“Cuma karena punya vagina, kami harus susah-susah was-was berjalan sendirian di malam hari? Thanks society.”
Rasanya saya ingin me-repost tweet ini setiap bulan. Selain karena
saking sukanya saya dengan tweet ini,
juga karena saya ingin terus membuat reminder
bagi semua orang.
Saya sering sekali merasa
terganggu dengan kalimat yang berbunyi, “kamu
itu cuma dimanfaatin sama dia!” Kalimat ini jika dipakai untuk
mengungkapkan konteks selain seks, bisa dipakai oleh perempuan maupun
laki-laki. Konteks harta misalnya. Sang tertuduh yang memanfaatkan bisa saja Si
Perempuan ataupun Si Laki-laki. Namun konteks ini jika digunakan dalam konteks seks,
sebagian besar tertuduh pastilah laki-laki.
Mengapa harus laki-laki yang
memanfaatkan perempuan? Memangnya yang merasa enak hanya si laki-laki sehingga
hanya mereka yang mendapatkan manfaat? Jika hubungan seks itu memang dilakukan
dengan persetujuan kedua pihak, tidak ada paksaan dan sama-sama mau, coba
tanyakan ke perempuan-perempuan itu, apakah mereka juga merasa enak atau tidak.
Tempeleng saja sekalian jika mereka menjawab tidak.
Lalu mengapa harus laki-laki
yang memanfaatkan perempuan? Kenapa tidak pernah terpikirkan bahwa mungkin
justru si perempuan yang sedang memanfaatkan si laki-laki? Jawabannya; konstruk
sosial, atau kesadaran kolektif atau apapun orang suka menyebutnya. Konstruk
sosial yang sudah terbentuk sejak purba. Bahwa perempuan pasti lebih lemah dari
laki-laki. Bahwa di Mesir dulu, laki-lakilah yang menyusun batu sampai jadi
Piramida dan perempuan cukup menyiapkan bergalon-galon bir untuk para laki-laki
itu. Konstruk nilai yang diamini selama berabad-abad pergantian peradaban
manusia. Sampai pada peradaban ini, tidak ada yang akan mempertanyakannya lagi.
Pokoknya ya begitu.
Konstruk ini bahkan sebenarnya
sudah kurang valid digunakan di masa sekarang. Sudah banyak perempuan yang
menjadi kuli, buruh kasar pembangunan. Lagipula tidak ada lagi yang butuh-butuh banget menata batu sampai
tinggi untuk punya tempat tinggal. Kami cukup punya uang, lalu beli apartemen.
Untuk punya uang kami hanya perlu punya karir sukses. Di titik mana lagi
laki-laki dibutuhkan kalau begitu? Tidak punya pasangan selamanya juga hidup
mungkin akan baik-baik saja. Kalau butuh kasih sayang, tinggal punya affair di sana-sini tanpa perlu ada attachment berlebihan. Kalau butuh seks,
ada di mana-mana.
Saya juga sering sekali merasa
terganggu dengan konsep; laki-laki yang pernah ‘mencicipi’ banyak perempuan itu
keren, tapi kalau perempuan yang pernah ‘dicicipi’ banyak laki-laki -mengapa harus dalam kata kerja pasif?- itu rendah
dan kotor. Kita sama-sama punya organ reproduksi yang hanya saja bentuknya
berbeda. Sudah. Selain itu apalagi yang perlu dibedakan? Silakan dibayangkan saja
bagaimana laki-laki melakukan hubungan seks dengan banyak perempuan, seperti
apa motivasi dan perasaannya di setiap hubungan yang terjadi. Mereka
melakukannya mungkin ada yang karena sayang, ada yang karena iseng, ada yang
karena khilaf saja. Tidak semuanya berarti dan harus dibaperin. Ya seperti itulah juga kami. Sama saja.
Seks menempati bagian paling
dasar dan besar dalam Hirarki Kebutuhan Manusia menurut teori psikologi Maslow.
Kebutuhan yang juga ditempatkan di situ adalah kebutuhan kita untuk makan. Begitulah
manusia punya insting untuk bertahan hidup; makan dan bereproduksi. Sudah
seperti itu kita diciptakan, baik yang perempuan maupun yang laki-laki.
Seks itu sesederhana ‘gue sange ya gue ngewe trus gue seneng ya
udah gitu aja’. Itu basic instinct.
Tanpa perlu rumit-rumit mencampur adonannya dengan sekian gram nilai-nilai
sosial yang berlaku soal mana yang pantas dan mana yang tidak. Soal mana yang
lebih pantas dan mana yang kurang pantas. Soal
perempuan tidak pantas begini dan laki-laki bebas begitu.
Kebutuhan ini sudah ditanamkan
ke diri kita sejak orok. Bukan hanya orok si laki-laki, tapi juga orok si
perempuan. Bukan hanya laki-laki yang boleh terangsang di dunia ini, perempuan
juga. Bukan hanya laki-laki yang harus mengontrol perilakunya ketika terangsang,
ya perempuan juga. Seharusnya begitu. Jika begitu, tidak harus kami yang
was-was berjalan malam-malam sendirian. Tidak juga yang punya penis. Seharusnya
kita semua aman dan baik-baik saja. Tidak perlu juga seorang pria bule memungut
sembarangan cabe-cabean yang bahkan ‘tidak
enak dilihat’ di jalan untuk memproduksi Asian Sex Diary, saking ‘rendah’ dan ‘tak
punya arti’ kami. Lalu saya juga tidak perlu bertanya-tanya kenapa bukan terong-terongan saja yang dipungut
sembarangan di jalan oleh seorang wanita bule, karena kalaupun iya, jarang
untuk dieksploitasi.
Dalam suatu malam, saya pernah
terjebak –untuk kesekian kalinya- dalam diskusi meja makan yang membahas
perihal-perihal rumit –dan melelahkan karena tak akan ada habisnya- bersama
teman-teman saya. Mulai dari Tuhan, agama, dosa, pahala, dan hal-hal yang
sangat menarik dibahas, hanya saja obrolan rumit seperti ini memang butuh mood. Dari berbagai referensi yang
mendasari pendapat masing-masing, salah satu teman saya bilang begini;
“Gue pernah baca di salah satu kitab, dosa itu berakar dari mencuri. Membunuh itu mencuri hak hidup orang lain. Korupsi itu mencuri harta orang lain. Lalu kalau ngewe, siapa nyolong apa dari siapa, kalau sama-sama mau, sama-sama senang?”
Iya. Kita memang sama saja. Si
Perempuan tidak berdosa atau mencuri apapun dari siapapun. Si Laki-laki juga
tidak. Saya bukan feminis radikal KW super yang mau menuntut persamaan hak dan
kewajiban antara perempuan dan laki-laki sampai pada taraf perempuan harus
boleh jadi imam masjid raya dan laki-laki harus boleh mendapat cuti sampai tiga
bulan seperti jika perempuan sedang cuti melahirkan. Saya hanya membahas ini
dalam konteks seks; merekonstruksi nilai yang menghasilkan pandangan tentang
siapa bisa menjadi orang yang keren dan siapa bisa menjadi orang yang kotor.
Seharusnya tidak ada yang
kotor. Seharusnya tidak ada juga yang keren. Biasa saja. Seks hanya urusan
insting dasar manusia dan otoritas atas tubuh masing-masing.
Selalu suka sama apa yang disajikan dalam mangkuk kata.. tidak terlalu kenyang namun cukup untuk mengisi tenaga.. :)
BalasHapus