Selasa, 10 September 2013

Gadis Kecil Yang Tak Ingin Dewasa

Sore yang basah. Aku melarikan telapak-telapak kaki mungilku menuju rumah. Matahari tampak sudah sangat lelah dan ia berkata kepadaku bahwa ia akan segera pulang. Pengeras-pengeras suara di masjid-masjid membisikkanku suara yang rata-rata orang tak mampu dengar, bahwa aku harus segera pulang. Umurku baru saja menginjak 5 tahun dan matahari serta toa masjid begitu merepotkanku. Aku tak suka pulang. Aku baru saja bermain hujan dengan teman-temanku di dekat rumah dan aku tak mau berhenti meskipun hujan sudah berhenti setengah jam yang lalu.

Aku mendobrak pintu depan rumah yang sedikit terbuka. Baju terusan biru muda yang dibelikan salah seorang tanteku sebagai oleh-oleh perjalanannya dari Hongkong beberapa bulan lalu berubah cokelat karena habis bermain lumpur. Lantai rumah kubuat licin oleh bekas kaki telanjangku yang lembab. Aku sudah bersiap dimarahi. Kutunggu suara mama terdengar dan meninggi. Aku memasang raut paling polos untuk menutupi kenakalanku karena telah membuatnya repot harus membersihkan kekacauan yang kubuat dan mengkhawatirkanku sepanjang sore.

Aku masih menanti suara mama untuk menyerangku dan juga pelukannya yang biasanya akan segera menyusul suara tingginya. Pelukan itu yang aku tunggu. Tak apa jika aku harus kena marah lebih dulu. Namun yang aku dengar lain. Aku memang mendengar suara mama, tapi bukan suara marah dengan nada yang meninggi, melainkan suara tangisan hebat.

Aku memasuki kamar mama, membuka pintunya pelan-pelan dan menemukannya sedang menutupi wajahnya sebisa mungkin dengan bantal di sofa pojok kamar dekat jendela. Aku merasa sedih. Aku tidak suka melihat perempuan menangis meskipun sebagai anak perempuan aku suka sekali merengek untuk hal-hal kecil. Tapi aku menangis hanya untuk mencari perhatian. Aku hanya anak kecil. Aku menangis karena aku melihat darah bercucuran dari permukaan lututku, bukan dari hatiku.

Aku sering sekali melihat mama menangis sejak aku lahir. Lima tahun yang lalu, ketika aku mendapat giliran untuk pindah tempat tinggal ke dunia di luar tubuh mama setelah jauh sebelumnya bersusah payah mengambil keputusan untuk bersedia ditempatkan di perutnya oleh Tuhan dan keluar dari surga, aku pikir hanya aku yang akan sering menangis. Ternyata aku salah. Mama adalah sainganku. Entah karena apa saja dia menangis. Dulu aku sering mendengar teriakan-teriakan penuh makian ketika tidur di dalam perut mama. Mungkin itu papa, aku tak tahu. Aku tak pernah tahu sebab aku tak pernah melihat wajahnya sama sekali.

Tadi aku melihat Om Kumis, begitu aku biasa memanggilnya, keluar dari rumah ketika aku sedang bermain hujan. Ia mengendarai mobilnya buru-buru. Ia sering datang meskipun tak setiap hari, dan sering ketika malam hari. Mungkin tadi ia mau buru-buru menjemput istrinya dari salon. Selain Om Kumis, aku punya banyak om lain yang sering mengunjungi mama pada waktu-waktu yang tidak jauh berbeda polanya dengan Om Kumis. Aku punya panggilan khusus masing-masing untuk mereka. Ada Om Kelingking yang suka mengaitkan kelingkingnya dengan kelingkingku ketika berjalan bersama, ada Om Pak Raden yang suka mendongengiku, ada Om Lalala yang suka menyanyikanku lagu sebelum tidur, dan banyak lagi. Aku menceritakan tentang mereka semua kepada Baba, bonekaku yang baik hati dan mau menyimpan rahasia dari cerita-ceritaku. Sesering mereka mengunjungi mama, sesering itulah aku melihat mama menangis.

Aku marangkak naik ke atas sofa tempat mama duduk dengan gaunku yang masih basah dan penuh lumpur. Aku memeluknya. Aku tahu itu akan mengahangatkannya, meskipun secara teori aku justru membuatnya dingin. Ketika memeluknya, aku ingat teman di dekat rumahku. Mereka memang tak pernah memelukku, tapi aku merasa hangat ketika bermain bersama mereka. Meskipun bermain hujan sekalipun, aku tetap hangat. Mungkin karena mereka tak menyimpan mendung di dalam kepala dan hati mereka. Mereka hanya anak kecil, sama seperti aku. Mereka tak mengenal kesedihan. Tidak seperti orang dewasa.

Aku tak mau dewasa. Aku pernah bercerita kepada Baba bahwa aku ingin cepat mati. Secepatnya selama aku masih kecil. Aku tak mau merasakan bagaimana menjadi dewasa. Aku mau mati ketika aku hanya punya luka di lutut, sebelum aku mengenal luka di dalam hati.

____________________________________________


Matahari terik sekali siang ini. Sekolah sudah bubar satu jam yang lalu tapi aku tak ingin pulang. Di sini tempat dimana ada banyak anak kecil, maka di sini hangat. Teman-temanku sudah pulang semua tapi aku masih ingin bermain ayunan di bawah beringin belakang sekolah. Tempat itu pasti sejuk sekali di tengah hari seperti ini.

Aku berjalan sambil sesekali melompat-lompat ke belakang sekolah. Ternyata ada orang di bawah pohon. Aku mengenalinya sebagai Ibu Ria. Namanya memang bukan Ria, tapi ia selalu ceria di depan muridnya, maka sejak hari pertama aku bertemu dengannya, aku memanggilnya Ibu Ria. Awalnya ia sering menanyakan alasanku, namun aku biasanya hanya tertawa dan berlari darinya. Lalu ia hanya akan ikut tertawa dan lama kelamaan tak lagi mempermasalahkannya.

Ibu Ria memang selalu tampak ceria. Tapi ia sering sekali menangis dan hanya aku yang tahu. Aku memang satu-satunya anak yang suka tinggal di sekolah lebih lama setelah jam pulang sekolah. Rumahku dekat sehingga aku tidak perlu mengkhawatirkan apapun untuk harus pulang cepat. Aku bahkan biasa berjalan kaki sendiri karena sekolah hanya dua lorong dari rumahku di dalam satu kompleks perumahan yang sama. Oleh sebab itu, hanya aku yang tahu Ibu Ria sering sekali menangis. Ia hanya menangis setelah jam pulang sekolah. Aku tidak pernah mau tahu kenapa, karena aku memang tahu orang dewasa menyimpan mendung di dalam kepala dan hati mereka masing-masing. Tapi minggu lalu aku tak sengaja mendengar bahwa tunangan Ibu Ria meninggal beberapa bulan yang lalu dalam kecelakaan lalu-lintas. Maka pemaklumanku terhadap orang dewasa yang suka menangis semakin kuat. Aku semakin tidak bertanya-tanya.

Aku berjalan mendekati Ibu Ria. Biasanya jika mendengar dia menangis, aku hanya memperhatikan dari jauh. Tapi kali ini aku ingin memeluknya. Aku tahu hal itu akan menghangatkannya meskipun siang ini memang sudah sangat terik. Ia melihat kedatanganku dan menyambut tubuhku dengan tangan terbuka dan tangis yang semakin pecah. Di dalam pelukannya, aku menuliskan janji di dalam diriku sendiri bahwa aku akan mati selagi masih kecil, lalu perjanjian itu kutandatangani. Aku semakin yakin dengan keinginanku. Aku akan pulang ke surga, tempatku tinggal sebelum aku mengiyakan tawaran Tuhan untuk turun dan menempati isi perut mama. Di sana menyenangkan sekali.

____________________________________________


Sore ini aku mau bermain. Aku memilih melangkahkan telapak-telapak mungilku ke arah tempat pemakaman dekat rumah. Sama dengan sekolah, pemakaman masih di dalam satu kompleks. Mama tidak akan khawatir, tempatnya dekat dan di sana aku akan menemui kakek. Lagipula mama pasti sedang sibuk. Dia selalu sibuk. Kalau tidak menangis, pasti ia sibuk melukai dirinya sendiri untuk menangis lagi nantinya, dan terus-menerus berputar seperti itu.

Aku senang menemui kakek. Ia bisa diajak bercerita banyak. Ia teman bercerita yang baik bagiku selain Baba. Aku memetik bunga dan daun-daun di sepanjang perjalananku untuk ditaburi di atas makamnya. Setelah mengucapkan salam dan menaburkan potongan-potongan tumbuhan yang kupotong sendiri dengan kuku-kuku yang sering malas kupotong itu, aku duduk di dekat gundukan tanah yang menindihnya tidur di dalam sana. Aku mulai bercerita tentang banyak hal. Sebagian besar tentang tangisan, orang-orang yang menangis, dan apa-apa yang membuat mereka menangis. Aku sadar, aku jarang bercerita tentang bahagia.

Tiba-tiba aku ingat tentang satu-satunya cerita bahagia yang aku miliki. Cerita itu tentang kakek dan nenek. Maka aku menceritakannya lagi kepada kakek, siapa tahu dia lupa, karena dia memang sudah tua dan meninggal dalam keadaan pikun akut. Meskipun begitu, nenek adalah hal yang paling jarang ia lupakan di antara setumpuk kebingungan-kebingungan yang ia alami setiap hari karena kepikunannya. Kakek tidak hanya selalu mampu mengingat nenek, tapi juga mengingat perasaan yang dirasakannya kepada nenek dengan sangat detail. Sosok nenek yang muncul di kepala dan bibirnya di antara sekian banyak hal yang selalu ia lupakan mampu membuatnya tersenyum. Ketika ia tersenyum, bukan hanya keriputnya yang tampak tertarik dan giginya yang tampak ompong, tapi nenek juga ikut tampak di dalam matanya.

Nenek sudah meninggal lebih dulu sebelum kakek. Kakek sempat sangat bersedih, tapi tidak lama. Mungkin setelah itu dia lupa, karena dia memang sudah pikun. Lalu ia akan teringat lagi, dan tersenyum lagi, lalu lupa lagi. Begitu seterusnya. Ia pernah bercerita kepadaku di suatu sore yang mendung bahwa ia akan segera menyusul nenek. Matanya bersinar begitu bahagia ketika mengatakannya.

Aku tak punya cerita bahagia lain selain cerita kakek dan nenek. Maka aku pikir, menyusul kakek mungkin adalah suatu keputusan yang sangat baik dan membahagiakan. Lagipula, aku akan sangat senang bisa bertemu dengan kakek, sama dengan kakek dulu sangat senang jika bisa menyusul nenek.

_______________________________________________


Pagi ini aku mau bermain di rumah sakit. Kali ini aku tidak sendirian karena rumah sakit terletak jauh dari rumah. Aku pergi bersama mama. Aku tidak menggenggam tangannya, melainkan hanya mengikuti langkahnya dari belakang. Sesungguhnya aku tak sabar. Aku suka berjalan sambil sesekali berlari dan melompat-lompat. Hal itu menyenangkan. Tapi mama berjalan sangat lambat dan aku hanya bisa mengikuti dari belakang. Langkahnya lunglai, sorot matanya redup dan lelah. Atau mungkin malah sedih.

Aku sampai di rumah sakit dan memasuki salah satu kamar rawat inap. Aku mulai melompat-lompat dan berlari-larian. Aku bermain dengan apa saja yang bisa aku mainkan di dalam kamar itu. Kamar itu ramai, ada beberapa keluargaku yang datang, tapi mereka semua tidak ada yang mempermasalahkanku.

Akhirnya aku kelelahan. Aku duduk di sofa dekat tempat tidur pasien. Aku hanya terdiam menatap diriku sendiri di atas kasur di depanku. Bukan apa-apa, aku hanya tidak tahu lagi harus bermain dengan apa. Orang-orang di dalam ruangan itu tak ada yang melihatku. Mereka sibuk mendengarkan suster yang datang melaporkan keadaanku. Katanya aku sudah tidak sadarkan diri di tengah koma selama 4 hari. Katanya lagi, aku mengidap penyakit hati. Ada luka di dalam hatiku. Luka itu bahkan mengakibatkan pendarahan di dalam hati. Penyakit yang aneh, kupikir.

Kemarin sebelum suster yang ini datang, dokter sempat mengatakan bahwa penyebab luka di dalam hatiku adalah cacing parasit yang memakan organ dalam tubuh. Itu penemuan baru di dunia kesehatan. Diam-diam aku merasa bangga. Aku merasa seperti ilmuan atau astronot atau orang-orang lain yang dekat dengan kata penemuan. Hal itu aku dengar dari Ibu Ria di sekolah dan dari dongeng-dongeng yang diceritakan Om Pak Raden. Aku membanyangkan diriku menjadi kayu lapuk di gudang halaman belakang rumah. Lalu cacing itu adalah rayap-rayap yang akan menghabiskanku.

Aku masih menatap tubuhku sendiri terbaring di depanku. Orang-orang di dalam kamar tak ada yang bisa melihatku. Aku masih lelah dan malas untuk bergerak. Pelan-pelan aku tersenyum. Aku berhasil. Aku akan mati ketika aku hanya mengenal luka di lutut. Aku akan segera menemui kakek dan berbahagia melihatnya sedang berbahagia dengan nenek.

Lama-kelamaan mataku tertutup. Aku merasa sangat mengantuk dan akhirnya tertidur. Di depanku, tubuhku menghentikan detak jantungnya. Mungkin karena hatiku sudah habis dimakan cacing dan ia mulai menuju jantungku. Suara datar dan panjang dari monitor yang di layarnya menampilkan sebuah garis lurus terdengar memekakkan telinga. Tangis mama pecah, tangis paling menyedihkan yang pernah aku dengar dalam kebosananku mendengar tangisnya. Tapi aku semakin terlelap sembari tersenyum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar