Minggu, 20 Januari 2013

Menjemput Rumah Impian


Jari-jarinya masih gemetar. Bukan karena sudah terlalu renta, hanya saja hari masih terlalu dini dan matahari belum siap hadir untuk menghangatkan. Kuduk-kuduk pada kulitnya yang mulai keriput berdiri menahan hawa dingin. Kulitnya legam. Rambutnya sudah memasuki periode perubahan warna, sehelai demi sehelai. Badannya kurus berbungkus kaos putih lusuh yang telah berubah menjadi cokelat. Kakinya hanya beralaskan sendal jepit yang tak tahu benar berpasangan atau tidak.

Namanya Wandi. Nama panjangnya Suwandi tanpa ada nama tengah atau belakang, atau ia hanya tidak tahu. Sekarang jam empat subuh dan sehari-harinya ia selalu terbit sebelum matahari. Ketika warna langit masih hitam, dengan atau tanpa bulan, ia akan berpamitan kepada istrinya dan melangkahkan kaki ke luar rumah. Tujuan yang selalu ia tuju sepagi itu adalah stasiun kereta. Stasiun kereta besar di kota tempatnya tinggal beberapa belas tahun terakhir, sebuah kota di bagian tengah pulau Jawa. Di sana, sebelum salah satu pusat keramaian kota itu dipenuhi manusia yang entah akan bepergian, datang, atau sekadar mengantar orang lain, ia akan bergegas mengambil sapu dan membersihkan stasiun.

"Pak Wandi, monggo kulo aturi ngunjuk kopi rumiyin, Pak." Sapa seorang ibu yang membuka warung kopi seadanya di sekitar stasiun, menawarkan segelas kopi untuknya.

"Oh, njeh pun mbotensah repot-repot. Taksih kathah ingkang perlu dipunsresiki niki." Tolaknya dengan halus karena tugas membersihkan stasiun masih banyak yang perlu dikerjakan.

"Mboten nopo-nopo. Kulo damelke kopi rumiyen sakderengipun kulo beres-beres kondur." Ibu pemilik warung kopi itu masih memaksa membuatkan kopi sebelum berberes pulang. Ia biasa membuka warung dari magrib sampai subuh dan akan pulang pada jam sisanya. Mungkin mengerjakan pekerjaan lain demi sesuap nasi.

"Oh, njeh pun menawi ngaten. Maturnuwun njih." Ia akhirnya mengiyakan tawaran segelas kopi.

Segelas kopi itu sesungguhnya tak akan menyelamatkannya. Tidak juga cukup sanggup mengurangi rasa kantuknya karena tak cukup tidur. Bukan karena terlalu banyak kesibukan yang harus dijalaninya sampai larut malam, hanya saja pikirannya sering sulit diajak tenang dan berhenti mengkhawatirkan kehidupannya. Lagipula, siapa yang mampu tidur nyenyak setiap malam jika pekerjaannya adalah tukang bersih-bersih stasiun kereta dengan istri seorang penjual gorengan keliling beranak satu yang masih balita dan bahkan belum terbayangkan bagaimana sosoknya mengenakan seragam sekolah.

Satu hal yang membuat pikirannya semakin enggan diajak beristirahat dua hari belakangan ini adalah anaknya yang sedang sakit. Demam tinggi yang tak mau turun apalagi meninggalkan tubuh anaknya telah membuyarkan seluruh konsentrasinya terhadap segala hal. Ia tak punya cukup uang untuk membawanya ke dokter, mengingat upahnya pekerjaannya tidak seperti jabatan cleaning service perusahaan besar yang formal dan berseragam. Ia bukan pegawai stasiun yang resmi statusnya dan resmi standar gajinya. Istrinya pun tak bisa berkeliling menjual dagangannya dua hari ini karena harus menjaga anak mereka yang sedang sakit.

Hari ini ia keluar rumah menuju tempat kerja, meninggalkan anak dan istrinya yang belum tidur semalaman karena anaknya terus memuntahkan apapun makanan yang masuk ke perutnya. Ia harus segera membawanya ke dokter. Besok. Ia yakin akan membawa anaknya ke dokter dan mendapat pengobatan yang pantas besok. Upahnya dan hasil dagangan istrinya memang belum cukup. Tapi malam ini malam tahun baru. Ia akan menjual terompet untuk menambah penghasilannya. Ia sudah menyiapkan segalanya dan ia yakin akan mendapat banyak penghasilan tambahan malam ini.

"Badhe tindak proyek, Pak Wan?" Seorang satpam ramah yang menanyakan apakah ia akan menuju proyek tempatnya menjadi buruh kasar, membuyarkan lamunannya.

"Njih niki, Pak." Ia menjawab dengan bersemangat, karena meskipun ia harus menuju tempat proyek dan menambah penghasilan dengan menjadi buruh kasar, kesuksesan penjualan terompet malam ini telah membayang-bayanginya.

"Nderekne ngatos atos njih, Pak."

"Matur suwun. Kulo mlampah rumiyin njih."

____________________________________________________


Dia duduk dengan daster lusuhnya di samping tempat tidur, menatap anaknya yang akhirnya bisa tidur setelah semalaman demam tinggi dan muntah-muntah. Ia mengusap kepala anaknya dengan sepenuh rasa iba, entah kepada anaknya yang sakit, kepada dirinya yang tidak mampu membawa anaknya ke dokter, atau pada nasib kehidupannya. Ia tak merasakan kantuk sama sekali meskipun rasanya sudah berbulan-bulan ia tak cukup tidur. Beberapa bahan makanan yang seharusnya digoreng dan dijualnya keliling kampung telah membusuk, tapi ia tak punya cukup ruang di dalam kepala untuk memikirkannya.

Ia ingin berjualan selagi anaknya tertidur, tapi ia takut akan terjadi sesuatu pada anaknya ketika ia pergi. Maka ia memilih menunggui anaknya. Tak apa, nanti malam adalah malam tahun baru dan suaminya akan pergi menjual terompet semenjak pulang dari pekerjaan buruhnya di proyek. Ia yakin suaminya akan mendapat banyak rejeki malam ini dan anaknya akan segera dapat diselamatkan dokter yang berkompeten besok.

"Bu..." Suara anaknya menyadarkannya dari lamunannya.

"Iya, Nak?"

"Haus..."

"Iya, Ibu jupukne wedhang sekedap." Ia mengiyakan permintaan anaknya dan mengambil air minum ke dapur.

Kaki telanjangnya yang kasar melangkah ke dapur rumah yang tak cukup layak ditinggali itu untuk mengambil segelas air. Anaknya baru tidur selama sejam dan sekarang terbangun lagi. Sungguh, ia tak pernah merasa segelisah ini. Anak satu-satunya itu belum genap lima tahun dan sudah harus menderita melawan penyakit yang entah apa. Ia perempuan, ia seorang ibu, dan hal itu sungguh menyiksa batinnya.

Ada sebuah rumah sederhana berlantai dua dan berisi perabotan lengkap yang dimilikinya. Rumah itu berdiri tegak di dalam impiannya dan impian itu sering menguntitnya ke mana-mana. Rumah itu tidak besar, hanya saja nyaman dan hangat. Warnanya cokelat bercampur krem bercampur apapun yang dikehendaki arsitek dan penata ruang yang di dalam impian itu mampu ia sewa jasanya. Halamannya cukup luas dan rindang, penuh dengan tanaman-tanaman yang rajin ia rawat setiap hari. Ia tak mampu membayangkan detail lain di dalam rumah itu selain tawa-tawa miliknya, suaminya dan anaknya terbang mengisi seantero udara di dalam rumah.

Nama perempuan yang telah menjadi ibu seorang anak itu Wulan. Mungkin ketika ia dilahirkan, orang tuanya menginginkan ia seperti bulan. Pada akhirnya ia seringkali bersinar penuh, kadang separuh, kadang tidak ada, dan kadang tertutup mendung. Imipannya masih menguntit langkah-langkahnya kembali dari dapur sambil membawa segelas air putih, sampai ia tiba di hadapan anaknya dan melihat keadaan anaknya. Kakinya lalu kembali menginjak realita yang pada sebagian besar waktu berusaha keras ia tahan untuk dikutuk.

____________________________________________________


Sejak pukul tiga sore ia sudah duduk di depan deretan atau lebih tepatnya disebut tumpukan terompet dagangannya. Jam kerjanya sebagai buruh kasar yang seharusnya berkisar dari jam delapan pagi sampai empat sore mendapat potongan hari ini. Ia diperbolehkan pulang jam dua siang tadi. Mungkin mereka yang punya jabatan lebih tinggi darinya juga ingin menikmati momen libur pergantian tahun lebih lama. Sekarang, matahari sudah kelelahan dan berpulang ke dalam hitam langit malam melalui jingga cakrawala yang sempat dilukisnya sebelum hilang. Jumlah terompet yang telah terjual olehnya masih dapat dihitung dengan jari-jari tangannya.

"Pak, terompetnya dua ya." Seorang pembeli menghampiri penjual terompet beberapa meter di sampingnya.

"Oh iya, Mbak."

"Berapa, Pak?"

"Dua puluh ribu."

"Ini, Pak. Terima kasih."

"Sama-sama, Mbak."

Lingkungan di sekitar balai kota tempat ia berjualan terompet itu ramai sekali. Mungkin karena akan dilaksanakan pesta kembang api di sini. Padahal akan ada pesta kembang api di mana-mana malam ini. Ini malam pergantian tahun. Atau mungkin karena ada beberapa panggung pertunjukkan musik di sini. Entahlah. Keramaian di sekitar balai kota tak juga bisa memberi keramaian penghasilan untuk dirinya. Ia tak tahu kenapa, tapi penjualan terompetnya tak cukup laku sebagaimana penjual-penjual lain di sampingnya.

Beberapa menit lagi langit akan dipenuhi pecahan cahaya kecil-kecil. Baru saja seorang pembeli meninggalkan tempatnya berjualan terompet dan pikirannya langsung berkelana jauh. Awalnya ke rumah, ke mata anaknya yang sedang sayu kesakitan dan senyum istrinya yang luruh oleh peluh. Setelah itu pikirannya sampai pada rumah impiannya.

Rumah itu sederhana, berlantai dua dan berisi perabotan lengkap. Rumah itu berdiri tegak di dalam impiannya dan impian itu sering menguntitnya ke mana-mana. Rumah itu tidak besar, hanya saja nyaman dan hangat. Warnanya cokelat bercampur krem bercampur apapun yang dikehendaki arsitek dan penata ruang yang di dalam impian itu mampu ia sewa jasanya. Halamannya cukup luas dan rindang, penuh dengan tanaman-tanaman yang rajin dirawat istrinya setiap hari. Ia tak mampu membayangkan detail lain di dalam rumah itu selain tawa-tawa miliknya, istrinya dan anaknya terbang mengisi seantero udara di dalam rumah.

Riuh suara mulai meledak. Suara terompet-terompet mulai bersahutan di antara lautan manusia. Tembakan-tembakan kembang api mulai terlontar ke langit. Gaduh di atas kepala, dan di sela kaki-kaki yang berdiri. Teriakan-teriakan yang terdengar seperti kebahagiaan terdengar dari mana-mana. Ucapan-ucapan selamat dari bibir ke bibir dilantunkan ramai sekali. Waktu sudah menunjukkan pukul dua belas malam dan kalender sudah mengganti angka satuannya.

Kali ini ia tidak duduk di depan tumpukan terompet dagangannya yang masih menggunung. Ia lebih pantas dianggap terduduk tak berdaya. Langit semakin warna-warni, pikirannya semakin abu-abu dan hatinya semakin hitam. Ia menatap kosong ke langit tahun baru dan salah satu impian kelam yang bertolakbelakang dengan impian tentang rumah bahagianya mulai berkabut di dalam kepalanya.

Seiring dengan pertanyaan-pertanyaan yang menyimpan kutukan-kutukan senyap tentang nasibnya, pikirannya sering menuliskan skenario bunuh diri untuknya. Kadang ia merasa kakinya harus melangkah ke arah rel kereta ketika bekerja membersihkan stasiun. Dengan demikian ia akan terlindas sempurna di antara gesekan besi-besi berkarat dan berpindah ke dunia yang ia harap lebih baik menuliskan nasibnya. Jika tidak, ia akan berharap tertimbun runtuhan suatu bahan bangunan yang berat. Dengan demikian dia akan terjepit di sela tanah dan material yang menimpanya diselingi darah yang mengalir deras di antaranya. Setelah itu ia mungkin akan membangun rumah impiannya di atas awan.

Jeritan terdengar dari arah jalan raya di sekitar balai kota, di dekat tempatnya berjualan. Sebuah motor melaju dengan cepat dan ugal-ugalan hampir menabrak seorang gadis. Ia lalu menyusun satu skenario lagi. Bagaimana jika ia menyeberang jalan di malam meriah yang dirayakan seluruh dunia ini, lalu ditabrak seorang pengendara motor yang sedang terlalu uforia. Kemudian ia akan terhempas bermeter-meter, kehilangan nafas dan terbang ke rumah impiannya di atas awan yang mungkin saja sudah selesai dibangun oleh Sang Pemberi Nasib Kehidupan.

____________________________________________________


Panas tubuh Bintang, anak satu-satunya itu semakin tinggi. Saat ini, tak ada yang lebih ramai dari pecahan kembang api di langit pergantian tahun dan kegelisahan di dalam hatinya. Baru saja anaknya muntah darah beberapa kali. Keringat dingin mengucur dari dahinya. Ia tak bisa menanti suaminya pulang. Kepanikan menyerang seluruh otot tubuhnya. Tanpa pikir panjang, ia menggendong anaknya dan segera berlari ke rumah sakit terdekat. Masih dengan daster lusuhnya, masih dengan telapak kaki kasar yang katanya menyimpan surga.

Rumah sakit yang ditujunya sudah ada di depan mata. Beberapa langkah lagi dan ia akan menyelamatkan anaknya. Entah bagaimana ia akan membayar biaya rumah sakit, tak sempat terlintas di dalam kepalanya. Ia berlari menyeberang jalan dan entah dari mana datangnya, sebuah motor yang melaju dengan kecepatan tinggi tak mampu menghentikan laju kendaraannya atau paling tidak mengelak darinya yang menggendong anaknya di tengah jalan. Lampu motornya menyilaukan mata dan tak memberi kesempatan baginya untuk melakukan apapun. Secepat kecepatan cahaya itu pula ia melihat sinar yang sangat terang. Lalu ia sudah berada di atas awan, di depan rumah impiannya, dan masih menggendong anaknya.

______________________________________________________


Sebuah tembakan kembang api ke udara mengagetkannya. Ada yang tiba-tiba meledak di dalam perasaannya. Ledakan itu tak berwarna-warni seperti langit malam ini. Skenario-skenario kematian yang ia susun untuk dirinya agar bisa lari dari nasib buruk kehidupannya dan langsung menemui Sang Pemberi Nasib Kehidupan buyar seketika. Tiba-tiba semuanya kosong meskipun riuh suara perayaan masih ada di sekelilingnya. Pikirannya kosong. Hatinya kosong.

Dengan dilatarbelakangi hitam langit, pecahan-pecahan kecil api warna-warni berhamburan. Tak ada yang lain selain itu di atas sana. Bulan dan bintang tak tampak karena ditutupi mendung. Mungkin mereka berada di lapisan langit yang lebih tinggi, sedang melihatnya dari ketinggian surga.

______________________________________________________

3 komentar: