit buat dengerin gue ga?"
"Kalo sampe 10 menit, ga punya."
"Anggap aja lo itu merah. Kalo lo ngerasa lo udah pudar, gue mau kasi tau lo kalo jingga juga cantik kok. Walopun menurut gue, lo masih tetep merah."
"....."
"Ga sampe dua menit kan?"
"....."

Aku hanya menatap wajahnya dalam-dalam. Dia merangkulku dan aku memeluknya. Setelah itu dia langsung mematikan rokoknya dan bergegas masuk ke dalam ruangan. Suara-suara dari dalam masih sangat riuh. Aku kembali menerka-nerka langit sendirian. Aku mcasih tak ingin bergumul dengan kerumunan manusia yang sedang uforia.

Tiba-tiba saja Sela berlari ke arahku dari dalam ruangan sambil meneriakkan namaku dengan heboh. Dia langsung menarikku sekuat tenaga tanpa mau tahu dengan keadaanku dan membawaku ke depan panggung. Ramai sekali. Semua orang menyorakiku sambil tertawa-tawa menggodaku. Aku kebingungan. Berisik sekali. Satu-satunya hal yang masih sempat kucerna di dalam otakku adalah aku melihat Dimas ada di atas panggung.....

.....

Aku memang adalah merah yang sempat memudar dan berubah menjadi jingga. Dengan sorot mata dan jari-jarimu yang menggenggam tanganku, kamu tawarkan kepadaku dua pilihan untuk aku yakini; aku masih merah, atau jingga tetap cantik. Entah apa yang waktu itu kupilih. Yang aku tahu sekarang, aku adalah merah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar