Kamis, 28 Februari 2013

Tidak Ke Luar Tempat Tidur

"Permisi, di sini ada orangnya?" Seorang perempuan sekitar umur 27 tahun, cantik, kulit sawo matang, rambut hitam ikal hampir sepinggang dijepit setengah acak-acakan, dengan tinggi sekitar 160 cm mengampiri mejaku.

Waktu itu pukul 5 lewat 14 menit sore hari. Di luar langit masih mendung, meninggalkan tetesan-tetesan gerimis yang tersisa dari hujan deras sepanjang siang tadi. Aku masih bergumul dengan laptopku, entah apa yang kulakukan, menunggu hujan benar-benar reda mungkin. Baru saja aku meeting dengan orang dari event organizer yang akan mengatur pelaksanaan pameran lukisan tunggalku.

Aku datang lebih dulu di cafe ini, menunggu sendiri, bertemu kolega, lalu ditinggal pulang dan akhirnya sendiri lagi. Cafe ini memang tempat di mana aku biasanya menghabiskan waktu melamunku selain di studio lukisku sendiri. Kegiatan itu aku lakukan lagi hari ini, sampai wanita di depanku datang dan menginterupsi lamunanku. Ia mengenakan kemeja satin berwarna cokelat dan rok span hitam selutut. Ia juga mengenakan sepatu hak rendah berwarna cokelat serta tas kulit berwarna krem. Sepertinya wanita kantoran.

"Oh, ga ada kok." Aku menjawab pertanyaannya dengan maksud mempersilakannya menggunakan kursi di depanku. Wanita itu ternyata tidak menghampiri untuk meminjam kursi di depanku yang kosong. Ia justru duduk di depanku, satu meja denganku.

"Maaf ya. Nggak ada meja yang kosong lagi. Boleh kan aku duduk di sini?" Katanya.

"Oh iya, nggak apa-apa." Balasku. Kemeja cokelatnya sedikit basah. Mungkin ia baru pulang dari kantor dan kehujanan. Wanita ini sangat menarik, tapi seperti biasa, aku tidak tertarik untuk banyak bicara.

"Eh, aku Armen." Dia langsung menjulurkan tangannya ke hadapanku.

"Oh, iya. Aku Tian." Aku menjabat tangannya sekilas.

"Maaf banget loh mengganggu. Aku nungguin temenku mau jemput. Baru balik kantor nih. Tuh di depan." Jelasnya sambil menunjuk satu gedung yang tampak dari jendela cafe.

"Iya, ga ganggu kok. Oh, penerbitan itu ya? Editor?" Jawabku dengan rentetan pertanyaan.

"Iya, kok bisa tau?"

"Kira-kira aja."

Langit yang mendung tak berubah terang. Malam justru menjelang. Gerimis-gerimis di luar sudah sepenuhnya reda dan lampu-lampu jalan mulai dinyalakan. Wanita di hadapanku ini akhirnya diam dan tiba-tiba sibuk dengan dunianya sendiri. Bagaimanapun juga, aku akhirnya lega. Aku seniman yang lebih nyaman menyendiri dan sering merasa terancam berada di dalam suatu interaksi sosial, terutama dengan orang asing. Ia memainkan handphone-nya beberapa lama lalu beralih merogoh tasnya. Ia lalu mengeluarkan sebuah buku dan mulai membuka-buka halaman, mencari bagian yang telah ia beri tanda untuk melanjutkan membaca.

Di sampul depan buku itu tertulis 'DEAR THEO' dengan ukuran huruf yang besar dan mudah dibaca. Sesuatu yang sangat familiar bagiku, buku Autobiografi dari Vincent Van Gogh. Sebagai pekerja seni, aku memang tidak suka membaca buku. Aku lebih percaya dengan internalisasi kebatinan, bahwa kita hanya butuh hati untuk menghasilkan karya. Hal itu lebih utama dibandingkan menempa keterampilan teknis lewat membaca buku. Namun, sebagai pelukis hasil didikan Fine Arts Major, University of Pennsylvania, aku sudah pasti tahu buku itu. Wanita ini menjadi semakin menarik di mataku.

"Dear Theo?" Tanyaku pada wanita itu.

"Iya. Kamu tahu?"

"Bahkan paham semuanya."

"Suka seni rupa?"

"Seharusnya aku yang bertanya begitu karena kamu itu editor. Suka seni rupa? Atau justru karena suka sejarah?"

"Hahahaha... Memang suka seni rupa."

"Kok bisa?"

"Nggak tahu. Suka aja. Kakekku dulu suka melukis. Dulu dia sering sekali menyebut-nyebut Van Gogh entah menceritakan apa, aku masih sangat kecil. Kamu..."

"Aku memang pelukis." Aku memotong kalimatnya.

"Serius? Aku mau liat lukisan-lukisanmu!"

"Bulan depan aku ada pameran tunggal. Tapi kamu bisa ke studio sekarang juga kalau kamu mau."

_____________________________________________________


Akhirnya langit terang juga setelah seharian kemarin hampir tak sempat membagi kehangatan sama sekali. Fajar sudah pergi beberapa jam yang lalu. Ini hari sabtu dan tak ada yang perlu diburu di pagi yang tenang ini.

Sekilas mataku menangkap angka yang tampak di jam dinding kamarku. Pukul 10 pagi. Kamarku berantakan seperti biasanya. Hanya saja ada beberapa potong lebih banyak pakaian yang berhamburan di lantai. Pakaian yang bukan milikku. Televisi menyala sepanjang malam. Beberapa botol bir berserakan di dekat tempat tidur. Aku tidak terbangun sendirian. Di sampingku ada tubuh seorang wanita yang masih telanjang. Sama telanjangnya dengan tubuhku. Ya, itu Armen.

Sesederhana itu. Aku menemukannya memiliki ketertarikan yang sangat besar terhadap karya seni rupa. Penampilannya yang memang sudah menarik semakin luar biasa di mataku karena kesamaan yang kita miliki. Atau mungkin aku hanya terkesan dengan pujian-pujiannya terhadapku. Semua orang punya kebutuhan untuk disanjung, bukan?

Sesederhana itu. Aku menawarinya berkunjung ke studio yang memang ada di rumahku sendiri dan tanpa berpikir panjang ia langsung membatalkan rencana dengan temannya yang akan menjemput di cafe tadi malam. Dengan campur tangan beberapa botol bir dan obrolan-obrolan yang sungguh menarik, aku terbagun di pagi ini dalam keadaan seperti ini.

"Selamat pagi." Armen terbangun dan menyapaku.

"Pagi. Kopi?" Aku tersenyum padanya. Tanpa menunggu jawabannya aku melangkahkan kakiku menuju dapur. Aku tahu, ini tak mungkin hanya sampai di sini.

_____________________________________________________


"Lima belas menit lagi baru sampai. Lama nungguin Fella." Aku menerima pesan singkat dari Armen.

"Oke. Hati-hati." Aku membalas pesannya.

Malam ini acara pameran tunggalku. Sudah hampir satu jam yang lalu acaranya dimulai dan aku telah menyampaikan pidato singkatku di hadapan para pengunjung. Akhirnya aku sampai pada pencapaian ini. Sebagai pelukis yang belum punya nama besar dan masih lebih suka sibuk berkarya atas alasan kecintaan terhadap seni, ajang pamer dan komersil ini cukup berhasil.

Beberapa lukisanku telah ditawar oleh pengunjung. Beberapa lainnya bahkan sudah deal harga. Dari kejauhan aku melihat Armen melangkah memasuki ruang pameran. Ia bersama Fella, teman kantornya. Ia tidak menghampiriku, melainkan langsung berkeliling mengamati karya-karyaku di sepanjang dinding ruangan. Karya-karya lukisan yang sebagian besarnya justru telah ia lihat di rumahku. Ia sibuk bercerita dengan Fella dan menyapa orang-orang yang mungkin dia kenal atau yang mengajak berdiskusi tentang lukisanku. Sampai saat acara akan ditutup, Armen dan Fella baru datang menghampiriku untuk sekedar basa-basi memberi selamat atas pameran tunggalku.

"Selamat, Bro!" Nino, salah satu teman yang sudah sering membantuku selama ini datang menghampiri, menjabat tanganku erat dan memberiku selamat.

"Yoi. Thanks ya, No." Aku langsung menatap matanya seakan menyampaikan terima kasihku lebih dalam dan langsung memeluknya. Ada beberapa hal yang memang tidak mudah dijelaskan tentang keakrabanku dengan Nino.

Acara yang cukup megah bagiku itu selesai. Aku masih berbincang dengan beberapa teman yang sudah membantuku untuk menyelenggarakan acara ini. Handphone di sakuku bergetar.

"Otw dari tempat Fella ke rumah." Pesan singkat dari Armen. Aku lalu berpamitan dan keluar menuju parkiran.

Aku mengemudikan mobilku menuju rumah dengan mata yang sudah sangat lelah. Tapi aku tahu, pasti ada seseorang yang sudah menantiku di sana. Hal itu entah mengapa membuatku senang dan bersemangat.

Akhirnya aku sampai di rumah setelah melalui jalanan Jakarta yang masih cukup padat di jam 11 malam seperti ini. Pintu rumah tidak terkunci, atau lebih tepatnya telah dibuka oleh orang lain. Orang itu tidak lain adalah Armen. Dia sudah berbaring di atas tempat tidurku sambil fokus menonton televisi. Ini memang bukan lagi kali pertama atau kedua. Aku bahkan sudah mampu membangun perasaan terbiasa dan tergantung pada kebersamaanku dengannya, meskipun hal ini juga tidak kami lakukan setiap hari.

Seperti inilah kami membangun kebersamaan. Berlaku seperti dua orang yang tidak begitu saling mengenal di luar sana tapi selalu beradu peluh di dalam sini. Tidak ada yang lebih. Kami juga tidak mengikat diri dengan apapun, walau dengan perhatian rutin atau kata-kata mesra sekalipun. Seperti inilah kebersamaan kami yang baru berlangsung sekitar sebulan ini. Anggap saja kami adalah dua manusia yang dalam dua kehidupan berbeda yang tak pernah sempat menyatu. Dua manusia dengan urusan masing-masing yang tak perlu saling mengusik. Karena memang tak ada sesuatu apapun tentang kami yang tertulis di luar sana. Sementara di sini, hanya di atas tempat tidur ini, kami tertulis sebagai sebuah penyatuan.

_____________________________________________________


Aku duduk di cafe tempat pertama kali aku bertemu dengan Armen. Semalam dia menghubungiku dan meminta untuk bertemu. Katanya ada sesuatu yang harus ia bicarakan. Hari ini sudah 4 bulan lebih sejak kami pertama bertemu di tempat yang sama.

Secangkir kopi hitam tersaji di hadapanku. Aku belum meneguknya sama sekali dan hanya menghirup aromanya yang menguap. Mood-ku kurang baik sore ini. Mungkin karena di luar hujan lagi. Mungkin karena jalanan Jakarta yang bagiku terlalu macet sore ini. Mungkin karena 14 menit sejak aku duduk menunggu kedatangan Armen terasa seperti seharian untukku yang terlalu khawatir tentang apa yang akan ia bicarakan.

Dari pintu masuk cafe terlihat seorang wanita masuk dengan baju yang sedikit basah. Wanita itu langsung berjalan menuju ke arah mejaku, menarik kursi di depanku dan duduk dengan raut muka yang tegang. Ia lalu memanggil pelayan dan memesan secangkir kopi hitam. Dia Armen.

Sampai kopi hitam yang dipesan Armen datang dan kurasa sudah mulai mendingin sekarang ini, kami masih saling terdiam.

"Ada apa?" Aku memulai percakapan.

"Entahlah."

"Ada yang salah menurut perasaanmu?"

"Sepertinya begitu."

"Beritahu aku."

"....."

Armen terdiam lagi. Ia menyeruput kopi dari cangkirnya, menopang dagu, lalu menatap ke luar jendela cafe. Ia membalikkan wajahnya setelah beberapa menit dan menyeruput kopinya sekali lagi kemudian menatapku. Tepat di mataku.

"Aku mencintaimu." Kalimat yang selama ini kami hindari akhirnya terucap mulus dari bibir Armen.

"....." Aku terdiam. Aku masih menatapnya tajam, hanya saja tak mengeluarkan sepatah katapun. Apa yang aku khawatirkan benar terjadi.

"Katakan sesuatu." Katanya mendesak.

"Kamu mau aku bilang apa?"

"Kamu tahu apa yang sebenarnya aku mau."

"Aku nggak bisa."

"Kenapa? Kamu nggak negrasain hal yang sama?"

"Nggak gitu..."

"Terus?"

"Aku gay. Aku biseks."

Armen terdiam. Raut mukanya yang sudah begitu tegang sejak memasuki cafe terlihat jauh semakin tegang. Aku tahu dia kaget tanpa harus melihat warna kulit wajahnya yang semakin memutih. Matanya masih lurus menatap mataku tanpa berkedip. Bukan tatapan yang mengintimidasi, justru menurutku itu adalah tatapan paling pasrah yang ia punya. Di dalam tatapan itu ada kebingungan dan ketidaktahuan besar tentang apa yang harus ia lakukan.

"Kamu tahu kenapa kita seperti orang yang tidak saling mengenal di dunia luar?" Lanjutku.

"....." Armen tak menjawab apa-apa.

"Bukan karena aku hanya memanfaatkanmu atau tidak mencintaimu..."

"....."

"...Aku hanya mencintaimu di atas tempat tidur. Aku hanya mencintai semua orang yang pernah bersamaku di atas tempat tidur."

"....."

"Tak ada perasaan yang bisa dibawa keluar dari tempat tidur untuk orang-orang sepertiku."

"....."

Armen masih terdiam. Perlahan ia melepaskan tatapannya dari mataku dan memejamkan matanya beberapa saat. Ia lalu menunduk dan menyeruput kopinya sekali lagi setelah menghembuskan napas panjang. Tarikan napas paling pasrah yang pernah kudengar darinya.

Di luar masih hujan dan wanita di depanku itu masih tak mengatakan apapun.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar