Minggu, 29 Juli 2012

Dua-dua


"Kamu mau jadi pacarku?"
"Iya, mau."

Oddie langsung memeluk tubuhku tanpa pikir panjang setelah aku menerima tawarannya untuk menjadikanku pacar. Lagipula untuk apa pikir panjang, waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam lewat. Artinya suasana di depan kosku pasti sudah sepi sehingga kita tak perlu malu, dan juga berarti aku harus menelepon penjaga kos dengan sedikit melancarkan serangan rayuan genit agar ia mau membukakan pintu kos supaya aku bisa masuk.

Malam ini langit agak mendung. Tidak banyak bintang bertaburan. Hanya ada bulan sabit yang menggendut dan hampir mencapai setengah purnama yang sedikit kabur tertutup awan. Malam ini, terhitung sudah sekitar tiga bulan setelah aku mulai dekat dengan Oddie dan akhirnya resmi menjadi kekasihnya. Malam ini, terhitung sudah sekitar tiga bulan setelah Oddie mulai membuatku jatuh cinta terus-menerus setiap hari oleh segala hal yang dilakukannya padaku. Malam ini, terhitung sudah sekitar tiga bulan setelah aku mulai membiarkan hatiku terjun indah ke dalam genggaman Oddie, bukan genggaman orang lain, karena memang bukan hanya dia satu-satunya laki-laki yang mendekatiku dalam tiga bulan terakhir ini.

.....

Hari ini mendung seperti biasanya cuaca sebulan belakangan. Sudah hampir pukul dua siang, aku kelaparan, dan malah terjebak di pos satpam parkiran kampus ketika akan pulang. Aku sedang mengacak-ngacak saku celanaku dari kiri sampai kanan, depan sampai belakang, mencari-cari di mana STNK yang harus kutunjukkan ke petugas parkir ketika Milla yang mengendarai motornya mendekat dan memasuki lajur keluar pos parkiran kampus di sebelahku.

"Kelar kuliah apa, Mil? Mau langsung pulang?"
"Kognitif, Gi. Iya nih. Paling cari makan dulu terus pulang."
"Makan bareng aja yuk."
"Eh... Hmmm...."
"Iya ya? Yuk!"
"Eh, iya yuk."

Sekilas saat keluar dari parkiran, aku melihat Oddie yang sedang menatap tajam dan tidak terima padaku dari kejauhan di depan hall, yang kemudian diiringi oleh tepukan-tepukan halus di bahunya oleh Arya, teman dekatnya, seperti sedang membujuk dan menguatkannya. Aku melaju motorku dengan kecepatan rendah menyusuri boulevard kampus, diikuti Milla dari belakang dan berhenti di sebuah rumah makan di daerah depan kampus.

"Kita makan bakso aja ga apa-apa kan? Adem gini pasti enak."
"Iya bener, Gi."
"Eh, kamu udah jadian sama Oddie ya?"
"Eng... Eh... Hmm, iya, Gi."
"Kapan jadiannya?"
"Hmmm... Hampir seminggu yang lalu."

Aku tersenyum. Sudah sekitar tiga bulan yang lalu aku mendekati Milla. Sebulan terakhir memang hubungan kita justru merenggang. Milla semakin menjauh dan terlihat lebih sering menghabiskan waktu bersama Oddie. Aku bisa menerima semuanya dengan baik. Lagipula Oddie sendiri adalah salah satu teman dekatku. Teman dekat yang pada akhirnya mengecewakanku, bukan karena merebut gebetanku, melainkan karena belakangan aku tahu dia sering menjelek-jelekkanku di depan Milla demi untuk mendapatkan hatinya dan mengalahkanku.

Aku tersenyum sekali lagi membayangkan sosok Oddie. Aku tidak pernah berpikir bahwa ini adalah persaingan.

.....

Oddie mengunjungiku di kosku sore ini. Aku menyambut kedatangannya dengan girang. Bukannya menunjukkan kegembiraan yang sama, ia justru tampak murung dan cenderung marah. Aku membiarkannya duduk, lalu duduk di sampingnya. Awalnya kita hanya terdiam. Entah apa yang kurasakan. Mungkin kecewa karena dia tidak menunjukkan kebahagiaan yang sama sepertiku saat kita bertemu sore ini. Mungkin sedih karena dia hanya diam dan aku tak tahu harus berbuat apa. Mungkin juga takut dia tidak suka aku makan siang bersama Irgi tadi siang dimana aku tidak menganggap hal itu adalah sesuatu yang besar.

"Kamu kenapa?"
"Kamu ga usah pergi-pergi sama Irgi."
"Aku sudah tahu pasti soal itu. Aku cuma makan siang. Dengan seorang teman."
"Terserah. Asal tidak dengan Irgi."
"Ya..."

Aku harus melalui suatu sore yang tidak mengenakkan. Sore yang membuatku tidak nyaman ketika hubunganku dengan Oddie bahkan belum genap satu minggu. Irgi memang salah satu laki-laki lain yang aku maksud juga mendekatiku selain Oddie selama tiga bulan belakangan ini. Memang bukan hanya mereka berdua, tapi mereka berdualah yang memiliki kualitas dan kuantitas paling besar dalam konteks hubungannya denganku.

Semuanya berawal dari sebuah angkringan yang menjadi tempatku dan teman-temanku sering mengisi perut dengan sajian-sajiannya yang sederhana dan murah namun mengenyangkan dan enak. Tempat itu juga menjadi tempat di mana Oddie yang notabene merupakan teman dekat Irgi, serta teman-teman mereka yang lainnya, juga sering menghabiskan malam, mengobrol dengan diselingi bergelas-gelas kopi. Bapak penjual makanan di angkringan itulah yang pada akhirnya menjadi tokoh kunci yang berperan sebagai pengirim salam dan penyebar nomor handphone anak-anak kuliah pelanggan setianya yang sedang saling bertukar modus.

Dari sanalah mulanya aku mulai dekat dengan Oddie maupun dengan Irgi. Dan seperti inilah keadaan yang terjadi sekarang. Memang benar tidak mengenakkan.

.....

Aku sedang memandang layar komputerku dengan khidmat, berkutat dengan game yang sedang seru kumainkan, ketika aku mendengar ada yang datang ke kos. Suara Oddie terdengar, lalu diiringi oleh suara wanita yang aku tahu adalah Milla. Tidak lama kemudian setelah menyapa anak kos lain yang ditemui oleh mereka, pintu kamarku diketuk. Tanpa menunggu aku menyahut dan membukakan pintu, pintu kamarku dibuka perlahan oleh Oddie.

"Gi, udah makan belom? Mau nitip ga?"
"Oh, udah kok, Die. Tadi sama Tomi ama Oki."
"Ya udah kalo gitu. Aku keluar bentar ya. Mau ambil harddisk di tempat Hans. Kamu tunggu di sini aja ya, Sayang. Santai aja sama anak-anak ini."
"Iya, Yang."

Oddie segera berlalu meninggalkanku dan Milla setelah percakapan singkat denganku yang ia buat seakan polos dan damai, meskipun aku tahu keadaannya sebenarnya tidak sepolos dan sedamai basa-basinya tadi. Milla memilih tetap di kamarku karena hanya aku yang paling ia kenal di antara teman-temanku dan Oddie yang lain di kos ini. Aku berpura-pura tetap fokus pada permainanku meskipun sesungguhnya aku tidak tega melihat Milla kebingungan harus berbuat apa. Dia hanya diam menyebarkan pandangannya keliling kamar, memperhatikan sudut-sudut kecil kamar, dan sesekali memainkan handphone yang aku tahu hanya merupakan pelarian.

"Kalian dari mana, Mil?"
"Abis dari bawah beli charger-an handphone."
"Oh..."
"Hmm..."
"Kamu kenapa milih Oddie?"
"Kenapa?"
"Tidak apa-apa. Cuma ingin tahu."
"Kamu tidak terima?"
"Aku tidak bilang begitu. Apa aku tampak seperti itu?"
"Lalu kenapa kamu harus menanyakan hal seperti itu? Apa mungkin kamu berpikir aku orang tidak tahu diri yang seenaknya mengecewakanmu?"
"Omonganmu semakin jauh."
"Lalu apa?"
"Aku tidak kecewa denganmu. Aku kecewa dengan Oddie."
"Sekarang kamu menyalahkan Oddie?"
"Dengar, aku mendekatimu lebih dulu. Dan dia terus menjatuhkanku di hadapanmu. Iya kan?"
"Dia tidak menjatuhkanmu. Dia hanya terus-menerus mengungkit kenyataan tentang dirimu yang memang buruk."
"Apa?"
"Bahwa kamu punya pacar dan masih saja mendekatiku. Apa yang ada di dalam pikiranmu sampai masih bisa berniat mendekatiku padahal kamu punya pacar?"
"Karena aku memang suka padamu."
"Kamu memang laki-laki kurang ajar!"
"Iya, aku memang kurang ajar. Sekarang aku akan mengungkapkan kekurangajaran yang lain padamu."
"Apa?"
"Oddie juga sesungguhnya punya pacar sebelum mendekatimu dan masih ia pertahankan sampai sekarang!"
"..."




Tidak ada komentar:

Posting Komentar