Minggu, 02 Desember 2012

Pengkhianat Takdir


Kita memang adalah pendosa.
Ketika takdir menuliskan cerita perpisahan untuk kita berdua,
kita memaksa diri untuk terus berjalan bersisian.
Ketika Tuhan membisikkan wahyu di telinga kita untuk berhenti mencintai,
kita berkhianat dan terus berpelukan.
Ketika luka mengetuk hati dan membawa kabar kesakitan,
kita mengebalkan ego dan tak mau menyerah.

Dulu aku mencintaimu dan seharusnya aku masih mencintaimu.
Meski demi mempertahankan kewarasanku, aku membencimu.

Aku selalu suka bercerita.
Tentang bagaimana aku begitu mencintaimu.
Aku selalu suka menuliskan ribuan deretan kata.
Tentang bagaimana aku hanya mencintaimu.

Tapi aku memang adalah pendosa.
Di depanmu, hanya pelupuk mata berairku yang bercerita,
atau suara-suara tinggi yang menulis.
Tentang cerita yang masih sama,
bagaimana aku begitu mencintaimu dan bagaimana aku hanya mencintaimu.

Sekarang kau telah tuli karena cerita-ceritaku,
telah buta karena tulisan-tulisanku.
Maka aku setuju untuk diam.
Aku setuju untuk menaati tulisan takdir, bisikan Tuhan dan kabar sang luka.
Aku akan duduk diam di bawah kolong tangga sebuah rumah,
tempatmu menumpuk kenangan yang terpaksa kausimpan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar