Rabu, 16 Januari 2013

Sedikit Catatan Yang Terendam Banjir

Dari Jogja.
Di sebuah pagi yang tak mendung pada Januari yang seharusnya basah.
Tanggal 17, di tahun 2013, pukul 10 lewat beberapa menit.
_____________________________________________________


Jakarta banjir. Timeline twitter banjir. Televisi banjir. Isi kepala manusia Ibu Pertiwi banjir.

Kepala saya masih berat akibat efek obat yang saya tenggak dini hari tadi. Hidung saya lebih berat akibat efek lendir yang produksinya sedang berlebihan di dalam saluran pernapasan saya. Namun ternyata, hati saya jauh lebih berat lagi akibat efek berita tentang bencana yang sedang kesekian kalinya menjenguk kesadaran kita, manusia-manusia Ibu Pertiwi.

Sesuatu yang sangat basi membicarakan tentang Jakarta yang macet atau Jakarta yang banjir. Tapi pagi ini, saya terbangun di antara gelisah manusia-manusia yang sudah lebih dulu terjaga, atau bahkan belum sempat terlelap sama sekali di Ibukota sana. Jalanan tak lagi hitam aspal, melainkan cokelat air bah. Jalanan tak lagi padat, melainkan cair.

Di daerah Hotel Indonesia, air mancur yang biasanya bening biru melantangkan sebuah kejayaan, berubah menjadi cokelat meneriakkan keterpurukan. Monas yang biasanya tegap dan sombong sebagai simbol kebesaran masih tetap menjadi objek wisata, hanya berubah sebagai objek wisata air. Bahkan Istana Negara ikut terendam. Twitter dipenuhi twitpic penduduk Jakarta yang berlomba-lomba mengabarkan atau mungkin tak disadarinya, justru memamerkan ketinggian air bah di tempat masing-masing. Display Picture BBM semua teman yang berdomisili di Jakarta berubah senada dengan tema warna cokelat. Kali ini musibah tidak mau melewatkan satu manusia Jakarta-pun.

Air sungai meluap. Isi kepala orang-orang juga meluap. Sebagian besar mengeluh. Sebagian lainnya bersyukur lewat kalimat-kalimat bijak sebagai defense atas kutukan yang sesungguhnya ingin dilontarkan. Sebagian lainnya menghujat sesama manusia, seringnya kepada yang punya jabatan tinggi dan dianggap seharusnya bertanggungjawab. Sebagian lainnya meramu lelucon untuk menghibur diri sendiri meski tak menghibur yang mengalami bencana sama sekali.

Manusia Ibu Pertiwi membagi-bagi dirinya ke dalam golongan-golongan itu. Meskipun begitu, mereka tetap menyatu dalam satu kesamaan. Hampir semuanya sama-sama belum sadarkan diri. Bahwa Tuhan sudah seringkali datang terlalu dekat, menggenggam terlalu erat dan meneriakkan petunjuk-Nya terlalu keras. Sementara ciptaan-Nya masih terlalu angkuh untuk tidak mengelak.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar